Share

Coretan Wyatt

Walau sudah menuliskan apa yang harus dilakukannya di selembar kertas, tetapi ia nyaris tidak paham apa yang harus dilakukan. Ia tak mungkin muncul di depan Dominic dan berkata: Aku butuh pekerjaan di dekatmu.

Jika mendengar hal itu, Dominic akan mendepaknya dan memastikan Wyatt berada setidaknya 100  meter darinya.

“Wyatt ... ayo makan!”

Wyatt menoleh ke arah pintu, tempat suara itu berasal. Akan tetapi, tidak ada sosok kakeknya yang belakangan dengan sekuat tenaga memberikan perhatian padanya. Aneh memang, walau selalu saja mengatakan untuk menyerah soal Anna, pria tua itu adalah orang yang paling peduli padanya saat kejadian buruk terjadi.

“Ya!” Wyatt tidak akan membuat pria tua yang sudah membesarkannya tersebut khawatir.

“Apa lagi yang sedang kamu kerjakan?’ tanya kakek Wyatt sambil menjulurkan kepalanya ingin tahu.

Wyatt tersenyum dan mengeleng. Lalu didorongnya punggung pria itu ke ruang makan. Di meja telah terhidang beberapa lauk. Ayam goreng, perkedel jagung, dan sayur bayam. Seorang asisten rumah tangga meletakan piring di atas meja Wyatt, tempat yang selalu diduduki. Begitu selesai, asisten rumah tangga itu kembali ke belakang.

“Kamu tidak membuat surat wasiat, kan? Dengar ... kamu tidak boleh melakukan hal nekat!” Kakek Wyatt mewanti-wanti.

Wyatt masih tidak menjawab, ia masih tersenyum seperti tadi. Diisinya piring sang kakek dengan nasi, diletakan di tempat semula. Keluhan sang kakek berhenti di sana, walau padangannya masih mengamati Wyatt yang duduk di kursinya sendiri dengan nasi yang sama.

Mereka makan dalam diam.

Wyatt baru berniat berhenti, saat kakeknya berdiri dan menyendokan nasi tambahan ke piringnya. “Kamu bukan perempuan, kenapa diet? Makan lebih banyak sedikit!”

Wyatt sama sekali tidak membantah, hanya melakukan apa yang disuruh oleh sang kakek. Dihabiskan  isi piringnya dengan cepat dan ia akan berdiri lagi, kembali ke kamar untuk menyelesaikan pembuatan rencana balas dendam.

Jemari keriput yang sudah membesarkan Wyatt dengan tegas kembali menghentikan aksinya. Ia duduk, menatap dengan senyuman ke arah sang kakek.

“Aku tidak akan memintamu melupakannya. Hanya saja, kumohon ... jika terbersit hal buruk di otakmu, tolong ingat aku. Kasihani kakekmu ini. Aku tidak mau melihat darah dagingku pergi sebelum diriku! Maukah kamu mengabulkannya, Wyatt?”

Pandangan Wyatt kosong, ia tak dapar berpikir. Ia tidak menemukan kata-kata yang bisa dijadikan jawaban. Ia tak bisa memikirkan apa-apa. Sekali lagi, Wyatt hanya tersenyum, menyentuh jemari keriput milik kakeknya. Lalu berdiri, kembali ke kamarnya.

Saat ia sampai di pintu dapur, didengarnya sang kakek membuang napas frustrasi.

Wyatt menutup pintu kamarnya perlahan. Pintu yang menjadi batas antara kenyataan dan dunianya yang tak bisa disebut neraka untuknya. Dipandangi kertas yang sejak tadi dicoret-coret. Catatan itu masih saja bertuliskan poin pertama.

“Bagaimana caranya supaya dapat sampai ke poin pertama?” tanya Wyatt entah pada siapa.

Ia menjatuhkan kepalanya ke atas meja, di samping kertas berisi catatan rencana balas dendamnya. Ia memejamkan mata, mencoba mengulik otaknya yang pintar kemarin-kemarin. Hari ini otak itu tak mau membantunya sedikit pun.

“Anna ... apa yang harus kulakukan?” tanya Wyatt.

Matanya terasa panas tiba-tiba. Hatinya juga kembali dengan sakit yang sama. Anna tidak ada. Wanita itu bahkan tidak bisa lagi dilihatnya. Wanita itu telah direngut darinya. Bagaimana bisa Wyatt merelakannya begitu saja.

***

Esme memakai gaun hitam, dengan topi hitam cantik dengan jaring-jaring yang menyamarkan matanya. Ia telah meminta tolong untuk disiapkan mobil, supaya bisa pergi sendiri. Akan tetapi, seorang sopir menghentikannya di depan.

“Saya akan mengantar Anda,” kata pria dengan jas hitam yang tampaknya telah disiapkan orang tuanya.

“Berikan kuncinya! Aku akan pergi sendiri!” pinta Esme. Ia menadahkan tangan, menunggu kunci meluncur dan jatuh di telapak tangannya. Akan tetapi, cukup lama kunci itu tak dapat juga olehnya. “Kubilang berikan kuncinya!” suara Esme meninggi dengan tidak sabar.

“Memang mau ke mana kamu sebenarnya!”

Seluruh tubuh Esme menegang. Ia tidak benci orang tuanya, hanya jarang berinteraksi sehingga merasa canggung. Layaknya seorang anak kecil yang kemudian harus bertemu dengan binatang buas yang sudah jinak.

“Saya ada perlu ke rumah teman, Papa, hanya sebentar!” jawab Esme, melontarkan seulas senyuman sebagai tambahan untuk meyakinkan.

“Maksudmu ke rumah Anna?”

Esme menjilati bibirnya. Tidak peduli dengan lipstik yang akan menghilang karena perbuatan itu. Bagaimana bisa ketahuan? Begitu pikirnya saat itu.

“Melihat bagaimana kamu bereaksi sepertinya tebakan Dominic benar. Kamu ingin ke tempat Anna!” Pria yang dipanggil Esme sebagai Papa membuang napas. “Ibu Anna sudah tidak ada di sana! Siapa yang kamu temui? Anna juga tidak ada di sana!”

“Saya harus minta maaf, Pa, saya ....” Esme tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Sebab air mata Esme sudah mengalir lebih dulu. Hatinya pedih. Ia iba.

“Wanita itu sampai menuduh tunanganmu menghamilinya dan kamu masih menitikan air mata untuknya! Aku tidak mengerti bagaimana sebenarnya kami membesarkanmu!” Lalu Papa Esme berbalik. “Kamu tidak akan pergi ke mana pun. Kembali ke kamar!”

Esme terkejut. “Biarkan saya pergi, Pa! Sebentar saja! Saya mau minta maaf pada ibu Anna. Mungkin dia akan merelakan anaknya. Pa!”

Namun, lelaki yang dipanggil Esme dengan sebutan Papa sudah pergi ke dalam. Tidak mau mendengarkan teriakan-teriakan Esme.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status