“Apa yang sedang kamu rencanakan Wyatt?”
Wyatt berhenti berkerja di atas bekas meja belajarnya saat masih sekolah dahulu. Ia meletakan balpoin yang telah berhasil memberi warna pada buku yang ada di depannya. Isinya berbagai cacatan yang diambil dari ingatan tentang kenapa hal buruk bisa terjadi pada Anna.
Semakin ia memikirkannya, semakin ada banyak hal yang salah. Tetapi, setiap kali ia merumuskan jalan keluar, Wyatt tidak mendapatkan apa-apa.
“Tidak ada! Saya tidak melakukan apapun, Kek!”
Wyatt berbohong. Kini di otaknya hanya ada kata balas dendam yang berkumandang. Bagaimana mungkin hal buruk terjadi pada Anna yang tak tahu apa-apa. Bagaimana bisa semua itu terjadi pada Anna yang hanya mengharapkan cinta saja.
“Wyatt, kalau kamu seperti ini, kamu akan sakit!” Kakek Wyatt memperingatkan.
“Bukannya memang sudah!” jawab Wyatt sama sekali tidak memutar tubuh untuk bisa melihat betapa cemas lelaki tua itu padanya.
Langkah-langkah kaki yang dengan cepat datang dan muncul lalu menarik bahu Waytt supaya berputar. “Jika kamu tidak mau berhenti untuk orang lain, tolong ... pikirkan aku!” Mata lelaki tua yang telah membesarkan Wyatt itu basah. Ia memukul dadanya cukup keras.
Wyatt tidak punya pilihan lain selain berhenti melakukan apapun yang ada dalam pikirannya kini. Hatinya kembali sakit, tetapi tak lebih sakit dibandingkan dengan menemukan wanita yang dicintai tergantung di langit-langit.
“Maafkan saya!” Mata Wyatt basah, tetapi tak tahu untuk apa sebenarnya ia menangis. “Maafkan saya!” Ia tetap mengulangi permintaan maaf yang sama seperti sebelumnya.
“Kakek paham, Nak, karena itu tolong jangan lakukan hal yang akan kamu sesali. Kakek tidak bisa kehilanganmu!”
Sayangnya, Wyatt tahu betul kalau kakeknya tidak paham dengan apa yang dirasakan. Lelaki tua yang membesarkannya seorang diri itu tidak paham bagaimana rasanya melihat orang yang dicintai tergantung tak bernyawa.
Kakek Wyatt membimbing cucunya untuk bangun dari bekas meja belajarnya itu, menuntunnya ke ranjang. Seperti seorang anak kecil Wyatt menurut saja. Ia merebahkan diri, membiarkan kakeknya menyelimuti pria yang usianya lebih 20 tahun itu.
“Tidurlah ... walau hanya sebentar saja!” suruh lelaki tua yang membesarkan Wyatt itu.
“Bagaimana dengan ibu Anna?” tanya Wyatt.
Ia tak ingat kapan masuk ke dalam kamar. Mungkin setelah pemakaman, atau setelah para pelayat pulang semua, atau sebenarnya saat keduanya sudah selesai. Telinganya masih bisa mendengar lolongan ibu Anna yang mengatakan kalau putrinya tak akan bisa kembali lagi.
“Tadi seorang dari rumah sakit menjemputnya! Dia tidak bisa ditinggalkan sendiri di rumahnya!” jawab kakek Wyatt.
Wyatt pikir itu lebih baik. Akan ada yang mengurus ibu Anna saat ia menjalankan rencananya. Wyatt iba pada wanita itu. Ia lebih iba pada dirinya sendiri yang tak sadar akan apa yang terjadi. “Syukurlah!’ gumamnya pelan.
Kakek Wyatt menepuk-nepuk dadanya entah dengan maksud apa. “Tidurlah ... itu akan membantumu untuk berpikir sangat jernih.”
Pikiran Wyatt sangat jernih saat ini. Seperti sebuah layar besar yang menampilkan apa yang bisa dilakukan. Ia begitu semangat untuk membalas hal buruk yang sudah dilakukan orang-orang itu terhadap Anna yang malang.
“Ya,” jawab Wyatt.
