Share

BAB 4

Penulis: jasheline
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-15 15:41:55

Puas. Itu satu-satunya kata yang bisa menggambarkan perasaan Amora saat melihat suaminya dan perempuan jalang itu diarak keliling kampung. Dua sejoli itu diseret warga bagaikan pesakitan. Wajah Enzo penuh lebam, Livy berurai air mata, berantakan, lusuh, tak ada lagi sisa keseksiannya. Selesai dipermalukan, mereka digiring kembali ke rumah untuk dipaksa menikah secara siri.

“Mas, aku nggak mau nikah kayak gini. Aku maunya resepsi gede-gedean, Mas! Pake gaun, karpet merah, bunga di mana-mana!” rengek Livy seperti anak kecil kehilangan mainan.

Enzo menarik napas berat, berusaha menenangkan wanita itu sambil mengusap pipinya yang bengkak. “Iya, Sayang… nanti Mas wujudkan mimpi kamu. Tapi sekarang kita nurut dulu sama warga. Siri dulu. Resepsinya nanti kita rancang bareng, ya?”

Livy mengerucutkan bibir, cemberut, lalu memalingkan muka. Misuh-misuh tak jelas, seperti anak kecil dipaksa makan sayur.

“Eh, perempuan murahan! Nih, pake baju ini buat nikahanmu!” Bu Titis melemparkan sebuah kebaya model jadul ke hadapan Livy. Warnanya kusam, benangnya mulai berbulu. Seolah memang disiapkan untuk mempermalukan.

“Baju apaan nih?! Jelek banget! Aku nggak mau pake beginian!” Livy memekik jijik.

“Pakai aja! Itu baju kebesaran buat pernikahan perempuan murahan kayak kamu!” sahut Bu Titis, menyeringai penuh puas.

“Mas!” rengek Livy lagi, hampir menangis karena tak terima.

“Udah, Sayang. Pake aja. Daripada dimaki-maki lagi, lebih baik turuti aja dulu!” bujuk Enzo, pasrah.

Dengan kaki menghentak-hentak, Livy akhirnya mengenakan kebaya murahan itu. Penampilannya lebih mirip badut pasar malam ketimbang pengantin. Enzo sendiri mengenakan kembali kemeja dan celana panjang lusuhnya, lalu duduk di samping Livy menunggu keluarga datang untuk menyaksikan drama murahan ini.

“Ya ampun, Enzo! Nak, kenapa kamu kayak gini?!” Suara lantang itu milik Bu Ratna ibunya Enzo yang baru saja datang sambil berlari tergopoh-gopoh. Wajahnya campuran panik dan marah.

“Ibu…” lirih Enzo seraya memeluknya.

“Kenapa bisa begini, Nak? Apa-apaan ini?” tangis Bu Ratna pecah.

“Khilaf, Bu… aku khilaf…” Enzo hanya bisa tertunduk seperti bocah ketahuan mencuri kue.

“Ya Allah! Muka kamu kenapa?! Kok lebam begini?” jerit Bu Ratna histeris.

“Dipukul warga, Bu…”

Darah Bu Ratna mendidih seketika. Dengan mata melotot, ia menatap satu per satu wajah warga yang hadir, siap menyerang siapa saja yang berani menyentuh anaknya lagi.

“Kalian semua kebangetan! Anak saya dipukuli kayak binatang! Tega kalian!”

“Anak sampean dipukuli karena pantas dipukuli! Zina siang bolong di komplek orang! Apa nggak malu?!” bentak salah satu warga, tak kalah emosi.

“Jaga mulutmu! Anak saya nggak pernah bikin masalah di komplek ini sebelumnya! Urusan ranjangnya juga urusan dia sendiri! Suka-suka anak saya dong, mau ngapain! Toh, dia melakukannya juga sama calon istrinya sendiri!”

Deg!

Ucapan itu menusuk dada Amora lebih dalam dari pisau mana pun. Jadi… mertuanya tahu? Mertuanya setuju dengan perselingkuhan ini? Bahkan membela anaknya mentah-mentah di depan umum? Amora menatap kosong. Seketika amarahnya membara, menyulut seluruh tubuhnya seperti kobaran api yang tak bisa dipadamkan.

“Pantes kelakuannya kayak binatang,” desis Bu Titis tajam. “Ternyata ibunya sendiri yang ngajarin.”

Bu Ratna memicingkan mata ke arah sumber suara. Pandangannya beralih dan berhenti tepat pada sosok Amora. “Jadi kamu… kamu ada di sini, dan tega membiarkan suami kamu dipermalukan kayak gini?!”

“Iya, Bu. Dari tadi saya memang ada di sini,” jawab Amora pelan, tenang. Tapi, sorot matanya menyimpan badai yang siap menghantam siapa pun yang berani menentangnya.

