Share

BAB 8

Author: jasheline
last update Last Updated: 2025-07-23 14:51:42

Amora memejamkan mata, membiarkan punggungnya menyerap kelembutan kasur yang tak pernah ia rasakan selama berbulan-bulan. Sebuah desahan lega lolos dari bibirnya. "Aku rindu kamar ini!" ucapnya, seolah memeluk setiap sudut ruangan yang menjadi saksi bisu kehidupannya dulu.

Aiden, kakaknya, tersenyum hangat. "Abang berusaha menjaga supaya kamar ini selalu terlihat sama. Supaya, jika kamu pulang nanti, kamu tidak akan merasa asing," celetuknya, suaranya dipenuhi kasih sayang.

Mata Amora berkaca-kaca. Hatinya menghangat, merasakan gelombang haru yang menyeruak di dadanya. Sebuah senyum tulus merekah di bibirnya. "Terima kasih, Abang!" ucapnya lirih, penuh rasa syukur.

"Ganti pakaianmu sebelum tidur! Kalau Abang boleh jujur, Abang benar-benar sakit mata melihat penampilanmu yang seperti ini!" perintah Aiden tanpa tedeng aling-aling.

Bola mata Amora membulat sempurna, terkejut dengan kejujuran frontal kakaknya. Bibirnya mencebik. Kakaknya memang tidak pernah suka basa-basi sejak dulu, dan ia selalu menghargai kejujuran itu, meski terkadang menyakitkan.

"Iya, iya," jawab Amora pasrah, tak bisa membantah.

"Abang akan kembali ke kamar sekarang. Selamat tidur! Besok pagi, kita jumpa di meja makan!" pamit Aiden.

"Iya, Bang!" angguk Amora antusias, semburat ceria terpancar di wajahnya. "Selamat tidur!" balasnya, tak sabar menyongsong esok hari.

Amora tertegun di depan lemari pakaiannya. Entah sudah berapa lama ia tidak melihat baju-baju sebagus ini. Semuanya adalah model terbaru dengan harga yang hampir semuanya benar-benar fantastis.

"Abang ternyata masih ingat sama seleraku. Semua bajunya cantik-cantik," gumam Amora, senyum tipis terukir di bibirnya. Ia benar-benar bingung harus memilih piyama yang mana, karena semuanya sungguh sangat bagus.

Setelah membersihkan diri dan mengenakan piyama yang ia pilih, Amora duduk di depan meja rias. Matanya menatap pantulan dirinya di cermin, memperhatikan wajahnya yang kini terlihat sangat kusam.

Tanpa sadar, jemarinya menyentuh pipinya sendiri. Sebuah senyum miris terukir di bibirnya saat ia membandingkan penampilannya dulu dengan keadaannya sekarang.

"Kenapa aku baru sadar kalau selama ini aku benar-benar terlihat seperti seorang pembantu?" lirih Amora, suaranya bergetar. "Bukan. Bahkan, pembantu saja, mungkin jauh lebih terawat dibanding aku," tambahnya, getir.

"Aku benar-benar ditipu oleh Mas Enzo. Selama ini, aku percaya bahwa dia benar-benar mencintaiku apa adanya. Tapi, ternyata tidak. Dia memintaku untuk tidak membeli

skincare dan pakaian bagus bukan karena ikhlas menerimaku apa adanya. Tapi, karena dia memang tidak sudi mengeluarkan uangnya untuk aku," bisiknya, matanya memancarkan kekecewaan yang mendalam.

Sudut hati Amora bergetar hebat. Bayangan penampilan selingkuhan suaminya tiba-tiba muncul di benaknya. Livy, dengan segala keseksiannya. Kulitnya mungkin tidak terlalu putih, namun wajahnya mulus dan terawat. Ia juga pandai berpenampilan menggoda, dengan make-up dan lingerie yang membuat Enzo sampai mabuk kepayang.

"Kenapa aku terlalu dibutakan cinta, Tuhan!? Andai dulu aku menolak Mas Enzo, tidak mungkin nasibku akan menyedihkan ini!" erang Amora, matanya terpejam erat.

Tangan Amora terkepal sangat erat. Rasa benci terhadap Enzo semakin menggunung saat ia mengingat kembali semua perlakuan Enzo selama ini terhadap dirinya.

"Kita benar-benar harus membuat perhitungan, Mas! Aku yang mengantarkan kamu menuju ke puncak kesuksesan. Maka, aku pula yang harus mengantarkan kamu untuk turun ke dasar kebangkrutan. Kita lihat, apakah gundikmu masih akan memujamu jika kamu sudah kembali ke asalmu?" bisik Amora penuh tekad, matanya berkilat tajam.

