“Berapa mahar yang Nak Enzo siapkan untuk putri kami?” tanya Pak Brata, suara tegasnya terdengar menusuk di tengah keramaian. Matanya menatap Enzo tanpa berkedip.
“Saya… saya akan memberikan mahar sebesar lima ratus ribu rupiah, Pak,” jawab Enzo dengan suara pelan. “Lima ratus ribu?!” Alis Pak Brata langsung bertaut, wajahnya mengeras. “Kamu kira anak saya ini apa? Murahan?!” “Maaf, Pak. Cuma itu yang bisa Ibu saya bawa. Kami nggak ada uang lebih,” jelas Enzo, mulai gelisah. “Memangnya kamu nggak bawa uang sendiri? Biasanya kan sombong sekali bawa duit tebal ke mana-mana.” Enzo menunduk. “Dompet sama HP saya hilang, Pak. Nggak tahu ke mana.” Pak Brata menyipitkan mata, mencurigai. “Hilang? Di mana?” Enzo menggeleng, bingung. “Saya juga nggak ngerti, Pak. Padahal tadi masih ada.” “Pasti dicopet warga sini!” celetuk Bu Ratna lantang, tanpa berpikir panjang. Warga yang mendengar langsung menoleh serempak. Raut wajah mereka penuh ketidakrelaan. “Eh, jangan main tuduh, Bu! Kami bukan maling!” sahut Bu Titis dengan suara berat. “Mulut dijaga, ya!” “Nggak mungkin hilang gitu aja! Kalau bukan salah satu dari kalian, siapa lagi?!” balas Bu Ratna sengit. Tanpa banyak omong, Bu Titis langsung berdiri. Tubuhnya besar, suaranya berat, dan kini kerah baju Bu Ratna sudah tergenggam di tangannya. Tatapannya tajam, penuh ancaman. “Kamu mau saya seret ke kantor polisi? Berani-beraninya nuduh kami seenaknya!” “A-ampun, jangan! Saya cuma... cuma...” “Mulut kamu itu, loh! Awas kalau ngomong sembarangan lagi!” gertak Bu Titis sebelum melepaskan genggamannya. Bu Ratna langsung mundur, wajahnya pucat pasi. Baru kali ini dia berhadapan dengan lawan yang tak bisa diintimidasi. “Baik! Mari kita mulai akad nikahnya,” ucap penghulu, mencoba menyelamatkan suasana. “Saudara Enzo, silakan jabat tangan saya,” lanjutnya. Pak Brata memilih mundur, menyerahkan tugas itu kepada sang penghulu dengan alasan tak ingin membuat suasana semakin keruh. Padahal, hatinya mendidih. “Bismillahirrahmanirrahim. Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau, Lorenzo Sebastian bin Bastian, dengan Livya Melano binti Brata, dengan mas kawin uang tunai sebesar lima ratus ribu rupiah dibayar tunai.” “Saya terima nikah dan kawinnya Livya Melano binti Brata dengan mas kawin tersebut, tunai.” “Saksi?” tanya penghulu. “Sah!” Enzo tersenyum lebar. Meski situasi kacau, hatinya tetap berbunga-bunga. Akhirnya, aku bisa dapat Livy. Dengan semangat, ia menoleh ke arah pengantin barunya. “Kamu senang, kan, Sayang?” Livy melipat tangan di dada. “Enggak.” Enzo tertegun. “Lho, kenapa?” “Maharnya cuma lima ratus ribu. Masa segitu doang? Malu aku.” “Nanti aku tambah, Sayang. Seratus juta, gimana?” Livy mendecak pelan. “Lima ratus ribu beli gorengan aja kurang.” Enzo menghela napas. “Nanti aku beliin kamu emas, kalung, gelang. Mau?” Livy tetap cemberut. Diam. Tak ada rona bahagia di wajahnya. Begitu pula Pak Brata, yang duduk kaku dengan wajah kusut. “Sudahlah, Livy! Jangan ngambek gitu!” timpal Bu Ratna berusaha menenangkan. “Ini keadaan mendesak. Nanti juga Enzo ganti maharnya.” “Tapi, Bu…” “Suami kamu itu orang kaya, Livy! Empat toko meubel besar semua atas nama dia. Seratus juta? Receh! Satu miliar pun dia sanggup kasih, asal...” Bu Ratna mendekat, menyempitkan jarak, menatap tajam