Share

BAB 3

Author: jasheline
last update Last Updated: 2025-06-15 15:41:35

“S-Saya…” suara Amora tercekat, gemetar.

“Kamu maling, ya!?” tuduh perempuan berbadan subur di hadapannya, mata melotot curiga. Sepertinya, dia salah satu penghuni komplek itu.

“Ma-”

Belum sempat perempuan itu berteriak, Amora sigap membungkam mulutnya dengan telapak tangan. Nafas Amora berkejaran, matanya memohon.

“Jangan teriak, Bu… Tolong, jangan teriak! Saya di sini bukan mau mencuri… Saya cuma mau memergoki suami saya yang… selingkuh,” bisiknya lirih, nyaris putus asa.

Perempuan itu mengerjap, ragu. Tapi setelah melihat sorot mata Amora yang penuh luka, ia perlahan mengangguk. Amora pun melepaskan tangannya dari mulut perempuan tersebut.

“Suami kamu siapa?” tanya ibu itu curiga.

“Mas Enzo…”

Perempuan itu langsung menyipitkan mata. “Lho, Mas Enzo? Mas Enzo itu calon suaminya si Livy! Masa’ iya sudah punya istri?”

“Saya istri sahnya, Bu…” Amora menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan gemuruh dadanya. “Saya nggak pernah nyangka suami saya tega mengkhianati saya seperti ini.” Air mata mengalir pelan di pipinya. Kali ini, bukan sandiwara. Itu tangis luka yang sesungguhnya.

“Namamu siapa?”

“Amora.”

“Saya Titis. Rumah saya persis di depan sini,” kata perempuan itu, menunjuk rumahnya yang berhadapan langsung dengan tempat Enzo dan selingkuhannya berbuat mesum.

“Ah!” Tiba-tiba suara teriakan pelan terdengar dari dalam rumah.

“Suara apa itu?” Bu Titis mendongak, wajahnya mulai tegang.

“Suami saya… dan perempuan itu,” Amora menunduk, lidahnya kelu untuk melanjutkan. Bu Titis menyibak tirai pintu sedikit, mengintip.

“Ya Allah! Astaghfirullahal’adzim! Berani-beraninya mereka mesum di komplek saya!” desis Bu Titis, rahangnya mengeras, wajahnya memerah menahan murka.

Suara televisi di dalam rumah membuat Enzo dan perempuan itu tak sadar bahwa kini aib mereka sudah jadi tontonan.

“Bu… tolong… panggil warga! Kita grebek mereka!” bisik Amora penuh dendam.

Bu Titis menatap Amora dengan pandangan penuh simpati bercampur amarah. “Iya! Setuju banget! Mari kita ajari mereka sopan santun!”

Tanpa membuang waktu, Bu Titis segera memanggil warga. Sementara Amora berdiri tegak di belakang, menunggu detik-detik kehancuran suaminya sendiri. Luka di hatinya mungkin tak akan sembuh, tapi setidaknya… ada harga yang harus mereka bayar hari ini.

“Ssst! Jangan ribut! Kalau ketahuan mereka kabur lewat belakang, repot nanti!” perintah Bu Titis sambil menahan warga agar tetap diam.

Amora melangkah menjauh sejenak. Ia menatap langit. Dalam hatinya, ia tahu keputusan hari ini akan membelah hidupnya jadi dua bagian. Tak ada jalan pulang. Tak ada lagi rumah. Yang tersisa hanyalah reruntuhan luka yang harus ia punguti sendiri. Sudah. Bahtera rumah tangganya karam. Yang tersisa cuma dia… dan harga dirinya.

“B**sat kalian! Beraninya mesum di kampung kami!” teriak salah satu warga lantang.

Enzo dan selingkuhannya, Livy, melonjak panik. Mata mereka membelalak kaget melihat segerombolan warga masuk mendobrak batas privasi yang mereka kotori sendiri.

