Home / Thriller / BAYANGAN DI BALIK WARISAN / Liontin yang Hilang

Share

Liontin yang Hilang

Author: eyes0cream
last update Last Updated: 2025-03-14 23:18:56

16 menit sebelumnya

Dingin. Bukan hanya dari pendingin ruangan yang terus berembus, tapi juga dari sesuatu yang lebih halus, lebih menusuk. Kamar tempat korban ketiga ditemukan masih dipenuhi aroma khas bahan kimia forensik dan sisa-sisa kematian yang menempel di udara. Cahaya lampu putih dingin menusuk setiap sudut kamar, mengukir bayangan tajam di dinding.

Dr. Clara Donovan berdiri dengan tangan bersedekap di samping tempat tidur, matanya fokus pada seprai yang terlihat sedikit berantakan. Di sebelahnya, seorang petugas forensik, Langston, sedang membungkuk. Dia mencermati sesuatu dengan senter UV.

“Aku menemukan sesuatu yang aneh,” gumam Langston sambil menyipitkan mata. Tangannya yang bersarung lateks mencubit untaian serat halus dari kain seprai dengan pinset. Dia mengangkatnya ke arah cahaya, membiarkan serat itu berkilau samar di bawah lampu. “Warnanya sedikit lebih kusam, dan teksturnya terasa lebih kasar, seperti bahan sintetis.”

Dr. Clara meraih pinset dari kotak peralatan forensiknya dan mengambil serat itu dari Langston. Dia memiringkan kepala sedikit. “Jelas bukan linen standar hotel,” ujarnya sambil memasukkan temuan itu ke dalam kantong bukti. “Jika berasal dari pakaian seseorang, ini bukan jenis kain yang umum digunakan sehari-hari.”

Langston mengangguk setuju. “Mungkin sesuatu yang berhubungan dengan industri misalnya?”

Dr. Clara belum sempat menjawab ketika suara bip halus dari perangkat analisis portabel di meja samping tempat tidur menarik perhatiannya. Petugas forensik lain, Miriam, sedang melihat layar kecil alat itu dengan ekspresi bingung.

“Ada jejak residu aneh di permukaan meja ini,” kata Miriam. “Bukan sesuatu yang biasa ditemukan di kamar hotel. Analisis awal menunjukkan adanya senyawa yang sering digunakan dalam lingkungan industri, tapi aku belum bisa memastikan jenisnya.”

Dr. Clara dan Langston bertukar pandang dengan serius ketika mendengar kata “industri” muncul. Dia segera berjalan mendekat dan memeriksa hasil sementara yang ditampilkan di layar.

“Coba cek di pakaian korban,” perintahnya.

Miriam dan Langston langsung bergegas. Beberapa menit kemudian, mereka menemukan sesuatu yang semakin menguatkan dugaan mereka.

“Residunya juga ada di celana korban,” kata Langston, suaranya sedikit lebih tegang. “Tipis, nyaris tidak terlihat… tapi cukup untuk memastikan adanya kontak langsung.”

Dr. Clara merasakan ketegangan bertambah di dalam ruangan. Sesuatu mulai terbentuk di pikirannya, sebuah pola yang belum sepenuhnya jelas. Dan saat dia berusaha menyusun kepingan-kepingan ini, sebuah suara lain memecah konsentrasinya.

“Dr. Donovan!” Salah satu petugas forensik berseru dari sisi lain kamar. “Aku menemukan sesuatu.” Dengan hati-hati, dia segera menghampiri Dr. Clara dan menunjukkan sebuah liontin perak kecil dengan inisial M.C. terukir di permukaannya.

Mata Dr. Clara membesar. Tangannya buru-buru meraih alat komunikasi kecil yang terhubung dengan tim forensik di dua kamar lainnya. 

“Clara di sini,” katanya cepat. “Aku butuh konfirmasi—Kamar 207, kau tadi mengatakan jika senjata pembunuhannya adalah liontin, benar?”

Hening sejenak sebelum suara dari sisi lain menyahut. “Ya. Detektif yang datang bersama Detektif Otero mengatakan jika benda itu tidak akan mungkin berada di sini.”

Liontin kecil itu terasa dingin di tangannya. Senyuman tipis muncul di wajah Dr. Clara saat dia berkata, “Karena benda itu ada di sini.”

