Share

Pulang

"Jawab, Indri! Di mana kamu?" bentak Bapak lagi, aku yakin saat ini beliau tengah murka. 

Aku memejamkan mata menikmati perihnya luka dalam hati ini. Menarik nafas besar, mencoba tenang menghadapi amarah Bapak. Aku yakin, Bapak hanya termakan hasutan Mas Bagus atau Ibu mertua saja.

"Assalamualaikum, Bapak. Indri dengar apa yang Bapak ucapkan, kok. Tidak perlu keras-keras juga, takut darah tinggi Bapak kambuh." sahutku pelan, sekuat tenaga menekan suara agar tak semakin keras terisak.

"Bapak tanya Indri ada di mana, kan? Indri ada di kosan Pak Suradi, tempat yang sama seperti kala dulu setiap Sabtu siang Bapak jemput dan Senin pagi Bapak mengantar Indri. Indri tidak ke mana-mana, Pak." suaraku semakin bergetar tak sanggup lagi untuk tidak menangis mengingat betapa Bapak dulu rela datang jauh-jauh dari Banyu Biru untuk menjemputku kala libur kerja. Tidak naik motor atau mobil, melainkan naik angkutan umum demi memastikan anak perempuannya ini baik-baik saja.

"Ndri-" suara Bapakpun melunak, bahkan terdengar parau juga.

"Pak, Bapak minta Indri pulang? Pulang ke mana, Pak?" tanyaku semakin tak tahan dengan isak ini. Bapak diam di sana.

"Apa Indri boleh pulang ke rumah Bapak? Akan Indri jelaskan apa yang saat ini menjadi alasan Bapak semarah ini. Boleh, Pak?" ulangku lagi dengan suara serak seoalah tercekat di tenggorokan ini. Ya Allah. .sesak dada ini.

Teringat akan wejangan Bapak dulu kala aku baru saja menikah dan aku pulang ke rumah Bapak sendiri tanpa Mas Bagus yang saat itu memang tidak mau aku ajak pulang ke rumah Bapak.

"Wong wadon kui yen wes diopeni uwong, ora keno mulih dewe. Ora sah mulih yen ora karo bojone." (Perempuan itu kalau sudah menikah, tidak boleh pulang sendiri. Tidak usah pulang kalau tidak sama suaminya.)

Begitu wejangan Bapak dulu, sehingga membuatku ragu untuk pulang ke sana. Selama menikah, Mas Bagus hanya sesekali saja mau kuajak pulang ke sana. Setiap kuajak ke sana selalu saja ada alasan untuk menolak. Kalaupun mau ke sana, itu pun jika ada acara-acara khusus dan tidak pernah mau menginap. Dia akan mengantarkanku saja setelahnya pulang, jemput lagi kalau aku sudah mengabarinya.

"Pulanglah, Nduk! Pulanglah ke rumah Bapak dan Emak. Bawa cucu Emak pulang." kini suara wanita yang melahirkanku terdengar tengah menangis.

Ini adalah salah satu alasan kenapa selama ini aku tak pernah menceritakan keadaan rumah tanggaku pada mereka. Aku tak ingin membuat mereka bersedih, terluka memikirkan nasib anak perempuannya. Aku hanya ingin, mereka tahu kabar kami yang baik-baik saja, tapi rupanya justru kini mereka menangis karena aku.

"Baik, Mak. Sekarang juga Indri akan pulang ke rumah Emak. Maafkan Indri, Mak." lirihku semakin tergugu.

"Iya, Nduk. Emak tunggu kamu. Atau perlu di jemput sama Lekmu?" tawar Emak menawarkan adik lelakinya untuk menjemputku.

"Tidak usah, Mak. Indri naik grab saja soalnya kasihan Zaki." putusku.

"Baiklah, hati-hati, Nduk." 

Aku memutuskan panggilan setelah mengucapkan salam. Setelahnya aku segera memesan grab untuk mengantarku pulang ke kampung halamanku di Banyu Biru. Sebenarnya aku lelah, tetapi jika kesalahpahaman ini tidak segera diluruskan aku takut Bapak dan Emak serta keluarga besarku akan lebih percaya pada bualan mertuaku.

Sembari menunggu grab pesananku, aku menyiapkan beberapa perlengkapan Zaki sama seperti kalau akan aku bawa ke daycare setiap hari. Tas khusus perlengkapannya sudah beres, aku segera mengganti dasterku dengan pakaian yang layak. Celana panjang berbahan kulot warna hitam dipadukan kaos berwarna krem dan jilbab warna senada menjadi pilihanku.

