Dengan mata berbinar, Livy menunjuk rumah megah berlantai dua di hadapan mereka. "Mas, ini rumah kita?" tanyanya penuh harap.
Enzo tersenyum, "Ya, ini rumah kita. Gimana? Kamu suka?". Livy mengangguk antusias. Hatinya melonjak gembira, tak sabar untuk segera menempati istana baru ini dan menjelma menjadi nyonya rumah yang berkuasa penuh. "Suka banget, Mas. Kita masuk, yuk!" ajaknya riang5. "Ya, ayo!" sahut Enzo, ikut bersemangat. Enzo menuntun Livy masuk ke dalam rumah. Namun, langkahnya sedikit ragu saat membuka pintu. Ada yang aneh. Amora, istri pertamanya, yang biasanya selalu menyambut mereka di ambang pintu dengan senyum ramah, kini tak terlihat batang hidungnya. Bu Ratna, ibu Enzo, datang mendekat dengan dahi berkerut. "Ke mana istri bulukmu, Zo?" tanyanya heran. "Tidak biasanya kamu pulang dan dia tidak menyambut kamu di depan pintu," lanjutnya. Enzo pun merasakan hal yang sama dengan ibunya, sebuah kebiasaan yang mendadak hilang. "Enzo juga nggak tahu, Bu. Dari tadi siang, handphone-nya juga nggak bisa dihubungi," jelas Enzo. Sejak siang tadi, Enzo memang sudah berkali-kali mencoba menghubungi Amora, namun wanita yang dinikahinya lima tahun lalu itu tidak bisa dihubungi sama sekali. Bu Ratna melontarkan tebakan asal, "Apa jangan-jangan dia gantung diri di dalam kamar?". Enzo sontak terkejut, "Mana mungkin, Bu," sangkalnya. "Lebih baik kamu cek dia di dalam kamar, Man! Takut dia beneran nekat. Sayang kan, kalau babu gratisan kita keburu modar?" desak Bu Ratna, nada suaranya terdengar khawatir. Tanpa pikir panjang, Enzo bergegas berlari menuju kamar miliknya dan Amora. Dibukanya pintu kamar itu dengan terburu-buru, lalu tangannya meraba-raba mencari saklar lampu dan menyalakannya. "Amora?" panggil Enzo, suaranya sedikit gemetar. Nihil. Sosok yang dicarinya tidak ada di dalam kamar. Bahkan, tidak ada jejaknya sama sekali. Kamar itu masih tampak sangat rapi, seolah belum disentuh siapa pun sejak pagi tadi. "Amora? Kamu di mana?" teriak Enzo, suaranya kini lebih keras. Ia kemudian keluar dari kamar dan berjalan cepat menuju dapur. Namun, hasilnya tetap sama. Amora tidak ditemukan di mana pun. Bu Ratna kembali menyela, "Apa jangan-jangan... Amora malah bunuh diri di jalan?". Diam-diam, sebuah senyum tipis tersungging di bibir Livy. Ia mendengar ucapan mertuanya dan berharap tebakan itu benar adanya. Semoga saja, Amora benar-benar mengakhiri hidupnya sendiri, agar Livy bisa menjadi satu-satunya istri Enzo. Enzo membantah dengan tegas, "Nggak mungkin, Bu. Amora tidak mungkin seperti itu," Bu Ratna membalas, "Semoga saja ya, Zo! Ibu juga belum siap kehilangan Amora. Kalau nggak ada dia, nanti siapa yang bakal mengurus Ibu dan rumah ini?" Livy merengek manja, bergelayut di lengan suaminya, "Mas, Livy lapar". Enzo bertanya pada ibunya, "Bu, ada makanan, nggak?" Bu Ratna beranjak menuju meja makan dan membuka tudung saji yang ada di sana. Namun, betapa terkejutnya mereka saat mengetahui isinya masih kosong. "Kosong, Zo," jawab Bu Ratna kesal. "Si burik itu!!" geramnya. "Beraninya dia kelayapan tanpa memikirkan orang rumah mau makan apa. Benar-benar menantu