Share

BAB 5

Author: jasheline
last update Last Updated: 2025-06-15 15:42:16

“Berapa mahar yang Nak Enzo siapkan untuk putri kami?” tanya Pak Brata, suara tegasnya terdengar menusuk di tengah keramaian. Matanya menatap Enzo tanpa berkedip.

“Saya… saya akan memberikan mahar sebesar lima ratus ribu rupiah, Pak,” jawab Enzo dengan suara pelan.

“Lima ratus ribu?!” Alis Pak Brata langsung bertaut, wajahnya mengeras. “Kamu kira anak saya ini apa? Murahan?!”

“Maaf, Pak. Cuma itu yang bisa Ibu saya bawa. Kami nggak ada uang lebih,” jelas Enzo, mulai gelisah.

“Memangnya kamu nggak bawa uang sendiri? Biasanya kan sombong sekali bawa duit tebal ke mana-mana.”

Enzo menunduk. “Dompet sama HP saya hilang, Pak. Nggak tahu ke mana.”

Pak Brata menyipitkan mata, mencurigai. “Hilang? Di mana?”

Enzo menggeleng, bingung. “Saya juga nggak ngerti, Pak. Padahal tadi masih ada.”

“Pasti dicopet warga sini!” celetuk Bu Ratna lantang, tanpa berpikir panjang.

Warga yang mendengar langsung menoleh serempak. Raut wajah mereka penuh ketidakrelaan. “Eh, jangan main tuduh, Bu! Kami bukan maling!” sahut Bu Titis dengan suara berat. “Mulut dijaga, ya!”

“Nggak mungkin hilang gitu aja! Kalau bukan salah satu dari kalian, siapa lagi?!” balas Bu Ratna sengit.

Tanpa banyak omong, Bu Titis langsung berdiri. Tubuhnya besar, suaranya berat, dan kini kerah baju Bu Ratna sudah tergenggam di tangannya. Tatapannya tajam, penuh ancaman.

“Kamu mau saya seret ke kantor polisi? Berani-beraninya nuduh kami seenaknya!”

“A-ampun, jangan! Saya cuma... cuma...”

“Mulut kamu itu, loh! Awas kalau ngomong sembarangan lagi!” gertak Bu Titis sebelum melepaskan genggamannya. Bu Ratna langsung mundur, wajahnya pucat pasi. Baru kali ini dia berhadapan dengan lawan yang tak bisa diintimidasi.

“Baik! Mari kita mulai akad nikahnya,” ucap penghulu, mencoba menyelamatkan suasana.

“Saudara Enzo, silakan jabat tangan saya,” lanjutnya.

Pak Brata memilih mundur, menyerahkan tugas itu kepada sang penghulu dengan alasan tak ingin membuat suasana semakin keruh. Padahal, hatinya mendidih.

“Bismillahirrahmanirrahim. Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau, Lorenzo Sebastian bin Bastian, dengan Livya Melano binti Brata, dengan mas kawin uang tunai sebesar lima ratus ribu rupiah dibayar tunai.”

“Saya terima nikah dan kawinnya Livya Melano binti Brata dengan mas kawin tersebut, tunai.”

“Saksi?” tanya penghulu.

“Sah!”

Enzo tersenyum lebar. Meski situasi kacau, hatinya tetap berbunga-bunga. Akhirnya, aku bisa dapat Livy.

Dengan semangat, ia menoleh ke arah pengantin barunya. “Kamu senang, kan, Sayang?”

Livy melipat tangan di dada. “Enggak.”

Enzo tertegun. “Lho, kenapa?”

“Maharnya cuma lima ratus ribu. Masa segitu doang? Malu aku.”

“Nanti aku tambah, Sayang. Seratus juta, gimana?”

Livy mendecak pelan. “Lima ratus ribu beli gorengan aja kurang.”

Enzo menghela napas. “Nanti aku beliin kamu emas, kalung, gelang. Mau?”

Livy tetap cemberut. Diam. Tak ada rona bahagia di wajahnya. Begitu pula Pak Brata, yang duduk kaku dengan wajah kusut.

“Sudahlah, Livy! Jangan ngambek gitu!” timpal Bu Ratna berusaha menenangkan. “Ini keadaan mendesak. Nanti juga Enzo ganti maharnya.”