"Loh, Ndri! Mau ke mana?" tanya Retno saat melihatku keluar menggendong Zaki yang masih tertidur. Gadis cantik itu pun juga nampak telah siap untuk berangkat menyusul orang tuanya ke hajatan.

"Aku mau pulang dulu, Ret." jawabku sembari mengunci pintu kamar.

"Pulang ke mana?" tanyanya lagi di balik pagar depan rumahnya.

"Ke rumah, Bapak. Ada perlu, Ret." jelasku sembari melangkah mendekatinya.

"Oalah, ya wes. Padahal Ibu sudah heboh banget loh mau ketemu Zaki." 

"Ealah, gimana ya, Ret? Salam saja dulu sama Budhe Win. Nanti malam aku usahakan pulang cepat biar bisa ketemu beliau." putusku lagi.

"Iya, aku paham. Nanti aku bilang ke Ibu. Gak nanti malam, besok juga pasti ketemu, kan!" kelakarnya.

Tak lama mobil pesananku datang, aku bergegas naik agar tak semakin kemalaman, begitu juga Retno yang segera berlalu menyusul orang tuanya dengan mengendarai motornya. Hanya butuh waktu kurang dari 1 jam saja dari Ungaran ke Banyu Biru. Jika tak ada kendala, aku akan sampai rumah Bapak jam setengan 7 nanti.

Sepanjang perjalanan, aku siapkan hati dan mentalku menghadapi segala macam wejangan Bapak. Aku tahu, aku sudah membuat Bapak malu dengan keputusanku melepaskan ikatan pernikahan ini. Aku pun sadar sepenuhnya bahwa mungkin Bapak akan dengan segala cara membujukku untuk kembali pada Mas Bagus.

Karena selama ini, Bapak begitu bangga memiliki menantu sepertinya. Tanpa Bapak tahu, di balik bangganya Bapak pada menantunya itu ada aku, anak kandungnya yang menjadi tumbal untuk menutupi borok menantunya. Entah, Bapak akan percaya atau tidak dengan ceritaku nanti yang jelas aku sudah putuskan akan menceritakan segalanya tanpa ingin aku tutup-tutupi lagi.

Untuk keputusan akhir, apapun yang terjadi aku tidak akan kembali pada Mas Bagus. Sekalipun dia memaksa nantinya. Egoiskah aku? Aku rasa, tidak! Bukan karena aku mencari pembenaran akan sikapku sendiri tapi aku hanya mengantisipasi saja, sebab sakit watak itu tidak akan ada obatnya. Aku tak ingin menumbalkan masa depan anakku demi pernikahan yang sudah tak sehat ini.

"Mamamamama. . ." celoteh Zaki menarikku dari pikiran yang berkelana ini. Rupanya anak itu telah terbangun dan menatap wajahku dengan mata beningnya yang berbinar seolah mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja.

Kupeluk dia, kuciumi dia, karena dialah kekuatanku saat ini. Akan aku perjuangkan sendiri masa depannya, dia tidak boleh merasakan kepahitan seperti yang aku alami.

***

"Bapak kecewa padamu, sangat kecewa! Kamu Bapak nikahkan untuk menjadi wanita yang bermartabat, untuk menghormati suami dan mertuamu. Surgamu ada pada suamimu, tapi kamu malah membangkang. Ada masalah bukan dibicarakan baik-baik, tapi malah minggat dari rumah. Apa begitu Bapak mengajarimu? Melawan orang tua dan suami? Bapak malu sama besan, dikiranya Bapak tidak bisa mendidik anak dengan baik!" amarah Bapak meluap sesaat setelah aku masuk ke rumah masa kecilku. Setelah Zaki berpindah ke dalam gendongan Emak, aku duduk tepat di hadapan Bapak. Ah, Bapak. Bahkan aku belum sempat menyapa adikku yang baru masuk SMA itu. 

Allah. . .kuatkan hatiku! Jangan sampai hati ini ikut mendendam kepada Bapak yang tengah masuk dalam hasutan suami dan mertuaku itu.

Aku masih diam tak menyanggah apalagi membantah beliau. Biarlah beliau selesaikan dulu segala unek-uneknya padaku. Nafas Bapak memburu, berkali-kali menghela nafas besar. Aku tahu, emosi Bapak sudah sampai puncak kepala. Wajahnya memerah, tapi tak mau menatap wajahku. Sehina itukah aku sekarang, Pak?

"Kamu seharusnya bersyukur dapat suami seperti Bagus. Punya pekerjaan, tanggung jawab, dari keluarga berada, beda sama kita. Kamu itu mikir, kita hanya orang kampung. Untuk makan saja susah, kamu malah bertingkah! Apa kata orang nanti tentang kamu yang begini? Ini, hasilnya kamu kerja di kota? Ini hasilnya kamu bergaul dengan orang-orang kota itu? Bapak tidak mengajarimu untuk membangkang, Indri!" lanjut Bapak berapi-api, aku masih diam mendengarkan.

