Ponselku berdering. Mas Fadli menelpon.
"Nah, sebentar ya, Mas. Aku cek dulu," ucapku berpura-pura. Dia memintaku mengecek hp androidnya. Takutnya jatuh di jalan. "Ada ini, Mas," lanjutku seolah-olah baru mengecek. Mas Fadli menutup panggilannya dan mengatakan akan segera pulang. Aku tercenung memikirkan bagaimana caranya membuka ponsel suamiku ini tanpa dia ketahui. Aku penasaran sekali hpnya itu isinya apa saja?! "Apa aku bobol saja di konter, ya?"Akal jahatku mulai bekerja. Dua tahun aku berusaha sabar dan tulus, rupanya ikatan suci ini ada kebusukannya. Aku akan memikirkan caranya, lihat saja. Segera kuletakkan ponsel itu seolah-olah tidak pernah kusentuh. Aku lalu mulai mencuci pakaian dan sprai bekas semalam. Meski hamil empat bulan, kulayani dia dengan baik, tapi pelitnya pada istri naudzubillah. Meski ibunya yang melahirkan, tapi dia akan hidup sampai tua bersama istrinya. Aku mencuci dengan tangan tanpa mesin cuci. Pernah aku meminta dibelikan mesin cuci. Pastilah untuk PNS sepertinya tidak sulit. Tapi tidak untuk suamiku. Hemat listrik katanya. Tivi pun masih tivi jadul, yang layarnya kembung abu-abu. Setrika hanya digunakan untuk baju kantornya. Sengaja pilih rumah yang masih pakai sumur dan aku harus menggayung. Lagi-lagi hemat listrik. Dua tahun memang aku menjalani rutinitas begini. Tidak ada kegiatan yang berarti. Aku ingin bekerja, tapi bingung mau kerja apa. Mas Fadil juga lebih ingin aku tetap tinggal di rumah melayaninya. Tapi yang terjadi dan kuketahui hari ini membuatku melenyapkan rasa ikhlasku yang tulus."Assalamu'alaikum!"Mas Fadli sudah sampai rumah dan langsung mengecek hpnya. Dia menatapku yang sedang menyapu rumah seperti menyimpan rasa curiga. Aku cuek saja. "Mas, aku mau makan daging," ucapku sembari terus menyapu. "Besok Minggu kan jadwal ke pasar, aku belikan.""Daging utuh, bukan tulang yang berdaging hanya seuprit. Anakmu juga butuh nutrisi.""Jangan cerewet, terima saja. Kita harus hidup hemat."Aku mengangguk sembari menatapnya tajam. "Kalau begitu, sudah berapa juta tabungan kita untuk rumah, Mas?""Kamu tak perlu tahu.""Loh, aku kan istri. Harus tahu dong."Mas Fadli melewatiku menuju dispenser. Dia minum seperti sangat kehausan. Beberapa saat, dia menolehku. "Kamu baca notifikasi hpku?" Aku hanya diam. "Ayo jawab!""Aku sudah baca pesan Mama sama Nita," jawabku tidak kuasa berpura-pura. Seperti akan meledak dadaku ini memendamnya. "Kenapa mereka dapat uang dari kamu sedangkan aku hanya dua ribu lima ratus sehari? Itu jajan anak SD gak sampai segitu."Suamiku tampak kikuk hingga mengusap wajahnya dengan kasar. Sepertinya sekarang sudah terlanjur basah, ya sudah, lanjut saja. Mungkin setelah ini, Mas Fadli bisa berubah. "Aku nabung sama Mama. Kalau kamu tanya jumlahnya berapa, yang jelas belum cukup lah untuk beli rumah secara cash.""Lalu bagaimana dengan jatah sejuta itu? Maksudnya gimana, ya? Apa tiap bulan Mama dapat jatah segitu? Ya Allah, Mas. Aku juga punya hak," ucapku dengan mata berkaca-kaca. Aku ingin menangis tapi kutahan-tahan. "Kamu kan sudah kusiapkan makanan dan