“Dia yang laporin kami, Bu!” Livy langsung menunjuk Amora sambil menangis.

“Oh, jadi… ini ulah perempuan miskin ini?” Langkah Bu Ratna menghentak mendekat. Tanpa aba-aba-

Plak!

Satu tamparan mendarat tepat di pipi Amora. Kepalanya sedikit terhuyung, tapi sorot matanya tetap menyala, tidak surut sedikit pun.

“Istri durhaka! Seharusnya kamu lindungi suami kamu! Jangan malah mempermalukan keluargamu sendiri!” bentak Bu Ratna dengan nafas memburu.

Amora mendongak. Senyum sinis terbit di bibirnya. “Iya, Bu. Saya sengaja.”

“Kurang ajar!” Bu Ratna kembali mengangkat tangannya, siap menyabet pipi Amora untuk kedua kalinya.

“Cukup! Jangan bikin keributan di sini!” bentak seorang pria dengan peci hitam di kepalanya. Tegas. Matanya tajam. Dialah ketua RT setempat.

“Saya harus memberi pelajaran untuk menantu kurang ajar ini, Pak! Bisa-bisanya dia melaporkan suaminya sendiri!” seru Bu Ratna, napasnya memburu, penuh amarah.

“Yang salah anak Ibu, bukan saya!” Amora balas menatap tajam. “Dan dia pantas mendapatkan semua ini.”

“Anak saya salah?” Bu Ratna tertawa sinis. Tawanya kasar, penuh ejekan. “Hei, Amora! Sadar diri, dong! Laki-laki nggak mungkin berpaling kalau istrinya cantik, menarik, dan pantas dibanggakan! Sementara kamu? Cermin aja mungkin jijik lihat kamu! Jelek, burik, bau!” Tawanya makin lebar. Jemarinya menjentik tepat di depan wajah Amora, merendahkan seolah Amora tak lebih dari debu.

“Pantes Enzo cari yang lain. Siapa juga yang tahan hidup serumah sama perempuan spek pembantu kayak kamu!”

Amora diam sejenak, menatap Bu Ratna dengan tatapan datar. Perlahan, senyum tipis mengembang di bibirnya, tapi bukan senyum lemah melainkan senyum orang yang sudah hancur tapi bangkit lagi dengan lebih kuat.

“Sebelum saya jadi jelek, burik, dan bau seperti yang Ibu bilang, saya juga pernah cantik, wangi, modis. Tapi tahu kenapa saya berubah? Karena Ibu dan anak Ibu yang membuat saya jadi begini. Kalian nggak pernah kasih saya uang sepeser pun buat beli baju baru atau sekadar ke salon. Lihat saya sekarang hasil dari perlakuan kalian sendiri!”

Wajah Bu Ratna merah padam. “Oh, jadi sekarang kamu mau fitnah saya dan anak saya?!”

“Fitnah?” Amora menyipitkan mata, menyeringai. “Saya bicara fakta. Kalau Ibu nggak terima, itu masalah Ibu.”

“Kamu-!”

“Sudah, Bu! Sudah, Amora!” Enzo buru-buru menyela, berkeringat dingin. Matanya melirik sekeliling. Kamera ponsel warga mulai terangkat, merekam semuanya. Rahasia kotornya bisa viral kapan saja. “Berhenti ribut di sini! Kita omongin baik-baik di rumah!”

Amora menatap Enzo dengan tatapan paling kosong yang pernah dimiliki seorang istri. Dingin, mati rasa, tak ada cinta, tak ada iba. Yang ada hanya kehancuran yang kini berubah menjadi bara dendam.

“Kalau begitu, aku pulang duluan. Selamat atas pernikahan keduamu. Semoga bahagia… dan cepat dapat anak!” katanya datar. Bukan ucapan tulus, melainkan racun berbalut senyum sopan. Enzo bergidik, firasatnya buruk. Sangat buruk.

“Bagus! Sana kamu pergi! Tapi jangan lupa beresin rumah, siapkan kamar pengantin buat Enzo dan Livy!” seru Bu Ratna pongah. “Masak juga yang enak buat mereka!”

Dia pikir Amora masih perempuan polos yang bisa diperintah seenaknya.

Tapi Amora hanya tertawa pelan, lalu berkata lirih namun tajam, “Kenapa harus disiapkan kamar, Bu? Bukannya lebih baik di teras? Atau mungkin… besok pagi mereka bisa pamer di tengah jalan? Biar sekalian aja semua orang bisa nonton, kan?”

“Amora! Jangan makin kurang ajar kamu!” Enzo geram, tapi Amora tak goyah sedikit pun.

Dengan anggun, Amora membalikkan badan, berjalan menjauh tanpa menoleh lagi. Di belakang, hanya ada orang-orang yang selama ini merendahkannya. Sekarang giliran mereka yang akan Amora buat berlutut. Tidak ada air mata, tidak ada kelemahan.

