Share

BAB 7

Author: jasheline
last update Last Updated: 2025-07-22 15:36:32

Dengan mata berbinar, Livy menunjuk rumah megah berlantai dua di hadapan mereka. "Mas, ini rumah kita?" tanyanya penuh harap.

Enzo tersenyum, "Ya, ini rumah kita. Gimana? Kamu suka?".

Livy mengangguk antusias. Hatinya melonjak gembira, tak sabar untuk segera menempati istana baru ini dan menjelma menjadi nyonya rumah yang berkuasa penuh.

"Suka banget, Mas. Kita masuk, yuk!" ajaknya riang5. "Ya, ayo!" sahut Enzo, ikut bersemangat.

Enzo menuntun Livy masuk ke dalam rumah. Namun, langkahnya sedikit ragu saat membuka pintu. Ada yang aneh. Amora, istri pertamanya, yang biasanya selalu menyambut mereka di ambang pintu dengan senyum ramah, kini tak terlihat batang hidungnya.

Bu Ratna, ibu Enzo, datang mendekat dengan dahi berkerut. "Ke mana istri bulukmu, Zo?" tanyanya heran. "Tidak biasanya kamu pulang dan dia tidak menyambut kamu di depan pintu," lanjutnya.

Enzo pun merasakan hal yang sama dengan ibunya, sebuah kebiasaan yang mendadak hilang. "Enzo juga nggak tahu, Bu. Dari tadi siang, handphone-nya juga nggak bisa dihubungi," jelas Enzo.

Sejak siang tadi, Enzo memang sudah berkali-kali mencoba menghubungi Amora, namun wanita yang dinikahinya lima tahun lalu itu tidak bisa dihubungi sama sekali.

Bu Ratna melontarkan tebakan asal, "Apa jangan-jangan dia gantung diri di dalam kamar?".

Enzo sontak terkejut, "Mana mungkin, Bu," sangkalnya.

"Lebih baik kamu cek dia di dalam kamar, Man! Takut dia beneran nekat. Sayang kan, kalau babu gratisan kita keburu modar?" desak Bu Ratna, nada suaranya terdengar khawatir.

Tanpa pikir panjang, Enzo bergegas berlari menuju kamar miliknya dan Amora. Dibukanya pintu kamar itu dengan terburu-buru, lalu tangannya meraba-raba mencari saklar lampu dan menyalakannya.

"Amora?" panggil Enzo, suaranya sedikit gemetar.

Nihil. Sosok yang dicarinya tidak ada di dalam kamar. Bahkan, tidak ada jejaknya sama sekali. Kamar itu masih tampak sangat rapi, seolah belum disentuh siapa pun sejak pagi tadi.

"Amora? Kamu di mana?" teriak Enzo, suaranya kini lebih keras.

Ia kemudian keluar dari kamar dan berjalan cepat menuju dapur. Namun, hasilnya tetap sama. Amora tidak ditemukan di mana pun.

Bu Ratna kembali menyela, "Apa jangan-jangan... Amora malah bunuh diri di jalan?".

Diam-diam, sebuah senyum tipis tersungging di bibir Livy. Ia mendengar ucapan mertuanya dan berharap tebakan itu benar adanya. Semoga saja, Amora benar-benar mengakhiri hidupnya sendiri, agar Livy bisa menjadi satu-satunya istri Enzo.

Enzo membantah dengan tegas, "Nggak mungkin, Bu. Amora tidak mungkin seperti itu,"

Bu Ratna membalas, "Semoga saja ya, Zo! Ibu juga belum siap kehilangan Amora. Kalau nggak ada dia, nanti siapa yang bakal mengurus Ibu dan rumah ini?"

Livy merengek manja, bergelayut di lengan suaminya, "Mas, Livy lapar".

Enzo bertanya pada ibunya, "Bu, ada makanan, nggak?"

Bu Ratna beranjak menuju meja makan dan membuka tudung saji yang ada di sana. Namun, betapa terkejutnya mereka saat mengetahui isinya masih kosong.

"Kosong, Zo," jawab Bu Ratna kesal. "Si burik itu!!" geramnya. "Beraninya dia kelayapan tanpa memikirkan orang rumah mau makan apa. Benar-benar menantu sialan!" umpatnya.

