Lobi hotel masih diterangi cahaya keemasan dari lampu gantung, memantulkan kilau samar di lantai marmer. Beberapa tamu yang baru kembali dari acara larut malam melangkah masuk, sebagian melambat karena kelelahan atau pengaruh alkohol. Kehadiran Detektif Otero dan Alphonse tampaknya luput dari perhatian mereka.
Alphonse menghela napas, lalu menoleh ke arah Victoria dan Sophia. "Baiklah," keluhnya. "Bagaimana dengan seorang tamu bernama Uehara Miyazaki?"
Victoria dan Sophia saling bertukar pandang, kebingungan tergambar jelas di wajah mereka. Hening sejenak, seolah keduanya tengah memastikan bahwa mereka tidak salah dengar.
Sophia akhirnya membuka mulut lebih dulu, suaranya sedikit ragu. "Maaf... siapa yang Anda tanyakan tadi?"
Alphonse mengangkat alis. "Uehara Miyazaki."<
Alphonse menjabat tangan Daniel, merasakan cengkeraman yang mantap—tidak terlalu kuat, tapi cukup untuk menunjukkan kendali. Alih-alih segera melepas, Alphonse mempertahankan genggamannya sepersekian detik lebih lama dari yang diperlukan, menunggu Daniel yang lebih dulu menarik diri.Sebuah gerakan kecil, hampir tidak kentara, tapi cukup untuk menguji siapa yang ingin memegang kendali percakapan. Daniel melepaskan genggamannya dengan ekspresi yang tetap ramah, tapi Alphonse tidak melewatkan sedikit ketegangan di ujung jarinya."Tampaknya Anda berdua cukup tertarik pada salah satu mantan tamu kami," kata Daniel, matanya berkilat tipis.Detektif Otero tersenyum kecil. "Pekerjaan kami memang mencari informasi. Kebetulan, Uehara Miyazaki muncul dalam salah satu penyelidikan kami."
Lift berbunyi pelan sebelum pintunya terbuka, memperlihatkan seorang pria berjas yang baru saja hendak melangkah keluar.Stefan Petrov.Dia berhenti di ambang pintu, ekspresinya berubah sekejap saat melihat siapa yang ada di dalam lift. Tatapannya menyapu cepat ke arah Detektif Otero dan Alphonse sebelum akhirnya menetap pada Daniel Richards. Senyumnya muncul—tidak sepenuhnya ramah, lebih seperti seseorang yang baru saja memahami situasi yang kurang menguntungkan."Ah, malam yang sibuk rupanya," katanya, suaranya ringan tapi terukur.Daniel menanggapi dengan anggukan kecil, matanya tetap tenang. "Ya, begitulah. Saya harap tidak ada kendala di pos Anda, Petrov."“Semuanya terkendali," Stefan menjawab dengan senyum samar.
Alphonse melangkah lebih dulu, diikuti Detektif Otero. Daniel Richards menutup pintu dengan perlahan, memastikan ruangan tetap tertutup rapat.Cahaya lampu yang redup membentuk siluet ramping Elina Hochberg saat dia melangkah lebih dalam ke ruangan. Gaun tidur satin yang membalut tubuhnya berkilau samar di bawah pencahayaan hangat, setiap gerakannya memancarkan ketenangan yang terlalu sempurna—seolah dikurasi dengan hati-hati, sama seperti perabotan mewah yang mengisi kamarnya.Dia berhenti di depan meja rias. Elina bersandar di meja riasnya dengan elegan, satu tangan bertumpu ringan di permukaannya, sementara tangan lainnya mengangkat gelas anggur setengah kosong. Cairan merah tua berputar perlahan saat dia menggoyangkannya sedikit, pantulan cahaya redup dari lampu kamar membuat permukaannya tampak berkilau.
