Share

Papa dan Mama Pergi

Bisma mendapat kabar dari Wijaya bahwa orangtua Aini tidak ada yang selamat, mereka berdua meninggal tepat di ulangtahun putri mereka yang ke 15 tahun.

Saat ini yang harus ia usahakan hanya berdoa pada sang pencinta atas kesembuhan adik angkatnya. Ia berjanji akan selalu ada untuk Aini hingga maut merenggut nyawanya.

Jenazah orangtua Aini juga dibawa kerumah sakit yang sama dengan Aini, hal itu ia lakukan agar mempermudah dirinya untuk mengurus jenazah.

Bisma tidak tahu harus mengadu kepada siapa, ia hanya berusaha terlihat tegar yang mana kenyataannya dia sangat lemah. Orangtua asuhnya harus pergi meninggalkan dunia ini dan memberikan luka kepada adik kecilnya.

Disaat Bisma menangis disamping pintu ruang operasi tiba-tiba saja Wijaya datang menghampirinya, "kamu harus kuat, demi kedua adik kamu," ucap Wijaya berusaha menenangkan Bisma.

Bukannya tenang, Bisma semakin terlihat rapuh, ia menangis dalam pelukan Wijaya. Bisma mengadu kepada Wijaya tentang apa yang ia rasakan.

"Om papa,"

"Bagaimana aku mengatakan ini semua ke Arga dan juga Aini, jika Aini bangun nanti dan bertanya tentang papa dan mama aku harus menjawab apa? Aku tidak kuat Om, mengapa mereka pergi begitu cepat?" Tangis Bisma pecah.

"Ini sudah suratan, hanya sang pencipta yang tahu kapan kita akan pergi meninggalkan dunia ini. Om bahkan tidak tahu apakah besok masih bisa bernafas seperti saat ini," jelas Wijaya.

"Kamu tidak ingin melihat jenazah orangtuamu? Biar Om yang menunggu Aini di sini," lanjut Wijaya.

"Bisma akan lihat papa dan mama setelah operasi Aini selesai Om! Bisma tidak bisa meninggalkan Aini sendiri."

Satu jam berlalu dan operasi Aini masih belum selesai, waktu juga sudah menunjukkan jika sudah larut malam untuk berjaga.

Bisma belum memberi tahukan semuanya kepada Arga, ia hanya ingin sang adik fokus dalam pekerjaannya terlebih dahulu. Mungkin esok pagi ia akan memberi tahu Arga.

Bisma ditemani oleh Wijaya, Wijaya senantiasa menemani Bisma karena ia sudah menganggap Bisma seperti putranya sendiri.

Wijaya banyak berhutang Budi pada keluarga Atmaja, maka dari itu ia masih senantiasa menemani Bisma agar Bisma tidak larut dalam kesedihan.

Setelah 4 jam lamanya, akhirnya seorang dokter keluar dari ruang operasi. Bisma yang tidak sabaran langsung bertanya kepada dokter.

"Dok! Bagaimana keadaan adik saya? Apakah dia baik-baik saja? Apakah ada luka dalam yang serius? Kapan dia akan sadar?" Tanya Bisma beruntun.

"Bisma kamu tidak bisa menanyakan itu semua sekaligus, dokter akan bingung nantinya," ucap Wijaya menenangkan.

"Luka yang adik anda dapatkan cukup serius, karena beberapa kaca yang merusak wajahnya dan juga benturan keras yang menghantam dadanya sehingga membuat beberapa tulang milik adik kamu bergeser,"

"Apakah dia tetap bisa hidup normal?"

"Ya, hanya saja ia perlu terapi dan juga saya minta maaf karena saya belum tahu kapan adik anda akan sadar."

"Maksud dokter apa?" teriak Bisma mengguncang tubuh sang dokter.

"Bisma tenang! Saat ini kita berada di rumah sakit dan yang ada didalam itu adik kamu," ingat Wijaya.

Bisma berusaha menenangkan dirinya, tidak biasa ia tempramen seperti ini. Untuk pertama kalinya ia membentak seorang dokter.

"Maaf dok!"

"Adik kamu tidak koma, hanya saja ia mengalami shock akibat kejadian ini. Hal ini memicu dirinya akan lama sadar."

"Terimakasih dok," ucap Wijaya mewakili Bisma.

