Home / Fantasi / BAYANGAN DARAH SIREGAR / Bab 2 – Jejak Awal Sang Pewaris

Share

Bab 2 – Jejak Awal Sang Pewaris

Author: Kaeyaa Avery
last update Last Updated: 2025-06-19 13:50:58

Langkah Rafi memasuki SMP Tunas Bangsa bagaikan melangkah ke semesta baru. Seragamnya kini lebih bersih, gedung sekolahnya menjulang tinggi, dan wajah-wajah di sekitarnya penuh percaya diri—anak-anak dari keluarga berada, pewaris nama besar. Tapi Rafi tetap melangkah tegap, dengan ransel usang di punggung dan sepatu bekas yang ia semir sendiri. Matanya lurus, fokus, menatap ke depan.

"Selamat datang para siswa terpilih. Ingat, kalian ada di sini bukan karena keberuntungan, tapi karena usaha," ucap kepala sekolah di podium.

Rafi mengangguk pelan. Ia percaya itu. Ia di sini bukan karena belas kasihan—ia di sini karena ia pantas.

---

Hari-hari awal tak mudah. Lingkungan asing, wajah-wajah sinis, dan bisikan-bisikan merendahkan jadi makanan sehari-hari.

“Heh, anak beasiswa ya?” bisik seorang siswa berambut klimis.

“Lihat tuh, tasnya. Pasti peninggalan jaman dulu,” timpal yang lain, tertawa.

Rafi tetap diam. Tatapannya tak berubah. Ia pernah lebih diremehkan dari ini. Dan ia tahu, balasan terbaik bukan kata-kata, tapi pembuktian.

Nilai-nilainya langsung melejit. Matematika, IPA, Bahasa Inggris—semua dilahap dengan mudah. Guru-guru mulai melirik. Beberapa bahkan memujinya terang-terangan di depan kelas. Itu membuat kagum, sekaligus memantik iri.

---

Tapi tak semua bersikap dingin. Satu orang berbeda. Raline Hasibuan—siswi cerdas dan anggun, anak pengusaha batu bara, aktif di OSIS, dan punya mata yang tajam menilai.

Suatu hari, saat istirahat:

“Rafi, kamu belajar dari mana? Nilai kamu keren banget,” ujarnya ramah.

“Belajar sendiri. Di rumah,” jawab Rafi singkat.

“Boleh ngajarin aku? Ada soal yang aku gak ngerti.”

Rafi mengangguk. Ia memang tak banyak bicara, tapi tak pernah menolak jika diminta dengan tulus.

Sejak saat itu, Raline mulai sering duduk bersamanya di perpustakaan. Mereka belajar, kadang bercanda ringan. Beberapa teman mulai menggossip.

“Raline suka anak beasiswa?”

“Serius? Yang sepatunya tambalan itu?”

Raline tak peduli. Ia tak melihat Rafi dari status, tapi dari isi kepala dan cara berpikirnya.

“Aku suka cowok yang nggak gampang kebawa omongan orang,” ucap Raline suatu sore di taman.

“Aku nggak punya waktu buat dengerin yang nggak penting,” balas Rafi, datar.

Dan dari percakapan singkat itu, rasa tumbuh. Perlahan. Tapi nyata.

---

Tapi kehidupan tidak selalu manis. Suatu hari di parkiran belakang, Rafi dikepung oleh sekelompok siswa kelas delapan. Mereka dikenal sebagai pembuat onar.

“Lo ngerasa paling pinter, ya?” kata Bimo, pemimpin geng.

“Ngabisin muka kami semua di nilai ujian.”

Rafi tetap tenang. “Aku belajar. Kalian juga bisa kalau mau.”

Bimo mendorongnya. “Sok bijak!”

Sebuah pukulan melayang. Tapi Rafi lebih cepat. Ia menangkis, memelintir tangan Bimo, dan menjatuhkannya ke tanah dalam satu gerakan. Teman-temannya melongo. Rafi berdiri, napasnya stabil.

“Aku nggak nyari ribut. Tapi aku juga nggak takut kalau harus jaga diri.”

Kejadian itu menyebar. Sejak saat itu, tak ada yang berani menyentuhnya. Tapi sebutan baru mulai muncul: "anak misterius."

---

Hidup Rafi tetap sederhana. Pulang sekolah ia langsung ke ladang. Ganti pakaian, makan secukupnya, lalu membantu Paman Damar hingga petang. Latihan bela diri makin intens. Bahkan Damar mulai mengajarinya dasar-dasar bisnis.

