“S-Saya…” suara Amora tercekat, gemetar.
“Kamu maling, ya!?” tuduh perempuan berbadan subur di hadapannya, mata melotot curiga. Sepertinya, dia salah satu penghuni komplek itu. “Ma-” Belum sempat perempuan itu berteriak, Amora sigap membungkam mulutnya dengan telapak tangan. Nafas Amora berkejaran, matanya memohon. “Jangan teriak, Bu… Tolong, jangan teriak! Saya di sini bukan mau mencuri… Saya cuma mau memergoki suami saya yang… selingkuh,” bisiknya lirih, nyaris putus asa. Perempuan itu mengerjap, ragu. Tapi setelah melihat sorot mata Amora yang penuh luka, ia perlahan mengangguk. Amora pun melepaskan tangannya dari mulut perempuan tersebut. “Suami kamu siapa?” tanya ibu itu curiga. “Mas Enzo…” Perempuan itu langsung menyipitkan mata. “Lho, Mas Enzo? Mas Enzo itu calon suaminya si Livy! Masa’ iya sudah punya istri?” “Saya istri sahnya, Bu…” Amora menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan gemuruh dadanya. “Saya nggak pernah nyangka suami saya tega mengkhianati saya seperti ini.” Air mata mengalir pelan di pipinya. Kali ini, bukan sandiwara. Itu tangis luka yang sesungguhnya. “Namamu siapa?” “Amora.” “Saya Titis. Rumah saya persis di depan sini,” kata perempuan itu, menunjuk rumahnya yang berhadapan langsung dengan tempat Enzo dan selingkuhannya berbuat mesum. “Ah!” Tiba-tiba suara teriakan pelan terdengar dari dalam rumah. “Suara apa itu?” Bu Titis mendongak, wajahnya mulai tegang. “Suami saya… dan perempuan itu,” Amora menunduk, lidahnya kelu untuk melanjutkan. Bu Titis menyibak tirai pintu sedikit, mengintip. “Ya Allah! Astaghfirullahal’adzim! Berani-beraninya mereka mesum di komplek saya!” desis Bu Titis, rahangnya mengeras, wajahnya memerah menahan murka. Suara televisi di dalam rumah membuat Enzo dan perempuan itu tak sadar bahwa kini aib mereka sudah jadi tontonan. “Bu… tolong… panggil warga! Kita grebek mereka!” bisik Amora penuh dendam. Bu Titis menatap Amora dengan pandangan penuh simpati bercampur amarah. “Iya! Setuju banget! Mari kita ajari mereka sopan santun!” Tanpa membuang waktu, Bu Titis segera memanggil warga. Sementara Amora berdiri tegak di belakang, menunggu detik-detik kehancuran suaminya sendiri. Luka di hatinya mungkin tak akan sembuh, tapi setidaknya… ada harga yang harus mereka bayar hari ini. “Ssst! Jangan ribut! Kalau ketahuan mereka kabur lewat belakang, repot nanti!” perintah Bu Titis sambil menahan warga agar tetap diam. Amora melangkah menjauh sejenak. Ia menatap langit. Dalam hatinya, ia tahu keputusan hari ini akan membelah hidupnya jadi dua bagian. Tak ada jalan pulang. Tak ada lagi rumah. Yang tersisa hanyalah reruntuhan luka yang harus ia punguti sendiri. Sudah. Bahtera rumah tangganya karam. Yang tersisa cuma dia… dan harga dirinya. “B**sat kalian! Beraninya mesum di kampung kami!” teriak salah satu warga lantang. Enzo dan selingkuhannya, Livy, melonjak panik. Mata mereka membelalak kaget melihat segerombolan warga masuk mendobrak batas privasi yang mereka kotori sendiri. “A-a-apa-apaan ini!? Ka-kami bisa jelaskan-” Enzo panik setengah mati. Ia berebut meraih celana, memakainya