Share

BALASAN UNTUK SUAMIKU YANG PELIT
BALASAN UNTUK SUAMIKU YANG PELIT
Author: Rora Aurora

BAB 1_ORDERAN ROTI YANG TERTOLAK

"Nyari siapa, Mbak?" tanya Mas Fadli terdengar dari dalam.

Deeeghhh ....

Jantungku langsung berdegub kencang sekali. Aku langsung mengintip dari balik tirai. Nampak Mas Fadli sedang berhadapan dengan seorang wanita. Di tangan wanita itu, terdapat plastik bening yang kuyakini adalah roti pesananku. Kugigit bibirku karena merasa bingung luar biasa. Harusnya pesananku datang dua jam kemudian. Aku sudah memesan begitu pada penjualnya. Kenapa datang sekarang? Aaah, apes!

"Bawa saja kembali, Mbak!"

Jelas suara Mas Fadli meminta wanita itu pergi. Aku langsung keluar.

"Maaf, Mas. Itu roti pesananku. Aku lagi pengen makan roti isi red velvet. Gak mahal, cuman tiga puluh lima ribu, Mas."

"Lain-lain saja kamu pesan. Tanpa seizinku pula," timpal Mas Fadli dengan mata melotot dan wajah masam.

"Maaf, Mas. Aku benar-benar pengen. Aku akan bayar pakai uang tabunganku."

Seolah abai dengan ucapanku, Mas Fadli menuju gerbang dan membukanya. Itu sudah menjadi isyarat bagi pedagang itu untuk segera keluar.

"Mas!" seruku.

"Ini, Mbak. Tidak usah dibayar. Ambil aja. Kasian, lagi ngidam begitu," ucap Mbak Pedagang menatapku sayu. Ia berjalan cepat mendekatiku dan menyerahkan plastik bening yang ada di tangannya. Tanganku akan terjulur tapi tiba-tiba suara Mas Fadli menghentikanku.

"Jangan! Bawa kembali barangmu, Mbak! Kami bukan peminta dan harus dikasihani. Silahkan!"

Suara gerbang yang dibuka lebih lebar terdengar berderit. Mas Fadli menatap tajam ke arah kami. Kedua mataku berkaca-kaca, buram penglihatanku. Aku mengusap kelopak mataku, agar jelas wajah Mbak Pedagang yang tak jauh dariku.

"Ma-maafkan saya, ya, Mbak."

"Saya juga minta maaf. Seharusnya saya datang sesuai anjuran Mbak. Pikirnya sekalian lewat tadi antar pesanan juga. Nanti kita bisa komunikasi ya, Mbak," ucap wanita jilbaber itu. Pembawaannya tenang tapi entah hatinya. Aku mengangguk menahan malu. Perkara roti seharga 35 ribu, benar-benar jatuh harga diriku.

"Tolong kalau istri saya pesan-pesan lagi, jangan ditanggapi."

Mas Fadli berucap tepat saat wanita itu melewatinya. Wanita itu hanya diam dan keluar. Seharusnya ini tidak terjadi. Ya Allah, aku malu sekali. Kepegang perutku yang mulai nampak buncit. Aku segera mendekatinya.

"Mas! Kok gitu banget kamu?! Perkara roti saja kamu pelit sekali!"

"Bukan pelit, tapi hemat. Kamu ya, kebiasaan. Senang sekali belanja online. Mau makan roti tinggal ke warung Bi Mumun di depan juga ada."

"Roti yang kupesan itu beda, Mas," lirihku mulai terisak.

Seolah tak peduli. Mas Fadli masuk ke dalam rumah. Aku terpaksa mengikutinya. Kulihat dia mengambil uang lima ribu yang dia simpankan untukku di atas kulkas. Sekali dalam dua hari, dia memberiku uang lima ribu sebagai uang jajanku. Itu artinya, sehari jatahku hanya dua ribu lima ratus.

"Tunggu di sini. Berhenti menangis. Begitu saja jadi cengeng."

"Tapi Mas, aku ingin roti yang tadi. Aku sedang ngidam roti itu, Mas. Ini bawaan bayi."

"Eeeh jangan ngadi-ngadi. Jangan jadikan alasanmu ingin makan roti dengan menjual nama janin. Heran, sudah sarapan, masih mikirin makan roti. Ingat, Qi, kita harus belajar berhemat! Kamu mau punya rumah tanpa ngutang kan? Belajar sabar. Kalau sekarang dituruti, jadi kebiasaan bebelian begitu," ketusnya dengan wajah yang sangat asam.

Aku hanya bisa mengusap air mataku. Sungguh aku ingin makan roti itu. Tak lama, Mas Fadli sudah di depanku dengan sepelastik kecil aneka roti. Ada roti yang harga seribuan dan dua ribuan. Bisa diperkirakan belanjanya tujuh ribu. Diletakkannya begitu saja tanpa bicara lalu pria itu meraih kunci motor. Tanpa ritual seperti biasa; salim tangan dan cium kening istri, Mas Fadli pergi berangkat kerja. Dia salah salah satu pegawai negeri di instansi pemerintah. Dua tahun aku menikah dengannya, dia belum mau jujur memberitahuku berapa gajinya.