“Saya rasa itu bukan sesuatu yang relevan dengan penyelidikan Anda, Detektif,” kata Elina Hochberg, suaranya lembut namun tegas.Alphonse tetap tersenyum tipis. “Mungkin tidak. Tapi saya lebih suka menentukannya sendiri.”Elina menghela napas pelan, lalu mendorong tubuhnya dari meja rias dan melangkah menuju meja samping tempat tidur. Dengan gerakan anggun, dia mengambil surat-surat itu. Jemarinya mengetuk-ngetuk amplopnya sejenak sebelum akhirnya menyerahkannya kepada Alphonse.Alphonse menerimanya tanpa tergesa-gesa, merasakan bobot halus kertasnya di tangannya. Daniel Richards, yang sejak tadi hanya mengamati, melirik sekilas ke arah surat itu, seolah ingin menebak apa isinya sebelum Alphonse sempat membacanya.Elina tetap berdiri di dekat tempat tidur, tangannya terl
Lady Viscaria. Wisteria Manor. Surat yang dikembalikan.Daniel Richards tahu nama-nama itu. Nama-nama yang hanya disebut dalam bisikan di antara mereka yang memahami betapa dalamnya jaringan intrik yang mengikat tempat ini. Dia menyaksikan pertukaran kata antara Alphonse dan Elina dengan ketertarikan yang semakin sulit disembunyikan.Sebenarnya, asisten manajer itu sudah terbiasa dengan basa-basi di hotel ini—senyum palsu, percakapan sopan yang menyembunyikan niat sebenarnya, dan permainan kekuasaan yang halus. Tapi ini… ini terasa berbeda.“Siapa di hotel ini yang tidak?”Saat Elina Hochberg mengucapkan pertanyaan terakhirnya itu, ruangan seolah terhenti sejenak. Dia melirik Alphonse. Detektif itu tidak menunjukkan reaksi berlebihan, tetapi Daniel bisa
"Jadi, akhirnya kalian berhasil masuk juga," kata seorang wanita yang duduk di tepi tempat tidur. Nada suaranya tenang, nyaris malas, seperti seseorang yang sudah bisa menebak jalannya permainan sebelum dimulai.Gaun tidurnya yang elegan jatuh sempurna mengikuti garis tubuhnya. Kulitnya yang keemasan berpendar di bawah cahaya lampu kamar yang hangat, berlawanan kontras dengan mata birunya yang berkilau tajam—mengamati mereka satu per satu dengan minat yang samar.Dia duduk dengan satu kaki disilangkan di atas yang lain, punggungnya tegak, dan kedua tangannya bertumpu ringan di sisi tubuhnya, seolah menandakan bahwa kendali atas ruangan ini tetap miliknya. Matanya menyapu tamu-tamunya dengan tatapan tenang,Daniel tersenyum kecil, mengangkat alis saat matanya menyapu ruangan. “Tampaknya kami mengganggu momen istirahat yang sangat… nyaman,” katanya, suaranya mengandung nada halus kekaguman yang tak sepenuhnya disembunyikan.Detektif Otero meliriknya sekilas sebelum berdeham. “Mohon maaf
Dua minggu sebelumnyaNARASI VALERIE“Itu liontin yang indah."Aku mengatakannya tanpa berpikir terlalu jauh. Hanya sekadar mengomentari benda kecil yang berkilau di dada wanita itu saat kami sama-sama berdiri di teras kafe hotel siang itu. Matahari bersinar terang, menyoroti rantai peraknya yang halus dan batu kecil berbentuk tetesan air yang tergantung di tengahnya. Marilyn, yang tengah mengaduk es dalam gelasnya dengan sendok, mengangkat pandangan. Sejenak, matanya meneliti wajahku, seakan mempertimbangkan apakah aku layak untuk diajak bicara."Terima kasih," katanya akhirnya. Nada suaranya netral, nyaris dingin. Seorang wanita yang berhati-hati, pikirku. Menarik.Aku tersenyum kecil, menyandarkan punggung ke kursi, lalu mengangkat cangkir kopiku. "Aku pernah melihat desain seperti itu sebelumnya, tapi yang ini terlihat… lebih personal. Pemberian seseorang?"Marilyn tidak langsung menjawab. Dia mengangkat tangannya, ujung jarinya menyentuh liontin itu dengan gerakan nyaris gelisah
