Ini aku benar mau bunuh diri? Sesaat, aku ragu dan mengeluarkan kepalaku dari lingkaran. Tapi begitu ingat aku telah dikhianati, maka aku meyakinkan niat bahwa ini yang terbaik agar tak merasakan sakit hati berlarut-larut.
Perlahan, aku memejamkan mata. Ada sebersit ragu di hatiku, benarkah harus begini? Ah, sudahlah. Kenapa perasaanku mesti labil? Perlahan, kepalaku kembali masuk ke dalam lingkaran yang ujungnya telah kuikat di cabang pohon rambutan berbuah lebat ini, namun belum ranum. Sayang sekali, aku takkan menikmati buah dengan segudang manfaat kesukaan Caca bersama anak-anak dan Mas Yoga tercinta.Angin sepoi-sepoi berembus pelan, membuat dedaunan yang tumbuh di sekitar meliuk-liuk menguarkan hawa sejuk. Sementara rambut hitam lurus sepinggangku berkibar pelan, sebagian menutupi wajah. Napasku memburu. Jantung berdetak kencang. Keringat dingin, menyerbu seperti seember air yang sengaja di hantamkan ke tubuhku. Aku menarik napas panjang berusaha mengendalikan rasa takut yang kian membuncah. Aku takut dosa. Juga sebenarnya takut mati, tapi begitu sakit hati. Aku ingin menghilangkan rasa tak nyaman ini dalam sekejap.Satu ....Dua.Tiga. Aku menghitung dalam hati."Bundaa! Bundaa!" Teriak Caca lalu berlari mendekat. "Bunda! Bunda mau apa? Bundaaa?!""Maafkan bunda, Nak." Aku memandang Caca dengan mata memanas. Aku harus cepat sebelum Mas Yoga kemari. Mungkin, suamiku itu sedang bersenang-senang dengan istri barunya."Bunda jangan lakukan bunda! Buun!" Teriak Farhan sambil berlari mendekat. Tangan mungilnya memeluk kakiku."Bunda jangan bunuh diri, Bun!" Rengek Farhan. Aku memandang Farhan dengan rasa pedih yang kian membuncah. Maafkan bunda, anak-anak. Maafkan bunda.Tepat saat bulir hangat meleleh di pipi karena membayangkan perpisahan, aku melompat dari kursi. Perasaan ngeri dan takut mati mengiringi tubuh yang seketika meluncur cepat ke bawah. Sakiit, rasanya, saat bahu dan wajahky menghantam kuat ke tanah. Tapi ... kenapa berasa ada yang kurang? Aku mengernyit mencoba berpikir.Aku akhirnya mencubit lengan cukup kuat dan tertegun. Kenapa aku masih hidup? Tanganku perlahan bergerak mengusap leher, ada tali yang mengalung longgar.Didorong rasa penasaran, aku mendongak, tak ada lagi tali yang beberapa saat lalu kuikat erat. Jangan-jangan ....Aku langsung tersenyum sendiri saat tiba-tiba ingat beberapa saat lalu, aku hanya membuat tali simpul seperti mengikat sepatu. Tapi syukurlah, aku tak jadi mati, masih bisa bertaubat. Barangkali, ini teguran lembut dari Allah agar aku sabar. "Bundaaa!" Caca dan Farhan berlari memelukku setelah sebelumnya tertawa kecil."Bunda jangan tinggalin Farhan." Farhan memelukku. Kupeluk anak-anakku lalu menciumi mereka bergantian. Tiba-tiba, aku begitu bersyukur karena tak jadi mati."Nggak niat bunuh diri, ya, Mbak? Kukira, mbak bakal mati," kata Anita, ia berdiri di samping Mas Yoga yang menatapku khawatir. "Kamu gak papa kan, Cin?"Aku menelan ludah melihat tatapan khawatir Mas Yoga. "Maafkan aku, Dek. Ini pasti berat buatmu. Maafkan aku, Cin."Aku menarik napas panjang. Terasa sakit di dalam dadaelihat