Share

Talak atau penjara?

Cukup lama Ibu mertua pingsan, entah pingsan betulan atau hanya pura-pura pingsan karena malu. Entahlah, hanya beliau yang paham. Lek Erna dan Lek Tri yang tak tahu apa-apa kebingungan dibuatnya. 

"Opo, sih, Ndri?" bisik Lek Erna saat sudah duduk di sebelahku.

"Nanti, Lek Na akan tahu sendiri." jawabku juga berbisik.

"Bu, bangun! Jangan bikin malu!" kudengar Mas Bagus putus asa membangunkan ibunya. 

Lek Tri duduk di sebelah Bapak, walau masih bingung tapi beliau tidak banyak tanya. Ibu mertua mulai sadar, dengan dibantu Mas Bagus beliau kembali duduk bersandar pada sofa. Mas Bagus dengan cekatan menyodorkan gelas teh yang mulai dingin karena ditinggal berdebat tadi.

"Sudah sadar, Bu Yati? Tidak lupa bukan, apa yang saya ucapkan sebelum Jenengan pingsan tadi?" tanya Bapak agaknya sudah tak sabar ingin mengakhiri segala drama yang dibuat Ibu mertua.

"Pa-Pak Yanto tidak sungguh-sungguh, kan?" gagap Ibu mertua menatap Bapak dan Lek Tri dengan wajah pucat.

"Kenapa tidak? Ini saya perkenalkan, adik ipar saya. Tri Danuadji, dia bertugas di polsek Ungaran. Pangkatnya tidak usah saya sebutkan, nanti Jenengan tambah kejer lagi." ucap Bapak jumawa, membuat Ibu mertua semakin kicep.

"Ada apa to, Mas?" tanya Lek Tri akhirnya.

"Tidak ada apa-apa, Pak Polisi. Pak Yanto hanya salah paham saja!" sahut Ibu mertua dengan cepat, tersirat ketakutan yang amat jelas dari raut wajahya. Bapak terkikik geli sendiri.

"Begini, Le. Ibu Yati ini sudah memfitnah ponakanmu selingkuh sampai hamil. Mereka berdua ini menolak Zaki sebagai darah dagingnya lantaran mereka percaya pada apa yang mereka lihat. Padahal tidak begitu faktanya." terang Bapak tenang tetapi Ibu dan Mas Bagus sudah semakin pucat.

"Bener, Ndri?" tanya Lek Tri beralih padaku.

"Enggeh, Lek. Ibu mertua bahkan memfitnah aku sering jalan sama laki-laki lain pada para tetangga kontrakanku. Ada saksinya, kok, Lek!" jelasku apa adanya.

"Tidak! Tidak begitu, saya hanya-"

"Halah sudahlah Bu Yati. Tadi saja lagaknya nantangin saya untuk lapor polisi, mana mulutnya menjab-menjeb koyok b*l pitik (pant*t ayam). Sekarang ada polisi di depan mata bilang tidak, piye to!" sela Bapak tegas.

"Dan lagi, Le. Apa pelaku kekerasan dalam rumah tangga juga bisa dipenjarakan?" tanya Bapak lagi membuat Mas Bagus mendongak menatap takut ke arah Bapak.

"Bisa, Mas. Ancaman hukuman 5 tahun penjara maksimal. Kenapa? Apa selain difitnah, Indri juga mendapat kekerasan?" Lek Tri beralih lagi menatapku.

"Enggeh, Lek. Mungkin sekarang bekasnya masih ada, ini. Tolong lihat Lek Na!" jawabku lalu memperlihatkan pipi kiriku bekas tanda tangan suamiku.

"Iya, loh. Yah. Sampe membiru begini! Jelas banget, kok!" ucap Lek Na sambil memperhatikan pipiku.

Kulihat Lek Tri mengepalkan tangan, mungkin geram dengan kelakuan anak dan ibu itu.

"Kamu yang melakukannya?" desis Lek Tri menatap Mas Bagus, mau tak mau Mas Bagus mengangguk.

"Tapi, Bagus hanya khilaf. Tidak ada niatan menyakiti Indri!" bela Ibu mertua ketakutan.