tempat tinggal. Jangan terlalu banyak nuntut, Qi. Mama itu wanita yang melahirkanku dan menjadikanku sukses. Kamu terima jadinya saja. Sebelum kita nikah, dia sudah dapat jatah bulanan dariku. Jadi jangan coba-coba protes. Toh nanti kamu juga dapat tempat tinggal yang bagus.""Terus gimana sama Nita? Dia dapat 500 ribu. Aku gimana, Mas?!"Mas Fadli tidak menjawab dan memilih keluar, akan kembali ke kantor. Aku mengejarnya. "Mas! Aku ingin diperlakukan adil, Mas. Aku juga mau diberikan jatah seperti Mama dan Nita. Gak apa-apa lima ratus ribu sebulan, aku terima!"Aku mencoba bernegosiasi. Pernikahanku baru seumuran jagung. Jauh dari pikiranku untuk berpisah. "Tidak ada yang berubah, Qi. Ini demi tujuan kita. Aku sedang nabung dan tolong, hiduplah lebih hemat lagi.""Aku bosan makan lauk murah, Mas. Aku juga mau makan paha ayam, dada ayam, daging sapi, ikan kakap, bukan ikan teri murah. Aku ini istri pegawai negeri, kan?!"Mas Fadli menepis tanganku. "Aku juga lagi hamil. Jangan sepelit ini lah, Mas. Sama istri dan anak, kikir sekali, tapi pada keluarga yang lain hambur-hambur.""Cukup, Qirani. Nanti kalau sudah kebeli rumah, kamu bisa puas belanja.""Kenapa bukan aku yang kamu percaya buat simpan uangmu, Mas?" Lagi-lagi Mas Fadli tidak mau menjawab. Dia langsung ke parkiran dan meninggalkanku dengan perasaan hancur. Aku langsung luruh di teras rumah. Kupandangi pohon mangga yang sedang berbuah. Entah memang suka atau saking hematnya, mangga di depan kontrakan ini menjadi menu andalan untuk melengkapi lauk yaitu sambal mangga rujak terasi, sambal tomat mangga serut, sambal mangga santan kental, dan bahkan acar mangga. Aku sampai mual mengolah mangga untuk menu. Membayangkan uang berjuta-juta di ibu mertua, hatiku sakit sekali. Apa jaminannya uang itu benar-benar untuk membeli rumah? Setahuku, uang tidak memiliki mata. Tidak bisa membedakan keluarga dan orang lain. Aku tidak akan menyerah untuk memperingati suamiku. Esok hari, pagi-pagi sekali, Mas Fadli membawaku ke rumah orang tuanya. Dia berangkat ke kantor setelah melepasku. Baiklah. Ini kesempatan untukku bicara dengan ibu mertua perkara uang itu. Nampak ibu mertuaku sudah siap ke pasar dengan penampilan yang paripurna. Bedak dan lipstik tebal, aroma yang harum juga jilbab yang dililitkan di leher. "Qiran, kupas bawang merah sambil nunggu cucian di mesin! Jangan lupa dijemur. Mama mau ke pasar buat beli bahan untuk soto nanti sore."Bukannya mengangguk seperti biasa, aku langsung menghadang mama mertuaku itu."Mama, ada yang aku mau tanyain," ucapku. Kedua alisnya terangkat seolah bertanya. "Sudah berapa juta uang Mas Fadli yang disimpan Mama?"Pertanyaanku seperti membuatnya tersinggung. Nampak jelas wajah tidak sukanya. "Kenapa tanya Mama, tanya dong Fadli. Kamu kan istrinya.""Ya, aku mau tahu dari Mama aja.""Tidak perlu tahu, Qi. Intinya nanti terima saja. Fadli akan beli rumah yang seperti istana. Kamu itu beruntung sekali. Nikah tidak bawa apa-apa tapi bersama putraku, nasibmu langsung berubah."Aku menghela napasku. Sudah tidak bisa dibiarkan. Aku harus