“Tapi, Bu…”

“Suami kamu itu orang kaya, Livy! Empat toko meubel besar semua atas nama dia. Seratus juta? Receh! Satu miliar pun dia sanggup kasih, asal...” Bu Ratna mendekat, menyempitkan jarak, menatap tajam ke mata Livy, “...kamu harus bisa jadi istri yang tahu diri. Bisa menyenangkan hati suami, juga hati mertua.”

Perlahan, pertahanan Livy mulai runtuh. Kata-kata Bu Ratna seperti racun manis yang menggerogoti akal sehatnya. Hatinya mulai goyah, walau dalam pikirannya jelas, semua yang diucapkan Bu Ratna hanyalah bualan. Mana mungkin Enzo sanggup menyetor uang sebanyak itu?

Tapi godaan itu terlalu menggiurkan untuk diabaikan.

“Ya udah... Livy terima maharnya segitu dulu.” Suaranya mulai melembut. “Tapi Ibu sama Mas Enzo harus janji. Uangnya nanti harus lebih besar. Harus!”

“Iya, Sayang! Mas janji! Apapun yang kamu mau, Mas kasih!” Enzo langsung memeluk Livy, menempelkan bibirnya di pelipis perempuan itu dengan manja.

“Aku juga pengin dinikahi secara sah negara, Mas. Bukan cuma di mata orang sini aja,” rengek Livy, matanya berkaca-kaca.

“Gampang. Pulang dari sini, Mas bakal paksa Amora tanda tangan surat persetujuan.”

“Kenapa nggak langsung ceraikan aja perempuan burik itu? Aku nggak mau ada dia. Aku pengen jadi satu-satunya istri kamu, Mas.”

“Jangan, Livy!” potong Bu Ratna cepat. “Amora itu sumber penghasilan gratis kami! Kalau dia cerai, siapa yang mau jadi babu di rumah kita?”

Tawa Livy meledak. Kini dia benar-benar menikmati posisi unggulnya.

“Jadi, Amora itu cuma babu buat Ibu dan Mas?”

Enzo tersenyum licik, ikut menikmati permainan kotornya. “Iya. Di mata kami dia nggak lebih dari pembantu yang nggak digaji.”

“Kalau aku?”

“Kamu ratu. Dan ratu nggak boleh ngambek terlalu lama.”

Livy masih menyisakan sedikit keraguan. “Tapi kalau Amora nolak gimana?”

Enzo terkekeh pelan. “Dia nggak bakal nolak. Dia bucin akut sama aku. Kalau aku bilang loncat, dia bakal nanya ‘sejauh apa, Mas?’”

Livy tersenyum puas. Kini, ia merasa menggenggam kendali penuh atas hidup laki-laki itu. Dengan modal kebodohan Amora, dia yakin bisa meraup seluruh harta Enzo sampai ke akar-akarnya.

“Kalau gitu, aku mau tinggal seatap sama kamu dan Ibu.”

Enzo mengernyit, berpikir keras. Rumah untuk Livy masih dalam cicilan. Kalau Livy ikut tinggal di rumahnya yang utama, proyeknya yang satu ini jadi berantakan.

“Kalau kamu tinggal di sana, yang tinggal di rumah ini siapa?”

“Tenang aja, ada Bapak,” sahut Pak Brata cepat, ikut nimbrung demi mengamankan masa depannya.

Enzo terdiam. Ada banyak hitungan berputar di kepalanya. Tapi saat melihat wajah Livy yang pura-pura sedih, pura-pura pasrah hatinya mencair lagi.

“Ya udah. Kamu boleh tinggal di rumahku yang satu lagi. Bapakmu biar tetap di sini.”

Livy tersenyum lebar. Pak Brata pun menghela nafas lega. Rencana kotor mereka satu per satu berjalan mulus.

***

Di tempat lain…

“Sudah selesai main sandiwara rumah tangganya, Amora?”

Suara itu terdengar dingin. Begitu Amora membuka pintu, aroma parfum mahal bercampur aroma tembakau tipis menyambutnya. Seorang pria berdiri membelakangi, menatap ke luar jendela gedung tinggi, memandang hiruk-pikuk kota yang tak pernah tidur.

“Hidup dengan pecundang seperti Enzo itu menyenangkan?” tanya pria itu, berbalik perlahan.

Deg!

Amora nyaris terhuyung. Nafasnya tercekat saat melihat sosok pria yang selama lima tahun ini hanya ada di sudut kenangannya. Namun, ia cepat menguasai diri. Dengan langkah berat, Amora mendekat.

“Saya kalah, Tuan Aiden,” ucap Amora, suara bergetar. “Sesuai kesepakatan, lima persen saham saya... silakan ambil.”