"Kalau kamu mau maju, kamu nggak cukup cuma kuat. Kamu harus bisa membaca peluang," kata Damar, menunjukkan catatan penjualan.

Rafi menyimak dan mencatat. Ia tahu—ini bekal, bukan hanya untuk bertahan hidup, tapi untuk membangun sesuatu yang besar.

---

Suatu malam, saat bulan menggantung terang, Rafi duduk di depan rumah. Simbo datang dengan secangkir teh hangat.

“Simbo,” ucap Rafi perlahan, “kenapa aku nggak pernah lihat ibu?”

Simbo terdiam. Tatapannya menembus langit malam.

“Ibumu... wanita kuat, Nak. Tapi dunia memaksa dia menyerah. Kamu nggak salah. Kamu nggak pernah salah.”

“Lalu kenapa aku nggak diakui?”

“Nanti, Rafi. Saat kamu udah cukup kuat. Saat kamu bisa bedain mana pahit yang menyembuhkan, dan mana pahit yang mematikan. Saat itu datang, semua akan terjawab.”

Rafi tak bertanya lagi. Ia hanya memandang langit. Diam. Tapi dalam diamnya, tekadnya bertambah kuat.

---

Waktu berjalan. Rafi menang olimpiade matematika tingkat kabupaten. Ia aktif di klub debat. Namanya mulai dikenal. Guru-guru menjagokannya sebagai siswa unggulan.

Tapi satu hal tak pernah berubah: ia tetap naik sepeda tua, tetap memakai sepatu tambalan, dan tetap bekerja di ladang setiap sore.

Semua mulai mengenal siapa dia.

Tapi belum ada yang tahu...

Siapa dia sebenarnya.

To be continued...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • BAYANGAN DARAH SIREGAR   Bab 16 – Awal dari Kerajaan Baru

    Subang menyambut pagi dengan kabut tipis dan embusan angin pegunungan yang sejuk. Tapi di antara embusan itu, semangat baru tumbuh dari sebuah lahan tua yang lama ditinggalkan. Rafiandra Siregar berdiri di tepi ladang dengan tangan memegang denah, di sampingnya berdiri Paman Damar dan Kepala Dusun setempat, Pak Karna. “Tanah ini keras, tapi bukan berarti mati,” ucap Rafi sambil mengamati tanah merah di depannya. Pak Karna mengangguk. “Kalau memang niatmu serius, kami siap bantu. Tapi butuh waktu dan tenaga.” “Aku nggak takut kerja keras, Pak. Dari kecil, aku udah diajarin itu.” Paman Damar menepuk bahunya. “Dan sekarang, waktumu buat bangun dari bawah udah datang lagi.” --- Tiga hari pertama di lahan itu diisi dengan survei dan pembersihan. Rafi merekrut beberapa pemuda lokal, menggali kembali parit-parit air yang sudah mampet, membersihkan puing dari gu

  • BAYANGAN DARAH SIREGAR   Bab 15 – Badai Bernama Warisan

    Pagi di desa Srigading dibuka dengan udara dingin dan kabut tipis yang menggantung di atas ladang. Tapi suasana hati Rafi malah berkabut lebih pekat. Di tangan kirinya ada surat panggilan resmi dari notaris keluarga Siregar—tertulis tegas: “Pemanggilan Terkait Warisan Saham dan Hak Keluarga.” Bukan undangan biasa. Ini bukan lagi soal pengakuan. Ini soal posisi. Dan Rafi tahu, kalau ia masuk ke dunia itu, dia harus siap bermain di medan yang berbeda. Bukan ladang. Bukan tanah. Tapi medan politik keluarga, korporat, dan niat tersembunyi. --- “Aku harus ke Jakarta lagi, Simbo,” ucap Rafi pagi itu di teras rumah. Simbo mengangguk, masih duduk menyulam kain yang belum selesai sejak minggu lalu. “Kalau kamu yakin, pergilah. Tapi jangan pernah kehilangan hatimu. Jangan sampai dingin seperti mereka.” Rafi menunduk. “Aku nggak akan berubah, S

