"Kamu yakin, Cin, mau saksikan ijab kabul Mas dan Anita?"Sebenarnya tidak yakin, tapi aku mencoba memantapkan hati. Lebih baik berdamai dengan keadaan daripada berlarut-larut dalam kepedihan. "Iya. Tapi ... aku gak mau tanda tangan. Mas hanya boleh menikahinya secara siri."Aku menarik napas, tanganku dengan cepat menyusut air mata yang terus mengucur tak mau berhenti. Dalam hati, terus kuucap istighfar. Astaghfirullah. Astaghfirullah. Aku sadar telah egoist, tapi ... entahlah. Aku tak sanggup membayangkan jika semua harta nanti harus dibagi dengan Anita juga. Dua vila di Bogor yang tiap bulan selalu membuat tabungan kami mengembung, 5 hektar sawah, dua mobil milikku dan satu punya Mas Yoga yang belum lunas. Astaghfirullah. Maafkan hamba yang terlalu manusiawi. Jika harta benda itu akhirnya harus berpindah tangan, maka itu untuk Farhan dan Caca. Bukan untuk anak-anak Anita kelak. Mas Yoga memandangku cukup lama, entah hanya perasaanku saja, tapi sesaat ia terlihat sedih. Lalu perla
Setelah kemarin malam ia di kamar Anita, kini ke kamarku, memandangku dengan mesra tak seperti biasanya. Tapi anehnya, saat seharusnya aku menerima perlakuan lembut Mas Yoga, aku kini malah berusaha menolaknya. Ternyata, aku tidak siap berbagi pisang. Entah kenapa, tiba-tiba aku merasa begitu jijik. Juga muak."Kenapa, Cin? Bukannya kemarin-kemarin kamu begitu menginginkannya?" Mas Yoga mendekatkan hidungnya ke pipiku, aku kembali bergerak menghindar. Aku kenapa akunajdi ak ingin melakukannya."Aku sedang gak selera, Mas. Mungkin karena kelelahan.""Ooh." Mas Yoga memangguk kecil. Ia menegakkan tubuh saat terdengar ketukan. Lalu pintu perlahan terbuka. Anita masuk dengan rambut diurai. Samar menguar wangi lavender dari tubuhnya."Mas Yoga bisa temani aku ke mall bentar, Mas? Hanya sebentar. Ada yang akan kubeli untuk hadiah mamaku."Mas Yoga memandangku, lalu mengangguk kecil pada Anita. "Kamu keluar dulu, ya? Nanti aku nyusul."Bibir Anita merebak lebar dengan wajah terlihat begitu
Ini aku benar mau bunuh diri? Sesaat, aku ragu dan mengeluarkan kepalaku dari lingkaran. Tapi begitu ingat aku telah dikhianati, maka aku meyakinkan niat bahwa ini yang terbaik agar tak merasakan sakit hati berlarut-larut. Perlahan, aku memejamkan mata. Ada sebersit ragu di hatiku, benarkah harus begini? Ah, sudahlah. Kenapa perasaanku mesti labil? Perlahan, kepalaku kembali masuk ke dalam lingkaran yang ujungnya telah kuikat di cabang pohon rambutan berbuah lebat ini, namun belum ranum. Sayang sekali, aku takkan menikmati buah dengan segudang manfaat kesukaan Caca bersama anak-anak dan Mas Yoga tercinta.Angin sepoi-sepoi berembus pelan, membuat dedaunan yang tumbuh di sekitar meliuk-liuk menguarkan hawa sejuk. Sementara rambut hitam lurus sepinggangku berkibar pelan, sebagian menutupi wajah. Napasku memburu. Jantung berdetak kencang. Keringat dingin, menyerbu seperti seember air yang sengaja di hantamkan ke tubuhku. Aku menarik napas panjang berusaha mengendalikan rasa takut
Aku terus mengamit tangan Mas Yoga, membawanya menuju kamar kami yang besar."Tunggu, Mas. Kenapa aku ditinggal ...."Aku menarik napas panjang, berusaha menekan amarah yang membuncah saat Anita menyibak tirai lalu masuk ke kamar kami, bibirnya yang seksi bergincu merah muda mengembang lebar. Mata bermaskaranya mengerling manja pada Mas Yoga yang kini duduk di sebelahku. Dasar nenek sihir!Kurasa, tidak keterlaluan memanggilnya begitu karena kenyataannya, dia memang seperti itu. Perempuan murahan. Mana ada gadis secantik dia yang masih belia mau dengan suami orang? Aku menahan kesal saat Anita melangkah mendekat. "Entah mengapa, bawaannya aku pengen deket Mas terus. Bobok di kamar kita yuk, Mas?"Sejenak, Mas Yoga menatapku. Menguatkan hati, aku perlahan mengangguk. Kamu pilih kasih, Mas! Awas saja, akan kubalas. Rutukku dalam hati menahan kesal."Mbak Yu nggak cemburu, 'kan?" tanya Anita dengan tatapan tanpa dosa. Ia langsung menggelayut manja saat Mas Yoga mendekat, memeluk tang