Livy menimpali, "Jadi, gimana dong, Bu? Livy udah kelaparan ini."

"Masak, gih!" perintah Bu Ratna.

Mata Livy seketika membelalak kaget. "Hah? Livy, Bu? Livy mana bisa masak".

Bu Ratna mendelik, "Loh, kalau nggak bisa masak, terus kamu bisanya apa?".

Dengan genit, Livy mencolek dagu Enzo, membuat pria itu salah tingkah, "Ya, melayani Mas Enzo di ranjang dong, Bu! Iya kan, Sayang?" jawab Livy.

"Ngomong apa kamu, ini! Dasar nggak tahu malu!" dengkus Bu Ratna dengan mata mendelik penuh kekesalan.

Andai saja Enzo tidak cinta mati pada Livy, mana mungkin ia sudi merestui putranya menikahi perempuan yang benar-benar putus urat malu seperti Livy.

Livy mengusulkan, "Mending pesen online aja deh, Mas!"

Enzo menghela napas, "Tapi, aku udah nggak ada duit, Sayang,"

"Pakai duit Ibu, dong! Kan, duit Ibu juga pemberian dari kamu," timpal Livy tanpa malu.

Mendengar ucapan menantu barunya itu, Bu Ratna semakin bertambah kesal. Belum apa-apa, Livy sudah mulai menghasut Enzo.

"Nggak ada. Uang Ibu juga sudah habis," tolak Bu Ratna beralasan. "Lagian, uang yang sudah terlanjur berada di tangan Ibu, artinya sudah sah menjadi milik Ibu dan tidak boleh diganggu gugat," tambahnya tegas.

Enzo beralih bertanya pada Livy, "Kalau pakai uang kamu saja, bagaimana, Sayang?"

Livy menjawab ketus, "Uangku juga sudah menipis, Mas. Kenapa nggak pake M-banking aja sih, Mas?"

Seketika, Enzo menepuk jidatnya sendiri. Bagaimana mungkin dia lupa, jika dia masih memiliki aplikasi perbankan yang bisa digunakan untuk bertransaksi melalui ponselnya. "Astaga, aku lupa," gumam Enzo.

"Ya sudah kalau gitu. Buruan pesan, gih!" ucap Livy dengan hati yang senang.

Enzo segera melakukan apa yang diminta oleh istri mudanya. Ia segera memesan makanan dan hendak melakukan pembayaran via transfer.

Namun, hal mengejutkan tiba-tiba saja terjadi. "Loh, kemana semua uang di rekeningku?" pekik Enzo kaget.

Livy bertanya penasaran, "Kenapa, Mas?”

Enzo menatapnya nanar, "U-uang Mas, Livy! Uang Mas di ATM semuanya raib".

"Apa?" pekik Livy dan Bu Ratna secara bersamaan, suara mereka berpadu dalam keterkejutan.

***

Di tempat lain, Amora menatap kakaknya dengan tenang. "Gimana, Bang? Sudah selesai?" tanyanya.

Sang kakak mengangguk, "Sudah. Isi ATM milik Enzo, dua-duanya sudah Abang kosongkan".

"Bagus. Terima kasih," ucap Amora puas.

Kakaknya bertanya dengan nada khawatir, "Tapi, bagaimana jika seandainya kamu akhirnya ketahuan, Mora? Apa tidak berbahaya untuk keselamatan kamu?"

Amora tersenyum tipis, matanya menatap manik sang kakak dalam-dalam, "Aku sudah punya rencana untuk mengantisipasi hal itu, Bang. Jadi, Abang tenang saja!" ujarnya meyakinkan.

Aiden menghela napas panjang. Ia tak bisa berbuat apa-apa selain menuruti kemauan adiknya.

"Malam ini... Mora boleh tidur di rumah? Mora kangen kamar Mora," tukas Amora kemudian.

"Boleh. Tentu saja boleh," angguk Aiden bahagia. "Tapi, kalau pengemis itu sibuk mencari kamu, bagaimana?" tanyanya lagi.

"Biarkan saja! Mora nggak peduli," jawab Amora santai.

"Menurutmu... Saat ini si pengemis itu sedang apa?" tanya Aiden penasaran.

