"Nyari siapa, Mbak?" tanya Mas Fadli terdengar dari dalam.
Deeeghhh ....Jantungku langsung berdegub kencang sekali. Aku langsung mengintip dari balik tirai. Nampak Mas Fadli sedang berhadapan dengan seorang wanita. Di tangan wanita itu, terdapat plastik bening yang kuyakini adalah roti pesananku. Kugigit bibirku karena merasa bingung luar biasa. Harusnya pesananku datang dua jam kemudian. Aku sudah memesan begitu pada penjualnya. Kenapa datang sekarang? Aaah, apes!"Bawa saja kembali, Mbak!"Jelas suara Mas Fadli meminta wanita itu pergi. Aku langsung keluar."Maaf, Mas. Itu roti pesananku. Aku lagi pengen makan roti isi red velvet. Gak mahal, cuman tiga puluh lima ribu, Mas.""Lain-lain saja kamu pesan. Tanpa seizinku pula," timpal Mas Fadli dengan mata melotot dan wajah masam."Maaf, Mas. Aku benar-benar pengen. Aku akan bayar pakai uang tabunganku."Seolah abai dengan ucapanku, Mas Fadli menuju gerbang dan membukanya. Itu sudah menjadi isyarat bagi pedagang itu untuk segera keluar."Mas!" seruku."Ini, Mbak. Tidak usah dibayar. Ambil aja. Kasian, lagi ngidam begitu," ucap Mbak Pedagang menatapku sayu. Ia berjalan cepat mendekatiku dan menyerahkan plastik bening yang ada di tangannya. Tanganku akan terjulur tapi tiba-tiba suara Mas Fadli menghentikanku."Jangan! Bawa kembali barangmu, Mbak! Kami bukan peminta dan harus dikasihani. Silahkan!"Suara gerbang yang dibuka lebih lebar terdengar berderit. Mas Fadli menatap tajam ke arah kami. Kedua mataku berkaca-kaca, buram penglihatanku. Aku mengusap kelopak mataku, agar jelas wajah Mbak Pedagang yang tak jauh dariku."Ma-maafkan saya, ya, Mbak.""Saya juga minta maaf. Seharusnya saya datang sesuai anjuran Mbak. Pikirnya sekalian lewat tadi antar pesanan juga. Nanti kita bisa komunikasi ya, Mbak," ucap wanita jilbaber itu. Pembawaannya tenang tapi entah hatinya. Aku mengangguk menahan malu. Perkara roti seharga 35 ribu, benar-benar jatuh harga diriku."Tolong kalau istri saya pesan-pesan lagi, jangan ditanggapi."Mas Fadli berucap tepat saat wanita itu melewatinya. Wanita itu hanya diam dan keluar. Seharusnya ini tidak terjadi. Ya Allah, aku malu sekali. Kepegang perutku yang mulai nampak buncit. Aku segera mendekatinya."Mas! Kok gitu banget kamu?! Perkara roti saja kamu pelit sekali!""Bukan pelit, tapi hemat. Kamu ya, kebiasaan. Senang sekali belanja online. Mau makan roti tinggal ke warung Bi Mumun di depan juga ada.""Roti yang kupesan itu beda, Mas," lirihku mulai terisak.Seolah tak peduli. Mas Fadli masuk ke dalam rumah. Aku terpaksa mengikutinya. Kulihat dia mengambil uang lima ribu yang dia simpankan untukku di atas kulkas. Sekali dalam dua hari, dia memberiku uang lima ribu sebagai uang jajanku. Itu artinya, sehari jatahku hanya dua ribu lima ratus."Tunggu di sini. Berhenti menangis. Begitu saja jadi cengeng.""Tapi Mas, aku ingin roti yang tadi. Aku sedang ngidam roti itu, Mas. Ini bawaan bayi.""Eeeh jangan ngadi-ngadi. Jangan jadikan alasanmu ingin makan roti dengan menjual nama janin. Heran, sudah sarapan, masih mikirin makan roti. Ingat, Qi, kita harus belajar berhemat! Kamu mau punya rumah tanpa ngutang kan? Belajar sabar. Kalau sekarang dituruti, jadi kebiasaan bebelian begitu," ketusnya dengan wajah yang sangat asam.Aku hanya bisa mengusap air mataku. Sungguh aku ingin makan roti itu. Tak lama, Mas