terburu-buru sambil mencoba menutupi bagian tubuh yang terlanjur memalukan. Livy pun tak kalah gugup. Dengan tangan gemetar, ia menarik dress tipisnya. Tapi tanpa pakaian dalam, tubuhnya tetap nyaris terekspos. Bugh! Satu pukulan keras mendarat di wajah Enzo. Ia terhuyung, memegangi pipinya. Livy? Tak sempat lari. Emak-emak yang sejak tadi menahan emosi langsung menerjang, menjambak rambut perempuan murahan itu. Histeris, teriakan, dan sumpah serapah memenuhi udara. “Lebih baik kita arak saja mereka keliling komplek! Setelah itu, langsung kita nikahkan, lalu usir dari sini! Biar tahu rasa!” seru salah satu warga, penuh amarah. “Setuju!” teriak yang lain kompak. “Ja-jangan, Pak! Kami mohon! Jangan seperti itu!” Enzo memelas, suaranya nyaris serak. “Mas… aku nggak mau diarak! Nanti keluargaku gimana, Mas?” rengek Livy panik, wajahnya pucat pasi. “Halah! Tadi pas berbuat zina, ketawa-ketawa kayak setan kesurupan! Giliran ketahuan, baru tahu rasa! Dasar nggak tahu malu!” caci seorang warga. “Heh! Perempuan gatel! Apa nggak ada tempat lain buat jual apem gratis? Kenapa harus di komplek ini, hah? Mau nyeret kami semua ke neraka bareng kamu ya!?” semprot seorang ibu-ibu dengan wajah merah padam. “Ampun, Bu! Sa-saya khilaf… Saya minta maaf!” Livy membungkuk dengan wajah penuh rasa takut. “Benar, Bu! Kami khilaf! Lagi pula… kami sebentar lagi mau menikah. Jadi…” “Menikah karena zina malah bangga! Sudah izin sama istri sah, belum? Atau mau pura-pura nggak punya istri?” sergah Bu Titis tajam, menusuk Enzo tanpa ragu. “Saya belum menikah, Bu. Saya single,” dalih Enzo cepat, berbohong tanpa merasa malu sedikit pun. Amora mendengar kalimat itu serasa ditampar ribuan kali. Bibirnya bergetar, tapi matanya justru menatap Enzo penuh iba, bukan iba pada suaminya, melainkan iba pada dirinya sendiri yang telah begitu bodoh mempercayai pria itu selama ini. “Kalau Mas Enzo single, terus… perempuan itu siapa?” tanya Bu Titis, menunjuk Amora. Semua mata kini beralih ke Amora yang berdiri tenang, meski dalam dadanya badai sedang mengamuk. Air mata jatuh pelan, tapi senyumnya… senyumnya penuh luka bercampur ejekan pada dirinya sendiri. Ini tangis terakhir. Setelah ini, cukup. Hanya api yang tersisa di dadanya. “Mo… Amora…” lirih Enzo, seolah melihat hantu dari masa lalu. Tubuhnya gemetar, ketakutan bukan karena warga, tapi karena dosa-dosa yang kini telanjang di depan mata istrinya sendiri. “Ngapain aku di sini? Memangnya nggak boleh?” Amora menjawab datar. Suaranya tenang, justru itulah yang paling menakutkan. Livy yang berdiri di samping Enzo memandang Amora dengan tatapan penuh hinaan. “Jadi… ini Amora? Istri yang katanya burik, bau, dan jelek itu?” Duar! Kalimat itu menghantam tepat di ulu hati Amora. Nafasnya tercekat, matanya berkaca-kaca. Jadi… selama ini? Begitu rendahnya dia di mata pria yang pernah ia sebut rumah? Tuhan, bodohnya aku… “Hah! Pantas aja Mas Enzo lebih pilih aku. Pantes aja dia bosan! Lihat dong, Mbak. Penampilan kamu aja kayak babu kampung. Mana ada laki-laki betah sama perempuan model kamu!” ejek Livy kejam. Plak! Sebuah