Amora tersenyum tipis, sembari mengedikkan bahunya. "Mungkin sedang gelisah mencari tahu kemana hilangnya kartu ATM dan isinya?" tebaknya.

"Kamu suka melihatnya menderita, Mora?" tanya Aiden lagi.

Amora terdiam sejenak, lalu menjawab, "Dulu tidak. Tapi, sekarang... Iya."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • BANGKITNYA ISTRI YANG TERTINDAS   BAB 107

    "Kamu, Zy! Beraninya kamu ngotak-atik HP-ku, hah?! Lancang!" Renald berteriak dengan suara yang menggelegar, wajahnya merah padam. Ia menarik tangannya yang memegang ponsel dengan kasar dari genggaman Enzy, seolah benda itu adalah sebuah benda pusaka yang sangat berharga. Ia mencengkeram ponsel itu erat-erat, seolah takut Enzy akan mengambilnya lagi.Enzy tersentak, tangannya yang kosong terasa dingin dan hampa, seperti ada sesuatu yang baru saja direnggut darinya, sesuatu yang sangat penting. "Mas... aku... aku cuma ingin mengantar HP-mu ke kamar," jawab Enzy, suaranya bergetar, berusaha mencari-cari alasan yang setidaknya bisa diterima, alasan yang tidak akan memicu amarahnya. "Aku lihat tergeletak di meja, Mas. Aku takut hilang." Ia mencoba meraih kembali ponsel itu, seolah dengan memegangnya, ia bisa mendapatkan kembali kendali atas situasi ini, namun Renald lebih cepat, menyembunyikannya di belakang punggungnya."Nggak usah banyak alasan! Aku tahu niatmu apa! Kamu ingin cari-car

  • BANGKITNYA ISTRI YANG TERTINDAS   BAB 106

    "ENZY! Di mana kamu? ENZY!!!"Suara Renald menggelegar di malam yang sunyi, kakinya terseok-seok menabrak meja. Jaket jeans-nya terlempar, mendarat di atas tumpukan koran. Matanya nanar mencari seseorang yang tidak kunjung ditemukan. Setiap sudut ruangan terasa seperti jebakan."Kamu di mana, Enzy? Kenapa nggak jawab?!" Renald berteriak lagi, suaranya serak. Darah di dalam tubuhnya mendidih. Amarahnya memuncak seperti gelombang pasang yang siap menerjang. Napasnya memburu, memancarkan bau alkohol yang menusuk hidung, memenuhi udara lembap di dalam rumah. Punggungnya membungkuk, kepalanya pusing, dan seluruh tubuhnya terasa memberat."ENZY! DASAR PEREMPUAN SIALAN! DI MANA KAMU?!" Tangan Renald mengepal. Ia membanting tubuhnya ke atas sofa usang, membuat debu beterbangan. Pegas-pegas sofa itu mengeluh di bawah bebannya. Kepalanya terasa dipukul-pukul dari dalam, perutnya terasa kosong dan perih, seperti ada lubang yang menganga."Iya, Mas? Ada apa, sih?" Suara Enzy bergetar, tergesa-ge

  • BANGKITNYA ISTRI YANG TERTINDAS   BAB 105

    Di sebuah kafe di pojok mall yang tenang, Amora menyesap boba milk tea-nya. Ia menatap Dheanda, sahabatnya, yang duduk di seberangnya. "Bang Aiden, gimana? Masih galak juga, De?" tanyanya, suaranya pelan dan penuh selidik.Dheanda tertawa kecil, memegang cangkir boba milk tea-nya. "Ya, begitulah, Mo. Tapi, sekarang aku udah mulai terbiasa. Jadi, udah nggak apa-apa," jawab Dheanda, matanya tersenyum. "Awal-awal sih, aku sering nangis. Setiap kali dimarahi, rasanya mau langsung resign. Pulang ke rumah, aku ngadu ke bapak, 'Pak, aku mau berhenti kerja aja. Atasan aku galak banget.' Eh Bapak malah cuma ketawa, 'Ya udah, sabar aja, namanya juga kerja. Nggak semua bos baik.' Tapi sekarang, udah kebal, Mo. Malah kadang aku yang pengen marah balik. Tapi nggak jadi, takut dipecat," tambahnya sambil bercanda."Wah, hebat kamu, De! Aku aja kalau dimarahin dia, rasanya pengen ngambek dan nggak mau pulang ke rumah," sahut Amora, menyilangkan kedua kakinya. "Emangnya, dia marahnya separah apa, si

