Share

BAB 8

“There is a reason why we met. We don't meet anyone by chance!” - Avijeet Das

Jalanan sangat padat karena Chiang Mai sedang dibanjiri turis dari seluruh dunia. Aku bisa melihat di sepanjang jalan turis-turis berjalan ke sana ke mari. Butuh waktu yang tidak lama untuk sampai ke tempat tujuan tapi akhirnya kami sampai juga. Tempat ini bernama Mae Jo University. Di tempat ini aku dan Manee akan menikmati festival Yee Peng.

Festival Yee Peng adalah festival yang diadakan di bulan November setiap tahunnya. Kata Manee, festival ini salah satu festival yang selalu ditunggu oleh banyak orang sama seperti pergantian tahun penanggalan Cina. Di Chiang Mai festival ini diadakan dua sampai tiga kali dalam waktu yang berdekatan dalam setahun. Ritual utama dalam festival Yee Peng adalah menerbangkan lampion bersama-sama.

Lautan manusia dari berbagai negara duduk rapi di atas rumput halaman Mae Jo Univesity. Semua sedang sibuk ikut menyiapkan festival ini. Di beberapa sisi terlihat para penari yang sedang melakukan gladi resik dan para Biksu yang mulai mempersiapkan ritual.

Sekarang sudah masuk senja. Manee mengajakku untuk berfoto, mengabadikan moment. Dia juga mengajakku untuk ikut duduk di atas rumput, berkumpul bersama turis lain, dan berbicara tentang berbagai hal. Yang paling sering dajak bicara oleh turis adalah Manee. Dia bukan lagi sebagai guide-ku melainkan telah menjadi guide para bule lainnya yang tidak henti bertanya tentang Thailand. Kami juga menikmati makanan bersama. Tidak sedikit yang menjual makanan di sekitar kami. Semakin langit menjadi gelap, semakin banyak turis yang berdatangan.

“Mau lampion yang mana?” tanya Manee sambil menunjukan jejeran lampion yang terletak tidak jauh dari kami. “Makin aneh bentuknya, makin mahal. Tapi tenang, aku yang bayar. Kan aku the best of guide in the world.

Ingin rasanya mengacak-ngacak rambutnya. Tapi tidak jadi. “Yang polos aja, nanti kayak mereka.” Aku menunjuk anak-anak bule berambut pirang yang sibuk melukis dan menggambar lampion polos mereka sendiri. “Bisa nulis apa aja deh.”

“Kalau gitu tunggu di sini. Aku yang beli ke sana. Entar kamu lupa lagi tempat kita duduk ini. Jadi anak hilang, deh.”

Aku berdecak. “Ck, aku nggak sebodoh itu kali!”

Manee bangkit lalu dengan cepat pergi ke pinggir halaman. Dia terlihat sedikit melakukan perbincangan dengan si penjual. Dari deretan penjual lampion, dia memilih untuk membeli di satu penjual yang tidak membawa banyak macam lampion. Penjual yang sudah terlihat separuh baya, berkumis, dan memakai pakaian seadanya.

Tidak lama Manee kembali duduk di hadapanku. Dia memberiku satu buah lampion berwarna putih polos yang kalau diterbangkan akan berbentuk seperti tabung besar. “Yang polos, kan?”

Aku mengangguk lalu dengan cepat mengeluarkan pulpen dari dalam tas. Sedikit melirik lampion milik yang lain, aku bisa melihat banyak kalimat harapan yang ditulis di lampion mereka. Mungkin aku juga bisa menulis hal yang sama? Aku mencoba berpikir.

Forget the bad and focus on the good.

Kalimat itu tiba-tiba terlintas di benakku. Bukan harapan, tapi menjadi prinsip baru yang harus aku lakukan mulai detik ini. Tidak ada lagi waktu untuk memikirkan masalah Indy dan Bayu. Tidak ada lagi waktu untuk terlalu serius mendengar ocehan mama tentang papa. Dan tidak ada lagi waktu untuk mengeluh kalau Tuhan tidak sedang berpihak padaku. Aku hanya perlu move on, kembali membuka hati pada yang lain. Menerima kenyataan dan berjuang menjalani hidup.

“Aku suka kata-katanya,” mata Manee fokus pada lampionku. “Ada saran? Buatku tulis di sini?”

“Yah, yang penulis kan kamu, masa kamu kehabisan kata-kata, sih?”

“Penulis juga manusia.”

Aku tertawa, tetap saja, bukannya penulis pintar merangkai kata dan selalu memiliki ide yang bagus? “Siapa bilang penulis itu dinosaurus? Manusia lah.”

“Kalau gitu, aku nulis ini aja.”

