"Yaya ...," ucap Erik. Dia tampak terkejut melihat kehadiran gadis itu. Biasanya Yaya pulang kerja jam lima sore, tadi dia minta izin karena merasa kepalanya begitu sakit.
Rian berdiri dari duduknya, tapi tangannya di tarik Ellen, sehingga dia kembali duduk. Wajahnya cemberut melihat sang pria yang langsung berdiri. Bukan saja Ellen yang terlihat tidak senang atas kehadiran Yaya yang tiba-tiba, tapi juga sang ibu. Ayahnya hanya memandangi dengan tatapan datar tanpa ekspresi. "Kenapa Kakak pulang cepat? Sengaja ingin menguping obrolan kami?" tanya Ellen dengan suara ketus. "Aku tak ada waktu hanya sekedar untuk menguping obrolan tak penting!" seru Yaya dengan suara sedikit ketus. "Sombong sekali kau, apa kau pikir dirimu sudah hebat karena telah bekerja?" tanya Ibu tirinya Yaya dengan sinis. Rian menarik napas dalam. Dia terlihat gugup. Mungkin tak pernah menginginkan berada dalam posisi saat ini. "Yaya, aku minta izin untuk memakai semua persiapan pernikahan kita kemarin untuk pernikahan aku dan Ellen" ucap Rian dengan suara berhati-hati. Yaya tertawa mendengar ucapan Rian. Dengan tak tahu malunya dia meminta izin. Jika awalnya gadis itu akan merelakan semua yang telah terlanjur dia sewa, berbeda apa yang ada dalam pikirannya saat ini. Dia tak akan merelakan begitu saja. Uang muka yang terlanjur diberikan akan dia minta sebagian. Karena memang ada uang Rian di sana. Jika W.O tak mau dan membatalkan perjanjian, dia tak peduli. Toh, pernikahan dia juga batal. "Kenapa minta izin denganku? Pakai saja kalau masih bisa. Aku juga tak butuh!" ucap Yaya. Yaya lalu berjalan menuju kamar. Menghempaskan tubuhnya yang terasa lelah. Satu jam mungkin cukup untuk beristirahat setelah itu dia akan mencoba meminta uang yang telah terlanjur di setor untuk pembayaran. "Kamu dengar sendiri'kan, Mas. Yaya itu telah mengizinkan kita pakai semua persiapan pernikahannya," ucap Ellen. "Tapi sebenarnya tak enak juga, El. Lagi pula semua pesanan yang Yaya lakukan sesuai seleranya, apa kamu tak keberatan?" tanya Rian. "Aku yakin selera Kak Yaya sama denganku. Seperti pria yang dia suka adalah kamu, aku juga mencintai kamu," jawab Ellen. Ellen memeluk lengan Rian, pria itu tampak risih. Mungkin malu karena ada kedua orang tua mereka. Rian berusaha menepis tangan Ellen dan tersenyum malu pada ayah dan ibu. Dia lalu pura-pura mengambil air minum agar Ellen tak marah dan tersinggung. Ellen yang merasakan jika Rian sengaja menepis tangannya, langsung cemberut. Baru dia ingin marah, Yaya keluar lagi dari kamar. Semua mata tertuju padanya. Gadis itu tampak sangat cantik. Tak ada terlihat jika dia baru saja putus cinta. Mata Rian memandangi lekat tanpa kedip. Hal itu membuat Ellen makin marah dan cemberut. "Kemana lagi kamu, Yaya?" tanya Ayah. Walau dia bertanya dengan sang putri tapi pandangannya entah kemana. Tangannya sibuk dengan rokok. "Aku mau cari uang buat makan. Jika bukan mencari nafkah buat diri sendiri, siapa yang mau menafkahi? Aku sudah tak memiliki siapa-siapa lagi!" seru Yaya. "Jaga ucapanmu! Kamu pikir siapa yang memberi kamu makan