Kulihat Ibu dan adikkupun mendengarkan dari ruang sebelah, ruangan yang biasa kami pakai berkumpul sekedar saling berbagi cerita ketika aku pulang setiap akhir pekan. Dulu, dulu sekali saat aku belum menikah. Setelah menikah bisa dihitung dengan jari dalam setahun aku masuk ke rumah ini. Bahkan, sejak kelahiran Zaki, baru kali ini aku menginjakkan kakiku lagi di rumah masa kecilku. 

"Apa kata orang nanti kalau dengar kelakuan kamu di kota yang begini? Mau ditaruh di mana muka Bapak, Ndri? Bapak malu!" lanjutnya dengan meraup wajahnya frustasi. Aku tetap mencoba tenang dengan tidak bersuara sedikitpun sampai Bapak selesai. Hening, hanya helaan nafas Bapak yang masih terdengar.

"Sampun, Pak?" (sudah, Pak?) aku angkat bicara setelah cukup lama Bapak terdiam. Aku tekan suaraku agar tetap terdengar datar dan santun di hadapan cinta pertamaku. Bapak diam saja, masih enggan menoleh ke arahku.

"Mak, bisa Emak ke sini!" panggilku pada wanita sederhana yang sudah melahirkanku 26 tahun yang lalu.

Dengan ragu Emak datang dan bergabung dengan kami namun Emak memilih duduk di karpet sambil memperhatikan Zaki yang tengah merangkak.

"Sebelumnya, Indri mohon maaf pada Bapak juga Emak atas apa yang Indri buat. Apabila semua itu membuat Emak dan Bapak malu. Namun, sebelum Indri bicara ke inti masalahnya, ijinkan Indri bilang kalau Indri sangat merindukan Emak, Bapak, Edi yang sudah lama tidak Indri temui." ucapku dengan gemuruh rindu yang bertalu-talu di dadaku. Bahkan, air mataku mengalir begitu saja. 

Dalam khayalku, saat aku menginjakkan kaki ke rumah ini, aku akan disambut dengan pelukan erat penuh rindu seperti biasa oleh orang yang aku kasihi. Bukan langsung disidang begini.

"Mak, Pak. Indri akan bicara apa yang sebenarnya terjadi, tapi Indri harap jangan di sela sebelum Indri selesai bicara. Bisa, Pak?" tanyaku lagi. Bapak diam tak menjawab, diam aku anggap setuju. Maka aku mulai bercerita kisah pilu hidupku selama menjalin ikatan pernikahan dengan lelaki pilihanku sendiri bernama Bagus.

Emak menatap nanar diri ini dengan mata berkabut, mungkin tak menyangka jika nasib anak gadisnya begitu tragis. Atau, bisa juga dalam hati Emak meragukan ceritaku karena beliau sudah lebih dulu mendengar cerita versi suami dan mertuaku.

Semua kuceritakan secara detail dan runut. Mulai dari 3 tahun awal yang hanya menerima nafkah sebanyak 300 ribu sampai kejadian pagi tadi, kejadian puncak dimana tangan suamiku mendarat tepat di wajahku untuk pertama kalinya. Tak lupa, kuceritakan bagaimana mereka memperlakukan Zaki, putraku.

"Bapak tentu masih ingat, kala Indri melahirkan Zaki, bukan? Uang yang dipakai untuk membayar rumah sakit uang siapa, Pak? Uang Bapak, kan? Padahal, suami Indri berasal dari keluarga yang katanya kaya, tapi bayar rumah sakit sebesar 3 juta saja tidak mampu. Ah, tidak mau lebih tepatnya!" ucapku mengingatkan Bapak kala Mas Bagus dan Ibu mertua dengan terang-terangan menolak untuk membayar tagihan rumah sakit waktu aku melahirkan Zaki 8 bulan lalu.

"Saya tidak ada uang sebanyak itu, Pak Yanto. Bagus juga tidak ada uang lagi karena sudah dipakai untuk aqiqahan cucu saya, Sheril." tegas Ibu mertua di hadapan Bapak saat perawat memberikan tagihan yang harus kami bayar setelah aku diperbolehkan pulang. Karena waktu itu, BPJS ku hanya bisa mencover separuh dari tagihan. 

Kenapa? Karena BPJS-ku ada di kelas 2 sedangkan Ibu mertua meminta untuk aku masuk di kelas VIP katanya malu kalau ada keluarganya yang datang jenguk.