tamparan keras mendarat mulus di pipi Livy. Kepalanya terpelintir ke samping. Salah satu emak-emak melayangkan tamparan itu tanpa ragu. “Diam, dasar perempuan murahan! Sudah rebut suami orang, mulut kamu malah kayak comberan busuk!” “Arak sekarang juga! Jangan kasih ampun!” teriak warga lain, amarah membuncah. “Jangan, jangan! Saya mohon, jangan arak kami! Sayang… Amora, tolong! Jangan biarkan mereka permalukan Mas seperti ini! Nama baik Mas, nama toko kita… semuanya hancur kalau Mas dipermalukan seperti ini. Sayang, tolonglah…” Enzo merangkak mendekat, mencoba memohon dengan wajah memelas seperti anjing terluka. Ia menjual belas kasihan, berharap Amora masih memiliki sisa cinta untuk menyelamatkan harga dirinya. Amora melangkah pelan mendekatinya. Tatapannya dingin, senyumnya tipis bukan senyum cinta, tapi senyum kemenangan setelah luka panjang. Plak! Tamparan keras kembali mendarat. Tapi kali ini dari Amora sendiri. Cukup. Ini cukup. Kebodohannya berakhir detik itu juga. “Kamu berani tampar Mas!?” Enzo ternganga, tak percaya. “Ya. Aku berani. Bagaimana rasanya? Sakit? Cuma sepersekian dari rasa sakit yang kamu kasih ke aku selama ini.” “Jangan kurang ajar, Amora!” bentak Enzo, mulai terbakar emosi. Tapi dia tak bisa berbuat apa-apa. Tangan-tangan warga mencengkeram kuat kedua lengannya. Dosa-dosa Enzo menjerat tubuhnya, bukan cuma fisiknya. “Heh, burik! Berani-beraninya kamu tampar Mas Enzo! Mau langsung dicerai, hah!?” Livy ikut berseru, tak rela ATM hidupnya diperlakukan seperti itu. Plak! Bukan lagi Amora yang menampar. Kini justru dirinya yang dihujani tamparan bertubi-tubi. Bukan sekali. Bukan dua kali. Berkali-kali. Tamparan penuh emosi dari para ibu-ibu yang sudah muak dengan kelakuan bejatnya. “Aaaakh! Sakit! Sakit! Hentikan! Aku minta ampun!” teriak Livy histeris, menutup wajahnya yang kini mulai memerah dan bengkak. Amora melangkah pelan. Matanya menusuk tajam, seperti belati menancap lurus ke jantung Livy. Dia meraih dagu perempuan murahan itu, mencengkeramnya kuat-kuat hingga rahang Livy bergetar. “Aku bilang diam, bukan?” desis Amora pelan tapi penuh ancaman. “Mulut perempuan murahan yang apemnya bisa dicicip gratis siapa saja… nggak pantes ngomongin kekurangan perempuan lain. Paham?!” Dengan satu hentakan keras, Amora mendorong wajah Livy hingga terhempas mundur. Livy meringis sambil memegangi rahangnya yang sakit. “Bapak-bapak! Ibu-ibu! Silakan arak mereka sekarang! Jangan kasih ampun!” seru Amora lantang, melangkah mundur dengan penuh wibawa, seolah baru saja meletakkan mahkota kebenaran di kepalanya sendiri. “Jangan! Amora! Tolong, Sayang! Hentikan mereka! Mas nggak mau dipermalukan kayak gini! Amora… aku mohon…” teriak Enzo. Panik. Putus asa. Dia digelandang warga seperti maling ayam, sedangkan Livy hanya bisa meringkuk, memeluk tubuh sendiri, wajahnya berantakan, harga dirinya hancur. Tes. Setitik air mata jatuh dari sudut mata Amora. Tapi tangis itu bukan lagi tangis luka. Ia segera menghapusnya cepat, lalu tersenyum tipis, getir dan penuh kemenangan. “Hah… kenapa aku masih menangis? Aku sakit hati? Atau aku