Sementara itu, Enzo dan Livy tengah terlibat perdebatan kecil. "Masih belum ada kabar dari Amora, Zo?" tanya Bu Ratna. Enzo menggeleng lemas. "Belum, Bu," jawabnya.

Bu Ratna menyarankan, "Kalau begitu, lebih baik kamu tidur saja, Zo! Ini sudah malam. Kasihan, kalau kamu harus begadang hanya demi menunggu perempuan seperti dia."

Livy merengek manja, "Iya, Mas! Kita bobo, yuk! Livy udah ngantuk,"

"Kamu tidur duluan saja, Sayang! Mas masih ingin menunggu Amora," ucap Enzo.

"Tapi, Livy nggak mau bobo sendiri. Pengennya dikeloni sama Mas Enzo!" rengek Livy lagi, tingkahnya benar-benar seperti anak kecil. Tingkah manja itulah yang membuat Enzo jatuh cinta.

Enzo tak bisa berbuat apa-apa selain menuruti permintaan wanita itu. "Ya sudah, ayo kita tidur!" ajaknya.

"Ayo, Mas!" sahut Livy riang.

Bu Ratna tersenyum puas melihat putranya bersedia menuruti permintaan Livy. Wanita paruh baya itu pun gegas kembali ke kamarnya untuk beristirahat.

Livy mengerutkan kening saat Enzo membawanya menuju kamar yang bersebelahan dengan kamar Amora. "Mas, kok kita malah ke kamar ini, sih?" tanyanya.

"Terus, maunya dimana?" tanya Enzo.

"Aku mau kamar yang itu," tunjuk Livy ke arah kamar milik Amora.

"Itu kamarnya Amora, Sayang. Mana mungkin kita tidur di kamarnya," jelas Enzo.

Livy mengerucutkan bibirnya dengan manja. "Aku maunya kamar yang itu. Boleh, ya?".

"Tapi..." Enzo ragu.

"Katanya, Mas mau jadiin aku ratu di rumah ini. Tapi, kenapa mengabulkan satu permintaan kecil kayak gini aja, Mas Enzo nggak kayak mau?" Livy mulai merajuk.

"Bukannya nggak mau, Livy Sayang! Tapi..." Enzo mencoba menjelaskan.

"Pokoknya, Livy mau kamar yang itu. Kalau Mas Enzo nggak mau kabulin, lebih baik Livy pergi aja," ancam Livy.

Enzo akhirnya mengalah. "Oke. Kamu boleh tidur di kamar Amora. Bagaimana? Sudah puas?" tanyanya pasrah.

"Yey!!!" Livy memekik senang. "Terima kasih, Mas!" dipeluknya Enzo dengan erat.

"Maafkan Mas, Amora! Mas harap, kamu bisa mengerti dengan posisi Mas saat kamu pulang nanti," bisik Enzo dalam hati, sebuah penyesalan samar melintas di benaknya.

***

Pagi akhirnya tiba. Mentari menyapa dengan sinarnya yang hangat. Amora sudah bergabung bersama Aiden di meja makan, siap untuk sarapan bersama.

"Amora, makan pelan-pelan! Tidak ada yang berniat merebut makanan dari piringmu!" tegur Aiden, melihat adiknya makan dengan sangat rakus. Ia seperti tak mengenali adiknya lagi. Keanggunan yang dulu selalu diperlihatkan Amora, kini seolah hilang dan tak pernah ada.

Amora tersenyum kecut. "Maaf, Bang! Tapi, Amora benar-benar sangat lapar. Dan, baru kali ini setelah sekian lama, Amora bisa memakan makanan yang layak," jawabnya lirih, ada nada kepedihan dalam suaranya.

Aiden menatap adiknya dengan tatapan bingung. "Makanan yang layak? Apa maksud kamu, Mora?" tanyanya, keningnya berkerut.

Amora menarik napas panjang, seolah mengumpulkan kekuatan. Sepersekian detik berikutnya, ia menggeleng pelan.

"Bukan apa-apa. Abang nggak perlu pikirin itu," elaknya.

"Jujur, Amora!" pinta Aiden dengan penuh penekanan, matanya menuntut jawaban. "Makanan seperti apa yang diberikan oleh Enzo semenjak kamu menjadi istrinya?" desaknya.

Glek! Amora mendadak kesulitan menelan makanannya. Tenggorokannya terasa tercekat. Ia segera meraih air minum di dekat lengannya dan meneguknya hingga tersisa setengah.

"Jawab, Amora!" desak Aiden tak sabaran, nadanya kini lebih keras.