Perempuan bodoh, tertindas yang dulu mencintai Enzo sudah mati. Yang tersisa hanya Amora yang berpikir dengan kepala, bukan lagi dengan hati.

***

Beberapa waktu kemudian…

“Boleh saya bertemu dengan Bapak Aiden?” tanya Amora, kini berdiri di depan meja resepsionis gedung kantor megah.

“Sudah ada janji?” tanya wanita di balik meja itu dengan nada datar.

“Belum.”

“Maaf, kalau tidak ada janji, Anda tidak bisa bertemu beliau. Silakan buat janji dulu.” Kalimatnya sopan, tapi matanya meremehkan. Lusuh, pikirnya. Dan saat Amora berbalik untuk pergi, resepsionis itu tak bisa menahan bibirnya untuk berbisik pelan namun jelas, “Lusuh!”

Amora menghentikan langkahnya. Pelan-pelan ia menoleh, lalu mengeluarkan ponsel butut dari tasnya. Dengan tenang, ia menekan tombol panggil.

“Aku di bawah.”

Beberapa detik kemudian…

Tring!

Telepon meja resepsionis berdering. Perempuan itu menyambar gagang telepon. Wajahnya mendadak pucat pasi. Tubuhnya kaku seperti patung.

“Ma…maaf… Anda boleh langsung naik… Tuan Aiden… menunggu Anda…” Amora menoleh perlahan. Tatapannya menusuk lurus ke mata resepsionis itu, penuh kemenangan.

“Apa katanya?”

“Silakan… langsung ke ruangannya…”

Dengan langkah tenang, Amora berjalan menuju lift, meninggalkan resepsionis yang masih membeku di tempatnya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • BANGKITNYA ISTRI YANG TERTINDAS   BAB 143

    Di tengah terik matahari yang hangat, suasana di teras rumah Jericho dan Amora dipenuhi aroma bawang goreng, kecap, dan kacang yang menggugah selera. Kandungan Amora kini sudah semakin membesar. Perutnya sudah menjadi bundar, menandakan usianya sudah memasuki bulan kelima. Kehamilan ini telah membawa rutinitas baru yang aneh, didominasi oleh ngidam mendadak Amora.Hari ini, keinginan Amora mencapai puncaknya: ia ingin makan ketoprak, tetapi dengan syarat tukang ketopraknya harus siaga di sampingnya saat ia makan. Tidak hanya itu, ia juga butuh dessert berupa es dawet, dan entah mengapa, Jericho dipaksa cosplay menjadi tukang es dawet dengan gerobak pinjaman yang sudah bersih mengkilat."Dek, Abang mau ngomong," kata Aiden yang tampak ragu-ragu saat hendak mengutarakan niatnya. Ia melihat ke sekeliling, merasa canggung dengan seting drama ngidam ini."Ngomong aja, Bang!" timpal Amora. Perempuan hamil itu sedang menikmati ketoprak yang baru saja dibelikan oleh sang suami. Ia mengunyah

  • BANGKITNYA ISTRI YANG TERTINDAS   BAB 142

    Keheningan yang mencekam telah menyelimuti ruang tunggu di luar kamar mandi sejak Amora masuk beberapa menit yang lalu. Jericho, yang biasanya tenang dan percaya diri, kini mondar-mandir seperti setrikaan, mengabaikan statusnya sebagai seorang 'Jericho' yang seharusnya selalu berkepala dingin. Setiap detik terasa seperti jam."MASSSS!" teriak Amora dari arah kamar mandi. Suara itu bukan jeritan ketakutan, melainkan ledakan syok dan emosi yang campur aduk.Jericho yang memang sedari tadi menunggu di depan pintu segera berlari untuk masuk. Ia menerobos masuk, jantungnya berdebar kencang. Takut, jika sesuatu yang buruk terjadi kepada sang istri. Ia membayangkan skenario terburuk, mulai dari hasil negatif hingga Amora terpeleset."Iya, kenapa, Sayang?" tanya Jericho panik. Matanya langsung menyapu lantai, mencari tanda-tanda bahaya."I-ini..." Amora berdiri mematung, wajahnya pucat, tetapi matanya berkaca-kaca. Amora menyerahkan testpack itu dengan tangan gemetar. Ia tidak sanggup menata