Ia memejamkan mata, mendengar langkah kaki kakeknya yang menjauh. Bisa didengar kalau pria itu keluar dan menutup pintu. Lalu Wyatt bertanya-tanya pada dirinya sendiri, apakah ia bisa bertemu Anna kalau tidur.
***
Tunangannya Esme menolak seluruh usaha Dominic untuk bertemu. Ini semua karena gadis bernama Annastasya yang mati itu. Bagaimana gadis itu bahkan setelah mati tetap saja membuat Dominic mendapatkan masalah?
“Esme ... apa kamu sudah makan?” Dominic mengetuk pintu kamar Esme yang dicat putih dengan bercak-bercak merah jambu layaknya kelopak bunga.
Tidak ada jawaban. Akan tetapi, Dominic tidak perlu khawatir kalau Esme melakukan hal buruk. Sebab tunangannya hanya melarang dirinya untuk masuk, bukan orang lain. Sekali lagi perasaan kesal Dominic terhadap Anna tumbuh.
“Esme, kamu tidak bisa menghukumku atas sesuatu yang tidak kulakukan, oke? Aku bahkan tidak tahu kalau dia akan mengakhiri hidupnya!” seru Dominic.
Pintu terbuka lebar seketika. Mata gadis itu bengkak, hidungnya yang mancung merah, dan ia mendorong dada Dominic dengan kekuatan penuh untuk menjauh darinya.
“Bagaimana bisa kamu berkata begitu terhadap seseorang yang baru saja meninggal! Kamu jahat!” Esme memekik.
Dominic menyisir rambutnya dengan jari-jari, sedikit frustrasi. “Aku tidak akan berkata begitu kalau dia tidak membuat masalah untuk kita! Apa-apaan ini ... aku bahkan tidak melakukan kesalahan padanya sehingga harus dihukum!” seru Dominic pula.
Esme menyapu air matanya yang turun dengan punggung tangan.
“Dia mencintaimu! Dia melakukan itu karena mencintaimu. Ibunya benar!” isak Esme.
Dominic jelas kaget mendengarnya. “Kamu tidak bersalah dalam hal ini! Dia yang memilih jalan itu, kenapa kamu jadi menyalahkan dirimu sendiri, Esme. Ini bukan sepertimu!”
“Aku yang mengenalkan kalian! Kalau saja aku tidak berbangga diri. Anna masih hidup!” Tangis Esme semakin keras setelah mengatakannya.
Perasaan kesal Dominic terhadap Anna semakin menjadi-jadi saja sekarang. Kenapa bahkan setelah mati Annastasya masih saja memberi masalah untuk hidupnya?
Walau sudah menuliskan apa yang harus dilakukannya di selembar kertas, tetapi ia nyaris tidak paham apa yang harus dilakukan. Ia tak mungkin muncul di depan Dominic dan berkata: Aku butuh pekerjaan di dekatmu.Jika mendengar hal itu, Dominic akan mendepaknya dan memastikan Wyatt berada setidaknya 100 meter darinya.“Wyatt ... ayo makan!”Wyatt menoleh ke arah pintu, tempat suara itu berasal. Akan tetapi, tidak ada sosok kakeknya yang belakangan dengan sekuat tenaga memberikan perhatian padanya. Aneh memang, walau selalu saja mengatakan untuk menyerah soal Anna, pria tua itu adalah orang yang paling peduli padanya saat kejadian buruk terjadi.“Ya!” Wyatt tidak akan membuat pria tua yang sudah membesarkannya tersebut khawatir.“Apa lagi yang sedang kamu kerjakan?’ tanya kakek Wyatt sambil menjulurkan kepalanya ingin tahu.Wyatt tersenyum dan mengeleng. Lalu didorongnya punggung pria itu ke ruang makan. Di meja telah terhidang beberapa lauk. Ayam goreng, perkedel jagung, dan sayur bayam