“A-a-apa-apaan ini!? Ka-kami bisa jelaskan-”

Enzo panik setengah mati. Ia berebut meraih celana, memakainya terburu-buru sambil mencoba menutupi bagian tubuh yang terlanjur memalukan. Livy pun tak kalah gugup. Dengan tangan gemetar, ia menarik dress tipisnya. Tapi tanpa pakaian dalam, tubuhnya tetap nyaris terekspos.

Bugh!

Satu pukulan keras mendarat di wajah Enzo. Ia terhuyung, memegangi pipinya. Livy? Tak sempat lari. Emak-emak yang sejak tadi menahan emosi langsung menerjang, menjambak rambut perempuan murahan itu. Histeris, teriakan, dan sumpah serapah memenuhi udara.

“Lebih baik kita arak saja mereka keliling komplek! Setelah itu, langsung kita nikahkan, lalu usir dari sini! Biar tahu rasa!” seru salah satu warga, penuh amarah.

“Setuju!” teriak yang lain kompak.

“Ja-jangan, Pak! Kami mohon! Jangan seperti itu!” Enzo memelas, suaranya nyaris serak.

“Mas… aku nggak mau diarak! Nanti keluargaku gimana, Mas?” rengek Livy panik, wajahnya pucat pasi.

“Halah! Tadi pas berbuat zina, ketawa-ketawa kayak setan kesurupan! Giliran ketahuan, baru tahu rasa! Dasar nggak tahu malu!” caci seorang warga.

“Heh! Perempuan gatel! Apa nggak ada tempat lain buat jual apem gratis? Kenapa harus di komplek ini, hah? Mau nyeret kami semua ke neraka bareng kamu ya!?” semprot seorang ibu-ibu dengan wajah merah padam.

“Ampun, Bu! Sa-saya khilaf… Saya minta maaf!” Livy membungkuk dengan wajah penuh rasa takut.

“Benar, Bu! Kami khilaf! Lagi pula… kami sebentar lagi mau menikah. Jadi…”

“Menikah karena zina malah bangga! Sudah izin sama istri sah, belum? Atau mau pura-pura nggak punya istri?” sergah Bu Titis tajam, menusuk Enzo tanpa ragu.

“Saya belum menikah, Bu. Saya single,” dalih Enzo cepat, berbohong tanpa merasa malu sedikit pun.

Amora mendengar kalimat itu serasa ditampar ribuan kali. Bibirnya bergetar, tapi matanya justru menatap Enzo penuh iba, bukan iba pada suaminya, melainkan iba pada dirinya sendiri yang telah begitu bodoh mempercayai pria itu selama ini.

“Kalau Mas Enzo single, terus… perempuan itu siapa?” tanya Bu Titis, menunjuk Amora.

Semua mata kini beralih ke Amora yang berdiri tenang, meski dalam dadanya badai sedang mengamuk. Air mata jatuh pelan, tapi senyumnya… senyumnya penuh luka bercampur ejekan pada dirinya sendiri. Ini tangis terakhir. Setelah ini, cukup. Hanya api yang tersisa di dadanya.

“Mo… Amora…” lirih Enzo, seolah melihat hantu dari masa lalu. Tubuhnya gemetar, ketakutan bukan karena warga, tapi karena dosa-dosa yang kini telanjang di depan mata istrinya sendiri.

“Ngapain aku di sini? Memangnya nggak boleh?” Amora menjawab datar. Suaranya tenang, justru itulah yang paling menakutkan.

Livy yang berdiri di samping Enzo memandang Amora dengan tatapan penuh hinaan. “Jadi… ini Amora? Istri yang katanya burik, bau, dan jelek itu?”

Duar! Kalimat itu menghantam tepat di ulu hati Amora. Nafasnya tercekat, matanya berkaca-kaca. Jadi… selama ini? Begitu rendahnya dia di mata pria yang pernah ia sebut rumah? Tuhan, bodohnya aku…

“Hah! Pantas aja Mas Enzo lebih pilih aku. Pantes aja dia bosan! Lihat dong, Mbak. Penampilan kamu aja kayak babu kampung. Mana ada laki-laki betah sama perempuan model kamu!” ejek Livy kejam.

Plak!

