Share

BAYI TETANGGA MIRIP SUAMIKU
BAYI TETANGGA MIRIP SUAMIKU
Author: Putri putri

BAB 1. MENJENGUK BAYI

“Mas, tolong pegangin Bagus ya, aku mau bikin teh dulu buat kalian.”

Dengan santainya Mbak Nilam, tetangga sebelah rumah meletakkan bayinya di pangkuan suamiku. Mas Bayu pun tampak senang membopong bayi itu sambil tetap duduk.

“Biar sama aku saja, Mbak,” ujarku sembari mengulurkan tangan berusaha mengambil bayi itu dari pangkuan Mas Bayu.

“Jangan! Kamu belum punya anak. Jadi belum punya pengalaman momong dedek bayi,” tolak Mbak Nilam sembari menepis tanganku, kemudian berlalu meninggalkan kami.

Deg.

Aku terperangah mendengar ucapan Mbak Nilam yang terasa menohok. Ada sesuatu yang menyeruak di dalam sana. Memang benar aku belum punya anak, tapi bukan berarti enggak bisa momong dedek bayi. Lagian, apa bedanya aku dan suamiku?

Sejenak, aku berusaha melupakan kata-kata Mbak Nilam yang membingungkan itu, lalu mengalihkan pandangan pada Mas Bayu dan bayi di pangkuannya.

Jika diperhatikan, suamiku tampak lihai menimang bayi itu. Seperti sudah terbiasa. Bayinya Mbak Nilam juga terlihat nyaman dalam dekapan Mas Bayu.

“Kamu kok lihatnya kayak gitu, Lin?” tanya Mas Bayu.

Aku terkesiap mendengar ucapan suamiku. Apa dia sadar aku tengah memperhatikannya?

“Enggak kok, Mas,” sahutku sedikit kaget, “ kamu kok pintar gendong bayinya, belajar di mana? ,” tambahku.

“enggak belajar, naluri doang,” sahut Mas Bayu.

Sejenak, hening terjadi antara kami. Mas Bayu kembali mengalihkan pandangan pada bayi di pangkuannya. Dari binar matanya, aku tahu kalau suamiku senang dengan aktivitas itu.

Aku menatap lekat pada bayi yang sedang tertidur itu. Jika diamati, banyak kemiripan dengan suamiku. Bibirnya, hidungnya, bahkan bentuk wajahnya sangat mirip dengan Mas Bayu.

Sesaat, aku memejamkan mata, lalu kembali memindai wajah keduanya. Benar-benar banyak sekali kemiripan. Namun sebisa mungkin aku menepis pikiran buruk tentang Mas Bayu.

“Silakan diminum tehnya, mumpung masih hangat,” ucap Mbak Nilam sembari meletakkan dua cangkir teh di atas meja, lalu mengambil anaknya dari pangkuan Mas Bayu, membawanya duduk berhadapan dengan kami.

Kata-kata yang baru kudengar itu berhasil membuyarkan pikiran. Memaksa tersenyum ke arah sumber suara tersebut, sambil sesekali mencuri pandang pada bayi di pangkuannya.

“Iya, Mbak. Terima kasih,” sahutku sedikit tergagap.

Tak lama kemudian, aku mengambil benda tersebut lalu menyeruput isinya hingga tersisa separuh saja. Mas Bayu pun melakukan hal yang sama denganku.

“Bayinya ganteng ya, Mbak.” ucapku memuji Anaknya.

“Iya dong. Kulitnya juga putih bersih. Kan mirip sama bapaknya,” sahut Mbak Nilam sembari melirik ke arah Mas Bayu.

Lagi. Aku kembali kesulitan mencerna ucapan Mbak Nilam. Setahuku suaminya berkulit agak gelap. Kenapa dia bilang mirip sama bapaknya? Apa suaminya sekarang sudah menjadi lebih putih.

Mungkin saja sih! Setahun belakangan aku memang mengais rezeki di kota, jadi wajar saja jika banyak yang telah berubah dari mereka.

“Suaminya Mbak Nilam ke mana, kok enggak kelihatan,” tanyaku lagi.

“Lagi kerja, Lin. Baliknya cuma seminggu sekali,” jawab Mbak Nilam.

“Iya, kalau sabtu sore balik, terus senin pagi sudah berangkat lagi,” timpal Mas Bayu santai.

Aku terperangah mendengar ucapan suamiku. Bagaimana bisa dia paham jadwal pulang dan perginya suami Mbak Nilam? Seingatku dulu mereka tak begitu dekat.

“Kok kamu tahu, Mas?” tanyaku penuh selidik.

Kali ini giliran Mas Bayu yang gelagapan. Wajah santainya berubah pias seketika. Dia tampak tak nyaman dengan pertanyaanku.

“eee, anu, Dek...” jawab Mas Bayu kebingungan.

“Anu apa, Mas? Kamu kenapa? Kok aneh begitu,?” cecarku.

“Aku yang cerita sama Mas Bayu, Lin,” sela Mbak Nilam.

“Iya, Mbak Nilam yang cerita. Makanya aku jadi tahu,” timpal Mas Bayu sedikit tenang.

Aku menatap dalam pada sepasang netra suamiku. Berusaha mencari kebenaran dari sorot mata itu. Sayangnya, aku justru melihat kebohongan di sana. Jelas sekali ada yang sedang Mas Bayu sembunyikan dariku.

“oh, begitu,” ucapku sembari menganggukkan kepala.

Bukan! Aku bukan percaya dengan ucapan keduanya. Hanya saja, aku tak ingin berdebat dengan suamiku, apalagi ini di rumah orang. Lebih baik jika aku menanyainya di rumah saja.

“Sejak kapan Mbak Nilam suka cerita sama suamiku?” tanyaku menginterogasi.

Mbak Nilam tampak bingung menjawab pertanyaanku. Bibirnya bergerak, tapi tak ada suara yang keluar.

“Kamu kok tanyanya aneh-aneh begitu sih , Lin?” seru Mas Bayu.

“Iya, kayak enggak ada pertanyaan lain saja,” cibir Mbak Nilam.

Aku terdiam. Mereka berdua kompak sekali menyudutkanku. Membuatku tak betah berada di sini. Sebagai seorang istri, feelingku mengatakan ada sesuatu antara Mbak Nilam dan suamiku.

“Mbak, kami pulang dulu ya, aku baru sampai rumah tadi pagi, jadi masih capek,”

Baru saja beberapa menit di rumah Mbak Nilam, aku langsung pamit. Rasanya kurang nyaman melihat kedekatannya dengan Mas Bayu. Apa ini yang namanya cemburu?

“Yah... kok pulang sih, padahal aku mau minta tolong sama Mas Bayu buat jagain Bagus. Aku mau masak sebentar. Pulangnya nanti saja ya, Mas,” ungkap Mbak Nilam setengah merengek.

What? Mbak Nilam berkata dengan nada seperti itu pada suamiku? Enggak salah dengar? Seingatku dulu mereka tak sedekat ini.

Oke. Anggap saja wajar meminta tolong sama tetangga, tapi seharusnya aku yang dimintai tolong menjaga anaknya Mbak Nilam. Bukan suamiku.

“Maaf, Mbak! Kami harus istirahat. Nanti malam mau ada acara,” tolakku halus.

Kulirik sekilas Mas Bayu yang tampak keberatan dengan ajakanku. Gegas kutarik tangannya agar dia segera berdiri mengikutiku .

“Kami permisi,” tambahku lalu beranjak keluar dari rumah Mbak Nilam. Tak sabar rasanya ingin segera mencecar Mas Bayu.

?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status