“Terima kasih sudah menghubungi saya, Pa!”“Ya, temui dia dan coba jelaskan kalau apa yang dia lakukan ini sia-sia!” kata si penelepon.“Ya!” Setelah itu Dominic meletakan kembali gagang teleponnya di tempat semula. Lalu mengambil napas dalam dan menengelamkan dirinya dalam keempukan sofa santainya.“Azzar ... apa kamu ada di depan!” seru Dominic ke arah pintu.Terdengar langkah kaki pelan dan daun pintu berayun terbuka. Azzar, pria yang dipanggil Dominic berdiri di sana. Wajahnya tanpa ekspresi. Tatapannya juga tak mengarah lurus ke depan, menunduk, layaknya seekor anjing yang patuh.“Ya, Tuan muda?” tanya Azzar datar.“Kemarilah! Ada yang mau aku katakan padamu!” panggil Dominic.Langkah kaki Azzar berirama tetap, tidak terlalu cepat dan tak juga lambat. Akan tetapi, sama sekali tidak ada kemalasan di dalamnya. Begitu ia sampai di depan Dominic, ia menunduk kembali. “Ada apa, Tuan?” tanya Azzar.“Kamu sering mengobrol dengan Esme, kan?” tanya Dominic.“Ya, Tuan, saya cukup sering m
“Apa kalian menyangka kalau aku tidak bisa membedakan mana sesuatu yang salah dan tidak?” tanya Esme dengan kecerugian yang sama sekali tidak disembunyikan.Azzar menghela napas dalam, memaksakan paru-parunya terisi dengan oksigen hingga penuh. Ia kemudian memandangi wajah Esme yang tampak mengemaskan melalui kaca spion tengah. Jika menghadapi Esme yang sedang keras kepala, Azzar harus ekstra sabar melebihi saat menghadapi Dominic.“Tidak! Anda adalah wanita yang cerdas dibandingkan yang lainnya. Akan tetapi, Anda juga wanita yang baik hati, Nona. Saya tidak mengatakan kalau Anda mudah ditipu. Saya mengatakan kebaikan hati Anda bisa jadi melemahkan Anda.”Esme memalingkan wajah, tampaknya yang baru saja dikatakan Azzar benar dan ia sama sekali tidak bisa membantah hal tersebut. Kebaikan hatilah yang memaksa Esme mengenalkan Dominic pada Anna. Kebaikan hatilah yang membuatnya bersikap keras kepala seperti ini.“Tapi, memang benar aku juga jadi penyebab kematian Anna. Kalau saja aku bis
“Ada tamu rupanya!”Entah apa yang sedang dipikirkan Wyatt saat ia membelokan mobil ke pekarangan rumahnya dan tidak melihat keberadaan mobil lain. Begitu mendengar suara kakeknya memberitahu, barulah ia sadar dengan keberadaan mobil sedan lain yang lebih baru dibandingkan kendaraannya sendiri.Mata Wyatt menyipit, dan ia menyadari dengan cepat kalau mobil itu milik Dominic. Setidaknya sampai ia melihat Azzar berdiri di teras dengan tubuh tegap. Hatinya sedikit kecewa, tetapi ia bisa saja mendapatkan kabar baik dari Azzar.Kakeknya lebih dulu turun dari atas mobil, menyalami Azzar yang datang dan bertanya ada keperluan apa. Melalui jendela mobil, Wyatt bisa mendengar kalau Azzar berkata ini menemui Wyatt.“Ah, sebentar lagi Wyatt akan kemari!” Kakeknya menoleh dan menemukan Wyatt telah turun dari mobil sekarang. “Ada temanmu mencari!” kata kakek Wyatt saat ia baru akan melangkah.Wyatt meleparkan senyuman yang berkata: saya sudah tahu lalu mendekat ke tempat Azzar yang berdiri. Ia men
Sialnya Wyatt tidak bertanya waktu tepat pada Azzar tadi. Ini menyebalkan harus menunggu di dalam keambiguan yang tidak disenanginya. Ia telah bersiap untuk pergi ke keluar setelah makan siang bersama dengan kakeknya.“Kenapa kamu rapi sekali?” kakek Wyatt membawa secangkir kopi pahit dan meletakannya di meja santai dekat jendela besar yang menghadap ke halaman samping rumah.“Mau pergi keluar, Kek!”“Buat apa? Kamu jangan coba macam-macam ya Wyatt!” Pria tua itu khawatir kalau Wyatt akan meninggalkannya.“Apa yang Kakek katakan, aku sama sekali tidak mau macam-macam. Ingat temanku yang datang tadi, dia mengajakku keluar sebentar. Aku tidak akan sendirian.” Wyatt menjelaskan dengan bahasa yang paling baik tentang Azzar. “Ada Esme juga di sana,” tambahnya kepada sang kakek yang menjelaskan ada seorang wanita di sana.Ekspresi pria tua yang sudah membesarkan Wyatt tampak lebih baik setelah mendengar ada wanita dalam pertemuan yang dituju Wyatt. Apakah kakeknya berharap kalau ia akan mel
