Share

Gara-gara game online

Kami saling tatap begitu mesin kendaraan terdengar padam. Bapak memberi kode dengan anggukan kepala, dengan cepat kami menghapus jejak air mata di wajah kami.

"Assalamualaikum besan!" rupanya ada Ibu mertua juga yang ikut datang. 

"Walaikum salam, Bu Yati." sahut Emak yang sudah lebih dulu menyambut kedatangan tamu kami di teras.

"Ini ada gula sedikit, sekedar untuk bikin teh!" ujar mertuaku sok ramah.

"Oalah, kok malah repot-repot segala, Bu Yati. Kalau sekedar gula kami juga ada, kok." balas Ibu terdengar datar.

"Mari masuk!" lanjut Emak lagi.

Begitu masuk, kulihat wajah Ibu mertua sedikit terkejut melihatku.

"Oalah, kamu di sini to, Nduk. Ibu kira ke mana, kami sampai panik loh mencarimu." ucapnya langsung duduk di sebelahku sembari mengusap punggungku. Ratu drama, bermuka dua! 

Biar begitu, kuraih tangan beliau dan kucium punggung tangannya, karena sampai detik ini beliau masih mertuaku. Aku bangkit berdiri, meraih Zaki dari gendongan Bapak lalu duduk melantai di karpet. Mas Bagus ikut masuk, setelah menyalami Bapak dia duduk di samping Ibunya, menggantikan posisiku tadi. Tanpa, menyapaku atau sekedar berpura-pura di depan Bapak.

Kulihat Bapak menunjukkan raut wajah tak ramah pada menantu yang selalu dibangga-banggakannya itu.

"Sehat, Pak Yanto?" tanya Ibu mertua berbasa-basi.

"Alhamdulillah sehat!" jawab Bapak seadanya.

Tak lama, Emak datang menyuguhkan minuman. Teh panas berikut cemilan berupa sengkolun dan sosis (resoles/lumpia), entah dari mana camilan itu? Apakah ada tetangga yang punya hajat? Karena biasanya makanan seperti itu hanya ada di acara hajatan saja. Ah, aku saja baru sampai, belum sempat bertanya ini itu tapi sudah langsung disidang oleh Bapak.

"Maaf, Bu Yati. Hanya punya teh, kami tidak punya apa-apa. Coba, Bu Yati bilang dulu kalau mau datang, kami pasti siap-siap dulu." ucap Ibu tegas dan sedikit menyindir, beliau membalikkan kalimat yang serupa seperti yang dilontarkan menantunya pada Bapak beberapa waktu yang lalu. Mas Bagus mendongak sedikit terkejut, tapi segera menunduk lagi.

"Monggo, diminum tehnya. Gus, ayok diminum mumpung masih panas." titah Emak tersenyum tetapi terkesan tidak ramah. Lantas beliau turut duduk di sampingku dengan tangannya meraih Zaki untuk beliau pangku.

Hening, sesaat. Tidak ada yang bersuara baik Bapak maupun Ibu mertua. Mas Bagus juga hanya diam saja bak kacung yang menunggu titah majikannya.

"Begini, Pak Yanto. Maksud dan kedatangan kami kemari sebenarnya adalah untuk mencari mantu dan cucu saya, tapi alhamdulillah kalau mereka benar ada di sini. Kami lega jadinya." ucap ibu mertua membuka suara, kami masih menyimak saja.

"Kita sebagai orang tua yang sudah banyak makan asam garam kehidupan tentu memahami jika dalam rumah tangga itu tidak selalu berisi yang indah-indah saja. Akan ada masanya terjadi perselisihan dan kerikil-kerikil yang mengiringi setiap langkah dalam berumah tangga, dan itu sangat wajar terjadi.

Seperti yang saya sampaikan di telepon tadi siang, saya sedikit kecewa kenapa Indri memilih minggat dari rumah saat tengah berselisih paham dengan suaminya. Bukankah, itu perbuatan yang sangat tidak terpuji?" 

Duh, Ibu mertua, manis bener itu lambe (mulut) pengen tak kruwes dikit boleh tidak, ya? Gemes aku. 