sehingga bisa tumbuh dewasa begini?" tanya Ayah dengan suara lantang. Tersulut emosi mendengar ucapan anak gadisnya itu. Yaya tersenyum miris mendengar ucapan ayahnya. Tentu saja pria itu tak tahu apa yang terjadi selama ini. Dia hanya sibuk mencari uang tanpa peduli anaknya. "Sejak ibu meninggal aku mencari uang buat makan dan jajanku sendiri. Walau sebenarnya di usia sepuluh tahun itu masih tanggung jawab orang tua. Aku bisa apa, karena tak memiliki orang tua lagi!" ucap Yaya. Wajah ibu tirinya yang bernama Maura memerah. Dia tahu jika Yaya menyindir dirinya. Selama ini suaminya tak tahu perlakuannya pada Yaya. Dia mengancam gadis itu jika berani mengadu. Lagi pula sang suami tak pernah mau mendengar apa pun ucapan putrinya itu. "Jangan banyak omong kamu! Kamu pikir siapa yang mencari uang untuk makan kamu selama ini? Apa kamu lupa jika kamu bisa tumbuh besar karena makanan di rumah ini yang dibeli dari hasil kerja kerasku!" seru Ayah dengan lantang. "Perlu Ayah tau, sejak ayah menikah dengan ibu Ayu, aku hanya boleh makan satu kali sehari. Dan kadang itu juga hanya dengan nasi tanpa lauk. Jajan sekolah aku cari sendiri dengan berjualan apa saja. Aku di usia sekecil itu harus bertarung dengan kerasnya hidup!" ujar Yaya. Dadanya sesak mengingat semua perjuangannya selama ini. Mungkin kegagalan pernikahannya ini adalah petunjuk Tuhan agar dia segera pergi dari orang-orang toxic di rumah ini. Ayah dan Ibu langsung berdiri mendengar ucapan Yaya. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka. Dulu Yaya sangat berharap Rian akan melindunginya dari kerasnya dunia ini, tapi ternyata pria itu justru menambah lukanya. Dia jadi tak percaya dengan namanya pria. Ayah yang menyakiti hatinya dan kekasih yang menggoreskan luka makin dalam. "Jangan sembarangan bicara kamu, Yaya. Aku selalu memberi kamu makan. Jika pun aku hanya memberi nasi, karena memang lauk telah habis. Ayahmu bukanlah pria dengan penghasilan gede, sehingga aku harus bisa berhemat," ucap Ibu Ellen mencoba membela diri. "Mulutnya memang keterlaluan, Yaya! Ayah tau, jika kamu masih sakit hati karena pernikahan Ellen dan Rian, tapi bukan berarti kamu harus memfitnah ibumu. Walaupun dia hanya ibu sambung, tapi dia yang menjagamu hingga bisa seperti saat ini. Jangan kau lupakan semua itu!" seru Hendra, ayah Yaya. Yaya tertawa mendengar ucapan ayahnya. Baginya itu sangat lucu. "Aku sudah yakin jika ayah tak akan percaya dengan ucapanku ini, makanya aku tak pernah mengatakan apa pun tentang ibu. Biarlah semua aku tanggung sendiri. Aku hanya meminta, semoga suatu saat Tuhan membukakan hati Ayah dan melihat siapa sebenarnya yang salah!" Setelah mengucapkan itu Yaya langsung berjalan tanpa menunggu jawaban dari ayah atau ibunya. Dia harus segera meminta uang yang terlanjur di beri. Jika uang muka tak bisa kembali, biar saja. Itu juga sebagian uangnya Rian. "Ayah lihat sendiri'kan. Kak Yaya itu iri denganku. Dia ingin menjelekkan ibu agar Mas Rian ikut membenci Ibu," ucap Ellen. "Sudahlah. Ayah pusing. Ayah mau istirahat dulu," jawab Ayah. Pria itu lalu berjalan menuju