Wyatt memakai motor untuk pergi ke Kafe Rose yang terletak di tengah kota. Walau terletak di tengah kota dan di jalan utama, kafe itu dikelilingi taman beraneka jenis bunga, terutama jenis mawar.Saat Wyatt parkir, ia melihat mobil yang selalu digunakan Esme bepergian dan sopir yang biasa membawanya. Selain itu juga ada Azzar dan Domini. Sialan. Wyatt merasa terjabk. Harusnya ia bertanya pada Azzar kemarin siapa saja yang akan ditemuinya di sini.Ia berniat kembali menyalakan motor dan pergi saja. Namun, niat tersebut tinggal niat karena Azzar sudah menyadari kedatangannya dan menunduk memberitahukan itu semua pada para majikan. Sekali lagi yang bisa dilakukan Wyatt hanya memaki di dalam hati saja.“Kenapa kamu tidak masuk?” tanya Azzar pada Wyatt.Karena Wyatt masih berdiri saja di luar, jadi Azzar menghampirinya.“Aku sedang menyiapkan hatiku!”Sebab Wyatt tidak tahu apa yang akan dilakukan untuk bisa bertemu saling berhadapan dengan Dominic dan Esme. Bisa saja, bukan mulutnya yang
Rumah itu tidak mewah, malah sederhana, tetapi rapi dan beraroma melati. Asal bau itu akhirnya diketahu berasal dari jendela dengan terasli yang meliuk-liuk dengan cantik. Ada serumpun melati di sana, tumbuh besar dan tengah berbunga.“Duduklah! Kenapa melamun!” Pria yang tampaknya adalah teman kakeknya menepuk pundak Wyatt menekannya sehingga jatuh terduduk di kursi rotan dengan bantalan busa.Setelah Wyatt duduk dengan nyaman, seorang gadis yang lebih muda dari Wyatt berkulit kuning langsat keluar dari pintu yang berhadapan dengan pintu masuk. Sepertinya itu dapur. Di tangannya selalu ada piring berisi makanan setiap kali keluar dari sana.“Makanlah! Makanlah! Cucuku sangat pintar memasak!” kata teman kakeknya sambil tertawa.Wyatt yang memang belum sarapan, tentu saja tidak menolaknya. Begitu juga dengan kakek Wyatt. Mereka bersantap dan menghabiskan hidangan di atas meja bersama-sama.“Enak sekali!” seru kakek Wyatt puas.“Tentu saja! Cucuku itu yang terbaik jika memasak!” Ia bers
Ini hal konyol yang dilakukan kakeknya. Bukan berarti pria tua yang mengasuh Wyatt dari kecil itu akan melakukan hal semacam ini tanpa memikirkan baik buruknya. Kakeknya, Albert jelas sudah mempertimbangkan semua dengan begitu baik. Hanya saja untuk Wyatt tindakan ini konyol.“Kamu tidak suka ada di sini?”Suara kecil yang bertanya pada Wyatt membuatnya berhenti berjalan dan menoleh ke arah samping. Yulia, gadis yang diperkenalkan padanya dan tampak canggung walau tetap menemani Wyatt berkeliling sedikit mengusik. Gadis ini adalah tipe tokoh utama wanita yang harus dilindungi. Sayang sekali bukan tipe yang diinginkan Wyatt.“Kamu ternyata bisa menyadarinya, ya?”Wyatt sama sekali tidak ragu dengan ucapannya sendiri. Ia memang tidak senang saat ini. Ia ingin pulang, terlalu peduli dengan kumpulan foto Anna yang terkembang di lantai dalam kamar, berharap tidak ada yang menganggu atau memindahkan letaknya.“Ah, begitu, ya?” Yulia tampak sedih, tetapi tidak membuat Wyatt merasa bersalah.