"Seorang istri yang baik tentu akan tunduk pada suaminya, nurut apa yang diucapkan suaminya. Karena surga istri terletak pada ridho suaminya, bukan begitu Pak Yanto?" 

Bapak mangut-mangut menyetujui dan aku pun demikian. Memang benar letak surga istri ada pada ridho suami, tapi ya lihat-lihat suaminya seperti apa dulu. Kalau suami modelan begitu yang ada bukan surga tapi kerak neraka. Astagfitullah!

"Saya harap, Indri banyak belajar dari saya. Saya sepanjang sebagai istri dari suami saya, tidak pernah sekalipun membantah apa yang beliau katakan dan perintahkan. Saya melakukan tugas dan kewajiban saya dengan baik sehingga tiga anak saya juga tumbuh menjadi anak-anak yang baik, nurut sama orang tua dan tidak neko-neko." 

Lah, mulai keluar kepercayaan dirinya sendiri. Ini, Bapak juga kenapa diam saja, sih. Ya, begitulah Bapak, akan diam saat lawannya berbicara dan akan mulai bicara saat lawan telah diam. Dan itu juga yang aku lakukan pada beliau tadi, karena aku tahu beliau paling tidak suka jika perkataannya dibantah ketika beliau belum selesai bicara.

"Pak Yanto, sebagai seorang istri dan juga seorang Ibu, Indri seharusnya bisa membagi waktu dengan baik. Jika anaknya masih tidur ya, bangun pagi-pagi, kerjakan pekerjaan rumah dengan cepat. Jadi saat anak sudah bangun, bisa ganti mengurus anaknya tanpa harus disambi dengan pekerjaan lain. Jadi bisa fokus ke anak saja." 

Kulihat Bapak tersenyum sekilas, bagi orang normal akan tahu apa arti senyum yang Bapak ulas barusan. Senyum mencibir!

"Dan seorang istri tidak seharusnya meninggikan suara apalagi sampai bertindak bar-bar kepada suaminya. Sampai banting hp suami segala hanya karena suami main game, itu tindakan yang tidak patut dilakukan seorang istri."

"Dan kalau suami nampar istri, itu patut begitu?" potong Bapak sembari menatap Mas Bagus dengan tatapan tidak suka. Mas Bagus menunduk tak berani membalas tatapan Bapak.

"Bagus hanya khilaf, Pak. Tidak ada niatan untuk melakukan itu. Lagipula, salah Indri sendiri kenapa sampai membanting hp anak saya. Padahal dia tahu, hp itu jaman sekarang sangat penting. Ya soal pekerjaan, hubungan dengan saudara jauh dan-"

"Game? Lebih penting game daripada anaknya yang udah nangis kejer?" sela Bapak lagi, kali ini lebih keras. 

"Anak Indri-"

"Anak Bagus juga!" bentak Bapak semakin hilang kontrol menghadapi mulut Ibu mertua.

"Em, iya, Zaki memang sedang aktif dan tak mau diam. Itulah sampai dia jatuh." sahut Ibu mertua, aku heran apakah Ibu mertua ini menjabat sebagai jubir alias juru bicaranya Mas Bagus? Wah sudah seperti presiden saja punya jubir.

"Sebenarnya kejadian itu tak akan sampai terjadi jika saja Indri bisa mengatur waktunya-"

"Indri, Indri, Indri saja terus!" potong Bapak dengan menggebrak meja di hadapannya. Mungkin beliau sudah tak tahan lagi mendengar anak perempuannya di pojokkan terus menerus. Ibu mertua dan Mas Bagus sampai terlonjak kaget dibuatnya.

"Sudah, Bu Yati, yang terhormat! Ya, semua salah Indri. Salah Indri yang tidak bisa ini itu sesuai keinginan kalian. Dan, salah Indri juga adalah salah saya. Sekarang tidak perlu basa-basi yang akhirnya membuat saya semakin muak dengan kalian." ujar Bapak tegas dengan masih berusaha keras menahan amarahnya.

"Bagus!" panggil Bapak pada suamiku yang sejak datang hanya diam seribu bahasa. Mas Bagus mendongak sebentar lalu menunduk lagi.