kamar. "Ibu juga mau istirahat, dan setelah itu masak untuk makan malam. Bukankah kalian ingin pergi ke sewa pelaminan untuk memajukan acara. Sebaiknya pergilah. Takutnya bentrok dengan orang lain," ucap Ibu Maura. "Ayo, Mas. Benar kata ibu, kita harus segera konfirmasi ulang tanggal pernikahan," ajak Ellen. Rian mengangguk setuju. Dia lalu berdiri dan pamitan dengan calon mertuanya itu.Bima terdiam mendengar pertanyaan ibu Maura. Tak tahu harus menjawab apa. Jika berkata jujur, pasti nama Yaya yang akan jelek. Apa lagi dia sudah tahu bagaimana perilaku sang ibu tiri. Tadi Joe telah menyelidiki dengan bertanya pada beberapa tetangga mereka."Apa Nak Bima dan Yaya telah menikah?" Kembali ibu Maura mengajukan pertanyaan.Yaya yang baru datang dengan Arabella setelah mengantar makanan untuk tetangganya yang telah baik dan memberikan kabar, langsung tersenyum sinis mendengar pertanyaan ibu tirinya itu."Kenapa Ibu ingin tau, apakah itu ada pengaruhnya buat kehidupan Ibu? Menikah atau pun belum, aku tak pernah minta tolong dengan Ibu, jadi berhenti ingin tau tentang kehidupanku!" seru Yaya.Ibu Maura cukup terkejut mendengar ucapan Yaya. Dia pikir gadis itu akan diam saja seperti di rumah sakit. Dia ingin menarik perhatian Bima setelah melihat mobil dan royalnya pria itu. Buat ustad sekelas kampung saja dia memberikan uang jutaan."Jangan berkata begitu, Yaya. Walau aku i
Jenazah ayah terbaring di tengah ruang tamu. Yaya masih terus menangis. Arabella yang selalu berada di samping gadis itu selalu menghapus air matanya. Sambil sesekali mencium pipinya.Banyak tetangga memandangi gadis itu. Mungkin dalam hati mereka bertanya, siapa gadis cilik yang nempel dengannya. Sementara itu Bima dan Joe duduk di halaman rumah Yaya di bawah tenda sederhana.Dengan berjalan perlahan Ellen mendekati dua pria itu. Dia membawa baki berisi dua gelas teh hangat dan kue."Silakan minum, Mas. Pasti capek perjalanan menuju ke sini," ucap Ellen dengan centilnya.Bima tak menanggapi ucapan Ellen, justru membuang muka. Hanya Joe yang mencoba tersenyum."Terima kasih," ucap Joe."Apakah Mas tak ingin masuk?" tanya Ellen. Joe menjawab dengan gelengan kepala.Saat ini jenazah sedang di mandikan. Setelah tu kembali di bawa ke ruang tamu. Saat kain kafan akan ditutup, Yaya mendekati jenazah. Dia meninggalkan Arabella sebentar. Untung bocah itu mau di tinggal."Ayah, ini terakhir ka
Yaya mengangkat wajahnya dan melihat Arabella berlari mendekati. Di belakang bocah itu ada Bima dan Joe. Gadis itu merentangkan tangannya agar sang bocah masuk dalam pelukannya. Saat ini dia memang butuh pelukan walau hanya dari anak kecil. Tangis Yaya pecah saat Arabella telah berada dalam pelukannya. Membuat bocah itu ikut menangis. "Mami bohong. Mami mau tinggalin aku'kan?" tanya Arabella di sela tangisnya. "Mami ada perlu, Sayang," jawab Yaya di sela Isak tangisnya. Tadi siang, sepulang sekolah, gadis cilik itu meminta bertemu Yaya sesuai janji Oma dan papinya. Saat dibilang Yaya tak ada di perusahaan karena pulang kampung dia tantrum dan tak mau makan. Hingga malam tak juga menyentuh nasi. Akhirnya Bu Rangga, meminta sang putra mengantar cucunya bertemu Yaya. Pria itu terpaksa mencari tahu alamatnya dari file di perusahaan. Jam sepuluh malam mereka berangkat. Bu Rangga tak mengizinkan dia