Jumat, 22 Maret 2024/02:30 MalamSuasana di dalam kamar terasa sunyi. Hanya ada suara samar langkah kaki di koridor luar, pertanda beberapa tamu hotel yang sudah bangun—atau baru akan tidur. Cahaya lampu meja meredup, membiarkan bayangan berjatuhan di dinding.Detektif Otero adalah orang pertama yang berbicara setelah Valerie selesai. Dia menyandarkan punggungnya ke dinding, ekspresinya meragukan."Jadi, Anda ingin kami percaya bahwa Marilyn merasa diikuti, ada surat peringatan, dan pamannya menghilang dengan cara yang mencurigakan?" Nada suaranya datar, tapi ada ketidakyakinan yang jelas di sana. "Nona Valerie, ini semua terdengar seperti paranoia seseorang yang terlalu banyak membaca cerita detektif."Valerie menatapnya tajam. "Saya tidak meminta Anda untuk langsung percaya," katanya dengan tenang, tapi sorot matanya menusuk. "Saya hanya mengatakan apa yang saya tahu. Anda sendiri bilang semua detail penting, kan?" Detektif Otero mendengus, menggeser posisi berdirinya, tapi tidak m
Senin, 25 Maret 2024/07:37 PagiKabut tipis masih melayang di atas trotoar ketika langkah Alphonse berhenti di depan sebuah bangunan tua dengan papan nama berkarat yang tergantung miring: Kantor Arsip Kota St. Soulheim. Batu-batunya kusam, jendelanya tinggi dan gelap, dan pagar besinya berkarat di bagian bawah. Dari semua tempat yang dilintasinya pagi ini, hanya bangunan ini yang terasa hidup… meskipun tidak terlihat ada siapa-siapa.Sebuah senyum kecil muncul di wajahnya. Dia tidak datang untuk berwisata. Tapi siapa pun yang melihat dari luar takkan menyangka bahwa pemuda bermantel hitam kusut itu menyimpan maksud yang lebih dalam dari sekadar kekaguman akan arsitektur lama. Saat dia mendekat, suara berat menghentikannya.“Permisi, Pak. Kantornya belum buka. Masih pagi,” kata seorang petugas keamanan dari balik gerbang, tangannya memegang gagang tongkat yang bersandar di sisi kursi.Alphonse melirik ke arah jam sakunya, lalu menatap bangunan itu lagi, seolah baru menyadari kehadirann
Pukul 07.13 pagi.Tuan Greaves tahu itu tanpa perlu melihat jam. Suara ketiga burung pipit yang biasanya baru mulai bernyanyi pada pukul 07.11 kini terdengar dua menit lebih lambat—barangkali udara terlalu lembab. Atau mungkin karena hujan semalam. Dia tidak memperdebatkannya. Pria tua itu hanya mencatatnya, seperti biasanya.Dia membalik papan kecil di pintu: CLOSED menjadi OPEN. Gerakan yang telah dilakukannya sebanyak 17.532 kali sejak dia pertama menerima kunci perpustakaan ini dari tangan pendahulunya, Rowley the Owl, di tahun yang sama dengan runtuhnya jembatan batu tua di selatan kota. Dia bahkan ingat kata-kata terakhir Rowley saat menyerahkan kunci:“Kau akan lebih cocok di tempat ini daripada aku.” Saat itu Greaves belum yakin apakah itu pujian atau kutukan.Lantai kayu menyambut langkahnya dengan rengekan lembut. Tiap derit telah dia kenali seperti dirinya yang mengenali variasi nada pada jam dinding tua miliknya di rumah. Dia tahu bagian mana yang longgar, mana yang sediki