"Penjarakan saja, Ndri! Buat laporan, Lelek akan bantu kawal sampai tuntas. Jangan mentang-mentang kita orang miskin diperlakukan seenak udel sama mereka." ucap Lek Tri lantang denga raut wajah tak bersahabat.

"Jangan! Jangan laporkan aku, Ndri. Aku mohon! Aku tidak mau di penjara!" rengek Mas Bagus memohon.

"Kenapa, Mas? Bukankah di penjara sama enaknya? Gak usah kerja, makan minum gratis, kan?" ejekku. 

"Indri, aku mohon. Jangan penjarakan aku, aku minta maaf sudah menyakitimu, tapi sungguh aku hanya khilaf." rengeknya seperti anak kecil minta permen.

"Kenapa tidak tadi pagi kamu minta maafnya?  Tadi begitu kamu datang juga tidak minta maaf? Kenapa minta maafnya setelah ada polisi di sini?" cibirku menahan geram. 

"Indri, Bagus masih suami kamu, Nak. Dia hanya khilaf. Tolong maafkan, jangan diperpanjang lagi, ya!" Ibu mertua kembali bersuara dengan lembut sekali. Heleh, mual aku dengernya!

"Kalau begitu, Ibu saja yang saya laporkan atas kasus pencemaran nama baik dan fitnah. Bagaimana?" tantangku sok tahu, padahal aslinya juga enggak tahu.

"Jangan, Indri. Kamu tidak kasihan Ibu, Nak. Ibu ini sudah tua. Harusnya hanya menghabiskan waktu dengan bermain sama cucu." ucapnya memelas.

"Nah itu sadar diri sudah tua, tapi kenapa bertingkah, Bu! Selama ini Indri hormat sama Ibu, Indri biarkan Mas Bagus memberikan seluruh gajinya pada Ibu. Karena Indri sadar, kalau bukan karena Ibu, Mas Bagus juga tidak ada di dunia ini. Indri tidak pernah mengungkit soalan itu, tapi apa yang Ibu lakukan pada Indri? Ibu memfitnah Indri dengan kejam, merecoki rumah tangga Indri dan Ibu tidak lupa bukan, bagaimana pongahnya Ibu tadi pagi?" beberku, biarlah aku dikira tidak sopan karena melawan orang tua.

"Belum lagi, apa yang Ibu katakan pada Bapak siang tadi? Sampai Bapak tega berucap kasar padaku? Ibu tahu? Bapak dan Emak tidak pernah semurka itu padaku apalagi berkata kasar seperti tadi. Pasti, Ibu sudah menghasut Bapak, kan?" lanjutku dengan gemuruh amarah di dada. Sakit sekali saat mengingat kata-kata Bapak tadi padaku.

"Ndri, maafkan kami. Aku tahu, aku dan Ibu bersalah padamu. Maafkan kami." sahut Mas Bagus mengiba.

"Baiklah, aku maafkan. Dengan syarat, ceraikan aku sekarang juga, Mas!" ucapku dengan kesungguhan. Lek Na sampai memegangi kedua pundakku yang naik turun memgusapnya lembut agar aku tak terbawa emosi.

"Ndri, aku mohon. Aku tidak mau bercerai denganmu. Aku janji akan berubah, aku janji menerima Zaki." pintanya memelas.

"Terlambat, Mas. Aku dan Zaki sudah tidak butuh kamu lagi. Kembalilah pada Ibumu, biarkan aku dan Zaki bahagia." tegasku dengan mata merebak, kenapa baru sekarang dia berkata seperti itu? 

"Indri, jangan keras kepala. Pikirkan baik-baik, Nak. Jangan sampai Zaki tumbuh tanpa Ayah." dukung Ibu mertua lagi. Ke mana saja mereka selama ini? Kenapa baru sekarang mereka mengingat Zaki?

"Bu, sejak dalam kandungan Zaki sudah tidak punya Ayah! Zaki akan baik-baik saja seperti selama ini kami berjuang untuk baik-baik saja. Tidak usah membujukku dengan menggunakan Zaki, karena semua itu justru membuatku semakin muak dengan kalian!" 

"Indri aku-"

"Ceraikan aku sekarang atau aku laporkan kalian ke polisi sekarang juga!" potongku cepat, aku sudah tak ingin berlama-lama dengan drama kedua orang itu.

"Pak-" Mas Bagus mencoba memakai Bapak.