Tangan Manee bergerak-gerak menulis kalimat dengan Bahasa Thailand yang tentu aku tidak pahami. “Itu apa?”

Manee mengangkat lampion miliknya lalu menatapku dengan sorotan hangat. Pelan-pelan dia membacakan kalimat di lampion. “Keu shob Thalia!”

Entah kenapa, meski aku tidak mengerti dengan apa yang dia tulis dan ucapkan, ada sesuatu yang aneh menembus ke hatiku pelan-pelan. “Aku? Kenapa ada nama aku? Artinya?”

“Kamu nggak perlu tahu.”

“Kenapa? Aku harus tahu, ada namaku di situ!” Aku bersikeras membuat Manee mengaku. Atau aku bisa minta orang Thailand lain membaca dan menerjemahkannya padaku.

Dia kembali menatapku dengan sorotan hangat. Kembali aku merasakan hal aneh itu. Pandangan kami bertemu. Kami sama-sama diam. Tidak lama dia tersenyum.

“Tenang, bukan suatu hal yang buruk. Ini cuma kata penyemangat buat kamu kok.”

“Oh.. gitu.”

Manee mengangguk. “Iya semacam ‘Semangat Thalia’.”

Langit semakin gelap tanpa disadari dan berbagai pertunjukan satu persatu diadakan. Dari mulai tarian sampai Biksu yang mengutarakan doa yang walau aku tidak mengerti namun tetap bisa merasakan makna religi di dalamnya. Jujur, doa yang diutarakan para Biksu membuat bulu kudukku merinding. Apalagi melihat ekspresi Manee yang sangat serius. Sejak tadi, obor-obor khusus sudah ditancapkan di sekeliling kami dan kini obor-obor yang jumlahnya tidak terkira itu mulai dinyalakan.

Aku suka suasana ini. Langit yang gelap, cahaya api dari obor, iringan doa dari para Biksu, dan berbagai ekspresi yang dikeluarkan oleh orang-orang yang menghadiri festival ini. Terasa hangat dan kekeluargaan. Kami semua tidak saling kenal, tapi kami semua sama-sama diam menikmati acara. Tidak terasa, sampailah di puncak acara. Para Biksu mulai membimbing kami semua untuk menerbangkan lampion.

Menerbangkan lampion tidak sesulit yang aku bayangkan namun tidak juga mudah. Lampion harus ditegakan, ditaruh di atas api obor terlebih dahulu. Kemudian membiarkan panas api obor masuk ke dalam lampion. Seperti cara menerbangkan balon udara.  Agak lama sampai lampion milikku sudah bisa berdiri sendiri. Manee belum menerbangkan lampionnya. Dia memilih membantuku duluan. Begitu pun para bule di samping kami. Padahal kami tidak saling mengenal, hanya bertemu beberapa jam lalu, tapi rasanya kami bagai keluarga, saudara, teman.

Lama kelamaan, lampion yang kupegang terasa semakin ringan, seolah mengatakan, kalau dia sebentar lagi siap untuk dilepas. Setelah Manee memeriksa terlebih dahulu apakah lampionnya benar-benar siap untuk diterbangkan, dia memberi arahan padaku dan bule lainnya untuk pelan-pelan melepas lampion. Lampion terbang ke langit. Begitu pun seterusnya yang kami lakukan. Menerbangkan satu-persatu lampion ke langit.

Untuk sesaat puluhan lampion yang terbang ke langit terlihat seperti kunang-kunang. Tidak terasa air mata menggenang di mataku. Terharu karena keindahannya yang luar biasa. Aku mengambil kamera dari dalam tas, mengabadikan momen ini. Ah, aku minta tolong Manee saja untuk mengambil fotoku sekarang. Berdiri di bawah kunang-kunang buatan.

“Manee?” aku refleks berteriak agak kencang karena Manee tidak lagi di sampingku, di belakangku, atau juga di depanku. Dia menghilang entah kemana.

Dia kemana? Apa tadi dia izin ke sebuah tempat tapi aku tidak mendengarnya? Apa dia ke toilet? Aku segera mengambil ponsel dari dalam tas. Tapi tunggu, aku tidak punya nomer ponsel Manee. Sial! Betapa bodohnya aku. Harusnya sejak awal aku meminta nomer ponsel Manee. Mentang-mentang kami satu apartemen, tidak pernah berpikir untuk meminta nomer ponselnya.