Aiden tersenyum miring. Tatapannya menusuk, penuh misteri.

“Tapi sebelum itu... bolehkah saya minta satu hal?” bisik Amora lirih. “Saya cuma butuh... satu pelukan. Saya... lelah.”

Untuk pertama kalinya, senyum hangat muncul di wajah Aiden. Ia membuka kedua tangannya lebar.

“Kemari.”

Air mata Amora tak terbendung lagi. Ia berlari, seperti anak kecil yang menemukan rumahnya kembali.

“Selamat datang kembali... Adik kecilku,” bisik Aiden. “Rumahmu nggak pernah pindah ke mana-mana. Selalu di sini. Selalu.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • BANGKITNYA ISTRI YANG TERTINDAS   BAB 107

    "Kamu, Zy! Beraninya kamu ngotak-atik HP-ku, hah?! Lancang!" Renald berteriak dengan suara yang menggelegar, wajahnya merah padam. Ia menarik tangannya yang memegang ponsel dengan kasar dari genggaman Enzy, seolah benda itu adalah sebuah benda pusaka yang sangat berharga. Ia mencengkeram ponsel itu erat-erat, seolah takut Enzy akan mengambilnya lagi.Enzy tersentak, tangannya yang kosong terasa dingin dan hampa, seperti ada sesuatu yang baru saja direnggut darinya, sesuatu yang sangat penting. "Mas... aku... aku cuma ingin mengantar HP-mu ke kamar," jawab Enzy, suaranya bergetar, berusaha mencari-cari alasan yang setidaknya bisa diterima, alasan yang tidak akan memicu amarahnya. "Aku lihat tergeletak di meja, Mas. Aku takut hilang." Ia mencoba meraih kembali ponsel itu, seolah dengan memegangnya, ia bisa mendapatkan kembali kendali atas situasi ini, namun Renald lebih cepat, menyembunyikannya di belakang punggungnya."Nggak usah banyak alasan! Aku tahu niatmu apa! Kamu ingin cari-car

  • BANGKITNYA ISTRI YANG TERTINDAS   BAB 106

    "ENZY! Di mana kamu? ENZY!!!"Suara Renald menggelegar di malam yang sunyi, kakinya terseok-seok menabrak meja. Jaket jeans-nya terlempar, mendarat di atas tumpukan koran. Matanya nanar mencari seseorang yang tidak kunjung ditemukan. Setiap sudut ruangan terasa seperti jebakan."Kamu di mana, Enzy? Kenapa nggak jawab?!" Renald berteriak lagi, suaranya serak. Darah di dalam tubuhnya mendidih. Amarahnya memuncak seperti gelombang pasang yang siap menerjang. Napasnya memburu, memancarkan bau alkohol yang menusuk hidung, memenuhi udara lembap di dalam rumah. Punggungnya membungkuk, kepalanya pusing, dan seluruh tubuhnya terasa memberat."ENZY! DASAR PEREMPUAN SIALAN! DI MANA KAMU?!" Tangan Renald mengepal. Ia membanting tubuhnya ke atas sofa usang, membuat debu beterbangan. Pegas-pegas sofa itu mengeluh di bawah bebannya. Kepalanya terasa dipukul-pukul dari dalam, perutnya terasa kosong dan perih, seperti ada lubang yang menganga."Iya, Mas? Ada apa, sih?" Suara Enzy bergetar, tergesa-ge

  • BANGKITNYA ISTRI YANG TERTINDAS   BAB 105

    Di sebuah kafe di pojok mall yang tenang, Amora menyesap boba milk tea-nya. Ia menatap Dheanda, sahabatnya, yang duduk di seberangnya. "Bang Aiden, gimana? Masih galak juga, De?" tanyanya, suaranya pelan dan penuh selidik.Dheanda tertawa kecil, memegang cangkir boba milk tea-nya. "Ya, begitulah, Mo. Tapi, sekarang aku udah mulai terbiasa. Jadi, udah nggak apa-apa," jawab Dheanda, matanya tersenyum. "Awal-awal sih, aku sering nangis. Setiap kali dimarahi, rasanya mau langsung resign. Pulang ke rumah, aku ngadu ke bapak, 'Pak, aku mau berhenti kerja aja. Atasan aku galak banget.' Eh Bapak malah cuma ketawa, 'Ya udah, sabar aja, namanya juga kerja. Nggak semua bos baik.' Tapi sekarang, udah kebal, Mo. Malah kadang aku yang pengen marah balik. Tapi nggak jadi, takut dipecat," tambahnya sambil bercanda."Wah, hebat kamu, De! Aku aja kalau dimarahin dia, rasanya pengen ngambek dan nggak mau pulang ke rumah," sahut Amora, menyilangkan kedua kakinya. "Emangnya, dia marahnya separah apa, si

