Share

BAB 2_UANG DI MAMA MERTUA

Ponselku berdering. Mas Fadli menelpon.

"Nah, sebentar ya, Mas. Aku cek dulu," ucapku berpura-pura. Dia memintaku mengecek hp androidnya. Takutnya jatuh di jalan. "Ada ini, Mas," lanjutku seolah-olah baru mengecek. Mas Fadli menutup panggilannya dan mengatakan akan segera pulang. Aku tercenung memikirkan bagaimana caranya membuka ponsel suamiku ini tanpa dia ketahui. Aku penasaran sekali hpnya itu isinya apa saja?! 

"Apa aku bobol saja di konter, ya?"

Akal jahatku mulai bekerja. Dua tahun aku berusaha sabar dan tulus, rupanya ikatan suci ini ada kebusukannya. Aku akan memikirkan caranya, lihat saja. Segera kuletakkan ponsel itu seolah-olah tidak pernah kusentuh. 

Aku lalu mulai mencuci pakaian dan sprai bekas semalam. Meski hamil empat bulan, kulayani dia dengan baik, tapi pelitnya pada istri naudzubillah. Meski ibunya yang melahirkan, tapi dia akan hidup sampai tua bersama istrinya. Aku mencuci dengan tangan tanpa mesin cuci. Pernah aku meminta dibelikan mesin cuci. Pastilah untuk PNS sepertinya tidak sulit. Tapi tidak untuk suamiku. Hemat listrik katanya. Tivi pun masih tivi jadul, yang layarnya kembung abu-abu. Setrika hanya digunakan untuk baju kantornya. Sengaja pilih rumah yang masih pakai sumur dan aku harus menggayung. Lagi-lagi hemat listrik. 

Dua tahun memang aku menjalani rutinitas begini. Tidak ada kegiatan yang berarti. Aku ingin bekerja, tapi bingung mau kerja apa. Mas Fadil juga lebih ingin aku tetap tinggal di rumah melayaninya. Tapi yang terjadi dan kuketahui hari ini membuatku melenyapkan rasa ikhlasku yang tulus.

"Assalamu'alaikum!"

Mas Fadli sudah sampai rumah dan langsung mengecek hpnya. Dia menatapku yang sedang menyapu rumah seperti menyimpan rasa curiga. Aku cuek saja. 

"Mas, aku mau makan daging," ucapku sembari terus menyapu. 

"Besok Minggu kan jadwal ke pasar, aku belikan."

"Daging utuh, bukan tulang yang berdaging hanya seuprit. Anakmu juga butuh nutrisi."

"Jangan cerewet, terima saja. Kita harus hidup hemat."

Aku mengangguk sembari menatapnya tajam. 

"Kalau begitu, sudah berapa juta tabungan kita untuk rumah, Mas?"

"Kamu tak perlu tahu."

"Loh, aku kan istri. Harus tahu dong."

Mas Fadli melewatiku menuju dispenser. Dia minum seperti sangat kehausan. Beberapa saat, dia menolehku. 

"Kamu baca notifikasi hpku?" Aku hanya diam. "Ayo jawab!"

"Aku sudah baca pesan Mama sama Nita," jawabku tidak kuasa berpura-pura. Seperti akan meledak dadaku ini memendamnya. "Kenapa mereka dapat uang dari kamu sedangkan aku hanya dua ribu lima ratus sehari? Itu jajan anak SD gak sampai segitu."

Suamiku tampak kikuk hingga mengusap wajahnya dengan kasar. Sepertinya sekarang sudah terlanjur basah, ya sudah, lanjut saja. Mungkin setelah ini, Mas Fadli bisa berubah. 

"Aku nabung sama Mama. Kalau kamu tanya jumlahnya berapa, yang jelas belum cukup lah untuk beli rumah secara cash."

"Lalu bagaimana dengan jatah sejuta itu? Maksudnya gimana, ya? Apa tiap bulan Mama dapat jatah segitu? Ya Allah, Mas. Aku juga punya hak," ucapku dengan mata berkaca-kaca. Aku ingin menangis tapi kutahan-tahan. 

"Kamu kan sudah kusiapkan makanan dan tempat tinggal. Jangan terlalu banyak nuntut, Qi. Mama itu wanita yang melahirkanku dan menjadikanku sukses. Kamu terima jadinya saja. Sebelum kita nikah, dia sudah dapat jatah bulanan dariku. Jadi jangan coba-coba protes. Toh nanti kamu juga dapat tempat tinggal yang bagus."

"Terus gimana sama Nita? Dia dapat 500 ribu. Aku gimana, Mas?!"

Mas Fadli tidak menjawab dan memilih keluar, akan kembali ke kantor. Aku mengejarnya. 

"Mas! Aku ingin diperlakukan adil, Mas. Aku juga mau diberikan jatah seperti Mama dan Nita. Gak apa-apa lima ratus ribu sebulan, aku terima!"