Terdengar gelak tawa Mas Yoga dan Anita. Aku menyentak napas, berusaha menahan dongkol. Teringat sesuatu, aku tersenyum senang. Besok hari ulang tahunku, Mas Yoga telah berjanji akan mengabulkan segala keinginanku.Aku membuka lemari tempat surat-surat penting disimpan, mematikan lampu, menuang obat tidur yang biasa kukomsumsi saat tak bisa tidur ke dalam gelas berisi air, menyalakan lilin hingga kamar ini terlihat remang lalu menuju kamar belakang. Pintu yang tak terkunci, membuat mata ini leluasa melihat ke dalamnya. Di ranjang berukuran sedang, Mas Yoga tercinta tengah memijit kaki Anita, membuatku jadi terkenang waktu masih pengantin baru dulu.Dan lihatlah sekarang, Mas Yoga tersayang tampak mesra bersama perempuan lain. Siapa tak sakit hati? "Eh, Dwk, ada apa?" tanya Mas Yoga sedikit terkejut. Perlahan tangannya berhenti memijat."Ikut aku ke kamar, Mas. Ada sesuatu yang ingin kukatakan."Mas Yoga langsung beranjak bangun. Begitu ia masuk ke kamar, aku langsung menguncinya."A
Aku tak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Kudekatkan gunting ke sasaran dengan dada berdebar. Sebenarnya aku tak tega. Kuhela napas dalam. Kenapa aku harus terus menggunakan perasaan sementara Mas Yoga sudah begitu jahat? Janji manis yang dulu ia ucap hanya akan bersamaku sampai tua, kini hanya tinggal janji.Dengan cepat, kusuntikkan obat bius. Ini, yang selalu membuatku terlena selain perhatiannya yang tiada batas. Menanyai aku sudah makan belum, dan perhatian kecil lainnya yang membuatku jadi semakin tergila-gila akut pada suamiku ini. Maafkan aku Mas Yoga, aku tak siap berbagi kasih sayang, jadi terpaksa melakukan ini. Maaf."Mbak, buka pintunya, Mbaak!" Suara Anita terdengar semakin keras saja dan pintu kamar digedor-gedor tak sabar. "Mbak, buka pintunya, Mbak. Aku ada perlu sebentar dengan Mas Yoga."Tak kuhiraukan teriakan tak sabar itu. Segera dengan cepat aku menjalankan aksi.Begitu beres, kumasukkan potongannya ke dalam plastik kecil. Kutaruh di meja lantas menulis
HP-ku kembali berdering nyaring. Masih dari penelepon yang sama. Tetanggaku. Aku menoleh ke kanan dan kiri sambil terus mengemudi dengan jantung mengentak kuat dan tubuh yang terasa kian mendingin dan sedikit gemetar. Segera kumatikan panggilan lantas menghubungi nomer Neni. Tampak di layar HP, Neni memandang dengan senyum antusias."Kamu jadi ke sini, kan?" tanyanya pelan. "Iya, jadi!" sahutku gugup dengan jantung berdetak kencang. Hanya ke tempatnya yang menurutku aman untuk bersembunyi."Kenapa wajahmu cemas begitu?" Ia mengernyit. "Berjalan lancar kan rencana yang kamu katakan tadi, kan? Aset-aset sudah dia tandatangani belum?" Perempuan berhijab di layar HP menatapku semakin penasaran saja. Mata sipitnya sedikit menyipit."Sudah-sudah. Dan ini diluar rencanaku, En. Tetanggaku sepertinya sudah memergoki perbuatanku. Bagaimana ini?" tanyaku cemas. Aku menoleh ke belakang memperhatikan Farhan dan Caca yang sudah kembali tertidur."Tenang saja, Cin. Tak usah panik. Ikuti perkataanku
"Nen, angkat telponnya, please," gumamku sambil terus mondar-mandir dengan gelisah. Sesekali aku menatap keluar yang gelap gulita, hanya terlihat pendar lampu dari kejauhan juga lampu mobil yang menyorot ke depan.Si lelaki asing, sambil terus memasukkan ikan kecil warna-warni ke dalam botol bening, menatap ke arahku sekilas sebelum akhirnya kembali fokus pada ikannya. Di sampingnya, Farhan meraih botol, mengamati hewan yang berenang di dalamnya dalam diam. Wajar kalau bocah berperawakan kurus tinggi seperti Mas Yoga itu terlihat begitu tertarik. Ikannya di rumah ada banyak. Bukan hanya ikan, tapi beberapa ekor unggas juga dipeliharanya. Aku kembali menatap ke arah pintu yang terbuka lebar, semoga Caca tidak bangun. Aku harus segera enyah dari sini daripada semakin canggung saja. Dari ekspresinya, tampaknya si lelaki asing tak suka aku berada lebih lama di sini. "Um ... em ... maaf, mau tanya. Tahu alamat ini?" Aku mendekat lalu memperlihatkan layar HP. Ia mencondongkan tubuh ke ara