Senin, 25 Maret 2024/05:27 PagiNARASI GENEVIÈVE ROUXGeneviève Roux. Seharusnya dilafalkan sebagai Zhon-vee-ev Roo. Tapi nama itu begitu panjang, bahkan Geneviève terasa asing di bibir saya sendiri. Sering kali—di antara hiruk-pikuk rumah besar ini—terasa terlalu berat untuk dipakai. Jadi, keluarga Vollen dan para tamunya memanggil saya “Gene.” Jin.Itu lebih mudah. Lebih singkat. Katanya itu terdengar lebih akrab. Tapi bagi saya itu sebuah penghinaan. Selalu ada nuansa sarkastik terselip di sana—seperti jin dalam cerita-cerita mistis, yang selalu ada untuk mengabulkan permintaan."Ayo, Gene, keluarkan keajaibanmu. Bawakan teh, jangan lama-lama!"Gene. Begitu saja. Tanpa embel-embel, tanpa perhatian lebih. Hanya sebuah nama yang menguap begitu saja di udara—hilang di balik suara keramaian yang lebih keras, lebih penting."Apa, kau masih berdiri? Gene, cepat lakukan tugasmu seperti biasa!"Saya selalu dianggap seperti jin botol yang selalu siap melayani dan memenuhi permintaan dan has
Di jantung St. Soulheim, di mana jalanan berbatu berkelok di bawah bayang-bayang menara gereja tua yang telah berdiri sejak zaman sebelum perang, terdapat sebuah rumah megah. Sebuah bangunan yang lebih layak disebut istana daripada sekadar tempat tinggal itu terlihat mencolok di antara deretan rumah lainnya. Pilar-pilar marmer yang tinggi dan kokoh menopang fasadnya, sementara dua patung singa hitam berjaga diam di gerbang depan—mata mereka memandang lurus, seolah mengawasi siapa pun yang berani mendekat.Di sanalah tinggal seorang pria yang, bagi banyak warga, bukan hanya orang terkaya di kota—tapi juga "pemilik" sebenarnya dari St. Soulheim. Namanya Edelmar Vollen. Seorang pria berusia lima puluh tujuh tahun dengan perut bundar seperti mangkuk logam. Hal paling diingat darinya adalah suara tawanya yang bisa terdengar dari dua blok jauhnya. Tapi jangan tertipu oleh perawakannya yang terlihat lemah; matanya tajam seperti pedagang tua yang selalu tahu lebih banyak dari yang dia biarkan
Kabut menggantung rendah di atas kota. Seperti selimut lembap yang menolak terangkat, dia melingkupi atap-atap miring bangunan tua yang nyaris seluruhnya berlumut. Kabut menyusup di antara celah jendela yang jarang sekali dibuka. Sering kali juga menelusup masuk ke dalam lorong-lorong sempit yang hanya dikenal oleh kaki-kaki penduduknya.Bau arang terbakar menguar dari cerobong-cerobong batu, bercampur dengan aroma tanah basah dan sisa hujan semalam yang belum juga mengering. Di kota ini, musim seolah tidak pernah berganti. Hujan datang tidak sebagai tamu, melainkan penghuni tetap. Gerimisnya malas, tapi tekun—turun perlahan, nyaris tidak bersuara.Gerimis meninggalkan jejak pada batu-batu tua yang membentuk jalanan berkelok. Batu-batu itu, jika diperhatikan, terlihat seperti menyimpan gema langkah-langkah dari masa lalu. Bunyi derap sepatu kulit, suara roda kereta kuda, dan bisikan yang telah lama terbenam dalam waktu.Di depan sebuah toko roti kecil yang sudah berdiri sejak masa kol
Jumat, 22 Maret 2024/07:11 MalamLangit malam menggulung pelan seperti menyimpan sesuatu yang belum sempat jatuh. Udara di dermaga berbau asin, bercampur kabut tipis yang menyelimuti laut gelap sejauh mata memandang. Suara ombak menghantam lambung kapal kayu tua yang bergoyang perlahan. Lampu-lampu pelabuhan berkedip lemah, menciptakan bayangan panjang di antara peti-peti kayu dan tali tambat yang berserakan.Mereka berdiri diam dalam lingkaran kecil, masing-masing dibalut perban dan luka yang belum sempat sembuh benar. Uehara bersandar pada tongkat jalannya, sementara Jesse menahan napas setiap kali bergerak. Valerie memeluk dirinya sendiri, sesekali menatap langit seolah berharap bintang-bintang bisa memberi petunjuk. Alphonse menjadi satu-satunya sosok yang berdiri tegak meski bajunya masih ternoda darah kering. “Aku sudah mengatur semuanya,” katanya, suaranya tenang namun tegas. “Akan ada seseorang yang kupercaya menjemput kalian nanti. Bersembunyilah di sana untuk sementara wakt