tangannya menggandeng tangan Anita, tapi demi anak-anak, aku mencoba tegar. Tanganku segera melingkar ke tangan Mas Yoga, menepis tangan Anita, lalu mengajak Mas Yoga melangkah menuju rumah."Aku sudah ikhlas sekarang, Mas. Mas berhak bahagia." Aku menoleh ke arah anak-anak yang membuntuti kami sambil mengacungkan ibu jari ke udara. Aku memandang Mas Yoga dan tersenyum ramah seperti biasanya. Tak kuhiraukan Anita yang kini memanggil nama Mas Yoga dengan manja. Aku terus mengajak mas Yoga melangkah."Kamu serius, Dek, sudah benar-benar iklas?" Mas Yoga bertanya dengan wajah tak percaya.Aku mengangguk, pura-pura antusias. Aku harus melakukan ini agar hatiku benar-benar iklas. "Mas, besok ulang tahunku. Kabulkan semua permintaanku, maka aku akan setujui mas menikahinya secara hukum juga." Aku terus menggelayut manja. Sebuah rencana cantik menelusup ke benakku. Lihat saja kamu, Mas, kupastikan kamu akan menyesal seumur hidup karena telah mengkhianati janji kita dulu."Serius kamu, Dek, menginginkanku menikahinya secara hukum juga?""Serius," sahutku mantap.Mas Yoga memelukku. Lalu berbisik lembut. "Aku selalu cinta kamu, Dek."Aku mendengkus. Gombal! Lihat saja, Mas. Besok, kamu akan menyesal seumur hidupmu. Aku menatap ke arah 'belalai'nya lalu tersenyum sendiri.Aku terus mengamit tangan Mas Yoga, membawanya menuju kamar kami yang besar."Tunggu, Mas. Kenapa aku ditinggal ...."Aku menarik napas panjang, berusaha menekan amarah yang membuncah saat Anita menyibak tirai lalu masuk ke kamar kami, bibirnya yang seksi bergincu merah muda mengembang lebar. Mata bermaskaranya mengerling manja pada Mas Yoga yang kini duduk di sebelahku. Dasar nenek sihir!Kurasa, tidak keterlaluan memanggilnya begitu karena kenyataannya, dia memang seperti itu. Perempuan murahan. Mana ada gadis secantik dia yang masih belia mau dengan suami orang? Aku menahan kesal saat Anita melangkah mendekat. "Entah mengapa, bawaannya aku pengen deket Mas terus. Bobok di kamar kita yuk, Mas?"Sejenak, Mas Yoga menatapku. Menguatkan hati, aku perlahan mengangguk. Kamu pilih kasih, Mas! Awas saja, akan kubalas. Rutukku dalam hati menahan kesal."Mbak Yu nggak cemburu, 'kan?" tanya Anita dengan tatapan tanpa dosa. Ia langsung menggelayut manja saat Mas Yoga mendekat, memeluk tang
Terdengar gelak tawa Mas Yoga dan Anita. Aku menyentak napas, berusaha menahan dongkol. Teringat sesuatu, aku tersenyum senang. Besok hari ulang tahunku, Mas Yoga telah berjanji akan mengabulkan segala keinginanku.Aku membuka lemari tempat surat-surat penting disimpan, mematikan lampu, menuang obat tidur yang biasa kukomsumsi saat tak bisa tidur ke dalam gelas berisi air, menyalakan lilin hingga kamar ini terlihat remang lalu menuju kamar belakang. Pintu yang tak terkunci, membuat mata ini leluasa melihat ke dalamnya. Di ranjang berukuran sedang, Mas Yoga tercinta tengah memijit kaki Anita, membuatku jadi terkenang waktu masih pengantin baru dulu.Dan lihatlah sekarang, Mas Yoga tersayang tampak mesra bersama perempuan lain. Siapa tak sakit hati? "Eh, Dwk, ada apa?" tanya Mas Yoga sedikit terkejut. Perlahan tangannya berhenti memijat."Ikut aku ke kamar, Mas. Ada sesuatu yang ingin kukatakan."Mas Yoga langsung beranjak bangun. Begitu ia masuk ke kamar, aku langsung menguncinya."A