  • BANGKITNYA ISTRI YANG TERTINDAS   BAB 104

    Kening Amora berkerut saat mendengar seseorang memanggil namanya dari arah belakang. Ia berbalik, dan pandangannya bertemu dengan Enzo. Matanya melebar, tubuhnya seketika menegang. Enzo duduk di kursi roda, wajahnya terlihat pucat dan kurus."Amora! Syukurlah, ternyata aku nggak salah orang," ucap Enzo. Ia tersenyum getir, mencoba bangkit dari kursi rodanya. "Kamu... kamu kenapa datang ke rumah sakit? Kamu sakit?" tanyanya."Bukan urusan kamu," jawab Amora. Nada suaranya dingin, tanpa emosi. Ia tidak peduli dengan kondisi Enzo. Ia hanya ingin pergi dari sini.Mendengar jawaban ketus sang mantan istri, Enzo tampak menghela napas berat. "Amora, kamu masih marah sama Mas, ya?" tanyanya dengan suara yang terdengar memelas.Amora memilih diam. Dia malas meladeni Enzo lebih jauh. Ia hanya ingin taksi online-nya datang secepatnya dan membawanya pergi dari sana. Namun, Enzo tidak menyerah. Ia mencoba mendekat, membuat Amora merasa tidak nyaman. "Mas minta maaf atas semuanya, Ra! Tolong maafk

  • BANGKITNYA ISTRI YANG TERTINDAS   BAB 103

    Amora mengerjap tak percaya. Calon suaminya, Jericho, baru saja membahas topik sensitif ini dengan begitu santai di hadapan dokter. Topik yang selama bertahun-tahun ia pikirkan, bahkan sampai membuat dirinya merasa hancur. Dulu, ini adalah aib yang harus disembunyikan. Sebuah kekurangan yang selalu disematkan pada dirinya, membuatnya merasa tak berharga. Tapi di sini, di ruang konsultasi yang terang dan steril, Jericho membahasnya seolah itu adalah hal paling wajar di dunia, seakan mereka hanya membicarakan rencana liburan.Amora merasa malu, tetapi ada senyum kecil yang tak bisa ia tahan. Di sisi lain, Dokter Mayya, sepupu Jericho, justru menanggapi dengan antusias. Matanya berbinar penuh godaan, seolah ini adalah proyek paling menarik yang pernah ia tangani. Ia menyandarkan punggungnya ke kursi, membiarkan Jericho dan Amora merasa nyaman."Kondisi Amora sangat sehat, Jer. Kamu juga," ucap Dokter Mayya sambil memandang Jericho penuh makna. Ia mengamati ekspresi wajah Jericho yang te

  • BANGKITNYA ISTRI YANG TERTINDAS   BAB 102

    “Va, bisa tolong bantu saya pake celana, nggak?”Enzo bertanya. Suaranya serak, penuh nada tak berdaya. Ia merasa begitu kecil dan rapuh. Baru saja ia selesai mandi, tubuhnya masih terasa lemas dan kaku. Ia kesulitan mengenakan celananya sendiri. Tangannya gemetar, seolah tak memiliki kekuatan untuk menggenggam, apalagi menarik kain tebal itu. "Dulu, aku bisa menaklukkan dunia. Sekarang, aku bahkan tak bisa mengenakan celanaku sendiri. Betapa tak bergunanya diriku." Pemandangan dirinya yang dulu gagah, kini hanya bisa duduk tak berdaya di kursi roda, terasa bagai siksaan batin yang tak berkesudahan. Ia merindukan otot-otot kakinya yang dulu kuat, yang bisa membawanya ke mana saja, kapan saja. Kini, ia hanya bisa memohon bantuan untuk hal-hal sepele, hal-hal yang dulu ia lakukan tanpa berpikir dua kali. “Aduh, bentar, Mas! Lagi nanggung, nih!” Vanya menjawab tanpa menoleh. Tatapannya terpaku pada cermin di depannya, sibuk memoles wajahnya dengan make-up. Kuas bedak dan eyeliner meliu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status