Sebuah tamparan keras mendarat mulus di pipi Livy. Kepalanya terpelintir ke samping. Salah satu emak-emak melayangkan tamparan itu tanpa ragu.

“Diam, dasar perempuan murahan! Sudah rebut suami orang, mulut kamu malah kayak comberan busuk!”

“Arak sekarang juga! Jangan kasih ampun!” teriak warga lain, amarah membuncah.

“Jangan, jangan! Saya mohon, jangan arak kami! Sayang… Amora, tolong! Jangan biarkan mereka permalukan Mas seperti ini! Nama baik Mas, nama toko kita… semuanya hancur kalau Mas dipermalukan seperti ini. Sayang, tolonglah…” Enzo merangkak mendekat, mencoba memohon dengan wajah memelas seperti anjing terluka. Ia menjual belas kasihan, berharap Amora masih memiliki sisa cinta untuk menyelamatkan harga dirinya.

Amora melangkah pelan mendekatinya. Tatapannya dingin, senyumnya tipis bukan senyum cinta, tapi senyum kemenangan setelah luka panjang.

Plak!

Tamparan keras kembali mendarat. Tapi kali ini dari Amora sendiri. Cukup. Ini cukup. Kebodohannya berakhir detik itu juga.

“Kamu berani tampar Mas!?” Enzo ternganga, tak percaya.

“Ya. Aku berani. Bagaimana rasanya? Sakit? Cuma sepersekian dari rasa sakit yang kamu kasih ke aku selama ini.”

“Jangan kurang ajar, Amora!” bentak Enzo, mulai terbakar emosi. Tapi dia tak bisa berbuat apa-apa. Tangan-tangan warga mencengkeram kuat kedua lengannya. Dosa-dosa Enzo menjerat tubuhnya, bukan cuma fisiknya.

“Heh, burik! Berani-beraninya kamu tampar Mas Enzo! Mau langsung dicerai, hah!?” Livy ikut berseru, tak rela ATM hidupnya diperlakukan seperti itu.

Plak!

Bukan lagi Amora yang menampar. Kini justru dirinya yang dihujani tamparan bertubi-tubi. Bukan sekali. Bukan dua kali. Berkali-kali. Tamparan penuh emosi dari para ibu-ibu yang sudah muak dengan kelakuan bejatnya.

“Aaaakh! Sakit! Sakit! Hentikan! Aku minta ampun!” teriak Livy histeris, menutup wajahnya yang kini mulai memerah dan bengkak.

Amora melangkah pelan. Matanya menusuk tajam, seperti belati menancap lurus ke jantung Livy. Dia meraih dagu perempuan murahan itu, mencengkeramnya kuat-kuat hingga rahang Livy bergetar.

“Aku bilang diam, bukan?” desis Amora pelan tapi penuh ancaman. “Mulut perempuan murahan yang apemnya bisa dicicip gratis siapa saja… nggak pantes ngomongin kekurangan perempuan lain. Paham?!”

Dengan satu hentakan keras, Amora mendorong wajah Livy hingga terhempas mundur. Livy meringis sambil memegangi rahangnya yang sakit.

“Bapak-bapak! Ibu-ibu! Silakan arak mereka sekarang! Jangan kasih ampun!” seru Amora lantang, melangkah mundur dengan penuh wibawa, seolah baru saja meletakkan mahkota kebenaran di kepalanya sendiri.

“Jangan! Amora! Tolong, Sayang! Hentikan mereka! Mas nggak mau dipermalukan kayak gini! Amora… aku mohon…” teriak Enzo. Panik. Putus asa. Dia digelandang warga seperti maling ayam, sedangkan Livy hanya bisa meringkuk, memeluk tubuh sendiri, wajahnya berantakan, harga dirinya hancur.

Tes.

Setitik air mata jatuh dari sudut mata Amora. Tapi tangis itu bukan lagi tangis luka. Ia segera menghapusnya cepat, lalu tersenyum tipis, getir dan penuh kemenangan.

“Hah… kenapa aku masih menangis? Aku sakit hati? Atau aku sedang menyesali kebodohanku selama ini?”