"Em, pakai uang Bapak dulu, nanti kalau Bagus punya uang, Bagus ganti, Pak." ujar Mas Bagus menutupi rasa malunya di hadapan Bapak.

Akhirnya, siang itu Bapak harus pulang dulu untuk mencari pinjaman karena waktu itu aku hanya punya pegangan sekitar 500 ribu saja hasil dari awal menulis di aplikasi berbayar. Setelah beberapa hari, Bapak harus merelakan kambing-kambingnya dijual untuk mengganti pinjaman tersebut.

"Lalu, saat Bapak mengusulkan untuk bancakan sekalian aqiqah Zaki, Mas Bagus dan Ibu bilang apa sama Bapak?" tanyaku lagi, mata Bapak merebak, aku tahu sebenarnya Bapak ingat semua perlakuan Mas Bagus dan Ibu mertua pada kami.

"Halah tidaklah perlu buat bancakan segala, Pak Yanto. Sayang uang sumbangannya. Lebih baik dipakai untuk beli keperluan lain saja." begitu kata Ibu mertua.

"Bagus tidak punya uang, Pak. Sudahlah, tidak usah aneh-aneh. Bisa bayar rumah sakit saja sudah syukur, itu juga pakai uang Bapak tapi kalau Bapak masih punya uang buat aqiqahan ya gak papa, asal bukan uangku atau uang Ibu." jawab Mas Bagus tanpa malu lagi, malah kembali fokus pada game di hpnya.

Akhirnya, sampai saat ini putraku belum di aqiqah karena kami belum memiliki cukup uangnya.

"Bapak juga pasti masih ingat, kan. Sewaktu Bapak dan Lek Hadi mampir ke rumah sehabis dari nyumbang di tempatnya Lek Lastri?" 

"Bapak datang di saat yang tidak tepat, Pak. Kami tidak punya apa-apa sebagai suguhan, lain kali kalau mau datang bilang dulu biar kami bisa siap-siap dulu." begitu kata Mas Bagus, seolah Bapakku datang untuk minta makan, padahal hanya ingin menjenguk cucunya.

"Pak, jadi menurut Bapak sekarang Indri harus bagaimana?" tanyaku dengan derai air mata, pun dengan Emak yang berkali-kali menyeka matanya dengan ujung jilbab yang beliau pakai. Bapak menunduk, menautkan kedua tangannya dan beliau remas-remas di depan tubuhnya.

"Jika ada yang mengenal Indri dengan baik, itu Bapak dan Emak bukan orang lain. Apa Bapak rela, Indri menghabiskan sisa usia untuk mengabdi pada lelaki seperti itu, Pak?" air mata kian deras membasahi kedua pipi tak sanggup aku bayangkan jika Bapak tetap memaksaku untuk kembali pada Mas Bagus.

"Mereka selalu bilang, Zaki bukan anak Mas Bagus. Mereka menolak dengan terang-terangan sejak dalam kandungan, padahal perjuangan kami untuk mendapatkan Zaki lebih dari 2 tahun lamanya. Ini bukan lagi tentang Indri, Pak. Tapi, Zaki!" tangis Emak pecah, beliau menghambur memelukku dengan erat, menangis tersedu-sedu membuatku turut memeluk beliau. Menumpahkan tangisku dalam pelukannya seperti dulu saat aku kecil.

Kulihat Bapak pun menangis, lalu dengan cepat diraihnya tubuh montok putraku yang sedang merangkak ke dekatnya. Memeluknya sembari terisak pelan.

"Maafkan Mbah Kung, Le!" isaknya yang terdengar oleh telingaku. Emak mengurai pelukannya padaku. 

Kini giliranku mendekati Bapak, bersimpuh di hadapan lelaki cinta pertamaku itu memohon ampun jika keputusanku pergi melukai hatinya. Bapak turun dari kursi, bersimpuh di sampingku lalu merengkuhku ke dalam pelukannya, sedang satu tangan lagi masih memeluk Zaki. Kami menangis bersama, aku tahu Bapak percaya padaku.

"Maafkan Bapak, Nduk! Bapak sudah termakan hasutan mertuamu. Maaf!" isaknya sembari menciumi kepalaku. Aku tak mampu berkata-kata lagi, hanya pelukanku yang semakin erat kulakukan pada tubuh tuanya.

Drama tangis haru itu berlangsung beberapa saat, hingga harus berakhir karena kudengar suara deru motor masuk ke halaman rumah ini. Aku hafal dengan deru motor itu milik siapa. Ya, itu suara motor milik Mas Bagus. Untuk apa dia datang ke sini? Untuk mejemputkukah? Atau mengembalikanku seperti tantanganku tadi pagi?

🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Syukurlah orang tua nya mau mendengarkan penjelasan Indri
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status