Amora menunduk, bibirnya bergetar. "Kadang nasi sama tempe. Kadang juga, dikasih nasi sama ikan asin. Dan..." Ia ragu untuk melanjutkan, hanya bisa menggigit bibir bawahnya.

"Apa lagi?" tanya Aiden, suaranya menipis.

"Amora juga sering dipaksa makan nasi dan lauk basi," jawab Amora akhirnya, suaranya nyaris tak terdengar.

Degh! Dada Aiden mendadak terasa sangat sesak, seolah dihantam benda tumpul. Sepasang matanya memerah, dan air mata mulai berlinang, membasahi pipinya.

Tak ia sangka, adik yang ia jaga dengan sepenuh hati bak putri raja, justru diperlakukan seperti sampah oleh orang lain.

"Anj*ng! Abang nggak bisa tinggal diam! Abang akan bikin perhitungan dengan laki-laki bajingan itu!" teriak Aiden, amarah membuncah di dadanya.

Aiden berdiri, matanya menyala. Ia akan membuat perhitungan dengan Enzo sekarang juga!

"Abang! Jangan!" pekik Amora, mencoba menahan kakaknya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rhena Altika
itilnya juga gatel si amora ,udah tau di gituin ,ifilnya masih aja getar
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • BANGKITNYA ISTRI YANG TERTINDAS   BAB 107

    "Kamu, Zy! Beraninya kamu ngotak-atik HP-ku, hah?! Lancang!" Renald berteriak dengan suara yang menggelegar, wajahnya merah padam. Ia menarik tangannya yang memegang ponsel dengan kasar dari genggaman Enzy, seolah benda itu adalah sebuah benda pusaka yang sangat berharga. Ia mencengkeram ponsel itu erat-erat, seolah takut Enzy akan mengambilnya lagi.Enzy tersentak, tangannya yang kosong terasa dingin dan hampa, seperti ada sesuatu yang baru saja direnggut darinya, sesuatu yang sangat penting. "Mas... aku... aku cuma ingin mengantar HP-mu ke kamar," jawab Enzy, suaranya bergetar, berusaha mencari-cari alasan yang setidaknya bisa diterima, alasan yang tidak akan memicu amarahnya. "Aku lihat tergeletak di meja, Mas. Aku takut hilang." Ia mencoba meraih kembali ponsel itu, seolah dengan memegangnya, ia bisa mendapatkan kembali kendali atas situasi ini, namun Renald lebih cepat, menyembunyikannya di belakang punggungnya."Nggak usah banyak alasan! Aku tahu niatmu apa! Kamu ingin cari-car

  • BANGKITNYA ISTRI YANG TERTINDAS   BAB 106

    "ENZY! Di mana kamu? ENZY!!!"Suara Renald menggelegar di malam yang sunyi, kakinya terseok-seok menabrak meja. Jaket jeans-nya terlempar, mendarat di atas tumpukan koran. Matanya nanar mencari seseorang yang tidak kunjung ditemukan. Setiap sudut ruangan terasa seperti jebakan."Kamu di mana, Enzy? Kenapa nggak jawab?!" Renald berteriak lagi, suaranya serak. Darah di dalam tubuhnya mendidih. Amarahnya memuncak seperti gelombang pasang yang siap menerjang. Napasnya memburu, memancarkan bau alkohol yang menusuk hidung, memenuhi udara lembap di dalam rumah. Punggungnya membungkuk, kepalanya pusing, dan seluruh tubuhnya terasa memberat."ENZY! DASAR PEREMPUAN SIALAN! DI MANA KAMU?!" Tangan Renald mengepal. Ia membanting tubuhnya ke atas sofa usang, membuat debu beterbangan. Pegas-pegas sofa itu mengeluh di bawah bebannya. Kepalanya terasa dipukul-pukul dari dalam, perutnya terasa kosong dan perih, seperti ada lubang yang menganga."Iya, Mas? Ada apa, sih?" Suara Enzy bergetar, tergesa-ge

  • BANGKITNYA ISTRI YANG TERTINDAS   BAB 105

    Di sebuah kafe di pojok mall yang tenang, Amora menyesap boba milk tea-nya. Ia menatap Dheanda, sahabatnya, yang duduk di seberangnya. "Bang Aiden, gimana? Masih galak juga, De?" tanyanya, suaranya pelan dan penuh selidik.Dheanda tertawa kecil, memegang cangkir boba milk tea-nya. "Ya, begitulah, Mo. Tapi, sekarang aku udah mulai terbiasa. Jadi, udah nggak apa-apa," jawab Dheanda, matanya tersenyum. "Awal-awal sih, aku sering nangis. Setiap kali dimarahi, rasanya mau langsung resign. Pulang ke rumah, aku ngadu ke bapak, 'Pak, aku mau berhenti kerja aja. Atasan aku galak banget.' Eh Bapak malah cuma ketawa, 'Ya udah, sabar aja, namanya juga kerja. Nggak semua bos baik.' Tapi sekarang, udah kebal, Mo. Malah kadang aku yang pengen marah balik. Tapi nggak jadi, takut dipecat," tambahnya sambil bercanda."Wah, hebat kamu, De! Aku aja kalau dimarahin dia, rasanya pengen ngambek dan nggak mau pulang ke rumah," sahut Amora, menyilangkan kedua kakinya. "Emangnya, dia marahnya separah apa, si