sialan!" umpatnya. Livy menimpali, "Jadi, gimana dong, Bu? Livy udah kelaparan ini." "Masak, gih!" perintah Bu Ratna. Mata Livy seketika membelalak kaget. "Hah? Livy, Bu? Livy mana bisa masak". Bu Ratna mendelik, "Loh, kalau nggak bisa masak, terus kamu bisanya apa?". Dengan genit, Livy mencolek dagu Enzo, membuat pria itu salah tingkah, "Ya, melayani Mas Enzo di ranjang dong, Bu! Iya kan, Sayang?" jawab Livy. "Ngomong apa kamu, ini! Dasar nggak tahu malu!" dengkus Bu Ratna dengan mata mendelik penuh kekesalan. Andai saja Enzo tidak cinta mati pada Livy, mana mungkin ia sudi merestui putranya menikahi perempuan yang benar-benar putus urat malu seperti Livy. Livy mengusulkan, "Mending pesen online aja deh, Mas!" Enzo menghela napas, "Tapi, aku udah nggak ada duit, Sayang," "Pakai duit Ibu, dong! Kan, duit Ibu juga pemberian dari kamu," timpal Livy tanpa malu. Mendengar ucapan menantu barunya itu, Bu Ratna semakin bertambah kesal. Belum apa-apa, Livy sudah mulai menghasut Enzo. "Nggak ada. Uang Ibu juga sudah habis," tolak Bu Ratna beralasan. "Lagian, uang yang sudah terlanjur berada di tangan Ibu, artinya sudah sah menjadi milik Ibu dan tidak boleh diganggu gugat," tambahnya tegas. Enzo beralih bertanya pada Livy, "Kalau pakai uang kamu saja, bagaimana, Sayang?" Livy menjawab ketus, "Uangku juga sudah menipis, Mas. Kenapa nggak pake M-banking aja sih, Mas?" Seketika, Enzo menepuk jidatnya sendiri. Bagaimana mungkin dia lupa, jika dia masih memiliki aplikasi perbankan yang bisa digunakan untuk bertransaksi melalui ponselnya. "Astaga, aku lupa," gumam Enzo. "Ya sudah kalau gitu. Buruan pesan, gih!" ucap Livy dengan hati yang senang. Enzo segera melakukan apa yang diminta oleh istri mudanya. Ia segera memesan makanan dan hendak melakukan pembayaran via transfer. Namun, hal mengejutkan tiba-tiba saja terjadi. "Loh, kemana semua uang di rekeningku?" pekik Enzo kaget. Livy bertanya penasaran, "Kenapa, Mas?” Enzo menatapnya nanar, "U-uang Mas, Livy! Uang Mas di ATM semuanya raib". "Apa?" pekik Livy dan Bu Ratna secara bersamaan, suara mereka berpadu dalam keterkejutan. *** Di tempat lain, Amora menatap kakaknya dengan tenang. "Gimana, Bang? Sudah selesai?" tanyanya. Sang kakak mengangguk, "Sudah. Isi ATM milik Enzo, dua-duanya sudah Abang kosongkan". "Bagus. Terima kasih," ucap Amora puas. Kakaknya bertanya dengan nada khawatir, "Tapi, bagaimana jika seandainya kamu akhirnya ketahuan, Mora? Apa tidak berbahaya untuk keselamatan kamu?" Amora tersenyum tipis, matanya menatap manik sang kakak dalam-dalam, "Aku sudah punya rencana untuk mengantisipasi hal itu, Bang. Jadi, Abang tenang saja!" ujarnya meyakinkan. Aiden menghela napas panjang. Ia tak bisa berbuat apa-apa selain menuruti kemauan adiknya. "Malam ini... Mora boleh tidur di rumah? Mora kangen kamar Mora," tukas Amora kemudian. "Boleh. Tentu saja boleh," angguk Aiden bahagia. "Tapi, kalau pengemis itu sibuk mencari kamu, bagaimana?" tanyanya lagi. "Biarkan saja! Mora nggak peduli," jawab Amora santai. "Menurutmu... Saat ini si pengemis itu sedang apa?" tanya Aiden penasaran. Amora tersenyum tipis, sembari mengedikkan