memperjelas uang suamiku meskipun pada ibunya. Aku adalah istrinya Mas Fadli dan aku berhak tahu. "Ya, Ma. Memang berubah sekali nasibku. Sebelum menikah dengan anak Mama, meskipun hidup di kampung, anak buruh tani, aku selalu makan dengan lauk ikan, daging, entah daging sapi, ayam atau kambing. Cumi-cumi dan udang, aku makan sampai puas. Tapi setelah menikah, anak Mama kasih aku makan ikan teri yang paling murah, kepala ayam, kaki ayam, jeroan ayam, paling bagus sayap ayam itu pun jarang. Daging sapi? Tidak pernah. Kalau pun makan, dia belikan untukku tulangnya. Kerupuk, tahu tempe jadi lauk andalan. Mangga kontrakan jadi sasaran. Anak Mama itu PNS, loh ya jadi bukan dia tidak punya uang."Mama mertua hanya diam mendengar mulutku yang bicara tanpa jeda. "Uang jajan dua ribu lima ratus sehari. Orderan roti tiga puluh lima ribu sudah di depan mata, disuruh pulang orang yang antar. Demi apa itu, Ma? Katanya demi hidup hemat, biar bisa beli rumah dengan cara cash. Jadi beritakan padaku, Ma. Berapa sudah yang terkumpul uangnya Mas Fadli? Biar perjuanganku yang hampir mengikis seluruh kesabaranku ini terasa manis. Dua tahun bukan waktu yang singkat.""Maaf Qiran, tanyakan aja sendiri sama Fadli. Takutnya Mama salah sebut. Yang pasti, belum cukuplah. Makanya, kalian harus hidup lebih hemat lagi.""Mama gak mau sebut atau jangan-jangan sudah habis ya, Ma?""Jangan asal bicara, ya! Sudah, kamu lanjutkan perkerjaanmu. Kan itu tugasmu di sini. Ibu hamil dilarang malas karena bisa buat bayi jadi susah lahir. Mama ke pasar dulu."Aku hanya menyandarkan diriku di dinding. Kutatap tanpa kedip Mama mertuaku itu. Nampak dia juga memakai gelang emas yang cukup besar di tangannya, baju gamisnya itu seperti baru dibeli, bahkan mataku menangkap ada beberapa panci dan ricecooker baru sekarang di meja dapur. Apa itu semua di beli dari uang Mas Fadli? Otakku makin curiga. Pasalnya ayah mertuaku hanya sebagai penjaga sekolah dasar tak jauh dari rumah.Aku kembali ke kamar. Tak mau lagi kukerjakan pekerjaan pembantu di rumah ini. Tulus ikhlas aku selama ini mengabdi, begini ternyata akhirnya. Mentang-mentang aku ini dari desa, lulusan kampus swasta y
"Kamu kenal laki-laki ini, Qi?!"Puuuk! Kupukul keras bahunya hingga dia tersungkur ke depan. Untung tidak di samping, bisa jatuh sohibku itu. Aku juga salah, kebiasaan barbar dengannya jadi kebawa-bawa. "Masa kamu tidak kenal suamiku, Pli?""Su-su-suami? Suami siapa, Qi?! Bicara yang jelas kamu!" Nampak Zulkifli tak kalah terkejut dan paniknya. "Dia suamiku!""Astaghfirullah! Ya Allah! Mudahan aku jadi orang kaya! Gini amat ujianku, Qiraaaan!"Zulkifli meremas rambutnya yang sudah seperti sapu ijuk. Sebenarnya wajar dia tidak tahu wajah Mas Fadli sebab saat aku menikah, dia sedang ikut pamannya kerja sebagai pekerja proyek pembuatan tol di ibu kota. Lalu setelah itu, aku kehilangan kontaknya. "Kalau kamu yang punya suami, terus enaknya kuapain, Qi? Ya Allah.""Sabar dan tenang. Aku juga baru tahu ini kalau suamiku tidak setia. Mestinya aku tidak heran sih, tapi, ya sudahlah.""Kok kamu nampak lebih tenang? Aku kira kamu akan lompat karena sakit hati."Aku mendecih. Sakit jelas s