  • BANGKITNYA ISTRI YANG TERTINDAS   BAB 104

    Kening Amora berkerut saat mendengar seseorang memanggil namanya dari arah belakang. Ia berbalik, dan pandangannya bertemu dengan Enzo. Matanya melebar, tubuhnya seketika menegang. Enzo duduk di kursi roda, wajahnya terlihat pucat dan kurus."Amora! Syukurlah, ternyata aku nggak salah orang," ucap Enzo. Ia tersenyum getir, mencoba bangkit dari kursi rodanya. "Kamu... kamu kenapa datang ke rumah sakit? Kamu sakit?" tanyanya."Bukan urusan kamu," jawab Amora. Nada suaranya dingin, tanpa emosi. Ia tidak peduli dengan kondisi Enzo. Ia hanya ingin pergi dari sini.Mendengar jawaban ketus sang mantan istri, Enzo tampak menghela napas berat. "Amora, kamu masih marah sama Mas, ya?" tanyanya dengan suara yang terdengar memelas.Amora memilih diam. Dia malas meladeni Enzo lebih jauh. Ia hanya ingin taksi online-nya datang secepatnya dan membawanya pergi dari sana. Namun, Enzo tidak menyerah. Ia mencoba mendekat, membuat Amora merasa tidak nyaman. "Mas minta maaf atas semuanya, Ra! Tolong maafk

  • BANGKITNYA ISTRI YANG TERTINDAS   BAB 103

    Amora mengerjap tak percaya. Calon suaminya, Jericho, baru saja membahas topik sensitif ini dengan begitu santai di hadapan dokter. Topik yang selama bertahun-tahun ia pikirkan, bahkan sampai membuat dirinya merasa hancur. Dulu, ini adalah aib yang harus disembunyikan. Sebuah kekurangan yang selalu disematkan pada dirinya, membuatnya merasa tak berharga. Tapi di sini, di ruang konsultasi yang terang dan steril, Jericho membahasnya seolah itu adalah hal paling wajar di dunia, seakan mereka hanya membicarakan rencana liburan.Amora merasa malu, tetapi ada senyum kecil yang tak bisa ia tahan. Di sisi lain, Dokter Mayya, sepupu Jericho, justru menanggapi dengan antusias. Matanya berbinar penuh godaan, seolah ini adalah proyek paling menarik yang pernah ia tangani. Ia menyandarkan punggungnya ke kursi, membiarkan Jericho dan Amora merasa nyaman."Kondisi Amora sangat sehat, Jer. Kamu juga," ucap Dokter Mayya sambil memandang Jericho penuh makna. Ia mengamati ekspresi wajah Jericho yang te

  • BANGKITNYA ISTRI YANG TERTINDAS   BAB 102

    “Va, bisa tolong bantu saya pake celana, nggak?”Enzo bertanya. Suaranya serak, penuh nada tak berdaya. Ia merasa begitu kecil dan rapuh. Baru saja ia selesai mandi, tubuhnya masih terasa lemas dan kaku. Ia kesulitan mengenakan celananya sendiri. Tangannya gemetar, seolah tak memiliki kekuatan untuk menggenggam, apalagi menarik kain tebal itu. "Dulu, aku bisa menaklukkan dunia. Sekarang, aku bahkan tak bisa mengenakan celanaku sendiri. Betapa tak bergunanya diriku." Pemandangan dirinya yang dulu gagah, kini hanya bisa duduk tak berdaya di kursi roda, terasa bagai siksaan batin yang tak berkesudahan. Ia merindukan otot-otot kakinya yang dulu kuat, yang bisa membawanya ke mana saja, kapan saja. Kini, ia hanya bisa memohon bantuan untuk hal-hal sepele, hal-hal yang dulu ia lakukan tanpa berpikir dua kali. “Aduh, bentar, Mas! Lagi nanggung, nih!” Vanya menjawab tanpa menoleh. Tatapannya terpaku pada cermin di depannya, sibuk memoles wajahnya dengan make-up. Kuas bedak dan eyeliner meliu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status