Aku tak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Kudekatkan gunting ke sasaran dengan dada berdebar. Sebenarnya aku tak tega. Kuhela napas dalam. Kenapa aku harus terus menggunakan perasaan sementara Mas Yoga sudah begitu jahat? Janji manis yang dulu ia ucap hanya akan bersamaku sampai tua, kini hanya tinggal janji.Dengan cepat, kusuntikkan obat bius. Ini, yang selalu membuatku terlena selain perhatiannya yang tiada batas. Menanyai aku sudah makan belum, dan perhatian kecil lainnya yang membuatku jadi semakin tergila-gila akut pada suamiku ini. Maafkan aku Mas Yoga, aku tak siap berbagi kasih sayang, jadi terpaksa melakukan ini. Maaf."Mbak, buka pintunya, Mbaak!" Suara Anita terdengar semakin keras saja dan pintu kamar digedor-gedor tak sabar. "Mbak, buka pintunya, Mbak. Aku ada perlu sebentar dengan Mas Yoga."Tak kuhiraukan teriakan tak sabar itu. Segera dengan cepat aku menjalankan aksi.Begitu beres, kumasukkan potongannya ke dalam plastik kecil. Kutaruh di meja lantas menulis
HP-ku kembali berdering nyaring. Masih dari penelepon yang sama. Tetanggaku. Aku menoleh ke kanan dan kiri sambil terus mengemudi dengan jantung mengentak kuat dan tubuh yang terasa kian mendingin dan sedikit gemetar. Segera kumatikan panggilan lantas menghubungi nomer Neni. Tampak di layar HP, Neni memandang dengan senyum antusias."Kamu jadi ke sini, kan?" tanyanya pelan. "Iya, jadi!" sahutku gugup dengan jantung berdetak kencang. Hanya ke tempatnya yang menurutku aman untuk bersembunyi."Kenapa wajahmu cemas begitu?" Ia mengernyit. "Berjalan lancar kan rencana yang kamu katakan tadi, kan? Aset-aset sudah dia tandatangani belum?" Perempuan berhijab di layar HP menatapku semakin penasaran saja. Mata sipitnya sedikit menyipit."Sudah-sudah. Dan ini diluar rencanaku, En. Tetanggaku sepertinya sudah memergoki perbuatanku. Bagaimana ini?" tanyaku cemas. Aku menoleh ke belakang memperhatikan Farhan dan Caca yang sudah kembali tertidur."Tenang saja, Cin. Tak usah panik. Ikuti perkataanku
"Nen, angkat telponnya, please," gumamku sambil terus mondar-mandir dengan gelisah. Sesekali aku menatap keluar yang gelap gulita, hanya terlihat pendar lampu dari kejauhan juga lampu mobil yang menyorot ke depan.Si lelaki asing, sambil terus memasukkan ikan kecil warna-warni ke dalam botol bening, menatap ke arahku sekilas sebelum akhirnya kembali fokus pada ikannya. Di sampingnya, Farhan meraih botol, mengamati hewan yang berenang di dalamnya dalam diam. Wajar kalau bocah berperawakan kurus tinggi seperti Mas Yoga itu terlihat begitu tertarik. Ikannya di rumah ada banyak. Bukan hanya ikan, tapi beberapa ekor unggas juga dipeliharanya. Aku kembali menatap ke arah pintu yang terbuka lebar, semoga Caca tidak bangun. Aku harus segera enyah dari sini daripada semakin canggung saja. Dari ekspresinya, tampaknya si lelaki asing tak suka aku berada lebih lama di sini. "Um ... em ... maaf, mau tanya. Tahu alamat ini?" Aku mendekat lalu memperlihatkan layar HP. Ia mencondongkan tubuh ke ara