"Sejak Indri kecil, saya ataupun Emaknya tidak pernah menyentuh kulitnya dengan kasar dalam keadaan marah. Namun, setelah dia menikah justru kamu yang orang lain berani menamparnya. Langit dan bumi jadi saksi kalau saya tidak ridho dengan perlakuan kamu terhadap anak saya. Sekarang, saya minta kembalikan Indri pada kami, dia memang tidak pantas berada di keluarga kalian yang terhormat itu!" tegas Bapak dengan suara pelan tetapi penuh penekanan.

Mas Bagus tersentak, mendongak menatap Bapak dengan tatapan tidak percaya. Lalu beralih menatapku dengan tatapan yang sulit aku artikan.

"Pak Yanto, jangan gegabah mengambil keputusan. Ingat, jika Pak Yanto meminta perceraian antara anak-anak kita, Bapak juga yang malu. Status janda dengan anak itu memalukan, Pak. Dan lagi, perceraian itu dibenci Allah!" sergah Ibu mertua mengeluarkan dalilnya.

"Lebih baik Indri jadi janda daripada mati muda menghadapi kalian!" tegas Bapak lagi, menatap Ibu mertua yang mulai gusar.

"Pak Yanto-"

"Diam Bu Yati! Sekarang giliran saya yang bicara." sela Bapak membuat Ibu mertua kicep seketika.

"Indri, saya besarkan dan saya didik dengan baik. Saya bekali dia ilmu agama yang cukup, agar kelak dia bisa membawa diri dengan baik. Saya mengenal Indri luar dalam, lebih dari siapapun. Kami memang tidak bisa membekalinya dengan harta dunia, sebab kami ini orang miskin. Untuk itulah dia bekerja di kota. Sejak sekolah, dia sudah mandiri. Sudah bisa hidup dengan keringatnya sendiri.

Lalu datanglah kamu kemari, Bagus. Meminta anak saya untuk menjadi istrimu, saya ridho. Saya serahkan tugas dan tanggung jawab saya padamu, dengan harapan kesulitan dan kesusahan dia selama gadis akan berkurang setelah dia menikah denganmu yang katanya dari keluarga kaya itu. Nyatanya, bukan dia yang kamu nafkahi tetapi justru dia yang menafkahi kamu. Dia itu istri, tugas dan tanggung jawab mencari nafkah itu suami. Dia tulang rusuk, bukan tulang punggung!"

"Pak Yanto-"

"Saya sedang bicara, Bu Yati! Apakah anda tidak pernah belajar adab berbicara?" ketus Bapak menatap besannya itu. Lalu kembali beralih pada menantunya.

"Indri berjuang sendiri, menghidupi dirinya sendiri ditambah dengan menghidupi kamu. Laki-laki jenis apa kamu itu? Selama ini, Indri banting tulang, mencukupi segala kebutuhan, tapi kamu? Memberikan gajimu untuk ibumu yang masih bagas waras sehat begini. Kamu itu waras apa tidak?" 

"Ya wajarlah Pak Yanto, dia kan anak berbakti pada Ibunya!" sela Ibu cepat, membuat Bapak semakin murka. 

Bapak menggebrak meja kuat-kuat hingga Zaki tersentak kaget lalu menangis. Edi, adikku dengan sigap datang dari ruang tengah lalu mengambil alih Zaki ke dalam gendongannya dan mengajaknya pergi dari ruang tamu yang suasananya semakin panas ini.

"Wajar? Kalau begitu kelonin saja anakmu, Bu Yati. Jangan biarkan dia menikah!" ketus Bapak lagi masih dengan wajah merah padam.

Ibu mertua melengos nampak tak suka dengan ucapan Bapak. 

"Bicara, Bagus! Apa kamu bisu, hah?" bentak Bapak Lagi, membuat Mas Bagus berjingkat.

"Sa-saya-"

"Kembalikan Indri baik-baik, Bagus! Saya tidak ingin lebih emosi daripada ini." tekan Bapak dengan nafas naik turun, menatap tajam Mas Bagus yang mulai pucat.