  • BANGKITNYA ISTRI YANG TERTINDAS   BAB 141

    Plak!Suara tamparan itu memecah keheningan sore. Wajah Vanya tertoleh ke samping ketika sang Ayah tiba-tiba saja menamparnya dengan sangat keras. Kemurkaan jelas tergambar di wajah pria tua itu. Matanya merah, urat-urat di lehernya menegang."Ba-bapak?" lirih Vanya tak percaya. Air mata yang sudah mengering karena syok, kini mengalir lagi, bercampur dengan rasa sakit di pipi. Ayahnya, pria yang seharusnya menjadi pelindungnya, kini menjadi algojonya."Ini semua gara-gara kamu! Kamu yang sudah membuat kita semua jadi gembel!" tuding sang Ayah penuh kebencian. Ia tidak mau mengakui kesalahannya menandatangani kertas kosong. Lebih mudah menyalahkan Vanya, yang membawa Herman ke dalam hidup mereka.Vanya menggeleng dengan air mata yang mengalir deras. Kerasnya tamparan itu tak hanya menyisakan sakit di pipi tapi juga di hati. Ia merasa hancur, dikhianati oleh kekasih, dan kini disalahkan oleh keluarganya sendiri."Kenapa malah nyalahin Vanya sih, Pak? Kan, Bapak sendiri yang mau tanda ta

  • BANGKITNYA ISTRI YANG TERTINDAS   BAB 140

    Dulu, Herman kehilangan segalanya karena ketahuan selingkuh oleh istrinya. Ia mengingat tatapan kosong istrinya, tuntutan cerai yang dingin, dan pintu yang tertutup di wajahnya. Dan, selingkuhan Herman kala itu adalah Vanya.Herman mengakui kebodohannya, tetapi rasa sakitnya berlipat ganda karena Vanya, sumber dari kehancurannya, malah melenggang bebas dan mendapatkan kehidupan baru. Harta, status sosial dan segala kemewahan yang dulu Herman dapatkan dari sang istri seketika musnah tak bersisa. Ia jatuh dari langit ke lumpur. Sementara, Vanya pun langsung pergi begitu saja dan malah menikah dengan Enzo tanpa peduli lagi pada nasib Herman. Kebahagiaan Vanya adalah racun bagi Herman.Jadi, wajar jika Herman sekarang membalas dendam pada Vanya, kan? Baginya, ini bukan sekadar pembalasan, melainkan reklamasi keadilan yang harus ia ambil sendiri."Hahahahaha!! Hanya modal duit sedikit, tapi sekarang aku bisa dapatkan uang yang jauh lebih banyak. Ini sih namanya ketiban durian runtuh," uca

  • BANGKITNYA ISTRI YANG TERTINDAS   BAB 139

    Di ruang perawatan rumah sakit yang kini hening, ketegangan akibat kedatangan Enzo telah berganti menjadi rasa lega yang dangkal. Pintu terbuka, dan Herman masuk, membawa aura percaya diri yang mencolok."Gimana, Mas?" tanya Vanya pada pria yang baru saja memasuki ruang perawatannya. Vanya tersenyum, senyum yang dipaksakan dan penuh harapan. "Sudah aku bayar semuanya, Va," jawab Herman tersenyum. Senyumnya lebar, seolah ia baru saja memenangkan lotre, padahal ia baru saja membayar biaya persalinan selingkuhannya. "Sekarang, kita bisa pulang." Ia melangkah mendekat, memberikan sentuhan di bahu Vanya, sebuah gestur kepemilikan."Syukurlah!" ucap Ibunda Vanya penuh kelegaan. Ia menarik napas dalam-dalam, mengusap dadanya. Ketakutan akan tuntutan rumah sakit telah lenyap. "Terima kasih ya, Nak Herman! Kalau nggak ada Nak Herman, mungkin Vanya dan bayinya masih akan tetap ditahan oleh pihak rumah sakit." Pujian itu tulus dari perspektifnya yang hanya melihat uang dan kebebasan.Pria itu

  • BANGKITNYA ISTRI YANG TERTINDAS   BAB 138

    Di ruangan yang dingin dan berbau obat, keheningan Enzo setelah keterkejutannya langsung dipecah oleh reaksi panik Vanya. Vanya reflek menutupi wajah bayinya kembali. Ekspresi gugup tak bisa ia sembunyikan. Matanya melebar, napasnya tersengal, dan keringat dingin membasahi pelipisnya."Namanya juga bayi baru lahir, Mas. Maklumlah, kalau wajahnya agak beda sama kamu," ujar Vanya beralasan. Suaranya terdengar terlalu keras, mencoba menutupi getaran panik di dalamnya. Ia berharap Enzo yang dulu, Enzo yang mudah dibujuk dan dibutakan oleh rasa bersalah, masih ada.Mendengar alasan mantan istrinya, Enzo langsung tersenyum kecewa. Ia menyadari, dia tidak sebodoh yang Vanya kira lagi. Pengkhianatan Vanya, ironisnya, terasa seperti pengakuan terakhir bahwa ia telah sepenuhnya lepas dari bayang-bayang masa lalunya yang naif."Tapi, nggak beda sampai semua-muanya juga kan, Va?" celetuk Enzy sambil tertawa kecil. Tawa Enzy adalah tawa kemenangan yang dingin. Ia menatap Vanya dengan tatapan menil

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status