Dengan gigi terkatup dan tatapan membara, Alphonse berbalik menghadap pria bersenjata itu. Tangan kirinya sudah menahan darah yang mengalir dari bahu kanannya. Valerie menatap dengan napas tercekat. Tubuhnya setengah berdiri dari balik perlindungan mobil, mata membelalak melihat Alphonse yang tetap berdiri meski darah terus menetes.Alphonse tahu satu hal—jika dia diam, semuanya akan berakhir di sini.Dengan tangan kiri yang masih bisa digerakkan, dia meraih kembali tongkat setrum dari tanah. Darah dari bahu kanannya mengalir makin deras, tapi sorot matanya tidak goyah. Langkahnya pelan, mantap, seolah rasa sakit itu tidak berarti apa-apa.Ardent Blades yang bersenjata itu memasang kembali bidikannya, tapi Alphonse tidak memberinya waktu. Begitu senapan itu sedikit bergeser, Alphonse menerjang. Bahu kanannya seketika terasa seperti disayat bara api, tapi dia paksa tubuhnya bergerak.Dengan hentakan cepat, dia mengayunkan tongkat setrum ke arah pistol—zzt!Sentakan listrik meledak di u
Mobil Jesse Fox berguncang lebih keras saat ban depan yang ditembak terus kehilangan tekanan. Setir digerakkan dengan cepat, hampir tidak memberi waktu bagi Jesse untuk bernapas. Mata tajamnya menatap jalanan yang semakin sempit, dan dalam sekejap, dia tahu bahwa hanya sedikit ruang yang tersisa untuk melarikan diri.Di kursi belakang, Alphonse menahan napas. Valerie di pelukannya, matanya terpejam, tubuhnya terhimpit oleh pelukan Alphonse. Meski keadaan semakin gawat, Alphonse tetap menjaga kewaspadaan, matanya mengawasi setiap gerakan yang ada di luar sana. Mereka dikejar oleh dua motor yang semakin dekat, dan suara knalpot yang menggelegar membuat suasana semakin mencekam."Jesse, kita harus segera keluar dari sini!" teriak Alphonse.Jesse tidak menjawab. Dia hanya memusatkan perhatian penuh pada setir. Tapi, dengan setiap detik yang berlalu, jalanan terasa semakin sempit. Dua motor itu semakin dekat. Tembakan terus dilontarkan, mengarah tepat ke mobil mereka. Kaca anti peluru mung
Tiga bulan yang laluLilin-lilin beraroma mur perlahan mencair. Cahayanya memantul lembut di atas meja marmer, menciptakan bayang-bayang yang menggoda. Tirai sutra merah tua berayun pelan di tiupan angin malam. Di tengah ruangan yang temaram, Ratu Merelda dari Kerajaan Eilvareth bersandar santai di ranjang berkanopi.Tubuhnya dibalut gaun tidur tipis berwarna anggur tua yang memeluk setiap lekuk tubuhnya dengan elegan, membentuk siluet yang memikat. Gaun tidurnya yang terlepas sedikit dari bahu memamerkan kulit halusnya yang berkilau di bawah cahaya lilin. Kontur tubuhnya terlihat begitu memikat, seakan mengundang untuk lebih dekat. Dia tahu dirinya cantik—dan lebih dari itu, dia tahu betul bagaimana menggunakan kecantikannya.Di sampingnya, seorang pria bertubuh tinggi dan kekar dengan rambut keperakan berdiri menghadap jendela terbuka. Punggungnya penuh bekas luka perang bertahun-tahun, namun goresan yang baru itu lebih mendalam, lebih intim—sebuah jejak gairah yang tidak terucapkan