"Aku wanita itu ...," jawab Ellen.
Kedua mata Yaya langsung melotot mendengar jawaban dari adiknya itu. Dia tertawa sumbang. Berpikir ini hanya candaan Ellen, sang adik tiri. "Aku tidak sedang becanda, El. Aku lagi tak ada waktu untuk melayani omong kosong kamu!" seru Yaya. Yaya lalu berdiri dari duduknya. Tubuhnya saat ini terasa sangat lelah. Mungkin bukan raganya saja, tapi juga hatinya. Masih tak percaya dengan apa yang terjadi. Hubungan yang dia jalin selama tiga tahun ini harus kandas. Impian berumah tangga dengan sang kekasih sirna. Yaya berjalan perlahan menuju kamarnya. Baru beberapa langkah, kakinya terhenti karena mendengar ucapan adiknya, Ellen. "Aku tidak sedang bercanda. Ini buktinya," ucap Ellen. Ellen mendekati kakaknya. Dia lalu memperlihatkan foto kemesraan dirinya dan Rian. Dia juga menunjukan foto saat keduanya di dalam kamar hotel. Darah di kepala Yaya terasa mendidih. Jantungnya berdetak lebih cepat. Dadanya sesak menahan amarah. Tanpa di duga Yaya meraih gawai Ellen dan melemparnya ke dinding dengan sekuat tenaga hingga hancur berkeping. Mulut Ellen terbuka, tak percaya dengan apa yang dia lihat. Gawai kesayangannya hancur. Padahal baru dua bulan itu di beli. Dia histeris. Meneriaki Yaya. "Dasar wanita gila! Kenapa ponselku kau hancur kan!" teriak Ellen. Teriakan Ellen tentu saja menarik perhatian kedua orang tua mereka. Ayah dan ibu saling pandang. Mereka lalu berdiri mendekati anak-anak. Belum rasa keterkejutannya hilang, Ellen makin di buat terkejut saat tangan Yaya mendarat tepat di pipinya. Dengan seluruh kekuatan yang tersisa dia menampar wajah adiknya itu. "Kau yang gila! Apa kau tak punya perasaan, kenapa harus berselingkuh dengan Rian? Apa tak ada pria lain yang bisa kau cari, sehingga berselingkuh dengan calon suamiku?" Yaya berucap dengan suara yang cukup keras. Amarah yang dari tadi dia coba tahan akhirnya meledak mengetahui kenyataan jika adiknya yang menjadi duri dalam hubungannya. Ayah dan ibu heran melihat Yaya yang marah. Tidak pernah mereka mendengar suara keras dari gadis itu. Baru kali ini orang tuanya melihat kemarahan sang putri. "Kenapa kamu berteriak? Apa kamu ingin tetangga mendengar pertengkaran kalian?" tanya Ayah. Napas Yaya masih tampak memburu menahan amarahnya. Dia menarik napas dalam dan membuangnya berulang kali. Kepalanya terasa mau pecah. "Ayah tanya sendiri dengan anak kesayangan ayah itu!" seru Yaya dengan menunjuk Ellen. Ellen berlari mendekati ibunya. Memegang pipinya yang terasa panas karena tamparan sang kakak. Dia tak pernah menduga jika gadis itu berani melakukan ini. "Ibu lihatlah, ponselku di hancurkan Kak Yaya. Dia juga menampar pipiku!" Elle mengadu sambil berusaha mengeluarkan air mata agar ayah dan ibunya menjadi iba. "Kenapa kau menampar dan hancurkan ponsel Ellen?" tanya ibu dengan suara lantang. Yaya tersenyum miris. Dia yakin sang ibu pasti akan membela putrinya. Tak peduli salah atau benar. "Menurut ibu apa yang pantas aku lakukan untuk pengkhianat seperti Ellen. Lagi pula ponsel itu aku yang beli. Terserah mau aku apakan!" "Sombong sekali kau, jadi karena kau yang beli berhak mau diapakan? Apa kau lupa selama ini kami telah memberimu makan? Ini balasan darimu?" tanya Ibu. Ayah memandangi wajah Yaya dengan tatapan tajam. Tak berkedip sedikitpun. Seperti ingin menelan putrinya itu. "Bukan soal ponsel, apa ayah dan ibu tau apa yang telah Ellen lakukan? Dia telah berselingkuh dengan Mas Rian. Dan tadi Mas Rian membatalkan pernikahan kami. Apa yang pantas aku lakukan untuk pengkhianat seperti nya!" ucap Yaya dengan menunjuk Ellen. Ellen memeluk tubuh ibunya mendengar ucapan Yaya. Ayah tampak terkejut mendengar penuturan putrinya. Sepertinya pria itu tak tahu apa yang terjadi. Berbeda dengan ayah Yaya, ibu tirinya tidak ada rasa terkejut mendengar penuturan dari gadis itu. Dia justru tampak marah pada anak tirinya. "Seharusnya kau introspeksi diri, bukannya menyalahkan Ellen. Yang