"Sa-saya, ti-tidak mau berpisah dari Indri, Pak!" gagap suamiku kemudian menunduk lagi. 

Ke mana jiwa garangnya saat menamparku tadi pagi? Atau teriakannya saat anakku menangis tadi pagi? Mas Bagus sudah seperti kerupuk kesiram air, mlempem, mungkret (mengkerut).

"Kalau begitu, pisahlah dari Ibumu!" tegas Bapak membuat Mas Bagus mendongak, matanya melebar dengan mulut meganga. Pun dengan Ibu mertua, wajah beliau sudah semerah kepiting rebus.

"Pak Yanto ini apa-apaan, hah? Menyuruh anak berpisah dari ibunya?" hardik mertuaku bangkit berdiri. 

Bapak tersenyum mengejek, lalu dengan tenang Bapak menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. Menatap Ibu dan anak di hadapannya ini dengan tatapan mengejek.

"Bagaimana, Bagus?" tanya Bapak dengan intonasi sangat tenang.

"Pak, saya mohon jangan pisahkan saya dengan Indri. Saya cinta Indri, Pak!" rengek suamiku mengabaikan raut wajah Ibunya yang sudah merah padam.

"Indri apa uang Indri?" ejek Bapak.

"Indri, Pak." tegas Mas Bagus.

"Indri saja? Bagaimana dengan Zaki?" tantang Bapak kembali wajahnya tak bersahabat. 

Bapak pandai sekali memainkan emosi orang. Mas Bagus maupun Ibu mertua diam tak bersuara.

"Kenapa diam?" ulang Bapak lagi.

"Zaki, Zaki-"

"Zaki bukan anak kamu, begitu? Jadi kamu tidak mau sama Zaki? Cuma mau Indri saja! Yasudah, sunat lagi saja kamu!" potong Bapak tenang tapi membuat Mas Bagus kelimpungan.

"Bagus, serendah itukah wanita yang kamu nikahi 5 tahun yang lalu?" tanya Bapak dengan suara parau.

"Saya melihat sendiri, Indri beberapa kali pulang kerja dibonceng sama laki-laki lain." serobot Ibu mertua lagi dengan mulut menjap-menjep.

"Benar, Indri?" tanya Bapak beralih padaku.

"Benar, Pak." jawabku membenarkan karena aku memang beberapa kali terpaksa harus naik ojek karena suamiku tidak mau menjemputku pulang.

"Tuh, anaknya saja mengakui, kok." cibir mertuaku dengan percaya diri.

"Sejak Indri sering di bonceng laki-laki lain kok gak lama terus hamil, padahal sama Bagus sudah 2 tahun enggak hamil-hamil. Anak siapa kalau bukan anak orang lain!" cerocos Ibu mertua dangan lancar jaya.

"Saat itu, Indri lembur sampai jam 9, Pak. Dan Mas Bagus tidak mau jemput, karena sedang kumpul-kumpul dengan teman-temannya untuk mabar. Jadi, terpaksa Indri harus pulang dengan tukang ojek karena sudah tidak ada angkot lagi dan Indri sudah capek kalau harus jalan kaki. Jadi, laki-laki lain yang dimaksud Ibu Yati adalah tukang ojek yang biasa mangkal di depan pabrik! Memang itu Indri lakukan tidak hanya satu kali, ada sampai 4 atau 5 kali setiap lembur dan Mas Bagus tidak mau jemput dengan alasan yang sama, mabar!" jelasku tegas dengan suara lantang tanpa keraguan karena memang seperti itu faktanya.

"Mabar itu apa, Ndri?" tanya Bapak tidak paham dengan istilah itu.

"Mabar itu main bareng, Pak. Main game online bareng lebih dari satu orang." terangku membuat wajah Ibu mertua melengos masam.

"Lebih memilih main game daripada menjemput istri kerja lembur, tapi makan dari gaji istri! Pantaskah kamu disebut laki-laki, Bagus?!" bentak Bapak lagi. Mas Bagus tertunduk semakin dalam.