ke mata Livy, “...kamu harus bisa jadi istri yang tahu diri. Bisa menyenangkan hati suami, juga hati mertua.” Perlahan, pertahanan Livy mulai runtuh. Kata-kata Bu Ratna seperti racun manis yang menggerogoti akal sehatnya. Hatinya mulai goyah, walau dalam pikirannya jelas, semua yang diucapkan Bu Ratna hanyalah bualan. Mana mungkin Enzo sanggup menyetor uang sebanyak itu? Tapi godaan itu terlalu menggiurkan untuk diabaikan. “Ya udah... Livy terima maharnya segitu dulu.” Suaranya mulai melembut. “Tapi Ibu sama Mas Enzo harus janji. Uangnya nanti harus lebih besar. Harus!” “Iya, Sayang! Mas janji! Apapun yang kamu mau, Mas kasih!” Enzo langsung memeluk Livy, menempelkan bibirnya di pelipis perempuan itu dengan manja. “Aku juga pengin dinikahi secara sah negara, Mas. Bukan cuma di mata orang sini aja,” rengek Livy, matanya berkaca-kaca. “Gampang. Pulang dari sini, Mas bakal paksa Amora tanda tangan surat persetujuan.” “Kenapa nggak langsung ceraikan aja perempuan burik itu? Aku nggak mau ada dia. Aku pengen jadi satu-satunya istri kamu, Mas.” “Jangan, Livy!” potong Bu Ratna cepat. “Amora itu sumber penghasilan gratis kami! Kalau dia cerai, siapa yang mau jadi babu di rumah kita?” Tawa Livy meledak. Kini dia benar-benar menikmati posisi unggulnya. “Jadi, Amora itu cuma babu buat Ibu dan Mas?” Enzo tersenyum licik, ikut menikmati permainan kotornya. “Iya. Di mata kami dia nggak lebih dari pembantu yang nggak digaji.” “Kalau aku?” “Kamu ratu. Dan ratu nggak boleh ngambek terlalu lama.” Livy masih menyisakan sedikit keraguan. “Tapi kalau Amora nolak gimana?” Enzo terkekeh pelan. “Dia nggak bakal nolak. Dia bucin akut sama aku. Kalau aku bilang loncat, dia bakal nanya ‘sejauh apa, Mas?’” Livy tersenyum puas. Kini, ia merasa menggenggam kendali penuh atas hidup laki-laki itu. Dengan modal kebodohan Amora, dia yakin bisa meraup seluruh harta Enzo sampai ke akar-akarnya. “Kalau gitu, aku mau tinggal seatap sama kamu dan Ibu.” Enzo mengernyit, berpikir keras. Rumah untuk Livy masih dalam cicilan. Kalau Livy ikut tinggal di rumahnya yang utama, proyeknya yang satu ini jadi berantakan. “Kalau kamu tinggal di sana, yang tinggal di rumah ini siapa?” “Tenang aja, ada Bapak,” sahut Pak Brata cepat, ikut nimbrung demi mengamankan masa depannya. Enzo terdiam. Ada banyak hitungan berputar di kepalanya. Tapi saat melihat wajah Livy yang pura-pura sedih, pura-pura pasrah hatinya mencair lagi. “Ya udah. Kamu boleh tinggal di rumahku yang satu lagi. Bapakmu biar tetap di sini.” Livy tersenyum lebar. Pak Brata pun menghela nafas lega. Rencana kotor mereka satu per satu berjalan mulus. *** Di tempat lain… “Sudah selesai main sandiwara rumah tangganya, Amora?” Suara itu terdengar dingin. Begitu Amora membuka pintu, aroma parfum mahal bercampur aroma tembakau tipis menyambutnya. Seorang pria berdiri membelakangi, menatap ke luar jendela gedung tinggi, memandang hiruk-pikuk kota yang tak pernah tidur. “Hidup dengan pecundang seperti Enzo itu menyenangkan?” tanya pria itu, berbalik perlahan. Deg! Amora nyaris terhuyung. Nafasnya tercekat saat melihat sosok pria yang selama lima tahun ini hanya ada di sudut kenangannya. Namun, ia cepat menguasai diri. Dengan langkah berat, Amora mendekat. “Saya kalah, Tuan Aiden,” ucap Amora, suara bergetar. “Sesuai