bahunya. "Mungkin sedang gelisah mencari tahu kemana hilangnya kartu ATM dan isinya?" tebaknya. "Kamu suka melihatnya menderita, Mora?" tanya Aiden lagi. Amora terdiam sejenak, lalu menjawab, "Dulu tidak. Tapi, sekarang... Iya."Angin sore itu terasa dingin di wajah Enzo, namun rasa dingin yang menusuk hatinya jauh lebih parah. Ia berdiri mematung di depan toko meubelnya, menatap kosong ke seberang jalan. Di sana, sebuah toko meubel baru yang megah baru saja dibuka. Spanduk besar terpampang mencolok, "Grand Opening! Diskon Hingga 70%!" Tawa riuh rendah dan percakapan pelanggan yang hilir mudik keluar masuk toko itu bagaikan alunan melodi kegagalan yang menyayat-nyayat telinganya.Seorang pegawainya, mendekat dengan wajah cemas yang tak bisa ia sembunyikan. "Pak Enzo, toko mereka ramai sekali. Mereka punya banyak sekali promo, dan harga produknya jauh lebih murah daripada kita. Pelanggan kita sepertinya semua pindah ke sana," lapor pegawai dengan nada gemetar.Enzo hanya bisa menghela napas panjang, mendengus. "Aku tahu, aku tidak buta!" Matanya menyala penuh keputusasaan. "Kalau begini terus, kita bisa bangkrut. Habis kita!" Ia mengusap wajahnya yang kusut dan menyugar rambutnya ke belakang. Enzo merasa sepe
Pagi itu, Amora dengan berat hati menemui Enzo, mantan suaminya, di sebuah restoran. Ia merasa muak berhadapan dengan pria yang telah menyakitinya itu. Enzo menyambutnya dengan senyum lebar, memegang setangkai mawar merah dan kotak cokelat kecil. Melihat hadiah yang tampak tak seberapa itu, Amora tanpa sadar terkekeh sinis, merasa jijik dengan tingkah Enzo."Cokelat sekecil itu?" bisiknya dalam hati. Ia membayangkan Enzo memberikan hadiah itu kepada anak kecil. Tapi, anak siapa? Enzo tidak memiliki anak dengannya. "Apakah dia sudah punya anak dengan Livy?" pikir Amora, sebuah pertanyaan yang menyulut api cemburu yang sudah padam."Amora! Hai!" sapa Enzo dengan suara ramah yang dibuat-buat. "Sudah lama kita tidak bertemu. Kamu terlihat semakin cantik."Amora hanya mengangguk kaku, tidak menanggapi pujiannya. "Untuk apa kamu memanggilku ke sini, Mas? Ada yang perlu dibicarakan?" tanyanya, suaranya dingin dan datar."Duduk dulu, Amora," jawab Enzo. "Aku sudah pesan minuman kesukaanmu. Ju
Suasana di ruang eksekutif terasa mencekam akibat amarah Aiden. Sang CEO muda itu berdiri dengan tatapan membara di hadapan beberapa karyawan yang berlutut ketakutan. Aiden merasa marah dan kecewa karena adiknya, Amora, diperlakukan tidak baik di wilayah kekuasaannya sendiri. Hal ini tidak hanya menyangkut masalah pribadi, tetapi juga harga diri dan otoritasnya sebagai pemimpin.Salah seorang karyawan yang berlutut, seorang pria paruh baya dengan kemeja sedikit kusut, memberanikan diri mengangkat wajahnya, air mata terlihat jelas menggenangi pelupuk matanya. Suaranya bergetar saat ia mencoba menyampaikan permohonan, "Pak… Pak Aiden… kami mohon ampun. Jangan pecat kami!"Karyawan lain menimpali dengan nada yang tak kalah memelas, "Iya, Pak. Kalau kami dipecat, lalu bagaimana nasib keluarga kami? Anak-anak kami akan makan apa, Pak?" Nada putus asa dalam suaranya semakin menambah suram suasana ruangan itu.Aiden mendengus sinis, tatapannya tajam menusuk setiap individu yang berlutut di h