sedang menyesali kebodohanku selama ini?” Ia terkekeh kecil. Bukan gila, tapi tawa perempuan yang akhirnya sadar bahwa cintanya selama bertahun-tahun ternyata hanya ia yang perjuangkan sendirian.Udara di ruangan itu terasa berat, sesak dengan tangis yang baru saja mereda. Pria yang tadi mendekap Amoora dengan sabar, Aiden, memecah keheningan dengan nada lembut. "Sudah merasa lebih baik?" Hampir setengah jam Amoora terisak dalam pelukannya, membuat Aiden khawatir adiknya akan dehidrasi. "Mau minum?" tawar Aiden lagi, saat Amoora akhirnya melepaskan pelukan mereka. Amoora mengangguk lesu, "Boleh." Tanpa menunggu lama, Aiden beranjak berdiri. Dengan sigap, ia mengisi segelas kaca dengan air minum, lalu menyodorkannya pada Amoora. "Terima kasih," ucap Amoora dengan senyum tipis, meneguk air itu hingga tak bersisa. "Sekarang, bisakah kamu ceritakan, apa yang sebenarnya terjadi, Amoora?" desak Aiden, tatapannya penuh perhatian. Amoora menarik napas panjang, suaranya tercekat. "Enzo selingkuh." Mendengar pengakuan itu, Aiden seketika mematung. Jemarinya tanpa sadar mengepal erat, rahangnya mengeras. "Dia berani mengkhianati kamu?" suaranya tajam, sarat amarah. "Iya, Bang. Ak
“Berapa mahar yang Nak Enzo siapkan untuk putri kami?” tanya Pak Brata, suara tegasnya terdengar menusuk di tengah keramaian. Matanya menatap Enzo tanpa berkedip.“Saya… saya akan memberikan mahar sebesar lima ratus ribu rupiah, Pak,” jawab Enzo dengan suara pelan.“Lima ratus ribu?!” Alis Pak Brata langsung bertaut, wajahnya mengeras. “Kamu kira anak saya ini apa? Murahan?!”“Maaf, Pak. Cuma itu yang bisa Ibu saya bawa. Kami nggak ada uang lebih,” jelas Enzo, mulai gelisah.“Memangnya kamu nggak bawa uang sendiri? Biasanya kan sombong sekali bawa duit tebal ke mana-mana.”Enzo menunduk. “Dompet sama HP saya hilang, Pak. Nggak tahu ke mana.”Pak Brata menyipitkan mata, mencurigai. “Hilang? Di mana?”Enzo menggeleng, bingung. “Saya juga nggak ngerti, Pak. Padahal tadi masih ada.”“Pasti dicopet warga sini!” celetuk Bu Ratna lantang, tanpa berpikir panjang.Warga yang mendengar langsung menoleh serempak. Raut wajah mereka penuh ketidakrelaan. “Eh, jangan main tuduh, Bu! Kami bukan malin
Puas. Itu satu-satunya kata yang bisa menggambarkan perasaan Amora saat melihat suaminya dan perempuan jalang itu diarak keliling kampung. Dua sejoli itu diseret warga bagaikan pesakitan. Wajah Enzo penuh lebam, Livy berurai air mata, berantakan, lusuh, tak ada lagi sisa keseksiannya. Selesai dipermalukan, mereka digiring kembali ke rumah untuk dipaksa menikah secara siri.“Mas, aku nggak mau nikah kayak gini. Aku maunya resepsi gede-gedean, Mas! Pake gaun, karpet merah, bunga di mana-mana!” rengek Livy seperti anak kecil kehilangan mainan.Enzo menarik napas berat, berusaha menenangkan wanita itu sambil mengusap pipinya yang bengkak. “Iya, Sayang… nanti Mas wujudkan mimpi kamu. Tapi sekarang kita nurut dulu sama warga. Siri dulu. Resepsinya nanti kita rancang bareng, ya?”Livy mengerucutkan bibir, cemberut, lalu memalingkan muka. Misuh-misuh tak jelas, seperti anak kecil dipaksa makan sayur.“Eh, perempuan murahan! Nih, pake baju ini buat nikahanmu!” Bu Titis melemparkan sebuah kebay