Fadli sudah di depanku dengan sepelastik kecil aneka roti. Ada roti yang harga seribuan dan dua ribuan. Bisa diperkirakan belanjanya tujuh ribu. Diletakkannya begitu saja tanpa bicara lalu pria itu meraih kunci motor. Tanpa ritual seperti biasa; salim tangan dan cium kening istri, Mas Fadli pergi berangkat kerja. Dia salah salah satu pegawai negeri di instansi pemerintah. Dua tahun aku menikah dengannya, dia belum mau jujur memberitahuku berapa gajinya.Suara ponselku berdering. Mbak yang tadi menghubungiku menelpon. Aku segera mengangkatnya."Halo, Mbak. Suaminya sudah berangkat kerja? Saya antarkan lagi ya, rotinya.""Bukan sombong atau apa, Mbak. Tanpa ridho dari suami, aku takut jadi bencana. Maafkan saya, ya.""Ya sudah kalau begitu, Mbak. Sehat-sehat ya, bumil."Aku tersenyum mendengar keramahan pedagang itu. Baru kali ini aku merasa ada orang yang benar-benar berpikiran positif. Semoga laris dagangannya. Dengan hati yang terus kutempa kesabaran, aku mengunyah roti harga seribuan. Kutahan-tahan air mataku agar tidak jatuh lagi tapi tidak bisa."Ya Allah," lirihku. Tak ada ucapan lain yang bisa keluar dari mulutku. Bayangan foto roti isi selai merah, red velvet itu membuat liurku mengental. Kuelus perutku meminta anakku untuk bersabar."Kita harus belajar berhemat kata Papa, Nak. Biar bisa punya rumah sendiri, gak ngontrak gini. Sabar ya, Nak," ucapku sendirian sembari mengunyah.Dreeettt ....Aku terkesiap. Itu suara getaran hp. Aku cek hpku yang sudah retak-retak dan buram layarnya, tidak ada panggilan masuk. Mataku langsung menoleh ke atas kulkas yang menyala. Rupanya Mas Fadli lupa membawa hpnya. Pasti dia meletakkannya begitu saja saat dia mengambil uang lima ribu itu.1 panggilan tak terjawab: MamaAku mencoba menghubungi kembali dan berniat mengabarkan bahwa Mas Fadli tidak bawa hp tapi seperti biasa, gagal. Ponsel itu terkunci. Mas Fadli tidak pernah juga memberitahuku pasword hapenya. Kutunggu saja, mungkin Mama mertua akan kembali menelpon. Namun sebuah pesan w******p masuk dan terlihat di notifikasi pop up.[Sudah di kantor ya, Nak? Tiga jutanya sudah Mama terima. Deal ya. Dua jutanya akan Mama simpankan. Satu juta buat belanja rumah, ya. Terimakasih, ya."Pekat rada air liurku membaca pesan ini. Tapi ponsel itu kembali bergetar.2 pesan dari Adik Nita.[Foto][Bang, duit 500 ribunya dah aku ambil. Terimakasih, ya.]Kali ini gemetar tanganku ya Allah. Aku benar-benar terkejut. Baru saja kejadian, suamiku tak punya malu menolak orang yang datang membawa orderan roti seharga 35 ribu hanya demi belajar hemat. Sedangkan dia mengirimkan ibunya uang sampai tiga juta dan adiknya lima ratus ribu. Allahuakbar, sakitnya hatiku.Memang semua kebutuhan rumah, dia sudah sediakan. Bahkan stok pangan selama seminggu sudah tersedia di kulkas. Tapi jangan tanya bagaimana jenisnya. Perutku sudah begah rasanya makan dengan lauk yang paling minim harganya.Sudah dua tahun aku menikah dengannya, aku tidak pernah makan daging sapi. Kalau pun daging, ya biasanya tulang-tulang yang diselimuti sedikit daging. Untuk daging ayam pun begitu. Kalau pun ada, yang dibeli adalah bagian leher, jeroan, kepala dan kaki. Sesekali ada sayapnya. Ikan asin, tempe, tahu, dan dijatahkan 7 butir telur untuk seminggu.Setiap hari Minggu, Mas Fadli yang berbelanja ke pasar dan dia pula menuntutku untuk bersabar dalam hidup hemat. Katanya, agar bisa segera beli rumah secara cash. Tapi, jika kuingat-ingat lagi, Mas Fadli hanya makan pagi di rumah. Siang dan sore, sepulang kerja dia makan di luar. Jadi selama ini, isi kulkas itu memang untukku?Kembali ponsel itu bergetar dan pesan dari mama mertua tiba.[Besok bawa Qirani ke rumah ya. Bantu-bantu. Ada acara arisan komplek]Aku mendecih. Sudah enam kali acara makan-makan di rumah mertua, akulah yang menjadi babu. Kali ini tidak. Lihat saja, cukup sudah aku kalian bodoh-bodohi lagi. Aku menatap langit-langit kontrakan yang usang ini. Ini akan menjadi permulaan pembalasan untuk orderan roti yang tertolak."Mas?! Kamu kenapa?!""Ni ... Nilam, Qiran. Dia pergi membawa bayi kami." "Maksudmu?!!" tanya Qiran langsung tegang. "Nilam kabur, Qiran!""Ooh ya, Allah...."Qiran menggigit bibirnya. Ia tahu, tidak mudah di posisi Nilam. Dia sudah merasakan di posisi wanita itu dan Nilam merasakan imbas yang terparah. Ternyata yang diucapkan Nilam waktu itu serius. ***"Aku ingin bercerai," ujar Nilam saat baru seminggu dia disecar. "Cerai?" tanya Qiran. "Iya. Kamu hebat bisa tahan 2 tahun, aku tak sampai setahun sudah habis jiwaku, Qiran.""Kamu yakin? Bayimu butuh ayahnya.""Bayiku lebih butuh ibu yang bahagia. Bukankah begitu?"Qiran diam. Sejak itu Nilam tak pernah bicara soal itu lagi. Dia mengira, Nilam tidak melanjutkan niat itu karena ia melihat Fadli sepertinya mulai lebih luwes pada istrinya. Setiap kali dia ke sana menjenguk Nilam, dia sudah menemukan aneka roti dan buah di dekat meja. Qiran mengira itu semua bisa meluluhkan perasaan Nilam. Tapi rupanya, dua bulan terlewati, wanita i
Fadli terkejut tak mengerti. Alisnya yang mengkerut dengan kening berlipat-lipat itu menandakan dia heran. Nilam pun yang sedang menggendong bayinya juga ikut bingung. "Uangmu yang hilang di rekening sejumlah 63 juta itu, aku yang ambil. Jadi yang 2 jutanya anggap aku sedekah saja," ucap Qiran tanpa keraguan sedikit pun. "Bicara yang jelas, Qirani," ujar Fadli tegang. "Perlu aku ulang, Mas?" tanya Qirani dengan wajah biasa saja. Dddrrrrtt... Ponsel Qirani bergetar. Qiran mengangkat tangannya seolah mengisyaratkan agar Fadli diam dulu. Pembawaan Qiran santai saja seolah-olah tidak ada beban. Sedangkan Fadli masih terbengong-bengong. "Ya, Yank. Ooh, oke deh. Tunggu dah sebentar lagi ... Gak, Yank. Nanti lah di Star Five aja, belum kucoba menu yang itu. Oke. Siap."Panggilan selesai. Nilam hanya tersenyum kecil. Itu pasti dari mantan suaminya. Luar biasa beruntung Qirani, hidup mewah, makan siang di hotel. Tapi sekarang Nilam tak mau iri lagi pada Qiran meski sakit itu jelas masih
SCENE FLASH BACKNita dan Pak Hasan secara tidak sengaja mendengar percakapan dokter yang sedang merayu Fadli dan Bu Sita agar setuju Nilam dioperasi. Mendapati keduanya masih kekeh, Nita langsung menyeret tangan ayahnya menjauh. "Pak, yakin gak kalau kita rayu Mama dan Mas Fadli, mereka akan luluh?""Bapak sudah ngomong, kok tadi subuh sama Mamamu. Jika memang harus kakak iparmu dioperasi, ya bismillah aja. Tapi Mama mu malah menggerutu tak jelas.""Mas Fadli juga kok gitu banget sih, Pak. Aku merasa kasihan sama Mbak Nilam meskipun aku gak akur sama dia.""Fadli sama Mamamu sama-sama punya bibit kikir. Sudah berulang kali Bapak kasih tahu kalian bahwa kikir itu sulur rambatnya sudah ada di neraka. Siapa yang kikir atas hartanya, tinggal ditarik ke neraka oleh rambatannya. Macam sulur labu. Menjalar."Nita menggigit bibirnya. Ia punya ide tapi ia sendiri masih ragu. Namun daripada tidak dicoba sama sekali, lebih baik gagal. "Aku akan menghubungi Mbak Qiran, Pak. Mungkin Mbak Qiran