Hawa tegang menyelimuti ruangan. Para karyawan yang tadinya berani mengerubungi Amora, kini mundur perlahan. Kehadiran Aiden di tengah mereka terasa seperti sambaran petir yang tiba-tiba. Wajahnya yang memancarkan aura kekuasaan membuat nyali mereka menciut. Mereka menunduk, saling lirik, seolah baru saja tertangkap basah melakukan perbuatan buruk. Mereka semua tahu, Aiden bukanlah sosok yang bisa diajak main-main. Keheningan yang mencekam itu dipecahkan oleh suara Aiden yang menggelegar, menusuk setiap sudut ruangan. "Kenapa kalian semua diam? Saya tanya, kenapa?! Jawab pertanyaan saya! Siapa yang berani menyentuh adik saya, hah?" Matanya menatap tajam satu per satu wajah yang pucat pasi di depannya. Kebingungan menyelimuti mereka. "Adik?" gumam beberapa orang. Siapa yang Aiden maksud sebagai adiknya? Setahu mereka, Amora hanyalah seorang karyawan baru. Namun, cara Aiden membela Amora begitu protektif, seolah Amora adalah bagian terpenting dari hidupnya. Pandangan Aiden akhirnya ja
Enzo menggeram, kepalan tangannya bergetar menahan amarah yang membuncah. Amora baru saja pergi, melenggang santai, seolah ancamannya tak lebih dari sekadar angin lalu. Rasanya seperti ada bara api yang membakar di dalam dadanya. Bagaimana bisa perempuan itu begitu berani? Begitu acuh tak acuh pada peringatannya? Enzo bersumpah, ia akan membuat Amora membayar mahal untuk semua ini. Janji itu bukan sekadar gertakan kosong, melainkan sebuah tekad yang membaja. "Aku akan merebut semua yang kamu miliki, Amora! Tunggu saja! Kamu akan menyesal!" gumamnya penuh dendam.Amarah Enzo akhirnya menuntunnya kembali ke toko meubel miliknya. Namun, pemandangan di sana tak kunjung meredakan kekesalannya. Sebaliknya, hal itu justru menambah beban di pundaknya. Toko meubel besar yang baru dibuka di seberang jalan tampak ramai, dipenuhi pembeli. Enzo merasakan dingin merayap di punggungnya. Toko itu, dengan produk-produknya yang lebih modern dan beragam, bagaikan raksasa yang siap menelan habis usahany
"Kenapa Abang lihatin aku kayak gitu? Muka Abang kenapa ditekuk begitu?" Amora bertanya, merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ia bisa membaca ekspresi wajah Aiden, kakak laki-lakinya, yang terlihat gelisah dan penuh kekhawatiran. Hanya saat-saat tertentu Aiden menunjukkan sisi rapuhnya, terutama jika itu menyangkut Amora."Ini bukan tentang Abang, tapi tentang kamu," jawab Aiden, suaranya terdengar berat. "Kamu kenapa marah-marah begitu? Kayaknya ada badai di dalam sana, ya?" Ia menunjuk ke arah dada Amora, mencoba mencairkan suasana dengan candaan.Amora menghela napas panjang, melipat kedua tangannya di depan dada. "Aku kesal sama si Saras. Dia makin hari makin menyebalkan, Bang! Dia tidak tahu diri. Dia terus-menerus menantangku, seolah aku tidak ada artinya. Padahal, aku tidak pernah mengusiknya, aku tidak pernah mencari masalah dengannya. Tapi dia? Setiap kali dia melihatku, dia selalu membuat ulah. Aku tidak bisa menahan diriku untuk tidak marah. Rasanya aku ingin sekali menampa