"Keputusan sepenuhnya ada pada Indri. Apapun yang dia putuskan, saya mendukung! Kami lebih baik malu jika Indri menjadi janda daripada malu melihat Indri jadi gila karena menghadapi kalian!" tegas Bapak.

Mas Bagus beralih menatap ibunya, mereka saling senggol, tapi lama tidak ada yang mau bersuara.

"Bagus!" sentak Bapak lagi.

"Saya-"

"Cepat putuskan atau penjara menanti kalian!" tegas Lek Tri ikut bersuara.

Mas Bagus nampak menarik nafas panjang berulang-ulang. Aku tahu cintanya untukku tak berubah, hanya sikap dan sifatnya saja yang berubah. Memuakkan!

"Saya-, saya- Bagus Dwi Putra dengan ini menjatuhkan talak tiga padamu, Indri Kartika Sari. Aku kembalikan kamu pada keluargamu seperti dulu aku memintamu. Maafkan aku." ucapnya dengan suara bergetar. 

Luruh sudah air mataku. Perasaanku campur aduk tidak karuan, ada lega, senang tapi sedih juga bergelayut di hati. Tak tanggung-tanggung, talak tiga langsung aku dapatkan, itu artinya sudah tidak ada lagi kesempatan untuk kembali.

Mas Bagus menunduk dalam, bahunya bergetar. Dia menangis, ya, dia menangis. Apakah dia menyesal sudah menalakku? Jika iya, penyesalannya sungguh terlambat.

"Setelah ini, segera urus perceraian kalian ke pengadilan agama, agar status Indri jelas dan tidak terkatung-katung. Dan, jika kalian masih mempersulit keadaan keponakan saya maka saya sendiri yang akan turun tangan. Apa kalian paham?" tegas Lek Tri menatap Mas Bagus.

"Ya, biar dia yang urus gugatannya, wong dia yang minta dicerai, kok. Enak saja, mau terima beresnya saja!" celetuk Ibu mertua kembali ke mode aslinya, medit bin koret!

"Bu-"

"Iya, Lek. Biar Indri saja yang urus. Indri tidak yakin kalau mereka akan beneran mengurus gugatannya, yang ada nanti malah semakin runyam dibuat mereka." sergahku saat Lek Tri ingin membantah Ibu mertua. 

Aku melakukan ini bukan karena apa-apa, hanya feelingku memgatakan jika mereka yang maju ke pengadilan agama justru akan dipersulit dengan berbagai drama. Sedangkan aku, sudah ingin lepas dari para benalu yang berwujud manusia seperti mereka.

"Baik kalau begitu, biar Indri yang mengajukan gugatannya, saya sendiri yang akan mendampinginya sampai selesai. Dan kamu, Bagus! Tidak perlu datang ke persidangan agar semua lancar tanpa perlu banyak drama. Sanggup!" tegas Lek Tri lagi membuat hatiku semakin lega.

"Sanggup, Pak." jawab Mas Bagus lesu, tidak dengan Ibu mertua yang masih saja menjab-menjeb tak suka.

Setelah tak ada lagi yang perlu dibicarakan, akhirnya Bapak meminta mereka pulang. Mas Bagus seperti enggan tapi Ibu mertua sudah menarik-narik lengannya. Ada yang berbeda dari sorot matanya, tapi aku tak peduli. Toh, setelah kata talak dia ucapkan, dia bukan lagi suamiku. Kini, hidupku hanya milikku dan Zaki saja.

Walau enggan, Mas Bagus pergi juga dari rumah ini. Tanpa sepatah kata perpisahan padaku apalagi menanyakan Zaki, ataukah dia masih belum percaya jika Zaki adalah darah dagingnya? Ah, aku tak mau lagi peduli, toh sejak dalam kandungan memang Zaki tidak memiliki ayah.

"Sebaiknya, sekarang kita ke rumah sakit, Ndri. Kita visum wajahmu sebagai bukti terkuat untuk mengajukan gugatanmu!" ujar Lek Tri saat motor Mas Bagus meninggalkan halaman rumah Bapak.

Kami semua menoleh ke arah beliau, adik kandung Emak yang berjarak usia hanya 8 tahun denganku itu nampak serius.

"Apa tidak besok saja, Lek?" tanyaku mengingat ini sudah hampir jam 8 malam.