Keheningan di saluran komunikasi terasa berat sebelum suara dari kamar 207 kembali terdengar, kali ini lebih waspada. “Kau yakin itu liontin yang sama?”

Dr. Clara menatap liontin kecil di tangannya—logamnya sedikit ternoda, rantainya terputus di salah satu ujung, dan inisial M.C. terukir samar di permukaannya.

“Bentuknya cocok dengan deskripsi yang kalian berikan,” katanya sambil mengangkatnya ke bawah cahaya.  Dia lalu menoleh ke arah Langston dan Miriam. “Siapkan perbandingan sidik jari dan residu darah jika ada.”

Dr. Clara kembali berbicara menggunakan alat komunikasinya, “Aku akan segera menganalisisnya. Kita bicara lagi nanti.” Dia lalu menoleh ke salah satu petugas polisi yang berjaga di pintu dan berkata, “Laporkan temuan ini ke Detektif Otero. Sekarang.”

Petugas itu langsung mengangguk dan bergegas keluar dari kamar.

Kamis, 21 Maret 2024/11:33 Malam

Detektif Otero merasakan jantungnya berdetak kencang, dadanya terasa berat seolah tertindih beban yang tidak terlihat. “Apa yang mereka temukan?” pikirnya di balik bayang-bayang yang berkecamuk.

Dipimpin oleh langkah-langkah cepat dan mantapnya, mereka bertiga bergerak menuju kamar korban selanjutnya di lantai lima. Suara kaki mereka berdesis lembut di atas karpet tebal di sepanjang koridor yang mereka lewati. Tidak jauh berbeda dari kondisi mental Detektif Otero, di setiap langkahnya, pikiran Alphonse berputar liar. Berbagai kemungkinan terbesit di dalam benaknya, kemungkinan-kemungkinan yang menanti di balik pintu kamar yang mereka tuju.

“Aku harap ini berita bagus,” kata Detektif Otero begitu mereka tiba di depan pintu Kamar 509 yang terbuka. Nada suaranya yang penuh harapan sekaligus ketegangan memecah kesunyian para petugas forensik yang sedang bekerja.

Dr. Clara menoleh ke arah sumber suara, lalu dengan isyarat cepat meminta liontin yang ditemukan sebelumnya. Saat benda kecil itu berpindah ke tangannya, dia mengangkatnya ke bawah cahaya, membiarkan kilaunya yang redup berbicara lebih dulu. "Kita mungkin baru saja menemukan senjata pembunuhan Marilyn Cass," katanya tenang.

Detektif Otero menegang seketika, matanya membelalak saat melihat liontin di dalam kantong bukti. Sementara itu, Alphonse tetap diam. Tatapannya tidak menunjukkan keterkejutan—seakan ini hanya sekadar kepastian dari sesuatu yang telah dia perhitungkan.

Dr. Clara menyerahkan kantong bukti berisi liontin itu pada Detektif Otero, lalu dia berkata, "Tergeletak di sebelah sana." Dia memberi isyarat ke arah tempat ditemukannya liontin tersebut.

Detektif Otero mengangguk pelan, lalu menoleh ke Alphonse. "Inikah liontin yang kau maksud?"

Alphonse menatap liontin itu, dan seketika—ingatan tentang pertemuannya dengan Marilyn kembali. Alphonse berkedip, kembali ke realitas. Tatapannya bertemu dengan tatapan Detektif Otero, lalu ke liontin itu lagi.

"Ya," katanya akhirnya, suaranya lebih dalam dari biasanya. "Itu miliknya."

Dr. Clara memberi isyarat ke salah satu petugas forensik, yang segera menyerahkan tablet kepadanya. Dia mengetuk beberapa kali sebelum menoleh ke mereka. "Kami menemukan residu darah yang sangat tipis di bagian tepinya. Belum cukup untuk analisis DNA, tapi mengingat liontin ini ditemukan di dekat korban ketiga—dan konfirmasi Anda…” Dr. Clara menoleh ke arah Alphonse sejenak, lalu melanjutkan, "...kemungkinan besar ini yang kita cari."

“Bagaimana dengan analisis sidik jarinya?” tanya Alphonse dengan nada tenang, tapi matanya tajam menatap layar tablet yang dipegang Dr. Clara.