"Bagus ya kamu, Qirani! Pulang dari entah kemana, langsung masuk kamar dan tidur!""Aku pusing. Mual. Bawaan bayi," bohongku. Tekadku, pokoknya aku tidak akan mengabdi lagi di keluarga ini. "Alah!" cebik mertuaku.Aku langsung membungkus diriku dengan selimut. Terkadang aku juga heran, kok aku tidak muntah-muntah seperti orang hamil pada umumnya, ya? Apa jangan-jangan aku tidak hamil? Tapi perutku buncit dan hasil test pack juga positif kok. Tapi memang aku tidak pernah ke dokter kandungan. Mana mungkin Mas Fadli mau, buang-buang duit katanya. Nanti kalau sudah waktunya lahir, ya lahir saja. Bodohnya aku, tidak memiliki inisiatif sendiri untuk pergi memeriksa kondisiku sendiri. Otakku sepertinya ditutup karena terlalu mencintai suamiku itu. Sekarang setelah kutahu kebusukannya, sedikit demi sedikit lancar rasa aliran darah dan oksigen ke otakku hingga bisa berpikir jernih. Kepraaank! Keprrraank! Suara piring dan entah apa saja dari dapur yang dihempaskan oleh mertuaku. Aku tidak pe
"Qiraniiiiiii!!!" teriak mama mertua. Mas Fadli tak berkutik melihatku. "Aaaah, kepalaku pusing, Mas," lirihku. Aku langsung pura-pura oleng. Kupegang kepalaku selayaknya orang yang lagi pusing dan akan pingsan. Aku berakting berusaha berdiri tegak dan seakan-akan mau jatuh. Kubiarkan tanganku menjalar kemana-mana mencari keseimbangan, menabrak piring dan mangkok yang berjejer di kabinet, dekat sink (wadah tempat mencuci piring). Criiiing! Krink! Mangkok-mangkok itu berjatuhan. "Berhenti Qirani!!!" teriak Mama mertua.Aku langsung mematung dan luruh, berjongkok sembari menopang kepalaku. Aku menunduk, sebenarnya sedang menyembunyikan mulutku yang tersenyum senang. 'Mampus' jerit hatiku senang. Dalam hatiku terkekeh jahat. Entah setan mana yang sedang menggerogoti hatiku sekarang. "Dek! Ya ampun! Diam di situ! Jangan bergerak!" seru Mas Fadli terdengar panik. Suamiku itu berlari keluar. Rupanya dia memakai sandal dan mengambilkan aku aku sandal juga agar kakiku tidak tertusuk b
Mas Fadli meraih ponselnya dan jelas dia salah tingkah melihatku. "Kenapa, Mas? Kok panik gitu wajahnya? Selingkuhanmu?" tanyaku to the point. "Saring kalau bicara. Ini teman kantorku. Tau apa kamu?!" ketusnya. Aku mengangkat sedikit ujung bibirku, sinis. Jelas sekali wajah bertopeng suamiku itu. Sekarang dia keluar membawa hpnya. Jelaslah pasti dia akan berhubungan dengan pacarnya. Tak apa, aku tahan-tahan saja. Sekarang kamu bisa leluasa bersikap, Mas. Tapi lihat saja nanti, aku masih beri kamu waktu. "Aku mau pulang, Mas," ucapku ketika Mas Fadli kembali. Dia langsung mengangguk. Sepertinya karena dia tak ingin aku bertanya tentang wanita yang menelponnya itu. Aku sengaja tidak mau membahasnya, buang-buang tenaga. Kalau cinta sudah terkuras begini, perasaan illfill bergelayut. Dia saja tidak mencintaiku, kenapa aku harus terpuruk? Malam itu juga, aku kembali ke kontrakan, meninggalkan wajah cemberut Mama mertua dan adik ipar yang kelelahan. Pastilah mereka semakin membenciku.