kesepakatan, lima persen saham saya... silakan ambil.” Aiden tersenyum miring. Tatapannya menusuk, penuh misteri. “Tapi sebelum itu... bolehkah saya minta satu hal?” bisik Amora lirih. “Saya cuma butuh... satu pelukan. Saya... lelah.” Untuk pertama kalinya, senyum hangat muncul di wajah Aiden. Ia membuka kedua tangannya lebar. “Kemari.” Air mata Amora tak terbendung lagi. Ia berlari, seperti anak kecil yang menemukan rumahnya kembali. “Selamat datang kembali... Adik kecilku,” bisik Aiden. “Rumahmu nggak pernah pindah ke mana-mana. Selalu di sini. Selalu.”Angin sore itu terasa dingin di wajah Enzo, namun rasa dingin yang menusuk hatinya jauh lebih parah. Ia berdiri mematung di depan toko meubelnya, menatap kosong ke seberang jalan. Di sana, sebuah toko meubel baru yang megah baru saja dibuka. Spanduk besar terpampang mencolok, "Grand Opening! Diskon Hingga 70%!" Tawa riuh rendah dan percakapan pelanggan yang hilir mudik keluar masuk toko itu bagaikan alunan melodi kegagalan yang menyayat-nyayat telinganya.Seorang pegawainya, mendekat dengan wajah cemas yang tak bisa ia sembunyikan. "Pak Enzo, toko mereka ramai sekali. Mereka punya banyak sekali promo, dan harga produknya jauh lebih murah daripada kita. Pelanggan kita sepertinya semua pindah ke sana," lapor pegawai dengan nada gemetar.Enzo hanya bisa menghela napas panjang, mendengus. "Aku tahu, aku tidak buta!" Matanya menyala penuh keputusasaan. "Kalau begini terus, kita bisa bangkrut. Habis kita!" Ia mengusap wajahnya yang kusut dan menyugar rambutnya ke belakang. Enzo merasa sepe
Pagi itu, Amora dengan berat hati menemui Enzo, mantan suaminya, di sebuah restoran. Ia merasa muak berhadapan dengan pria yang telah menyakitinya itu. Enzo menyambutnya dengan senyum lebar, memegang setangkai mawar merah dan kotak cokelat kecil. Melihat hadiah yang tampak tak seberapa itu, Amora tanpa sadar terkekeh sinis, merasa jijik dengan tingkah Enzo."Cokelat sekecil itu?" bisiknya dalam hati. Ia membayangkan Enzo memberikan hadiah itu kepada anak kecil. Tapi, anak siapa? Enzo tidak memiliki anak dengannya. "Apakah dia sudah punya anak dengan Livy?" pikir Amora, sebuah pertanyaan yang menyulut api cemburu yang sudah padam."Amora! Hai!" sapa Enzo dengan suara ramah yang dibuat-buat. "Sudah lama kita tidak bertemu. Kamu terlihat semakin cantik."Amora hanya mengangguk kaku, tidak menanggapi pujiannya. "Untuk apa kamu memanggilku ke sini, Mas? Ada yang perlu dibicarakan?" tanyanya, suaranya dingin dan datar."Duduk dulu, Amora," jawab Enzo. "Aku sudah pesan minuman kesukaanmu. Ju
Suasana di ruang eksekutif terasa mencekam akibat amarah Aiden. Sang CEO muda itu berdiri dengan tatapan membara di hadapan beberapa karyawan yang berlutut ketakutan. Aiden merasa marah dan kecewa karena adiknya, Amora, diperlakukan tidak baik di wilayah kekuasaannya sendiri. Hal ini tidak hanya menyangkut masalah pribadi, tetapi juga harga diri dan otoritasnya sebagai pemimpin.Salah seorang karyawan yang berlutut, seorang pria paruh baya dengan kemeja sedikit kusut, memberanikan diri mengangkat wajahnya, air mata terlihat jelas menggenangi pelupuk matanya. Suaranya bergetar saat ia mencoba menyampaikan permohonan, "Pak… Pak Aiden… kami mohon ampun. Jangan pecat kami!"Karyawan lain menimpali dengan nada yang tak kalah memelas, "Iya, Pak. Kalau kami dipecat, lalu bagaimana nasib keluarga kami? Anak-anak kami akan makan apa, Pak?" Nada putus asa dalam suaranya semakin menambah suram suasana ruangan itu.Aiden mendengus sinis, tatapannya tajam menusuk setiap individu yang berlutut di h
