Pernikahan yang sudah didepan mata harus batal sepihak karena calon suaminya ternyata sudah menghamili wanita lain, yang merupakan adiknya sendiri, Yaya harus hidup dalam kesedihan setelah pengkhianatan Rian. Berharap dukungan keluarga, Yaya seolah tidak dipedulikan, semua hanya memperdulikan adiknya yang sudah merusak pesta pernikahannya, Apakah yang akan Yaya lakukan setelah kejadian ini? Akankah dia bisa kuat menerima takdirnya?
Lihat lebih banyakYaleora Yaya atau yang lebih akrab di panggil Yaya, sedang sibuk dengan persiapan pernikahannya yang sudah di depan mata. Satu bulan lagi dia dan Rian akan naik ke pelaminan. Persiapan sudah hampir tujuh puluh persen.
Hari ini Yaya janjian bertemu dengan kekasih atau calon suaminya itu saat pulang kerja. Dia ingin mengajak Rian mengambil undangan yang baru saja selesai di cetak. Seluruh tabungan hasil kerjanya selama tiga tahun ini telah terkuras untuk persiapan pernikahan mereka. Yaya tak pernah menuntut Rian untuk membayar semuanya. Dia lebih banyak menggunakan uang pribadi. Baginya pernikahan untuk berdua dan dengan uang berdua juga. "Sayang, kamu nanti yang jemput aku atau kita bertemu di percetakan aja?" tanya Yaya saat menghubungi sang kekasih. "Maaf, Sayang. Sepertinya hari ini aku tak bisa menemani kamu. Pekerjaanku sedang banyak. Aku harus lembur," jawab Rian di seberang sana. "Kalau begitu biar aku saja yang jemput sendiri. Kamu jangan terlalu capek dan ingat makan, Mas," ujar Yaya. "Ya, Sayang. Maafkan aku," ucap Rian pelan. "Tak apa, Sayang. Kamu jangan merasa bersalah begitu. Kamu sibuk kerja bukannya selingkuh'kan," balas Yaya. Tak ada jawaban yang Rian berikan atas ucapan gadis itu. Yaya ingin segera mematikan sambungan telepon mereka, karena takut mengganggu waktu kerja sang kekasih. "Sayang, sudah dulu ya. Jangan lupa makan dan jangan terlalu capek. Kesehatan lebih penting dari pada uang, Mas," ujar Yaya. "Kamu juga jangan lupa makan. Jika kamu capek, besok saja jemput undangannya, Sayang. Sekali lagi maafkan aku," balas Rian. "Santai saja, Sayang. I love you," kata Yaya. "Love you too," balas Rian. Rian lalu mematikan sambungan ponselnya dengan Yaya. Dia menarik rambutnya frustasi. Seperti sedang banyak beban pikiran. "Kapan kamu akan jujur dengan Kak Yaya, Mas. Aku mau tanggal pernikahan yang kamu sepakati dengannya dijadikan untuk pernikahan kita. Biar kita tak perlu mengurus apa pun lagi. Semua yang telah kamu dan Kak Yaya urus, itu buat pernikahan kita saja!" ucap Ellen. "Beri aku waktu Ellen. Tak mudah mengatakan semuanya. Aku harus menjaga perasaannya Ellen. Dia pasti akan syok mendengar pembatalan pernikahan kami" jawab Rian. "Ini bukan alasan kamu untuk lari dari tanggung jawab'kan? Ingat Mas, di perutku ini ada anakmu. Aku tak mau setelah perut ini gede baru menikah. Pokoknya aku mau tanggal pernikahan kamu dengan Kak Yaya dijadikan untuk pernikahan kita!" seru Ellen. "Apa itu tak keterlaluan, El. Setelah aku nanti membatalkan pernikahan kami, aku menikahi kamu tepat di hari kami berencana untuk menikah. Itu tanggal jadian kami dulunya," balas Rian. "Jika Mas tak berani mengatakan semuanya, biar aku saja yang bicara langsung dengan Kak Yaya. Dia harus tau secepatnya jika kamu tak akan pernah menikah dengannya!" seru Ellen. Ellen lalu berdiri dari