Aku mencoba berjalan menerobos keramaian. Berharap dapat menemukan sosok Manee tapi hasilnya nihil. Aku bukan takut kehilangan Manee. Aku takut sendirian di dalam kerumunan orang yang tidak kukenal sama sekali. Aku seperti kehilangan petunjuk arah dan rasa takut mulai menyelimutiku. Aku harus melakukan apa? Kepalaku tiba-tiba terasa sakit dan napasku terasa sesak. Kerumunan orang dan asap obor seolah berterbangan, masuk ke rongga hidungku perlahan. Melihat cahaya dari api obor membuat kepalaku semakin sakit. Aku berusaha tetap fokus mencari Manee, menyeimbangkan badan yang terasa menjadi lebih lemas.

Dia di mana? Aku....

Are you fine?” Seseorang memegang lenganku.

Manee? Bukan, dia bukan Manee. Dia laki-laki bertubuh ideal dengan kaos putih tanpa lengan dan celana tiga perempat. Matanya bulat, hidungnya tidak begitu mancung, dan bibirnya sedikit tebal di bagian bawah. Aku bisa melihat telingannya yang sedikit caplang.

“Aku baik,” jawabku pakai bahasa Indonesia sambil memanfaatkan peganganya untuk menstabilkan tubuh. Entah mengapa rasanya keahlianku dalam berbahasa internasional menghilang seketika. “Makasih.”

“Lo orang Indonesia?” Ah, dia bisa bahasa Indonesia? Aku mengangguk. Dari nada bicaranya, aku bisa memperkirakan kalau dia orang Indonesia yang tinggal di kota besar. Mungkin Jakarta atau Bandung. Atau kota lainnya.

“Gue juga orang Indonesia. Lo beneran nggak apa-apa? Gue lihat lo kayak lagi nyari sesuatu. Ada yang hilang?” lanjutnya.

Di saat seperti ini masih saja aku merasa takut bila ditipu oleh orang asing. Tapi aku tidak punya solusi lain. “Ah, iya aku cari teman. Dia guide-ku.”

“Memang dia kemana?”

Aku menghela napas. “Bisa kita keluar dari kerumunan ini dulu? Aku agak sesak napas.”

Kami berjalan keluar dari kerumunan orang. Menyender di dinding yang memiliki tinggi sekitar satu meter. Mataku tidak berhenti melihat ke banyak arah, mencari sosok Manee.

“Jadi dia kemana?”

Aku menggeleng, “Kalau aku tahu, aku nggak akan bingung kayak gini.”

“Udah dihubungi?”

“Nggak punya nomer HPnya.”

“Kalau gitu, lo tinggal di mana? Gue anterin lo. Sama aja kalau lo terus di sini tapi nggak punya nomer HP dia. Susah nemuinnya. Gimana?”

Gimana? Apa aku menyetujui saja? Tapi dia orang asing walau sama-sama orang Indonesia. Orang jahat selalu ada di mana pun, kan? Aku memutar otak, berusaha berpikir sejernih mungkin. Menimbang segala sebab dan akibat.

Dia malah tertawa pelan melihat aku yang kebingungan. “Tenang, gue tulus mau bantuin lo balik. Gue janji nggak akan ngapa-ngapain lo deh. Gimana? Dari pada lo luntang-lantung di sini sendirian. Guide lo juga nggak tahu kan di mana? Makin malam justru makin bahaya buat orang asing kayak lo. Perempuan lagi. Sendirian lagi.”

Apa yang dikatakan laki-laki ini benar. Ya sudah, aku hanya bisa pasrah saja. “Aku tinggal di Muse Apartement,” kataku ragu.

“Oke, kita ke sana naik taksi aja.”

“Jangan, nanti ditipu, jalannya diputerin.”

“Nggak, kita pakai GPS dan gue bisa sedikit bahasa Thailand kok. Pokonya lo tenang aja. Tapi pasti taksi penuh, mungkin agak susah nyarinya.”

Bukan hal aneh di saat hari penting seperti ini taksi penuh. Apa lagi wisatawan lagi menumpuk di mana-mana. Dia mengajakku untuk mencari taksi di jalanan yang agak sepi agar tidak berebut penumpang. Di langit, lampion yang terlihat seperti kunang-kunang masih berterbangan dan kembang api menyala menyempurnakan suasana.

Laki-laki itu mencolek lenganku. “Gue Brian. Lagi jalani gap year. Thailand jadi negara keempat. Ya, kita harus saling kenal supaya lo lebih ngerasa tenang. Lo?”

“Aku Thalia.”

Setelah aku menyebutkan namanku, satu taksi kosong berhenti di depan kami. Sepanjang perjalanan aku berdoa dalam hati. Meminta perlindungan Tuhan agar dapat sampai di apartemen dengan selamat dan Manee tidak apa-apa. Ah, Manee kamu di mana? Kamu baik-baik saja, kan? Semoga.

Keu shob Thalia = Aku suka Thalia

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status