Aku mencoba bernegosiasi. Pernikahanku baru seumuran jagung. Jauh dari pikiranku untuk berpisah. 

"Tidak ada yang berubah, Qi. Ini demi tujuan kita. Aku sedang nabung dan tolong, hiduplah lebih hemat lagi."

"Aku bosan makan lauk murah, Mas. Aku juga mau makan paha ayam, dada ayam, daging sapi, ikan kakap, bukan ikan teri murah. Aku ini istri pegawai negeri, kan?!"

Mas Fadli menepis tanganku. 

"Aku juga lagi hamil. Jangan sepelit ini lah, Mas. Sama istri dan anak, kikir sekali, tapi pada keluarga yang lain hambur-hambur."

"Cukup, Qirani. Nanti kalau sudah kebeli rumah, kamu bisa puas belanja."

"Kenapa bukan aku yang kamu percaya buat simpan uangmu, Mas?" 

Lagi-lagi Mas Fadli tidak mau menjawab. Dia langsung ke parkiran dan meninggalkanku dengan perasaan hancur. 

Aku langsung luruh di teras rumah. Kupandangi pohon mangga yang sedang berbuah. Entah memang suka atau saking hematnya, mangga di depan kontrakan ini menjadi menu andalan untuk melengkapi lauk yaitu sambal mangga rujak terasi, sambal tomat mangga serut, sambal mangga santan kental, dan bahkan acar mangga. Aku sampai mual mengolah mangga untuk menu. 

Membayangkan uang berjuta-juta di ibu mertua, hatiku sakit sekali. Apa jaminannya uang itu benar-benar untuk membeli rumah? Setahuku, uang tidak memiliki mata. Tidak bisa membedakan keluarga dan orang lain. Aku tidak akan menyerah untuk memperingati suamiku. 

Esok hari, pagi-pagi sekali, Mas Fadli membawaku ke rumah orang tuanya. Dia berangkat ke kantor setelah melepasku. Baiklah. Ini kesempatan untukku bicara dengan ibu mertua perkara uang itu. Nampak ibu mertuaku sudah siap ke pasar dengan penampilan yang paripurna. Bedak dan lipstik tebal, aroma yang harum juga jilbab yang dililitkan di leher. 

"Qiran, kupas bawang merah sambil nunggu cucian di mesin! Jangan lupa dijemur. Mama mau ke pasar buat beli bahan untuk soto nanti sore."

Bukannya mengangguk seperti biasa, aku langsung menghadang mama mertuaku itu.

"Mama, ada yang aku mau tanyain," ucapku. Kedua alisnya terangkat seolah bertanya. "Sudah berapa juta uang Mas Fadli yang disimpan Mama?"

Pertanyaanku seperti membuatnya tersinggung. Nampak jelas wajah tidak sukanya. 

"Kenapa tanya Mama, tanya dong Fadli. Kamu kan istrinya."

"Ya, aku mau tahu dari Mama aja."

"Tidak perlu tahu, Qi. Intinya nanti terima saja. Fadli akan beli rumah yang seperti istana. Kamu itu beruntung sekali. Nikah tidak bawa apa-apa tapi bersama putraku, nasibmu langsung berubah."

Aku menghela napasku. Sudah tidak bisa dibiarkan. Aku harus memperjelas uang suamiku meskipun pada ibunya. Aku adalah istrinya Mas Fadli dan aku berhak tahu. 

"Ya, Ma. Memang berubah sekali nasibku. Sebelum menikah dengan anak Mama, meskipun hidup di kampung, anak buruh tani, aku selalu makan dengan lauk ikan, daging, entah daging sapi, ayam atau kambing. Cumi-cumi dan udang, aku makan sampai puas. Tapi setelah menikah, anak Mama kasih aku makan ikan teri yang paling murah, kepala ayam, kaki ayam, jeroan ayam, paling bagus sayap ayam itu pun jarang. Daging sapi? Tidak pernah. Kalau pun makan, dia belikan untukku tulangnya. Kerupuk, tahu tempe jadi lauk andalan. Mangga kontrakan jadi sasaran. Anak Mama itu PNS, loh ya jadi bukan dia tidak punya uang."

Mama mertua hanya diam mendengar mulutku yang bicara tanpa jeda. 

"Uang jajan dua ribu lima ratus sehari. Orderan roti tiga puluh lima ribu sudah di depan mata, disuruh pulang orang yang antar. Demi apa itu, Ma? Katanya demi hidup hemat, biar bisa beli rumah dengan cara cash. Jadi beritakan padaku, Ma. Berapa sudah yang terkumpul uangnya Mas Fadli? Biar perjuanganku yang hampir mengikis seluruh kesabaranku ini terasa manis. Dua tahun bukan waktu yang singkat."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status