Hawa tegang menyelimuti ruangan. Para karyawan yang tadinya berani mengerubungi Amora, kini mundur perlahan. Kehadiran Aiden di tengah mereka terasa seperti sambaran petir yang tiba-tiba. Wajahnya yang memancarkan aura kekuasaan membuat nyali mereka menciut. Mereka menunduk, saling lirik, seolah baru saja tertangkap basah melakukan perbuatan buruk. Mereka semua tahu, Aiden bukanlah sosok yang bisa diajak main-main. Keheningan yang mencekam itu dipecahkan oleh suara Aiden yang menggelegar, menusuk setiap sudut ruangan. "Kenapa kalian semua diam? Saya tanya, kenapa?! Jawab pertanyaan saya! Siapa yang berani menyentuh adik saya, hah?" Matanya menatap tajam satu per satu wajah yang pucat pasi di depannya. Kebingungan menyelimuti mereka. "Adik?" gumam beberapa orang. Siapa yang Aiden maksud sebagai adiknya? Setahu mereka, Amora hanyalah seorang karyawan baru. Namun, cara Aiden membela Amora begitu protektif, seolah Amora adalah bagian terpenting dari hidupnya. Pandangan Aiden akhirnya ja
Enzo menggeram, kepalan tangannya bergetar menahan amarah yang membuncah. Amora baru saja pergi, melenggang santai, seolah ancamannya tak lebih dari sekadar angin lalu. Rasanya seperti ada bara api yang membakar di dalam dadanya. Bagaimana bisa perempuan itu begitu berani? Begitu acuh tak acuh pada peringatannya? Enzo bersumpah, ia akan membuat Amora membayar mahal untuk semua ini. Janji itu bukan sekadar gertakan kosong, melainkan sebuah tekad yang membaja. "Aku akan merebut semua yang kamu miliki, Amora! Tunggu saja! Kamu akan menyesal!" gumamnya penuh dendam.Amarah Enzo akhirnya menuntunnya kembali ke toko meubel miliknya. Namun, pemandangan di sana tak kunjung meredakan kekesalannya. Sebaliknya, hal itu justru menambah beban di pundaknya. Toko meubel besar yang baru dibuka di seberang jalan tampak ramai, dipenuhi pembeli. Enzo merasakan dingin merayap di punggungnya. Toko itu, dengan produk-produknya yang lebih modern dan beragam, bagaikan raksasa yang siap menelan habis usahany
"Kenapa Abang lihatin aku kayak gitu? Muka Abang kenapa ditekuk begitu?" Amora bertanya, merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ia bisa membaca ekspresi wajah Aiden, kakak laki-lakinya, yang terlihat gelisah dan penuh kekhawatiran. Hanya saat-saat tertentu Aiden menunjukkan sisi rapuhnya, terutama jika itu menyangkut Amora."Ini bukan tentang Abang, tapi tentang kamu," jawab Aiden, suaranya terdengar berat. "Kamu kenapa marah-marah begitu? Kayaknya ada badai di dalam sana, ya?" Ia menunjuk ke arah dada Amora, mencoba mencairkan suasana dengan candaan.Amora menghela napas panjang, melipat kedua tangannya di depan dada. "Aku kesal sama si Saras. Dia makin hari makin menyebalkan, Bang! Dia tidak tahu diri. Dia terus-menerus menantangku, seolah aku tidak ada artinya. Padahal, aku tidak pernah mengusiknya, aku tidak pernah mencari masalah dengannya. Tapi dia? Setiap kali dia melihatku, dia selalu membuat ulah. Aku tidak bisa menahan diriku untuk tidak marah. Rasanya aku ingin sekali menampa