Ia terkekeh kecil. Bukan gila, tapi tawa perempuan yang akhirnya sadar bahwa cintanya selama bertahun-tahun ternyata hanya ia yang perjuangkan sendirian.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • BANGKITNYA ISTRI YANG TERTINDAS   BAB 51

    Angin sore itu terasa dingin di wajah Enzo, namun rasa dingin yang menusuk hatinya jauh lebih parah. Ia berdiri mematung di depan toko meubelnya, menatap kosong ke seberang jalan. Di sana, sebuah toko meubel baru yang megah baru saja dibuka. Spanduk besar terpampang mencolok, "Grand Opening! Diskon Hingga 70%!" Tawa riuh rendah dan percakapan pelanggan yang hilir mudik keluar masuk toko itu bagaikan alunan melodi kegagalan yang menyayat-nyayat telinganya.Seorang pegawainya, mendekat dengan wajah cemas yang tak bisa ia sembunyikan. "Pak Enzo, toko mereka ramai sekali. Mereka punya banyak sekali promo, dan harga produknya jauh lebih murah daripada kita. Pelanggan kita sepertinya semua pindah ke sana," lapor pegawai dengan nada gemetar.Enzo hanya bisa menghela napas panjang, mendengus. "Aku tahu, aku tidak buta!" Matanya menyala penuh keputusasaan. "Kalau begini terus, kita bisa bangkrut. Habis kita!" Ia mengusap wajahnya yang kusut dan menyugar rambutnya ke belakang. Enzo merasa sepe

  • BANGKITNYA ISTRI YANG TERTINDAS   BAB 50

    Pagi itu, Amora dengan berat hati menemui Enzo, mantan suaminya, di sebuah restoran. Ia merasa muak berhadapan dengan pria yang telah menyakitinya itu. Enzo menyambutnya dengan senyum lebar, memegang setangkai mawar merah dan kotak cokelat kecil. Melihat hadiah yang tampak tak seberapa itu, Amora tanpa sadar terkekeh sinis, merasa jijik dengan tingkah Enzo."Cokelat sekecil itu?" bisiknya dalam hati. Ia membayangkan Enzo memberikan hadiah itu kepada anak kecil. Tapi, anak siapa? Enzo tidak memiliki anak dengannya. "Apakah dia sudah punya anak dengan Livy?" pikir Amora, sebuah pertanyaan yang menyulut api cemburu yang sudah padam."Amora! Hai!" sapa Enzo dengan suara ramah yang dibuat-buat. "Sudah lama kita tidak bertemu. Kamu terlihat semakin cantik."Amora hanya mengangguk kaku, tidak menanggapi pujiannya. "Untuk apa kamu memanggilku ke sini, Mas? Ada yang perlu dibicarakan?" tanyanya, suaranya dingin dan datar."Duduk dulu, Amora," jawab Enzo. "Aku sudah pesan minuman kesukaanmu. Ju

  • BANGKITNYA ISTRI YANG TERTINDAS   BAB 49

    Suasana di ruang eksekutif terasa mencekam akibat amarah Aiden. Sang CEO muda itu berdiri dengan tatapan membara di hadapan beberapa karyawan yang berlutut ketakutan. Aiden merasa marah dan kecewa karena adiknya, Amora, diperlakukan tidak baik di wilayah kekuasaannya sendiri. Hal ini tidak hanya menyangkut masalah pribadi, tetapi juga harga diri dan otoritasnya sebagai pemimpin.Salah seorang karyawan yang berlutut, seorang pria paruh baya dengan kemeja sedikit kusut, memberanikan diri mengangkat wajahnya, air mata terlihat jelas menggenangi pelupuk matanya. Suaranya bergetar saat ia mencoba menyampaikan permohonan, "Pak… Pak Aiden… kami mohon ampun. Jangan pecat kami!"Karyawan lain menimpali dengan nada yang tak kalah memelas, "Iya, Pak. Kalau kami dipecat, lalu bagaimana nasib keluarga kami? Anak-anak kami akan makan apa, Pak?" Nada putus asa dalam suaranya semakin menambah suram suasana ruangan itu.Aiden mendengus sinis, tatapannya tajam menusuk setiap individu yang berlutut di h