Mau ke mana?" tanyaku takut-takut. Orang ini banyak diam membuatku tak enak hati. Ia tak menyahut, hanya terus melangkah menembus pekatnya malam. Aku mundur ke belakang saat tiba-tiba ia menoleh memperhatikanku sekilas, sedikit membungkuk meraih gagang kayu dengan ujung jaring lingkaran lantas menaburkan sesuatu dari plastik yang ditentengnya ke arah kolam besar.Tampak ikan-ikan besar bergerak-gerak berembut makanan. Lelaki itu memasukkan gagang kayu ke dalam kolam dan mengangkatnya, kemudian menjatuhkannya ke dalam ember yang kupegang. Beberapa ikan besar tampak remang oleh cahaya dari HP menggelepar-gelepar di dalam ember.Ya Tuhasn. Buat apa ia malam-malam mengambil ikan? Mau masak begitu? Di layar HP sudah menunjukkan pukul 2 dini hari."Mas ambil ikan malam-malam buat apa?" tanyaku takut-takut. Pasti, ia menyimpulkan aku sedang kelaparan gara-gara mendengar bunyi perutku tadi."Buat dimasak?" kataku lagi. Ia meletakkan gagang jaring di tanah lalu meraih ember yang kupegang. Seme
Apa?" tanya Mas Zain seolah sedang salah dengar.Deg deg degItu bunyi jantungku yang berdetak begitu keras. Aku tegang, gugup, juga takut. Duuh, bagaimana jika ia tak mengijinkanku tinggal di rumahnya? Tidak ada yang kukenal pula di sini jadi bingung mau tinggal di mana. Aku menatapnya begitu memohon. Farhan ikut memandangnya dengan wajah terlihat berharap."Tolong bunda, Yah."Mas Zain menghela napas dalam, tampak berpikir. Lalu kembali menghela napas dalam. "Orang-orang pasti akan berpikir bahwa kamu dan aku memang seperti yang mereka tuduhkan."Aku menatapnya penuh penyesalan kenapa hal itu bisa terjadi. Farhan mendekati Caca yang menggelendot ketakutan berpegang pada lututku kemudian mengajak adeknya menuju bunga dihinggapi kupu-kupu. Aku menatap Mas Zain dengan gugup."Kenapa tidak kembali ke rumahmu saja?" Ia memicingkan matanya.Dari perkataan juga caranya memandang, terlihat bahwa ia tak menyukaiku. "Hanya sementara, aku akan beli rumah di sekitar sini." Aku memandang sekelil
Aku melirik Mas Zain yang perlahan merebah. Malam semakin larut. Udara juga kian dingin membuatku bersidekap dan sebentar-sebentar mengusap telapak tangan. Sepertinya, besok harus beli selimut yang tebal agar tak kedinginan begini.Aku kembali meliriknya, ia sudah memejamkan mata tidur bersidekap di sebelahku. Mengamatinya berlama-lama, membuat perasanku waswas jadi tak menentu. Jantungku berdetak kencang seperti hendak lompat saja. Bagaimana kalau dia nanti bangun lalu berbuat macam-macam?Kalau dia normal, pasti dia tergiurlah dengan tubuhku yang indah ini, rajin perawatan luar juga sesekali minum jamu tradisional membuat tubuh dan wajah tampak segar berseri. Ngeri. Aku benar-benar takut ia akan berbuat yang tidak-tidak.Aku memperhatikannya lagi dan tersentak kaget saat bertemu tatap dengannya. Aku tersenyum kecil dengan salah tingkah kemudian berbaring miring membelakanginya, mencoba memejamkan mata. Dadaku bergemuruh dan deg-degkan. Coba bayangkan tidur seranjang dengan lelaki as