Yaya akhirnya mendapat izin masuk walau sebenarnya jam besuk telah selesai. Dia meletakan tas di bangku tunggu. Berjalan masuk dengan perlahan.Ketika dia masuk ke ruangan itu, dia hampir tidak bisa mengenali ayahnya. Wajahnya pucat dan lesu, terhubung dengan berbagai alat yang membuatnya tampak rapuh dan rentan. Tangis Yaya tak dapat lagi dia tahan. Air mata jatuh membasahi pipinya."Ayah, bangunlah. Aku tak sanggup melihat ayah begini. Walau ayah tak menyayangiku, itu lebih baik dari pada melihatmu begini," rengek Yaya sambil mengusap matanya yang berair.Tiba-tiba, ayahnya Yaya terlihat bergerak perlahan. Matanya yang terpejam sepertinya mencoba membuka sedikit demi sedikit. Yaya langsung mendekatinya."Ayah, maafkan aku," ucap Yaya terisak.Ayahnya Yaya tampak berusaha tersenyum. Tangannya terangkat perlahan seperti ingin bersalaman. Gadis itu meraihnya dan menggenggamnya. Dia lalu menciumnya."Maaf, karena aku baru bisa pulang," ujar Yaya dengan suara terbata karena menangis.Air
Yaya akhirnya memutuskan pulang kampung. Bersyukur juga dia bisa menenangkan Arabella. Bocah itu tak merengek lagi minta ikut karena dijanjikan akan bertemu lagi besok dan seterusnya setelah pulang sekolah.Bima memberikan cuti seminggu. Kebetulan Yaya memang telah satu tahun bekerja di perusahaannya.Yaya termenung dalam bus yang membawanya pulang. Satu tahun sudah dia meninggalkan kampung halamannya. Hari raya saja dia tak pulang.Ketika hampir sampai di kampung, gadis itu menarik napas dalam untuk menenangkan gejolak dalam dadanya. Jantungnya berdetak lebih cepat. Dia gugup, walau telah satu tahun berlalu luka itu belum sembuh dengan sempurna.Yaya memang memberikan nomornya pada salah satu tetangga. Tujuannya memang untuk bertanya tentang ayah. Walau sebesar apa pun kecewanya pada sang ayah, tapi tak bisa menutupi rasa cintanya.Sampai di terminal, Yaya langsung menuju rumah dengan menggunakan ojek. Dia hanya membawa tas kecil dengan
Yaya menggandeng tangan bocah cilik itu menuju ke ruang kerja atasannya. Saat sampai di depan ruang itu, Yaya mengetuknya. Hingga terdengar suara sahutan barulah gadis itu masuk. Di dalam ruangan tampak Joe sedang sibuk dengan laptopnya.Gadis itu tersenyum dengan Joe dan Bima. Dia lalu mendekati meja kerja atasannya itu."Pak, Ara minta di antarkan ke ruang ini.""Ya, Yaya. Sekali lagi aku minta maaf karena telah merepotkan kamu," ucap Bima."Tak perlu minta maaf, Pak. Ara tak ada mengganggu saya," balas Yaya.Bima berdiri dari duduknya dan mendekati Arabella lalu menggendong. Yaya tersenyum melihat itu. Dipikirnya sang bocah pasti sudah mau di tinggalkan. Dia lalu pamit."Pak, kalau begitu saya pamit dulu," ucap Yaya."Ya, Yaya." Bima hanya menjawab dengan singkat.Yaya lalu berbalik dan berjalan menuju pintu keluar, tapi menjelang sampai diambang pintu terdengar teriakan Arabella. Dia menangis minta ikut. Gad