"Ini bayinya kalau lahir, akan prematur. Usianya baru 24 minggu. Beratnya kurang sekali ini, Bu. Seperti berat janin usia 4 bulan. Janinnya kurang nutrisi ini. Ibunya malas makan, ya?!" cecar Bu Dokter yang langsung membuat jantung Nilam seperti dihantam batu besar. "Makan kok, Dok. Cuman sering muntah," sambung Fadli tak mau dikira istrinya tak makan. "Makan, Dok tapi nasi dan kepala ayam atau ceker ayam, bukan dagingnya," tambah Nilam penuh dendam. Dalam hatinya, kalau sampai ada apa-apa dengan bayinya, ia akan membuat perhitungan yang besar dengan suaminya itu. "Ibu hamil itu harus makan yang bernutrisi tinggi. Malah perlu juga disokong dengan susu dan vitamin. Karena apa yang dimakan ibunya, itu yang dimakan janin."Bu Dokter langsung memberi intruksi. "Sus, siapkan suntik pematangan paru. Jaga-jaga kalau bayinya lahir," ujar Bu Dokter pada asistennya. "Baik, Dok."Suasana menjadi tegang. Bu Dokter kembali melihat layar. "Denyut jantung janin masih bagus. Saya akan bantu su
"Apa?!" Suara Fadli agak ketus. Sebab, dia sedang merasa diganggu saat menatap mantan istrinya yang begitu sangat cantik jelita. "Perutku sakit sekali, Mas. Sakit sekali.""Sakit gimana maksudmu?""Ya sakit. Cekat cekit. Ta-taapi sekarang sudah hilang," lirih Nilam. "Kamu pasti shock melihat mantan suami kamu yang sekarang jadi anak konglomerat, kan? Perempuan matre kayak kamu pasti nyesel banget."Mendengar ucapan suaminya, Nilam hanya memandang sinis. Ia ingin menimpali tapi kembali lagi rasa sakit di perutnya menyerang. Sejenak dia bergeming. Ada apa ini? Apakah sudah waktunya dia melahirkan? Usia kandungannya baru lima bulan jalan enam. Dia tidak mau memiliki bayi yang tidak normal. Usaha dan perjuangannya sudah sangat jauh untuk janinnya. Nilam berusaha bernapas dengan teratur. "Ayo! Kita ucapkan selamat atas kemenangan mereka dan kekalahan pada kita, Nilam," lirih Fadli dari hatinya paling dalam. Nilam bergeming. "Ayo kita naik! Biar cepat makan!" seru Bu Sita. "Ayo, Nila
"Jadi gimana, Fadli, kamu mau datang tidak ke acara resepsi mantan istrimu?"Fadli hanya diam. Benar-benar diam. "Biar kita berangkat bareng pake mobil. Mama akan sewa mobil khusus biar kelihatan mewah, sesuai dengan pesta yang akan kita datangi. Nanti kamu yang bayar tapi ya."Wuuushhh! Undangan tebal dan berbingkai ukiran timbul berwarna emas itu melayang dan jatuh. "Cukup ya, Ma! Cukup! Aku muak mendengar Mama yang mau terlihat hidup hedon padahal modal pun tak ada. Mama itu seperti sedang memerasku! Mama belum sadar-sadar juga? Seberapa besar dan banyak akibat yang ditimbulkan oleh Mama! Mama yang jadi ibuku yang menyebabkan aku sampai cerai dari Qirani!""Loh, kok kamu jadi ngegas, Fadli? Mama cuman kasih tawaran aja. Masa sekedar sewa mobil kamu gak mampu?! Kan uang dari Pak Wahyu sampai 75 juta. Janganlah kikir banget!""Kikir?! Ya! Aku kikir dan pelit memang! Ini semua karena ajaran dari Mama! Mama yang suruh aku pelit kikir pada Qirani sehingga dia sampai gak betah jadi is