"Kalau besok, hasilnya akan kurang akurat karena kejadiannya sudah tadi pagi. Sebentar aku minta bantuan temanku yang kerja di rumah sakit dulu." 

"Tapi, ini sudah malam, Le?" ingat Bapak.

"Gak papa, Mas. Lebih cepat lebih baik." tegas Lek Tri, kami semua tidak bisa menolak. Lek Tri lantas keluar ke teras yang kemudian berbicara di telepon dengan teman yang beliau maksud.

"Enaknya gimana, Pak?" tanyaku pada Bapak meminta pendapat. Ibu dan Lek Na turut menyimak.

"Manut saja sama Lekmu. Dia tahu yang terbaik untukmu, Nduk!" putus Bapak.

"Zaki gimana?" 

"Kenang (Zaki) biar sama Emak, ada Lek Na juga. Kamu gak usah khawatir soal Zaki, dia anteng, kok." putus Emak.

"Tapi, besok Indri tetap harus kerja, Mak. Apa tidak sebaiknya, Zaki Indri bawa ke kosan saja sekalian?" ucapku ragu. 

"Gak perlu, Nduk. Biar Kenang sama Emak. Nanti setelah selesai pulanglah ke sini, kita belum banyak ngobrol. Emak masih kangen sama kamu." pinta Emak dengan mata berkabut sembari mengusap kepalaku yang tertutup hijab.

Ya Allah, Mak. Indri juga kangen sama Emak. Ingin rasanya kembali jadi anak kecil agar tidak perlu terjebak dalam permasalahan rumit seperti sekarang. Benar kata orang, menjadi dewasa itu tidak mudah dan melelahkan.

Tanpa kusadari, air mata kembali menetes melihat wajah sayu wanita yang sudah melahirkanku ini. Kupeluk raganya yang mulai menua, dengan segenap cinta dan rindu yang tiada terkira.

***

Tepat pukul 10 malam, serangkaian pemeriksaan yang kujalani di RSUD Ambarawa selesai. Namun, untuk hasilnya baru besok siang akan keluar. Akhirnya kami memutuskan untuk pulang saja dan besok hasilnya akan diambil oleh Lek Tri sendiri.

"Kamu kenapa tidak pernah cerita kalau mertua dan suamimu enggak waras?" tanya Lek Tri sembari melangkah ke parkiran.

"Indri pikir masih bisa mengatasinya sendiri, Lek. Jadi, biar Emak dan Bapak tahunya yang baik-baik saja." jawabku beralasan.

"Tapi, nyatanya? Tidak baik-baik saja, to? Kadang ada hal yang perlu kita bagi dengan orang terdekat, Nduk. Dan keluarga akan turut menanggung cerita yang kita bagi, cerita luka sekalipun. Karena, jika tidak dengan keluarga, dengan siapa lagi kita berkeluh kesah? Selain Allah tentunya?

Memang, kita sebagai anak kadang berpikir bahwa tanggungan mereka sudah terlampau banyak. Jangan sampai dengan cerita kurang baik ini akan semakin menambah beban pikiran mereka, tapi pikiran seperti itu tidak selalu benar bagi orang tua. Sedewasa apapun kita, bagi mereka kita ini masih sama seperti anak kecilnya mereka. Yang mereka nanti-nantikan keluh kesahnya, rengekan manjanya. Ya, seperti itulah kira-kira." wejang Lek Tri panjang. Aku mangut-mangut membenarkan.

"Jadi, setelah ini, jangan lagi menanggung bebanmu sendiri! Ada kami keluargamu!" ucapnya sembari mengusap bahuku penuh kasih sayang membuatku terharu sekali.

"Terimakasih, Lek. Lelek susah sejauh ini membantu, Indri." ucapku tulus.

"Tentu, kamu sudah seperti adik bagiku yang anak ragil. Bukan anak, soalnya kamu terlalu tua untuk jadi anakku!" kelakarnya mencairkan suasana. 

Beliau tertawa, membuatku turut tertawa pula. Semoga setelah ini, hanya akan ada tawa bahagia dariku, Zaki dan keluargaku. Benar kata orang bijak, bahwa sejauh apapun kita pergi keluarga adalah tempat kita pulang.

🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status