  • BANGKITNYA ISTRI YANG TERTINDAS   BAB 48

    Hawa tegang menyelimuti ruangan. Para karyawan yang tadinya berani mengerubungi Amora, kini mundur perlahan. Kehadiran Aiden di tengah mereka terasa seperti sambaran petir yang tiba-tiba. Wajahnya yang memancarkan aura kekuasaan membuat nyali mereka menciut. Mereka menunduk, saling lirik, seolah baru saja tertangkap basah melakukan perbuatan buruk. Mereka semua tahu, Aiden bukanlah sosok yang bisa diajak main-main. Keheningan yang mencekam itu dipecahkan oleh suara Aiden yang menggelegar, menusuk setiap sudut ruangan. "Kenapa kalian semua diam? Saya tanya, kenapa?! Jawab pertanyaan saya! Siapa yang berani menyentuh adik saya, hah?" Matanya menatap tajam satu per satu wajah yang pucat pasi di depannya. Kebingungan menyelimuti mereka. "Adik?" gumam beberapa orang. Siapa yang Aiden maksud sebagai adiknya? Setahu mereka, Amora hanyalah seorang karyawan baru. Namun, cara Aiden membela Amora begitu protektif, seolah Amora adalah bagian terpenting dari hidupnya. Pandangan Aiden akhirnya ja

  • BANGKITNYA ISTRI YANG TERTINDAS   BAB 47

    Enzo menggeram, kepalan tangannya bergetar menahan amarah yang membuncah. Amora baru saja pergi, melenggang santai, seolah ancamannya tak lebih dari sekadar angin lalu. Rasanya seperti ada bara api yang membakar di dalam dadanya. Bagaimana bisa perempuan itu begitu berani? Begitu acuh tak acuh pada peringatannya? Enzo bersumpah, ia akan membuat Amora membayar mahal untuk semua ini. Janji itu bukan sekadar gertakan kosong, melainkan sebuah tekad yang membaja. "Aku akan merebut semua yang kamu miliki, Amora! Tunggu saja! Kamu akan menyesal!" gumamnya penuh dendam.Amarah Enzo akhirnya menuntunnya kembali ke toko meubel miliknya. Namun, pemandangan di sana tak kunjung meredakan kekesalannya. Sebaliknya, hal itu justru menambah beban di pundaknya. Toko meubel besar yang baru dibuka di seberang jalan tampak ramai, dipenuhi pembeli. Enzo merasakan dingin merayap di punggungnya. Toko itu, dengan produk-produknya yang lebih modern dan beragam, bagaikan raksasa yang siap menelan habis usahany

  • BANGKITNYA ISTRI YANG TERTINDAS   BAB 46

    "Kenapa Abang lihatin aku kayak gitu? Muka Abang kenapa ditekuk begitu?" Amora bertanya, merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ia bisa membaca ekspresi wajah Aiden, kakak laki-lakinya, yang terlihat gelisah dan penuh kekhawatiran. Hanya saat-saat tertentu Aiden menunjukkan sisi rapuhnya, terutama jika itu menyangkut Amora."Ini bukan tentang Abang, tapi tentang kamu," jawab Aiden, suaranya terdengar berat. "Kamu kenapa marah-marah begitu? Kayaknya ada badai di dalam sana, ya?" Ia menunjuk ke arah dada Amora, mencoba mencairkan suasana dengan candaan.Amora menghela napas panjang, melipat kedua tangannya di depan dada. "Aku kesal sama si Saras. Dia makin hari makin menyebalkan, Bang! Dia tidak tahu diri. Dia terus-menerus menantangku, seolah aku tidak ada artinya. Padahal, aku tidak pernah mengusiknya, aku tidak pernah mencari masalah dengannya. Tapi dia? Setiap kali dia melihatku, dia selalu membuat ulah. Aku tidak bisa menahan diriku untuk tidak marah. Rasanya aku ingin sekali menampa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status