memilih Ellen menjadi istrinya itu adalah Rian. Dia lebih mencintai adikmu. Berarti ada sesuatu dari dirimu yang tidak dia suka!" ucap ibu tiri Yaya dengan tanpa rasa bersalah. Kembali Yaya tersenyum miris. Sudah menduga jika ibu lebih membela anaknya. Tapi, yang membuat dia terkejut justru reaksi sang ibu. Mendengar pembelaan wanita itu, sepertinya sudah mengetahui tentang perselingkuhan mereka. Ayah hanya diam. Tak berani mengeluarkan kata-kata apa pun. Itu yang paling tak Yaya sukai, kenapa sang ayah tak pernah membantah apa pun yang ibu tirinya lakukan. "Bu, dengarkan kata-kataku. Tak perlu kelebihan atau kehebatan apa pun untuk jadi pengkhianat. Hanya dibutuhkan rasa tak tau malu, dan modal berani menggoda pria!" seru Yaya. Ucapan Yaya itu tentu saja tak bisa di terima oleh sang ibu. Baginya Ellen adalah putrinya yang paling berharga. Tak ada yang boleh menghina. Ibu melepaskan pelukan Ellen. Dia maju mendekati Yaya. Dan dengan cepat wanita itu melayangkan tangannya pada wajah anak tirinya. Ellen yang melihat itu jadi tersenyum. "Jaga ucapanmu! Jika Rian tak mau lagi denganmu, kenapa kamu menyalahkan Ellen. Jika mereka tidak saling cinta, tak akan terjalin hubungan. Satu lagi yang harus kamu ketahui, semua persiapan pernikahan yang kamu lakukan itu akan digunakan Ellen. Dia yang akan menikahi Rian. Bukan kamu. Jadi aku minta jangan ada drama, untuk mengganggu atau merusak pernikahan adikmu dan Rian. Kau harus terima kenyataan jika Rian lebih memilih Ellen menjadi pendamping hidupnya dari pada kamu!" ucap Ibu tiri Yaya dengan penuh penekanan. Air mata Yaya jatuh membasahi pipinya mendengar ucapan ibu tirinya. Tenyata semua telah mereka rencanakan. Dan yang membuat dia sedih sebenarnya adalah reaksi ayah kandungnya. Tidak ada kata atau pembelaan sedikitpun untuk dirinya. Padahal Yaya anak kandungnya. Dalam tangisannya, Yaya tertawa. Menertawai hidupnya yang penuh drama. "Gunakan saja semua yang aku beli dan siapkan untuk pernikahanku. Ayu memang pantas mendapatkan bekasku. Pecundang dan pengkhianat cocok jika disatukan. Aku sumbangkan semuanya untukmu!" seru Yaya.Bima terdiam mendengar pertanyaan ibu Maura. Tak tahu harus menjawab apa. Jika berkata jujur, pasti nama Yaya yang akan jelek. Apa lagi dia sudah tahu bagaimana perilaku sang ibu tiri. Tadi Joe telah menyelidiki dengan bertanya pada beberapa tetangga mereka."Apa Nak Bima dan Yaya telah menikah?" Kembali ibu Maura mengajukan pertanyaan.Yaya yang baru datang dengan Arabella setelah mengantar makanan untuk tetangganya yang telah baik dan memberikan kabar, langsung tersenyum sinis mendengar pertanyaan ibu tirinya itu."Kenapa Ibu ingin tau, apakah itu ada pengaruhnya buat kehidupan Ibu? Menikah atau pun belum, aku tak pernah minta tolong dengan Ibu, jadi berhenti ingin tau tentang kehidupanku!" seru Yaya.Ibu Maura cukup terkejut mendengar ucapan Yaya. Dia pikir gadis itu akan diam saja seperti di rumah sakit. Dia ingin menarik perhatian Bima setelah melihat mobil dan royalnya pria itu. Buat ustad sekelas kampung saja dia memberikan uang jutaan."Jangan berkata begitu, Yaya. Walau aku i
Jenazah ayah terbaring di tengah ruang tamu. Yaya masih terus menangis. Arabella yang selalu berada di samping gadis itu selalu menghapus air matanya. Sambil sesekali mencium pipinya.Banyak tetangga memandangi gadis itu. Mungkin dalam hati mereka bertanya, siapa gadis cilik yang nempel dengannya. Sementara itu Bima dan Joe duduk di halaman rumah Yaya di bawah tenda sederhana.Dengan berjalan perlahan Ellen mendekati dua pria itu. Dia membawa baki berisi dua gelas teh hangat dan kue."Silakan minum, Mas. Pasti capek perjalanan menuju ke sini," ucap Ellen dengan centilnya.Bima tak menanggapi ucapan Ellen, justru membuang muka. Hanya Joe yang mencoba tersenyum."Terima kasih," ucap Joe."Apakah Mas tak ingin masuk?" tanya Ellen. Joe menjawab dengan gelengan kepala.Saat ini jenazah sedang di mandikan. Setelah tu kembali di bawa ke ruang tamu. Saat kain kafan akan ditutup, Yaya mendekati jenazah. Dia meninggalkan Arabella sebentar. Untung bocah itu mau di tinggal."Ayah, ini terakhir ka