Malam itu aku gelisah sekali. Aku pura-pura keluar kamar, untuk minum. Sekilas kupandangi bingkai foto habib. Tiba-tiba saja hatiku berdebar-debar. Bagaimana kalau gagal? Bukan aku peduli dengan uangnya, tapi kalau para warga datang, dan gebukin Si Kipli, sohibku. Aduuuh! "Sayang, main 'jungkat jungkit', dong," ucap Mas Fadli mendekatiku yang baru merebahkan tubuh. Barusan, aku sudah membuka kunci pintu agar Kipli dengan mudah masuk. "Maaf Mas, perutku sedang kram. Besok aja, ya!""Dosa loh, ajakan suami ditolak," ujarnya. "Nanti kalau anak kita kenapa-kenapa gimana, dong," ujarku manja. Jangan sampai, nanti saat ngeong-ngeong, Si Kipli muncul. Batinku tiba-tiba merinding. "Malas akh sama kamu," ancam Mas Fadli langsung membelakangiku. Aku menggigit bibirku. Baru pertama kali ini aku menolak. Lagi pula, jika kuingat dia memiliki wanita simpanan, rasa bersalahku seketika hilang. Sebab, bisa jadi mereka telah main jungkat-jungkit juga. Suara ngorok Mas Fadli terdengar bersamaan den
Mas Fadli langsung berbinar karena merasa ada bantuan datang. Ia bersemangat melihat perampok tadi diinjak-injak oleh Zulkifli. Aku sangat yakin, itu Zulkifli karena postur tinggi besarnya itu. Bisa-bisanya tadi aku ceroboh tidak mengenalinya. Padahal pria perampok itu setinggiku dan gempal. "Ampun, Bang! Ampun, Bang!" mohon Si Perampok bersimpuh. Bahkan pisau yang dibawanya sekarang sudah di tangan Zulkifli. Aku terkesima melihat ketangkasan sohibku itu. Pandai sekali dia melumpuhkan perampok dengan kaki dan tangannya. Wajar juga sih, hidupnya kan memang keras dan panas. Penjaga pasar juga debt collector. "Yes! Hajar, Bang! Hajar!" seru Mas Fadli berbinar. Aku hanya menelan salivaku membayangkan yang akan terjadi di menit berikutnya. Suamiku yang kikir ini begitu yakin, laki-laki bertopeng sarung itu adalah kawan. "Enak saja datang merampok!" seru Mas Fadli mendekati kedua pria asing itu. "Pergi," ucap Zulkifli terdengar jelas. Meski terdengar melirih, tapi aku mengenal suaranya.
Kleek! Aku langsung mematikan lampu. Kukira Mas Fadli akan keluar, rupanya tidak. Aku merasa lega. Kupandangi langit-langit rumah kontrakan ini. Orang bilang, waktu terasa sangat cepat. Tapi bagiku, dua tahun terasa lama sekali menjalani hidup. Mungkin karena diperlakukan seperti tidak terlalu berharga oleh suami jadi hidup terasa membosankan. [Gimana? Aman? Besok jam 10 pagi aku cari ke pasar ya] Aku mengirim pesan ke Zulkifli. [Ok!] jawabnya cepat. Aku tersenyum membayangkannya. Esok hari, Mas Fadli tidak ke kantor karena masih shock. Aku jadi sangsi untuk izin tapi dipikir-pikir, aku lebih baik keluar rumah saja. Ikut suntuk aku melihat wajah kusut suamiku. Nanti kucari cara agar bisa keluar dengan izinnya. "Perampok setan. Kita lapor polisi aja, yuk, Dek!""Gak usah! Jangan, Mas!" tegasku berulang. Aku langsung tegang. Mas Fadli mengernyitkan alisnya padaku. "Apa kamu gak ingat ancamannya? Dia bisa suruh anak buahnya buat balas dendam! Berani kamu?!"Mas Fadli tampak memiki