Dr. Clara menggeser layar, membaca hasilnya dengan ekspresi yang sulit diartikan. Lalu, dia menghela napas. “Kami sedang mencocokkannya. Tapi sejauh ini, ada satu sidik jari yang paling jelas.”

“Itu kabar baik, kan?” Otero menyipitkan mata. “Kalau itu milik Marilyn—”

Dr. Clara mengangguk pelan, sebelum akhirnya mengangkat wajahnya untuk menatap mereka berdua. “Masalahnya…” dia berhenti sejenak, seakan memilih kata dengan hati-hati. “…sidik jari itu bukan milik Marilyn Cass.”

Keheningan menyergap ruangan. Lalu, perlahan, Dr. Clara menoleh ke arah kantong mayat yang terbaring diam. Tatapannya lalu kembali ke Detektif Otero dan Alphonse sebelum akhirnya mengucapkan, “Itu milik Sansa Strand.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   You Must Find Sister Lasya

    Ruang arsip kembali sunyi. Tapi bukan sunyi yang biasa—melainkan sunyi yang menekan, seperti udara yang sedang menyimpan rahasia. Bau kertas tua dan logam berkarat menggantung di udara, seolah menolak dibersihkan oleh waktu atau niat baik. Lampu neon di langit-langit sesekali bergetar, mengeluarkan bunyi dengung rendah yang menambah suasana janggal.Alphonse berdiri diam di tengah lorong, tubuhnya membeku bukan karena takut, tapi karena nalurinya menjerit: sesuatu di sini belum selesai. Sesuatu sedang menunggu untuk ditemukan—atau lebih tepatnya, untuk dilepaskan.Dan dalam diam yang terlalu panjang itu, dia merasa seperti orang terakhir yang masih mendengarkan bisikan bangkai-bangkai masa lalu. Pikirannya jauh lebih dalam dari tinta dan kertas yang ada dalam semua berkas-berkas itu. Seolah setiap lembar di dalamnya menyimpan suara, dan dia mencoba mendengarkan.Pegawai wanita yang hanya diam saja akhirnya bicara. Suaranya kecil, nyaris seperti bisikan.“Anda seharusnya tidak berbicar

  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   It's A Face Off

    Di dalam ruang arsip yang sunyi, keheningan itu hampir bisa dipotong dengan pisau. Edelmar, dengan ekspresi datarnya, tidak langsung merespons. Kedua matanya yang tajam menilai, mengukur setiap kata yang terucap, namun dia tetap diam. Keheningan yang tercipta bukan karena kebingungan, tetapi lebih karena sebuah keputusan yang tengah ditimbang di dalam pikirannya."Dan jika saya bilang…” suaranya memecah keheningan. Suara itu tenang, tapi tegang, “...jarumnya memang tidak pernah berhenti, hanya tidak terdengar oleh telinga biasa?"Alphonse tersenyum tipis, ada sesuatu dalam senyum itu yang mengungkapkan lebih banyak daripada yang dia ingin ungkapkan. "Saya rasa saya sudah tahu apa yang sedang Anda coba sampaikan."Di belakang mereka, pegawai wanita itu masih berdiri kaku, seperti bayangan yang tidak ingin ikut campur. Dunia di ruang arsip terasa mengecil, hanya ada dua kutub yang saling bertarung—Alphonse dan Edelmar. Ruang ini menjadi medan magnet yang tidak terhindarkan, setiap kalim

  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   Riak di Lautan Kertas

    Ruang arsip kota St. Soulheim menyimpan napas masa lalu dalam setiap rak berdebu dan laci berderit. Aroma kertas tua menyatu dengan udara yang stagnan, seakan waktu enggan bergerak di tempat ini. Di tengah lorong sempit berisi berkas dan dokumen catatan sipil, berdiri seorang pria asing yang baru semalam tiba di kota—tapi sorot matanya seperti telah tinggal di sana seumur hidup.Alphonse menelusuri laci-laci dengan ketelitian seorang arsitek yang sedang membedah reruntuhan. Tangannya menyentuh berkas-berkas kelahiran, surat keputusan wali kota, peta tata ruang yang tak diperbarui sejak awal milenium. Tidak ada yang luput dari perhatiannya, terutama dokumen yang kelihatannya telah disusun ulang… atau sengaja dikaburkan.Di ujung ruang, pegawai wanita itu tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya. Dia menatap Alphonse yang dengan tenang membuka laci-laci berisi dokumen, seolah sudah tahu apa yang dicari. Beberapa kali dia melirik ke arah meja tapi takut jika pemuda yang tidak diketahui a