Yaya mengangkat wajahnya dan melihat Arabella berlari mendekati. Di belakang bocah itu ada Bima dan Joe. Gadis itu merentangkan tangannya agar sang bocah masuk dalam pelukannya. Saat ini dia memang butuh pelukan walau hanya dari anak kecil. Tangis Yaya pecah saat Arabella telah berada dalam pelukannya. Membuat bocah itu ikut menangis. "Mami bohong. Mami mau tinggalin aku'kan?" tanya Arabella di sela tangisnya. "Mami ada perlu, Sayang," jawab Yaya di sela Isak tangisnya. Tadi siang, sepulang sekolah, gadis cilik itu meminta bertemu Yaya sesuai janji Oma dan papinya. Saat dibilang Yaya tak ada di perusahaan karena pulang kampung dia tantrum dan tak mau makan. Hingga malam tak juga menyentuh nasi. Akhirnya Bu Rangga, meminta sang putra mengantar cucunya bertemu Yaya. Pria itu terpaksa mencari tahu alamatnya dari file di perusahaan. Jam sepuluh malam mereka berangkat. Bu Rangga tak mengizinkan dia
Yaya akhirnya mendapat izin masuk walau sebenarnya jam besuk telah selesai. Dia meletakan tas di bangku tunggu. Berjalan masuk dengan perlahan.Ketika dia masuk ke ruangan itu, dia hampir tidak bisa mengenali ayahnya. Wajahnya pucat dan lesu, terhubung dengan berbagai alat yang membuatnya tampak rapuh dan rentan. Tangis Yaya tak dapat lagi dia tahan. Air mata jatuh membasahi pipinya."Ayah, bangunlah. Aku tak sanggup melihat ayah begini. Walau ayah tak menyayangiku, itu lebih baik dari pada melihatmu begini," rengek Yaya sambil mengusap matanya yang berair.Tiba-tiba, ayahnya Yaya terlihat bergerak perlahan. Matanya yang terpejam sepertinya mencoba membuka sedikit demi sedikit. Yaya langsung mendekatinya."Ayah, maafkan aku," ucap Yaya terisak.Ayahnya Yaya tampak berusaha tersenyum. Tangannya terangkat perlahan seperti ingin bersalaman. Gadis itu meraihnya dan menggenggamnya. Dia lalu menciumnya."Maaf, karena aku baru bisa pulang," ujar Yaya dengan suara terbata karena menangis.Air
Yaya akhirnya memutuskan pulang kampung. Bersyukur juga dia bisa menenangkan Arabella. Bocah itu tak merengek lagi minta ikut karena dijanjikan akan bertemu lagi besok dan seterusnya setelah pulang sekolah.Bima memberikan cuti seminggu. Kebetulan Yaya memang telah satu tahun bekerja di perusahaannya.Yaya termenung dalam bus yang membawanya pulang. Satu tahun sudah dia meninggalkan kampung halamannya. Hari raya saja dia tak pulang.Ketika hampir sampai di kampung, gadis itu menarik napas dalam untuk menenangkan gejolak dalam dadanya. Jantungnya berdetak lebih cepat. Dia gugup, walau telah satu tahun berlalu luka itu belum sembuh dengan sempurna.Yaya memang memberikan nomornya pada salah satu tetangga. Tujuannya memang untuk bertanya tentang ayah. Walau sebesar apa pun kecewanya pada sang ayah, tapi tak bisa menutupi rasa cintanya.Sampai di terminal, Yaya langsung menuju rumah dengan menggunakan ojek. Dia hanya membawa tas kecil dengan
Yaya menggandeng tangan bocah cilik itu menuju ke ruang kerja atasannya. Saat sampai di depan ruang itu, Yaya mengetuknya. Hingga terdengar suara sahutan barulah gadis itu masuk. Di dalam ruangan tampak Joe sedang sibuk dengan laptopnya.Gadis itu tersenyum dengan Joe dan Bima. Dia lalu mendekati meja kerja atasannya itu."Pak, Ara minta di antarkan ke ruang ini.""Ya, Yaya. Sekali lagi aku minta maaf karena telah merepotkan kamu," ucap Bima."Tak perlu minta maaf, Pak. Ara tak ada mengganggu saya," balas Yaya.Bima berdiri dari duduknya dan mendekati Arabella lalu menggendong. Yaya tersenyum melihat itu. Dipikirnya sang bocah pasti sudah mau di tinggalkan. Dia lalu pamit."Pak, kalau begitu saya pamit dulu," ucap Yaya."Ya, Yaya." Bima hanya menjawab dengan singkat.Yaya lalu berbalik dan berjalan menuju pintu keluar, tapi menjelang sampai diambang pintu terdengar teriakan Arabella. Dia menangis minta ikut. Gad