"Gara-gara game onlie, kamu percaya pada fitnahan Ibumu terhadap istrimu sendiri, di mana otakmu, Gus?!" seru Bapak semakin emosi.

"Saya bisa bawa kasus ini ke ranah hukum, Bu Yati. Anda sudah dengan kejam memfitnah anak saya!" tegas Bapak pada besannya itu.

"Halah, Pak. Mbok mikir, dikira lapor polisi itu tidak butuh duit? Buat makan saja kalian susah, kok, gaya-gayaan mau laporin polisi segala!" cibir mertuaku menantang. Tidak tahu saja dia, adik ipar Bapak ini adalah polisi berpangkat Bripka (Brigadir Polisi Kepala).

Ya, adik lelaki Emak yang tadi ditawarkan Emak untuk menjemputku dari kosan adalah salah satu polisi yang bertugas di polsek Ungaran, Bripka Tri Danuadji.

"Ndri, telepon Lekmu. Suruh dia ke sini!" pinta Bapak padaku. Dengan cepat aku menghubungi adik bungsu Emak itu. Tanpa, disangka, rupanya Lek Tri baru saja sampai di rumahnya. Dan beliau bersedia datang ke rumah, kuminta beliau untuk tidak perlu ganti baju. Biar jantungan itu Ibu mertua, eh! Astagfirullah, nyebut, Ndri!!

Ibu mertua masih menjap-menjep percaya diri. Mas Bagus masih diam menunduk. Heran sama laki-laki bauk ketek Ibunya itu sedari tadi menunduk saja, apakah di lantai sana ada game PUBG yang selalu dia mainkan tak kenal waktu itu? Wkwkwk, jahatnya aku. Biarlah, gara-gara game itu rumah tanggaku berantakan. Sebenarnya tidak masalah mau mainin game apapun itu asal tidak sampai mengabaikan prioritas. 

Bermain game seperlunya, sekedar untuk menghibur diri, tapi tidak lantas melupakan tugas dan tanggung jawabnya. Banyak juga kok, para bapak-bapak yang main game tapi rumah tangga baik-baik saja karena mereka tidak lalai akan tugas dan tanggung jawabnya sebagai tulang punggung dan kepala keluarga.

Tidak seperti suamiku itu, bermain game sampai lupa diri. Siang, malam, tengah malam, pagi-pagi buta, bahkan ngis*ng (ber*k) pun sambil main game. Sampai lupa akan tugas dan tanggung jawabnya menafkahi anak istri.

Tak lama deru sepeda motor yang sudah aku tebak adalah milik Lek Tri datang berikut sorot lampu yang menyorot rumah ini. Detik berikutnya lampu sorot itu padam seiring suara deru itu mati.

Bapak tersenyum mengejek besannya itu, dalam hitungan 1-10 apakah mulut lemes itu masih bisa menjab-menjeb seperti itu?

"Assalamualaikum!" seru seorang wanita yang aku yakin istrinya Lek Tri. 

"Walaikum salam!" sahut kami serempak.

Lek Erna segera masuk ke dalam karena pintu terbuka lebar. Beliau sedikit kaget melihat mertua dan suamiku di sini. Di belakang Lek Erna, Lek Tri menyusul masuk dengan gagahnya. Ibu mertua seketika melotot, sontak bangkit berdiri dengan wajah pucat pasi melihat Lek Tri dalam balutan seragam dinas kebanggaan kami semua. Lalu,

Bugh,

Kami semua saling pandang saat Ibu mertua jatuh terkulai, tak sadarkan diri. Lek Tri dan Lek Erna yang kebingungan akan kejadian ini pun hanya bertanya melalui tatapan. Mas Bagus segera menyadari bahwa Ibunya pingsan, sontak memanggil-manggil Ibunya dengan menggoyang-goyangkan tubuh gempal tersebut.

Oalah, bumer-bumer, baru juga lihat orangnya sudah pingsan. Gimana jika Bapak benar-benar melaporkan ke pihak berwajib? Bisa unfall beneran jantungmu! Belagu, sih!

*Lek = Paman (laki-laki)/ Tante (perempuan)

🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Suka dengan ketegasan bapak nya Indri
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status