"Saya permisi dulu! Sebelumnya pasien akan dipindahkan dalam ruang ICU, anda dan keluarga lainnya bisa menjenguk esok hari," beritahu sang dokter.

Bisma tidak bisa berkata-kata lagi, ia hanya mendudukan dirinya di sebuah kursi yang berada dekat ruang operasi. Bisma hanya melihat saja ketika brangkar yang membawa Aini melewati dirinya.

Pandangan Bisma kosong, ia ingin mengikuti Aini tetapi ia belum melihat jenazah orangtuanya. Pemakaman orangtuanya juga tidak mungkin ia tunda hanya demi menunggu Aini sadar.

Tetapi jika Aini bertanya tentang orangtuanya, apa yang harus Bisma jawab.

"Sebaiknya kamu melihat orangtua kamu dan segera hubungi Arga! Ia berhak tahu bagaimana keadaan orangtuanya di sini," ucap Wijaya.

"Untuk pemakaman Om akan bantu kamu, sekarang kamu fokus ke adik-adik kamu saja," lanjutnya.

Bisma bahkan tidak sanggup lagi mengucapkan kata terimakasih kepada Wijaya, karena yang ada dalam pikirannya saat ini hanya bagaimana dia akan menjawab pertanyaan dari kedua adiknya.

Bisma berjalan meninggalkan Wijaya tanpa sepatah katapun, ia pergi menuju ke ruang jenazah untuk melihat jasad kedua orangtuanya.

Bisma membuka kain yang menutupi wajah dan tubuh sang Papa, ketika sudah terbuka ia luruh kelantai akibat tidak tahan menompang tubuhnya.

Ia dapat melihat betapa hancur wajah sang papa, dan ia dapat melihat jika tulang rusuk milik papanya menembus kulitnya. Ia tidak mengenali wajah papanya seperti ini.

Setelah melihat wajah sang papa, Bisma mencoba bangkit dari duduknya untuk melihat jenazah sang mama. Pelita dalam hidupnya yang selama ini menyayanginya bagaikan anak sendiri.

Sebelum membuka kain yang menutupi jenazah mamanya, perawat yang menjaga jenazah memberi tahunya jika wajah sang mama tidak dapat dikenali lagi.

Bahkan sebagian tubuh mamanya terkoyak akibat membentur dinding pembatas.

"Maaf pak! Apakah anda siap melihat jenazah ibu Wulan?"

Bisma hanya menganggukkan kepalanya,

Setelah melihat wajah sang Mama, air mata Bisma turun kembali. "Ya Allah Ma, Kenapa semua ini bisa menimpa mama dan papa? Kenapa kalian pergi meninggalkan kami secepat ini? Apa yang harus Bisma katakan kepada Aini jika nanti ia sadar pa?" Tangis Bima.

Perawat yang melihat Bisma hilang kesadarannya langsung menghampirinya dan memanggil beberapa rekannya untuk membantu.

"Hei! Kalian kesini bantu saya,"

'maafkan aku mas, aku tidak bermaksud seperti ini hanya saja aku tidak suka cara anda ikut campur dengan perusahaanku' ucap seseorang di balik ruangan jenazah.

Bisma dibawa keruangan untuk diperiksa oleh dokter, dapat dilihat jika ia banyak mendapat tekanan atas kepergian orangtuanya.

Dokter memberikan obat penenang kepada Bisma dan meminta Wijaya untuk menjaganya.

"Saya memberikan obat penenang agar ia bisa tenang untuk sementara waktu," jelas sang dokter

"Terimakasih dok"

Wijaya saat ini ada didalam ruangan yang sama dengan Bisma, ia sengaja tidak pulang kerumah karena harus mempersiapkan pemakan Atmaja dan juga istrinya.

Wijaya menelpon istrinya untuk segera datang kerumah Atmaja dan mempersiapkan tempat untuk kedatangan jenazah Atmaja dan istrinya.

'Assalamualaikum ma. Papa minta tolong! Malam ini mama datang kerumah mbak Wulan dan bersihkan rumahnya,'

'Untuk apa pa? Ini sudah malam, tidak bisakah besok saja?'

'Mas Atmaja dan istrinya meninggal, ma!'

Setelah mengatakan itu Wijaya memutuskan panggilannya karena mendengar handphone Bisma berdering.

Wijaya mencoba melihat siapa yang menelepon Bisma dini hari

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status