  • BAYANGAN DARAH SIREGAR   Bab 14 – Tumbuh di Antara Tembok dan Tembaga

    Jakarta mungkin tak asing lagi buat Rafi sekarang, tapi suasananya tetap memberi tekanan. Setelah rapat keluarga Siregar yang panas itu, namanya mulai dibicarakan di lingkaran media kecil. Beberapa artikel mulai muncul di blog bisnis sekolah, bahkan ada yang menulis, “Anak Petani Sukses Guncang Forum Keluarga Konglomerat.”Tapi Rafi nggak ambil pusing. Dia udah kembali ke desa. Dan hari-harinya? Masih sama. Bangun pagi, ngurus ladang, urus pesanan, dan sesekali diskusi bisnis secara daring dengan klien kecil dari luar kota.Sore itu, Raline duduk di bawah pohon mangga sambil nyusun foto-foto tanaman buat feed Instagram “Tanaman Sehat Rafi.” Rafi baru aja selesai nyiramin bibit serai.“Lo tau nggak?” Raline nyengir sambil melirik layar HP-nya. “Ada yang mau pesan 300 pot daun mint buat acara seminar lingkungan di Semarang.”Rafi mendekat, masih pakai kaos lusuh dan celana penuh tanah. “Serius lo? Siapa yang order?”“Namanya Bu Anita, dia d

  • BAYANGAN DARAH SIREGAR   Bab 13 – Akar yang Tak Terbakar

    Rafi kembali ke desa Srigading dengan cara pandang yang baru. Bukan karena matanya berubah, tapi karena apa yang dia lihat kini lebih jelas. Di pundaknya, beban terasa lebih berat. Tapi langkahnya tetap ringan, penuh keyakinan. Di gerbang desa, Simbo sudah menunggunya dengan senyum penuh rindu. Paman Damar berdiri di belakang, menyambut dengan anggukan kecil yang punya arti dalam. "Selamat datang lagi, pemenang," kata Paman Damar sambil menepuk bahu Rafi. Rafi cuma membalas dengan senyum tipis. "Saya belum selesai, Paman. Piala itu belum akhir." Simbo langsung memeluk Rafi erat. Hangat, tulus, dan tanpa kata. Tapi sejak kabar kemenangannya, desa tak lagi sama. Beberapa orang mulai memperhatikan. Ada yang bangga, ada yang sinis, dan ada yang cuma diam, seolah menunggu Rafi jatuh. --- Besoknya, Rafi langsung kembali ke ladang. Bukan bu

  • BAYANGAN DARAH SIREGAR   Bab 12 – Bisik Rahasia dan Badai yang Mendekat

    Langit Jakarta siang itu mendung, seolah ikut menahan napas bersama Rafi yang duduk di ruang meeting kecil lantai dua kantor pusat Siregar Group. Di depannya, meja kayu panjang mengilap. Di sekelilingnya, beberapa pria dan wanita dewasa dengan jas mahal dan wajah serius.“Jadi... kamu anak desa yang menang lomba itu?” tanya salah satu pria berkacamata bundar dengan senyum tipis.“Namaku Rafiandra Siregar,” jawab Rafi tenang. “Saya ke sini bukan sebagai tamu, tapi sebagai pemilik ide.”Salah satu wanita tertawa kecil. “Berani juga kamu ngomong kayak gitu.”Tante Winda yang duduk di pojok memberi isyarat halus. “Mereka hanya menguji keberanianmu.”Rafi menatap mereka satu per satu. Ia tak gentar. Yang duduk di depannya mungkin berdasi dan punya saham, tapi Rafi punya hal yang lebih penting — tekad dan waktu yang tidak ia sia-siakan.Mereka mulai membahas proposal Rafi soal green space terpadu di lahan-lahan kosong milik Siregar Group yang bisa dijadikan pusat urban farming dan pendidika

  • BAYANGAN DARAH SIREGAR   Bab 11 – Undangan dari Masa Lalu

    Langit Jakarta sore itu dipenuhi warna jingga saat Rafiandra Siregar turun dari kereta. Hiruk-pikuk kota begitu asing, namun langkahnya mantap. Di tangannya, ia menggenggam surat undangan dari keluarga Siregar—keluarga yang dulu membuangnya, kini mengundangnya datang. Mobil jemputan sudah menunggu di luar stasiun. Seorang sopir berpakaian rapi membungkuk sedikit dan berkata, “Selamat datang, Tuan Rafiandra. Kami diminta untuk mengantar Anda ke rumah utama keluarga.” Rafi tak menjawab. Ia hanya masuk ke dalam mobil, matanya menatap keluar jendela, menatap bangunan-bangunan tinggi yang menyimpan begitu banyak kisah dan rahasia. --- Rumah utama keluarga Siregar lebih mirip istana dibanding rumah biasa. Pilar marmer, taman luas, air mancur, dan lampu gantung kristal menyambut kedatangannya. Namun semua itu tak membuat Rafi kagum. Ia hanya menatapnya datar—karena bukan kemewahan yang ia cari di sini. Sesaat setelah masuk, ia disambut oleh seorang pria tua berjas abu-abu: Pak Jatmiko,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status