duduknya dan berjalan keluar dari restoran itu. Rian juga ikut berdiri. Jalannya lebih cepat karena ingin mengejar wanita itu. Sampai di halaman restoran, dia menahan tangan Ellen agar tak berjalan lebih jauh lagi. Rian menariknya untuk duduk di bawah pohon. "Biar aku yang bicara dengan Ellen. Aku harap kamu bersabar sedikit saja. Aku tak akan lari dari tanggung jawab!" seru Rian. "Aku tunggu secepatnya, jika dalam seminggu ini kamu tak juga mengatakan hal sebenarnya pada kak Yaya, aku yang akan mengatakannya!" ancam Ellen. "Baiklah, aku akan mengatakan dalam minggu ini juga," balas Rian. "Aku tunggu janjimu!" Ellen lalu berdiri dan berjalan menuju jalan raya. Menghentikan angkot yang akan membawanya kembali ke rumah. *** Sampai di rumah dia langsung masuk ke rumah tanpa memberikan salam. Saat akan masuk ke kamarnya, dia melihat Yaya yang sedang menyusun undangan pernikahannya. Ellen yang awalnya ingin beristirahat di kamar jadi mengurungkan niatnya. Dia masuk ke kamar sang kakak. Duduk di tepi ranjang dengan pandangan tajam ke arah undangan yang berserakan di lantai. "Apa Kak Yaya sudah yakin akan menikah dengan Mas Rian?" tanya Ellen dengan suara ketus. Pertanyaan Ellen membuat gadis itu menjadi terkejut. Dia membalas tatapan adiknya itu dengan tatapan teduh dan senyuman yang menawan. "Kenapa kamu bertanya begitu, Dek? Tentu saja kakak sudah yakin akan menikah dengan Mas Rian. Kamu jangan kuatir, walau aku nanti telah menikah, aku akan tetap datang ke rumah ini untuk melepaskan rindu padamu," jawab Yaya. "Apa Kakak yakin jika Mas Rian mencintai Kakak?" tanya Ellen lagi. Mendengar pertanyaan Ellen kali ini, Yaya jadi terdiam. Dia menghentikan kegiatannya menyusun undangan. Menatap adiknya dengan pandangan menyelidik. Dari tadi Ellen selalu meragukan pernikahannya. Yaya jadi curiga jika adiknya mengetahui sesuatu. Mungkin dia takut untuk mengatakan. Namun, Yaya berharap semua itu hanya perasaannya saja. Jangan sampai apa yang dia pikirkan itu benar adanya. Dia lalu berdiri dan mendekati Ellen yang duduk di ujung ranjangnya. "Dek, apa kamu mengetahui sesuatu mengenai Mas Rian?" tanya Yaya mulai curiga. "Tanyakan saja sendiri dengan Mas Rian." Ellen lalu berdiri. Dia takut keceplosan kalau terus berada di dekat sang kakak. Rian bisa marah dan tak percaya dia lagi. Adiknya Ellen itu berjalan menuju ke luar kamar. Tentu saja hal ini membuat kecurigaannya makin bertambah. Sampai di ambang Ellen membalikan tubuhnya menghadap sang kakak. "Jangan terlalu percaya pada pria!" ucap Ellen. Yaya terdiam mendengar ucapan adiknya. Dia takut jika Rian memang tak setia. Namun, dia berusaha menepis pikiran buruknya. Kembali dia mencoba menyibukkan diri dengan undangan tersebut. Setelah menempelkan nama orang yang dia undang, Yaya naik ke ranjang mencoba memejamkan matanya. Namun, lagi-lagi ucapan adiknya terngiang. Yaya lalu mengambil gawainya dan mencoba menghubungi sang kekasih, tapi tak diangkat juga. Dia makin berpikiran jelek. Saat matanya akan terpejam terdengar nada pesan masuk. Yaya membuka matanya kembali dan melihat gawainya. Ingin tahu siapa yang mengirimkan pesan. Ternyata dari sang kekasih yang mengatakan jika dia ingin bertemu saat pulang kerja besok. Ada yang ingin disampaikan. Membaca pesan tersebut membuat pikiran Yaya jadi