“S-Saya…” suara Amora tercekat, gemetar.“Kamu maling, ya!?” tuduh perempuan berbadan subur di hadapannya, mata melotot curiga. Sepertinya, dia salah satu penghuni komplek itu.“Ma-”Belum sempat perempuan itu berteriak, Amora sigap membungkam mulutnya dengan telapak tangan. Nafas Amora berkejaran, matanya memohon.“Jangan teriak, Bu… Tolong, jangan teriak! Saya di sini bukan mau mencuri… Saya cuma mau memergoki suami saya yang… selingkuh,” bisiknya lirih, nyaris putus asa.Perempuan itu mengerjap, ragu. Tapi setelah melihat sorot mata Amora yang penuh luka, ia perlahan mengangguk. Amora pun melepaskan tangannya dari mulut perempuan tersebut.“Suami kamu siapa?” tanya ibu itu curiga.“Mas Enzo…”Perempuan itu langsung menyipitkan mata. “Lho, Mas Enzo? Mas Enzo itu calon suaminya si Livy! Masa’ iya sudah punya istri?”“Saya istri sahnya, Bu…” Amora menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan gemuruh dadanya. “Saya nggak pernah nyangka suami saya tega mengkhianati saya seperti ini.” Air
Pagi itu, Amora terbangun seperti biasa. Masih dengan rutinitasnya: membersihkan rumah, memasak untuk suami dan mertuanya, seolah hidupnya memang hanya sebatas itu bak pelayan tanpa upah di rumah sendiri.Tentang percakapan telepon Enzo dengan perempuan lain tadi malam, Amora memilih bungkam. Bukan karena tidak tahu. Tapi karena terlalu lelah menghadapi kenyataan. Cinta bisa membuatnya buta, iya. Tapi harga dirinya sebagai perempuan? Jangan pernah coba-coba diinjak.Apalagi kalau membayangkan nasibnya di rumah ini hanya sebagai babu, sementara perempuan lain duduk manis seperti ratu, darahnya mendidih. Tidak. Amora tak rela sedikit pun."Amora! Ini sarapan kok cuma segini? Mana cukup buat berlima!" bentak Bu Ratna sambil menjatuhkan sendoknya ke piring.Belum sempat Amora menjawab, Enzo sudah muncul, duduk di sebelah ibunya dengan wajah tak berdosa."Maaf, Bu. Berasnya habis," ujar Amora lirih, mencoba tetap tenang.Bu Ratna mendecak keras. "Ya belilah! Masa hal kayak gini mesti diaja
"Telan makanan itu! Cepat, telan!"Dengan mata melotot penuh amarah, seorang wanita paruh baya mencengkeram dagu menantunya, memaksa mulut itu terbuka. Tangannya yang lain menyumpalkan makanan basi ke dalam mulut perempuan muda yang terduduk lemas di lantai."Uhuk! Uhuk! Makanan ini... sudah basi, Bu..." Amora tersedak, air matanya meleleh deras, membasahi pipi pucatnya."Memangnya kenapa kalau basi?" desis ibu mertua itu tajam. "Masih makanan, kan? Apa kamu pikir pantas dapat hidangan mewah di rumah ini?!"Amora menggeleng lemah. "Tapi... ini sudah beracun, Bu. Mau Ibu racuni aku?"Senyum sinis melengkung di bibir wanita tua berambut konde itu."Racun? Huh! Kamu itu gembel! Dasar perempuan tak berguna!" tangannya melayang, menoyor kepala Amora dengan kasar. "Kamu harus tahu diri! Hidupmu saja sudah untung bisa numpang di rumah anakku!""Aku menantu Ibu," lirih Amora, mencoba bertahan dengan sisa harga dirinya."Menantu? Pantas? Dari mana? Anak siapa kamu?! Asal-usulmu saja nggak jela