  • BANGKITNYA ISTRI YANG TERTINDAS   BAB 104

    Kening Amora berkerut saat mendengar seseorang memanggil namanya dari arah belakang. Ia berbalik, dan pandangannya bertemu dengan Enzo. Matanya melebar, tubuhnya seketika menegang. Enzo duduk di kursi roda, wajahnya terlihat pucat dan kurus."Amora! Syukurlah, ternyata aku nggak salah orang," ucap Enzo. Ia tersenyum getir, mencoba bangkit dari kursi rodanya. "Kamu... kamu kenapa datang ke rumah sakit? Kamu sakit?" tanyanya."Bukan urusan kamu," jawab Amora. Nada suaranya dingin, tanpa emosi. Ia tidak peduli dengan kondisi Enzo. Ia hanya ingin pergi dari sini.Mendengar jawaban ketus sang mantan istri, Enzo tampak menghela napas berat. "Amora, kamu masih marah sama Mas, ya?" tanyanya dengan suara yang terdengar memelas.Amora memilih diam. Dia malas meladeni Enzo lebih jauh. Ia hanya ingin taksi online-nya datang secepatnya dan membawanya pergi dari sana. Namun, Enzo tidak menyerah. Ia mencoba mendekat, membuat Amora merasa tidak nyaman. "Mas minta maaf atas semuanya, Ra! Tolong maafk

  • BANGKITNYA ISTRI YANG TERTINDAS   BAB 103

    Amora mengerjap tak percaya. Calon suaminya, Jericho, baru saja membahas topik sensitif ini dengan begitu santai di hadapan dokter. Topik yang selama bertahun-tahun ia pikirkan, bahkan sampai membuat dirinya merasa hancur. Dulu, ini adalah aib yang harus disembunyikan. Sebuah kekurangan yang selalu disematkan pada dirinya, membuatnya merasa tak berharga. Tapi di sini, di ruang konsultasi yang terang dan steril, Jericho membahasnya seolah itu adalah hal paling wajar di dunia, seakan mereka hanya membicarakan rencana liburan.Amora merasa malu, tetapi ada senyum kecil yang tak bisa ia tahan. Di sisi lain, Dokter Mayya, sepupu Jericho, justru menanggapi dengan antusias. Matanya berbinar penuh godaan, seolah ini adalah proyek paling menarik yang pernah ia tangani. Ia menyandarkan punggungnya ke kursi, membiarkan Jericho dan Amora merasa nyaman."Kondisi Amora sangat sehat, Jer. Kamu juga," ucap Dokter Mayya sambil memandang Jericho penuh makna. Ia mengamati ekspresi wajah Jericho yang te

  • BANGKITNYA ISTRI YANG TERTINDAS   BAB 102

    “Va, bisa tolong bantu saya pake celana, nggak?”Enzo bertanya. Suaranya serak, penuh nada tak berdaya. Ia merasa begitu kecil dan rapuh. Baru saja ia selesai mandi, tubuhnya masih terasa lemas dan kaku. Ia kesulitan mengenakan celananya sendiri. Tangannya gemetar, seolah tak memiliki kekuatan untuk menggenggam, apalagi menarik kain tebal itu. "Dulu, aku bisa menaklukkan dunia. Sekarang, aku bahkan tak bisa mengenakan celanaku sendiri. Betapa tak bergunanya diriku." Pemandangan dirinya yang dulu gagah, kini hanya bisa duduk tak berdaya di kursi roda, terasa bagai siksaan batin yang tak berkesudahan. Ia merindukan otot-otot kakinya yang dulu kuat, yang bisa membawanya ke mana saja, kapan saja. Kini, ia hanya bisa memohon bantuan untuk hal-hal sepele, hal-hal yang dulu ia lakukan tanpa berpikir dua kali. “Aduh, bentar, Mas! Lagi nanggung, nih!” Vanya menjawab tanpa menoleh. Tatapannya terpaku pada cermin di depannya, sibuk memoles wajahnya dengan make-up. Kuas bedak dan eyeliner meliu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status