makin berpikiran buruk. Apa lagi saat dia membalas pesan sang kekasih menanyakan apa yang akan di bahas, gawai pria itu sudah tak aktif. Hingga siang ini, gawai sang kekasih belum juga aktif. Beberapa pesan menanyakan tempat mereka bertemu hanya centang satu. Hingga menjelang jam pulang kerja, barulah Rian membalas. Dia menyebutkan nama sebuah kafe. Sepulang kerja, dengan mengendarai motornya, Yaya menuju kafe yang Rian sebutkan. Sepanjang perjalanan jantungnya berdebar. Dia tak tahu kenapa jadi begini. Sementara itu di dalam kafe, Rian menunggu kedatangan Yaya dengan gelisah. Tak kalah dengan gadis itu, jantungnya juga berdetak lebih cepat. "Bagaimana ya caranya untuk mengatakan jika pernikahan kami dibatalkan?" tanya Rian dengan dirinya sendiri.Bima terdiam mendengar pertanyaan ibu Maura. Tak tahu harus menjawab apa. Jika berkata jujur, pasti nama Yaya yang akan jelek. Apa lagi dia sudah tahu bagaimana perilaku sang ibu tiri. Tadi Joe telah menyelidiki dengan bertanya pada beberapa tetangga mereka."Apa Nak Bima dan Yaya telah menikah?" Kembali ibu Maura mengajukan pertanyaan.Yaya yang baru datang dengan Arabella setelah mengantar makanan untuk tetangganya yang telah baik dan memberikan kabar, langsung tersenyum sinis mendengar pertanyaan ibu tirinya itu."Kenapa Ibu ingin tau, apakah itu ada pengaruhnya buat kehidupan Ibu? Menikah atau pun belum, aku tak pernah minta tolong dengan Ibu, jadi berhenti ingin tau tentang kehidupanku!" seru Yaya.Ibu Maura cukup terkejut mendengar ucapan Yaya. Dia pikir gadis itu akan diam saja seperti di rumah sakit. Dia ingin menarik perhatian Bima setelah melihat mobil dan royalnya pria itu. Buat ustad sekelas kampung saja dia memberikan uang jutaan."Jangan berkata begitu, Yaya. Walau aku i
Jenazah ayah terbaring di tengah ruang tamu. Yaya masih terus menangis. Arabella yang selalu berada di samping gadis itu selalu menghapus air matanya. Sambil sesekali mencium pipinya.Banyak tetangga memandangi gadis itu. Mungkin dalam hati mereka bertanya, siapa gadis cilik yang nempel dengannya. Sementara itu Bima dan Joe duduk di halaman rumah Yaya di bawah tenda sederhana.Dengan berjalan perlahan Ellen mendekati dua pria itu. Dia membawa baki berisi dua gelas teh hangat dan kue."Silakan minum, Mas. Pasti capek perjalanan menuju ke sini," ucap Ellen dengan centilnya.Bima tak menanggapi ucapan Ellen, justru membuang muka. Hanya Joe yang mencoba tersenyum."Terima kasih," ucap Joe."Apakah Mas tak ingin masuk?" tanya Ellen. Joe menjawab dengan gelengan kepala.Saat ini jenazah sedang di mandikan. Setelah tu kembali di bawa ke ruang tamu. Saat kain kafan akan ditutup, Yaya mendekati jenazah. Dia meninggalkan Arabella sebentar. Untung bocah itu mau di tinggal."Ayah, ini terakhir ka
Yaya mengangkat wajahnya dan melihat Arabella berlari mendekati. Di belakang bocah itu ada Bima dan Joe. Gadis itu merentangkan tangannya agar sang bocah masuk dalam pelukannya. Saat ini dia memang butuh pelukan walau hanya dari anak kecil. Tangis Yaya pecah saat Arabella telah berada dalam pelukannya. Membuat bocah itu ikut menangis. "Mami bohong. Mami mau tinggalin aku'kan?" tanya Arabella di sela tangisnya. "Mami ada perlu, Sayang," jawab Yaya di sela Isak tangisnya. Tadi siang, sepulang sekolah, gadis cilik itu meminta bertemu Yaya sesuai janji Oma dan papinya. Saat dibilang Yaya tak ada di perusahaan karena pulang kampung dia tantrum dan tak mau makan. Hingga malam tak juga menyentuh nasi. Akhirnya Bu Rangga, meminta sang putra mengantar cucunya bertemu Yaya. Pria itu terpaksa mencari tahu alamatnya dari file di perusahaan. Jam sepuluh malam mereka berangkat. Bu Rangga tak mengizinkan dia