  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   Susceptibility

    Senin, 25 Maret 2024/07:37 PagiKabut tipis masih melayang di atas trotoar ketika langkah Alphonse berhenti di depan sebuah bangunan tua dengan papan nama berkarat yang tergantung miring: Kantor Arsip Kota St. Soulheim. Batu-batunya kusam, jendelanya tinggi dan gelap, dan pagar besinya berkarat di bagian bawah. Dari semua tempat yang dilintasinya pagi ini, hanya bangunan ini yang terasa hidup… meskipun tidak terlihat ada siapa-siapa.Sebuah senyum kecil muncul di wajahnya. Dia tidak datang untuk berwisata. Tapi siapa pun yang melihat dari luar takkan menyangka bahwa pemuda bermantel hitam kusut itu menyimpan maksud yang lebih dalam dari sekadar kekaguman akan arsitektur lama. Saat dia mendekat, suara berat menghentikannya.“Permisi, Pak. Kantornya belum buka. Masih pagi,” kata seorang petugas keamanan dari balik gerbang, tangannya memegang gagang tongkat yang bersandar di sisi kursi.Alphonse melirik ke arah jam sakunya, lalu menatap bangunan itu lagi, seolah baru menyadari kehadirann

  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   Catatan Tua

    Pukul 07.13 pagi.Tuan Greaves tahu itu tanpa perlu melihat jam. Suara ketiga burung pipit yang biasanya baru mulai bernyanyi pada pukul 07.11 kini terdengar dua menit lebih lambat—barangkali udara terlalu lembab. Atau mungkin karena hujan semalam. Dia tidak memperdebatkannya. Pria tua itu hanya mencatatnya, seperti biasanya.Dia membalik papan kecil di pintu: CLOSED menjadi OPEN. Gerakan yang telah dilakukannya sebanyak 17.532 kali sejak dia pertama menerima kunci perpustakaan ini dari tangan pendahulunya, Rowley the Owl, di tahun yang sama dengan runtuhnya jembatan batu tua di selatan kota. Dia bahkan ingat kata-kata terakhir Rowley saat menyerahkan kunci:“Kau akan lebih cocok di tempat ini daripada aku.” Saat itu Greaves belum yakin apakah itu pujian atau kutukan.Lantai kayu menyambut langkahnya dengan rengekan lembut. Tiap derit telah dia kenali seperti dirinya yang mengenali variasi nada pada jam dinding tua miliknya di rumah. Dia tahu bagian mana yang longgar, mana yang sediki

  • BAYANGAN DI BALIK WARISAN   Wanita yang Tahu Segalanya

    Senin, 25 Maret 2024/05:27 PagiNARASI GENEVIÈVE ROUXGeneviève Roux. Seharusnya dilafalkan sebagai Zhon-vee-ev Roo. Tapi nama itu begitu panjang, bahkan Geneviève terasa asing di bibir saya sendiri. Sering kali—di antara hiruk-pikuk rumah besar ini—terasa terlalu berat untuk dipakai. Jadi, keluarga Vollen dan para tamunya memanggil saya “Gene.” Jin.Itu lebih mudah. Lebih singkat. Katanya itu terdengar lebih akrab. Tapi bagi saya itu sebuah penghinaan. Selalu ada nuansa sarkastik terselip di sana—seperti jin dalam cerita-cerita mistis, yang selalu ada untuk mengabulkan permintaan."Ayo, Gene, keluarkan keajaibanmu. Bawakan teh, jangan lama-lama!"Gene. Begitu saja. Tanpa embel-embel, tanpa perhatian lebih. Hanya sebuah nama yang menguap begitu saja di udara—hilang di balik suara keramaian yang lebih keras, lebih penting."Apa, kau masih berdiri? Gene, cepat lakukan tugasmu seperti biasa!"Saya selalu dianggap seperti jin botol yang selalu siap melayani dan memenuhi permintaan dan has

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status