Suara ponselku berdering. Mbak yang tadi menghubungiku menelpon. Aku segera mengangkatnya.

"Halo, Mbak. Suaminya sudah berangkat kerja? Saya antarkan lagi ya, rotinya."

"Bukan sombong atau apa, Mbak. Tanpa ridho dari suami, aku takut jadi bencana. Maafkan saya, ya."

"Ya sudah kalau begitu, Mbak. Sehat-sehat ya, bumil."

Aku tersenyum mendengar keramahan pedagang itu. Baru kali ini aku merasa ada orang yang benar-benar berpikiran positif. Semoga laris dagangannya. Dengan hati yang terus kutempa kesabaran, aku mengunyah roti harga seribuan. Kutahan-tahan air mataku agar tidak jatuh lagi tapi tidak bisa.

"Ya Allah," lirihku. Tak ada ucapan lain yang bisa keluar dari mulutku. Bayangan foto roti isi selai merah, red velvet itu membuat liurku mengental. Kuelus perutku meminta anakku untuk bersabar.

"Kita harus belajar berhemat kata Papa, Nak. Biar bisa punya rumah sendiri, gak ngontrak gini. Sabar ya, Nak," ucapku sendirian sembari mengunyah.

Dreeettt ....

Aku terkesiap. Itu suara getaran hp. Aku cek hpku yang sudah retak-retak dan buram layarnya, tidak ada panggilan masuk. Mataku langsung menoleh ke atas kulkas yang menyala. Rupanya Mas Fadli lupa membawa hpnya. Pasti dia meletakkannya begitu saja saat dia mengambil uang lima ribu itu.

1 panggilan tak terjawab: Mama

Aku mencoba menghubungi kembali dan berniat mengabarkan bahwa Mas Fadli tidak bawa hp tapi seperti biasa, gagal. Ponsel itu terkunci. Mas Fadli tidak pernah juga memberitahuku pasword hapenya. Kutunggu saja, mungkin Mama mertua akan kembali menelpon. Namun sebuah pesan w******p masuk dan terlihat di notifikasi pop up.

[Sudah di kantor ya, Nak? Tiga jutanya sudah Mama terima. Deal ya. Dua jutanya akan Mama simpankan. Satu juta buat belanja rumah, ya. Terimakasih, ya."

Pekat rada air liurku membaca pesan ini. Tapi ponsel itu kembali bergetar.

2 pesan dari Adik Nita.

[Foto]

[Bang, duit 500 ribunya dah aku ambil. Terimakasih, ya.]

Kali ini gemetar tanganku ya Allah. Aku benar-benar terkejut. Baru saja kejadian, suamiku tak punya malu menolak orang yang datang membawa orderan roti seharga 35 ribu hanya demi belajar hemat. Sedangkan dia mengirimkan ibunya uang sampai tiga juta dan adiknya lima ratus ribu. Allahuakbar, sakitnya hatiku.

Memang semua kebutuhan rumah, dia sudah sediakan. Bahkan stok pangan selama seminggu sudah tersedia di kulkas. Tapi jangan tanya bagaimana jenisnya. Perutku sudah begah rasanya makan dengan lauk yang paling minim harganya.

Sudah dua tahun aku menikah dengannya, aku tidak pernah makan daging sapi. Kalau pun daging, ya biasanya tulang-tulang yang diselimuti sedikit daging. Untuk daging ayam pun begitu. Kalau pun ada, yang dibeli adalah bagian leher, jeroan, kepala dan kaki. Sesekali ada sayapnya. Ikan asin, tempe, tahu, dan dijatahkan 7 butir telur untuk seminggu.

Setiap hari Minggu, Mas Fadli yang berbelanja ke pasar dan dia pula menuntutku untuk bersabar dalam hidup hemat. Katanya, agar bisa segera beli rumah secara cash. Tapi, jika kuingat-ingat lagi, Mas Fadli hanya makan pagi di rumah. Siang dan sore, sepulang kerja dia makan di luar. Jadi selama ini, isi kulkas itu memang untukku?

Kembali ponsel itu bergetar dan pesan dari mama mertua tiba.

[Besok bawa Qirani ke rumah ya. Bantu-bantu. Ada acara arisan komplek]

Aku mendecih. Sudah enam kali acara makan-makan di rumah mertua, akulah yang menjadi babu. Kali ini tidak. Lihat saja, cukup sudah aku kalian bodoh-bodohi lagi. Aku menatap langit-langit kontrakan yang usang ini. Ini akan menjadi permulaan pembalasan untuk orderan roti yang tertolak.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Rina Marlina
haduh parah bngt
goodnovel comment avatar
for you
haduh nglayani suami ngurusin rumah cuma di kasih 2500ribu perhari kok ya mau di tambah masih mikir ridho dari suami ,ga mati saja untung ...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status