Yaya akhirnya mendapat izin masuk walau sebenarnya jam besuk telah selesai. Dia meletakan tas di bangku tunggu. Berjalan masuk dengan perlahan.Ketika dia masuk ke ruangan itu, dia hampir tidak bisa mengenali ayahnya. Wajahnya pucat dan lesu, terhubung dengan berbagai alat yang membuatnya tampak rapuh dan rentan. Tangis Yaya tak dapat lagi dia tahan. Air mata jatuh membasahi pipinya."Ayah, bangunlah. Aku tak sanggup melihat ayah begini. Walau ayah tak menyayangiku, itu lebih baik dari pada melihatmu begini," rengek Yaya sambil mengusap matanya yang berair.Tiba-tiba, ayahnya Yaya terlihat bergerak perlahan. Matanya yang terpejam sepertinya mencoba membuka sedikit demi sedikit. Yaya langsung mendekatinya."Ayah, maafkan aku," ucap Yaya terisak.Ayahnya Yaya tampak berusaha tersenyum. Tangannya terangkat perlahan seperti ingin bersalaman. Gadis itu meraihnya dan menggenggamnya. Dia lalu menciumnya."Maaf, karena aku baru bisa pulang," ujar Yaya dengan suara terbata karena menangis.Air
Yaya akhirnya memutuskan pulang kampung. Bersyukur juga dia bisa menenangkan Arabella. Bocah itu tak merengek lagi minta ikut karena dijanjikan akan bertemu lagi besok dan seterusnya setelah pulang sekolah.Bima memberikan cuti seminggu. Kebetulan Yaya memang telah satu tahun bekerja di perusahaannya.Yaya termenung dalam bus yang membawanya pulang. Satu tahun sudah dia meninggalkan kampung halamannya. Hari raya saja dia tak pulang.Ketika hampir sampai di kampung, gadis itu menarik napas dalam untuk menenangkan gejolak dalam dadanya. Jantungnya berdetak lebih cepat. Dia gugup, walau telah satu tahun berlalu luka itu belum sembuh dengan sempurna.Yaya memang memberikan nomornya pada salah satu tetangga. Tujuannya memang untuk bertanya tentang ayah. Walau sebesar apa pun kecewanya pada sang ayah, tapi tak bisa menutupi rasa cintanya.Sampai di terminal, Yaya langsung menuju rumah dengan menggunakan ojek. Dia hanya membawa tas kecil dengan
Yaya menggandeng tangan bocah cilik itu menuju ke ruang kerja atasannya. Saat sampai di depan ruang itu, Yaya mengetuknya. Hingga terdengar suara sahutan barulah gadis itu masuk. Di dalam ruangan tampak Joe sedang sibuk dengan laptopnya.Gadis itu tersenyum dengan Joe dan Bima. Dia lalu mendekati meja kerja atasannya itu."Pak, Ara minta di antarkan ke ruang ini.""Ya, Yaya. Sekali lagi aku minta maaf karena telah merepotkan kamu," ucap Bima."Tak perlu minta maaf, Pak. Ara tak ada mengganggu saya," balas Yaya.Bima berdiri dari duduknya dan mendekati Arabella lalu menggendong. Yaya tersenyum melihat itu. Dipikirnya sang bocah pasti sudah mau di tinggalkan. Dia lalu pamit."Pak, kalau begitu saya pamit dulu," ucap Yaya."Ya, Yaya." Bima hanya menjawab dengan singkat.Yaya lalu berbalik dan berjalan menuju pintu keluar, tapi menjelang sampai diambang pintu terdengar teriakan Arabella. Dia menangis minta ikut. Gad
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen