Puas. Itu satu-satunya kata yang bisa menggambarkan perasaan Amora saat melihat suaminya dan perempuan jalang itu diarak keliling kampung. Dua sejoli itu diseret warga bagaikan pesakitan. Wajah Enzo penuh lebam, Livy berurai air mata, berantakan, lusuh, tak ada lagi sisa keseksiannya. Selesai dipermalukan, mereka digiring kembali ke rumah untuk dipaksa menikah secara siri.
“Mas, aku nggak mau nikah kayak gini. Aku maunya resepsi gede-gedean, Mas! Pake gaun, karpet merah, bunga di mana-mana!” rengek Livy seperti anak kecil kehilangan mainan. Enzo menarik napas berat, berusaha menenangkan wanita itu sambil mengusap pipinya yang bengkak. “Iya, Sayang… nanti Mas wujudkan mimpi kamu. Tapi sekarang kita nurut dulu sama warga. Siri dulu. Resepsinya nanti kita rancang bareng, ya?” Livy mengerucutkan bibir, cemberut, lalu memalingkan muka. Misuh-misuh tak jelas, seperti anak kecil dipaksa makan sayur. “Eh, perempuan murahan! Nih, pake baju ini buat nikahanmu!” Bu Titis melemparkan sebuah kebaya model jadul ke hadapan Livy. Warnanya kusam, benangnya mulai berbulu. Seolah memang disiapkan untuk mempermalukan. “Baju apaan nih?! Jelek banget! Aku nggak mau pake beginian!” Livy memekik jijik. “Pakai aja! Itu baju kebesaran buat pernikahan perempuan murahan kayak kamu!” sahut Bu Titis, menyeringai penuh puas. “Mas!” rengek Livy lagi, hampir menangis karena tak terima. “Udah, Sayang. Pake aja. Daripada dimaki-maki lagi, lebih baik turuti aja dulu!” bujuk Enzo, pasrah. Dengan kaki menghentak-hentak, Livy akhirnya mengenakan kebaya murahan itu. Penampilannya lebih mirip badut pasar malam ketimbang pengantin. Enzo sendiri mengenakan kembali kemeja dan celana panjang lusuhnya, lalu duduk di samping Livy menunggu keluarga datang untuk menyaksikan drama murahan ini. “Ya ampun, Enzo! Nak, kenapa kamu kayak gini?!” Suara lantang itu milik Bu Ratna ibunya Enzo yang baru saja datang sambil berlari tergopoh-gopoh. Wajahnya campuran panik dan marah. “Ibu…” lirih Enzo seraya memeluknya. “Kenapa bisa begini, Nak? Apa-apaan ini?” tangis Bu Ratna pecah. “Khilaf, Bu… aku khilaf…” Enzo hanya bisa tertunduk seperti bocah ketahuan mencuri kue. “Ya Allah! Muka kamu kenapa?! Kok lebam begini?” jerit Bu Ratna histeris. “Dipukul warga, Bu…” Darah Bu Ratna mendidih seketika. Dengan mata melotot, ia menatap satu per satu wajah warga yang hadir, siap menyerang siapa saja yang berani menyentuh anaknya lagi. “Kalian semua kebangetan! Anak saya dipukuli kayak binatang! Tega kalian!” “Anak sampean dipukuli karena pantas dipukuli! Zina siang bolong di komplek orang! Apa nggak malu?!” bentak salah satu warga, tak kalah emosi. “Jaga mulutmu! Anak saya nggak pernah bikin masalah di komplek ini sebelumnya! Urusan ranjangnya juga urusan dia sendiri! Suka-suka anak saya dong, mau ngapain! Toh, dia melakukannya juga sama calon istrinya sendiri!” Deg! Ucapan itu menusuk dada Amora lebih dalam dari pisau mana pun. Jadi… mertuanya tahu? Mertuanya setuju dengan perselingkuhan ini? Bahkan membela anaknya mentah-mentah di depan umum? Amora menatap kosong. Seketika amarahnya membara, menyulut seluruh tubuhnya seperti kobaran api yang tak bisa dipadamkan. “Pantes kelakuannya kayak binatang,” desis Bu Titis tajam. “Ternyata ibunya sendiri yang ngajarin.” Bu Ratna memicingkan mata ke arah sumber suara. Pandangannya beralih dan berhenti tepat pada sosok Amora. “Jadi kamu… kamu ada di sini, dan tega membiarkan suami kamu dipermalukan kayak gini?!” “Iya, Bu. Dari tadi saya memang ada di sini,” jawab Amora pelan, tenang. Tapi, sorot matanya menyimpan badai yang siap menghantam siapa pun yang berani menentangnya. “Dia yang laporin kami, Bu!” Livy langsung menunjuk Amora sambil menangis. “Oh, jadi… ini ulah perempuan miskin ini?” Langkah Bu Ratna menghentak mendekat. Tanpa aba-aba- Plak! Satu tamparan mendarat tepat di pipi Amora. Kepalanya sedikit terhuyung, tapi sorot matanya tetap menyala, tidak surut sedikit pun. “Istri durhaka! Seharusnya kamu lindungi suami kamu! Jangan malah mempermalukan keluargamu sendiri!” bentak Bu Ratna dengan nafas memburu. Amora mendongak. Senyum sinis terbit di bibirnya. “Iya, Bu. Saya sengaja.” “Kurang ajar!” Bu Ratna kembali mengangkat tangannya, siap menyabet pipi Amora untuk kedua kalinya. “Cukup! Jangan bikin keributan di sini!” bentak seorang pria dengan peci hitam di kepalanya. Tegas. Matanya tajam. Dialah ketua RT setempat. “Saya harus memberi pelajaran untuk menantu kurang ajar ini, Pak! Bisa-bisanya dia melaporkan suaminya sendiri!” seru Bu Ratna, napasnya memburu, penuh amarah. “Yang salah anak Ibu, bukan saya!” Amora balas menatap tajam. “Dan dia pantas mendapatkan semua ini.” “Anak saya salah?” Bu Ratna tertawa sinis. Tawanya kasar, penuh ejekan. “Hei, Amora! Sadar diri, dong! Laki-laki nggak mungkin berpaling kalau istrinya cantik, menarik, dan pantas dibanggakan! Sementara kamu? Cermin aja mungkin jijik lihat kamu! Jelek, burik, bau!” Tawanya makin lebar. Jemarinya menjentik tepat di depan wajah Amora, merendahkan seolah Amora tak lebih dari debu. “Pantes Enzo cari yang lain. Siapa juga yang tahan hidup serumah sama perempuan spek pembantu kayak kamu!” Amora diam sejenak, menatap Bu Ratna dengan tatapan datar. Perlahan, senyum tipis mengembang di bibirnya, tapi bukan senyum lemah melainkan senyum orang yang sudah hancur tapi bangkit lagi dengan lebih kuat. “Sebelum saya jadi jelek, burik, dan bau seperti yang Ibu bilang, saya juga pernah cantik, wangi, modis. Tapi tahu kenapa saya berubah? Karena Ibu dan anak Ibu yang membuat saya jadi begini. Kalian nggak pernah kasih saya uang sepeser pun buat beli baju baru atau sekadar ke salon. Lihat saya sekarang hasil dari perlakuan kalian sendiri!” Wajah Bu Ratna merah padam. “Oh, jadi sekarang kamu mau fitnah saya dan anak saya?!” “Fitnah?” Amora menyipitkan mata, menyeringai. “Saya bicara fakta. Kalau Ibu nggak terima, itu masalah Ibu.” “Kamu-!” “Sudah, Bu! Sudah, Amora!” Enzo buru-buru menyela, berkeringat dingin. Matanya melirik sekeliling. Kamera ponsel warga mulai terangkat, merekam semuanya. Rahasia kotornya bisa viral kapan saja. “Berhenti ribut di sini! Kita omongin baik-baik di rumah!” Amora menatap Enzo dengan tatapan paling kosong yang pernah dimiliki seorang istri. Dingin, mati rasa, tak ada cinta, tak ada iba. Yang ada hanya kehancuran yang kini berubah menjadi bara dendam. “Kalau begitu, aku pulang duluan. Selamat atas pernikahan keduamu. Semoga bahagia… dan cepat dapat anak!” katanya datar. Bukan ucapan tulus, melainkan racun berbalut senyum sopan. Enzo bergidik, firasatnya buruk. Sangat buruk. “Bagus! Sana kamu pergi! Tapi jangan lupa beresin rumah, siapkan kamar pengantin buat Enzo dan Livy!” seru Bu Ratna pongah. “Masak juga yang enak buat mereka!” Dia pikir Amora masih perempuan polos yang bisa diperintah seenaknya. Tapi Amora hanya tertawa pelan, lalu berkata lirih namun tajam, “Kenapa harus disiapkan kamar, Bu? Bukannya lebih baik di teras? Atau mungkin… besok pagi mereka bisa pamer di tengah jalan? Biar sekalian aja semua orang bisa nonton, kan?” “Amora! Jangan makin kurang ajar kamu!” Enzo geram, tapi Amora tak goyah sedikit pun. Dengan anggun, Amora membalikkan badan, berjalan menjauh tanpa menoleh lagi. Di belakang, hanya ada orang-orang yang selama ini merendahkannya. Sekarang giliran mereka yang akan Amora buat berlutut. Tidak ada air mata, tidak ada kelemahan. Perempuan bodoh, tertindas yang dulu mencintai Enzo sudah mati. Yang tersisa hanya Amora yang berpikir dengan kepala, bukan lagi dengan hati. *** Beberapa waktu kemudian… “Boleh saya bertemu dengan Bapak Aiden?” tanya Amora, kini berdiri di depan meja resepsionis gedung kantor megah. “Sudah ada janji?” tanya wanita di balik meja itu dengan nada datar. “Belum.” “Maaf, kalau tidak ada janji, Anda tidak bisa bertemu beliau. Silakan buat janji dulu.” Kalimatnya sopan, tapi matanya meremehkan. Lusuh, pikirnya. Dan saat Amora berbalik untuk pergi, resepsionis itu tak bisa menahan bibirnya untuk berbisik pelan namun jelas, “Lusuh!” Amora menghentikan langkahnya. Pelan-pelan ia menoleh, lalu mengeluarkan ponsel butut dari tasnya. Dengan tenang, ia menekan tombol panggil. “Aku di bawah.” Beberapa detik kemudian… Tring! Telepon meja resepsionis berdering. Perempuan itu menyambar gagang telepon. Wajahnya mendadak pucat pasi. Tubuhnya kaku seperti patung. “Ma…maaf… Anda boleh langsung naik… Tuan Aiden… menunggu Anda…” Amora menoleh perlahan. Tatapannya menusuk lurus ke mata resepsionis itu, penuh kemenangan. “Apa katanya?” “Silakan… langsung ke ruangannya…” Dengan langkah tenang, Amora berjalan menuju lift, meninggalkan resepsionis yang masih membeku di tempatnya.Udara di ruangan itu terasa berat, sesak dengan tangis yang baru saja mereda. Pria yang tadi mendekap Amoora dengan sabar, Aiden, memecah keheningan dengan nada lembut. "Sudah merasa lebih baik?" Hampir setengah jam Amoora terisak dalam pelukannya, membuat Aiden khawatir adiknya akan dehidrasi. "Mau minum?" tawar Aiden lagi, saat Amoora akhirnya melepaskan pelukan mereka. Amoora mengangguk lesu, "Boleh." Tanpa menunggu lama, Aiden beranjak berdiri. Dengan sigap, ia mengisi segelas kaca dengan air minum, lalu menyodorkannya pada Amoora. "Terima kasih," ucap Amoora dengan senyum tipis, meneguk air itu hingga tak bersisa. "Sekarang, bisakah kamu ceritakan, apa yang sebenarnya terjadi, Amoora?" desak Aiden, tatapannya penuh perhatian. Amoora menarik napas panjang, suaranya tercekat. "Enzo selingkuh." Mendengar pengakuan itu, Aiden seketika mematung. Jemarinya tanpa sadar mengepal erat, rahangnya mengeras. "Dia berani mengkhianati kamu?" suaranya tajam, sarat amarah. "Iya, Bang. Ak
“Berapa mahar yang Nak Enzo siapkan untuk putri kami?” tanya Pak Brata, suara tegasnya terdengar menusuk di tengah keramaian. Matanya menatap Enzo tanpa berkedip.“Saya… saya akan memberikan mahar sebesar lima ratus ribu rupiah, Pak,” jawab Enzo dengan suara pelan.“Lima ratus ribu?!” Alis Pak Brata langsung bertaut, wajahnya mengeras. “Kamu kira anak saya ini apa? Murahan?!”“Maaf, Pak. Cuma itu yang bisa Ibu saya bawa. Kami nggak ada uang lebih,” jelas Enzo, mulai gelisah.“Memangnya kamu nggak bawa uang sendiri? Biasanya kan sombong sekali bawa duit tebal ke mana-mana.”Enzo menunduk. “Dompet sama HP saya hilang, Pak. Nggak tahu ke mana.”Pak Brata menyipitkan mata, mencurigai. “Hilang? Di mana?”Enzo menggeleng, bingung. “Saya juga nggak ngerti, Pak. Padahal tadi masih ada.”“Pasti dicopet warga sini!” celetuk Bu Ratna lantang, tanpa berpikir panjang.Warga yang mendengar langsung menoleh serempak. Raut wajah mereka penuh ketidakrelaan. “Eh, jangan main tuduh, Bu! Kami bukan malin
Puas. Itu satu-satunya kata yang bisa menggambarkan perasaan Amora saat melihat suaminya dan perempuan jalang itu diarak keliling kampung. Dua sejoli itu diseret warga bagaikan pesakitan. Wajah Enzo penuh lebam, Livy berurai air mata, berantakan, lusuh, tak ada lagi sisa keseksiannya. Selesai dipermalukan, mereka digiring kembali ke rumah untuk dipaksa menikah secara siri.“Mas, aku nggak mau nikah kayak gini. Aku maunya resepsi gede-gedean, Mas! Pake gaun, karpet merah, bunga di mana-mana!” rengek Livy seperti anak kecil kehilangan mainan.Enzo menarik napas berat, berusaha menenangkan wanita itu sambil mengusap pipinya yang bengkak. “Iya, Sayang… nanti Mas wujudkan mimpi kamu. Tapi sekarang kita nurut dulu sama warga. Siri dulu. Resepsinya nanti kita rancang bareng, ya?”Livy mengerucutkan bibir, cemberut, lalu memalingkan muka. Misuh-misuh tak jelas, seperti anak kecil dipaksa makan sayur.“Eh, perempuan murahan! Nih, pake baju ini buat nikahanmu!” Bu Titis melemparkan sebuah kebay
“S-Saya…” suara Amora tercekat, gemetar.“Kamu maling, ya!?” tuduh perempuan berbadan subur di hadapannya, mata melotot curiga. Sepertinya, dia salah satu penghuni komplek itu.“Ma-”Belum sempat perempuan itu berteriak, Amora sigap membungkam mulutnya dengan telapak tangan. Nafas Amora berkejaran, matanya memohon.“Jangan teriak, Bu… Tolong, jangan teriak! Saya di sini bukan mau mencuri… Saya cuma mau memergoki suami saya yang… selingkuh,” bisiknya lirih, nyaris putus asa.Perempuan itu mengerjap, ragu. Tapi setelah melihat sorot mata Amora yang penuh luka, ia perlahan mengangguk. Amora pun melepaskan tangannya dari mulut perempuan tersebut.“Suami kamu siapa?” tanya ibu itu curiga.“Mas Enzo…”Perempuan itu langsung menyipitkan mata. “Lho, Mas Enzo? Mas Enzo itu calon suaminya si Livy! Masa’ iya sudah punya istri?”“Saya istri sahnya, Bu…” Amora menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan gemuruh dadanya. “Saya nggak pernah nyangka suami saya tega mengkhianati saya seperti ini.” Air
Pagi itu, Amora terbangun seperti biasa. Masih dengan rutinitasnya: membersihkan rumah, memasak untuk suami dan mertuanya, seolah hidupnya memang hanya sebatas itu bak pelayan tanpa upah di rumah sendiri.Tentang percakapan telepon Enzo dengan perempuan lain tadi malam, Amora memilih bungkam. Bukan karena tidak tahu. Tapi karena terlalu lelah menghadapi kenyataan. Cinta bisa membuatnya buta, iya. Tapi harga dirinya sebagai perempuan? Jangan pernah coba-coba diinjak.Apalagi kalau membayangkan nasibnya di rumah ini hanya sebagai babu, sementara perempuan lain duduk manis seperti ratu, darahnya mendidih. Tidak. Amora tak rela sedikit pun."Amora! Ini sarapan kok cuma segini? Mana cukup buat berlima!" bentak Bu Ratna sambil menjatuhkan sendoknya ke piring.Belum sempat Amora menjawab, Enzo sudah muncul, duduk di sebelah ibunya dengan wajah tak berdosa."Maaf, Bu. Berasnya habis," ujar Amora lirih, mencoba tetap tenang.Bu Ratna mendecak keras. "Ya belilah! Masa hal kayak gini mesti diaja
"Telan makanan itu! Cepat, telan!"Dengan mata melotot penuh amarah, seorang wanita paruh baya mencengkeram dagu menantunya, memaksa mulut itu terbuka. Tangannya yang lain menyumpalkan makanan basi ke dalam mulut perempuan muda yang terduduk lemas di lantai."Uhuk! Uhuk! Makanan ini... sudah basi, Bu..." Amora tersedak, air matanya meleleh deras, membasahi pipi pucatnya."Memangnya kenapa kalau basi?" desis ibu mertua itu tajam. "Masih makanan, kan? Apa kamu pikir pantas dapat hidangan mewah di rumah ini?!"Amora menggeleng lemah. "Tapi... ini sudah beracun, Bu. Mau Ibu racuni aku?"Senyum sinis melengkung di bibir wanita tua berambut konde itu."Racun? Huh! Kamu itu gembel! Dasar perempuan tak berguna!" tangannya melayang, menoyor kepala Amora dengan kasar. "Kamu harus tahu diri! Hidupmu saja sudah untung bisa numpang di rumah anakku!""Aku menantu Ibu," lirih Amora, mencoba bertahan dengan sisa harga dirinya."Menantu? Pantas? Dari mana? Anak siapa kamu?! Asal-usulmu saja nggak jela