Share

BAB 7

“The fireflies were probably already out: Maybe it wasn’t just a season or time but a whole world I’d forgotten.” – Sarah Desen

Jam berapa? Yang aku tahu, matahari baru saja terbit sekian derajat tapi sekarang ada yang sudah berhasil membangunkanku dengan deringan bel. Ada yang menekan bel sebanyak tiga kali dengan durasi panjang tidak berhenti di luar sana. Telingaku sakit mendengarnya. Aku membuka mata pelan-pelan, berusaha beradaptasi dengan cahaya, menyibak selimut, kemudian mencari sendal yang semalam kutaruh di sebelah kasur lalu memakainya. Dengan langkah setengah sadar aku membuka pintu tanpa melihat siapa yang ada di luar sana melalui kamera.

Manee dengan senyuman khasnya melambaikan tangan. “Pagi!”

Ya Tuhan, ngapain dia jam segini ke sini? Apa aku lupa kalau dia mengajakku untuk lari pagi seperti kemarin? Refleks aku menyisir rambut dengan tangan, rambut yang acak-acakan belum dikeramas.

“Hahaha, udah sana mandi.” Kedua tangan Manee membalikkan tubuhku lalu mendorongku. Dia menutup pintu. “Padahal udah aku bilang kalau hari ini hari istimewa di Thailand. Eh, kamu belum siap.”

“Tapi aku kira acaranya nggak sepagi ini,” kataku menarik tangan ke arah atas.

Manee duduk menyender pada sofa. “Acaranya malam tapi persiapannya dari pagi. Dan aku pikir kamu yang baru pertama ke sini harus lihat semuanya, Tha.”

“Dan kamu nggak bilang sama aku.”

“Perasaan udah.”

Aku berdecak merasa sebal. Merasa ini mendadak. Aku benci hal-hal yang mendadak. “Cuma perasaan... udah, sekarang aku mandi. Tunggu aku.”

Dengan cepat aku menggiring tubuh ke dalam kamar mandi sambil mengumpulkan nyawa secara penuh dan dengan sekejap memakai baju juga berdandan seadanya. Berusaha tidak membuat Manee jenuh menunggu. Aku membuka pintu kamar setelah yakin semuanya beres.

Manee menggelengkan kepalanya. “Jangan pakai baju itu.” Matanya melirik tubuhku dari atas sampai bawah.

Aku mengangkat bahu tidak paham. Hari ini aku memilih memakai dress di atas lutut berwarna putih dengan bordiran bunga di bagian ujung bawah. Menurutku ini bagus dan santai. Tanpa berkomentar lebih banyak Manee mengambil satu kantong tas kertas dari sebelah sofa yang sejak awal dia bawa. Aku pikir isinya makanan atau sesuatu yang ingin dibawa ke acara atau juga untuk memenuhi kebutuhan kami. Ternyata bukan.

“Pakai ini, supaya lebih mendalami hari ini.” Dia mengeluarkan satu stel baju tradisional dengan tambahan kalung, anting, dan gelang berwarna emas.

Cantik, aku suka tapi apa harus aku memakainya sekarang? Rasanya aneh kalau seharian memakai baju seperti itu. “Harus dipakai sekarang? Katanya puncak acaranya malam, kan masih lama.”

Dia mengangguk, kembali memasukan semuanya ke dalam tas kertas. “Ada di lemari. Dari pada nggak terpakai, mendingan kamu yang pakai. Kalau gitu pakai nanti malam. Tapi janji ya pakai ini?”

Aku meng-iya-kan tanpa mengatakan janji. Selama tidak merugikanku, aku setuju saja.

Kami mulai berjalan memutari kota Chiang Mai yang ramai. Hampir di seluruh jalan penuh dengan persiapan untuk mengadakan pertunjukan. Manee memberi tahuku kalau acara yang akan kami kunjungi bernama Loy Krathong. Tahun ini, festival yang baru kudengar tersebut diadakan bebarengan dengan festival bernama Yee Peng.

“Kita nggak bisa ikutan dua-duanya barengan,” ucap Manee di tengah jalanan yang mulai macet.

Aku membuka satu kaleng jus jeruk dingin. “Kenapa?”

“Tempatnya beda dan jalanan pasti macet banget. Ini lihat,” Manee memukul setir pelan. “Sekarang aja udah mulai macet. Hari ini kita ke Yee Peng dulu. Karena hari ini Yee Peng Festival yang gratis. Nah, besok baru ikut Loy Krathong.

“Emang apa bedanya?”

“Beda. Lihat aja nanti deh. Tapi sebenarnya di festival Loy Krathong, juga ada yang ngadain bareng Yee Peng sekaligus. Cuma ya nggak seru soalnya lampion yang diterbangin cuma dikit. Susah dijelasin, kamu harus lihat sendiri. Yang jelas sekarang kita makan dulu.”

Ya sudah, aku memang tidak tahu apa-apa. Pasrah saja. Sebelum mengikuti serangkaian acara festival Yee Peng, Manee mengajakku untuk mampir ke sebuah restoran yang menjual makanan Thailand. Selama di Thailand, aku memilih makan masakan Jepang dan Turki, yang rasanya sudah bisa kutebak. Membeli nasi kepal Onigiri, roti-rotian yang dibungkus, juga membeli nasi kari, dan kebab di restoran dekat apartemen.

Restoran yang kami kunjungi tidak begitu besar. Aku memilih makanan bernama Pad Thai, makanan yang beberapa hari lalu aku makan bersama mama, sedangkan Manee memilih satu mangkuk salad dan Gang Keow Wan, nasi dengan siraman kari berwarna hijau yang dicampur dengan potongan sayuran. Berbeda dengan sebelumnya, hari ini Manee sibuk dengan ponselnya. Mungkin dia sedang banyak kerjaan. Mungkin deadline menulisnya hanya tinggal hitungan hari. Atau mungkin ada urusan dengan kekasihnya? Aku tahu itu privasi namun membuatku penasaran setengah hidup.

Aku takut menyakiti hati orang lain. Karena aku tahu bagaimana sakitnya dikhianati. Kalau ternyata Manee memiliki pacar dan menganggap keberadaanku sebagai perusak, aku harus melakukan apa? Aku tidak mau seperti itu. Aku kenapa, sih?

“Seberapa penting festival nanti, Manee? Aku penasaran. Pasti banyak banget ya yang datang?”

Manee tersenyum. Senyum itu. “Ramai banget, jangan jauh-jauh ya nanti, takut hilang.”

Setelah selesai makan, kami kembali melanjutkan perjalanan, kembali masuk ke mobil, kemudian Manee menyalakan mesin tanpa menjalankan setir. Hening sejenak.

Dia membenarkan posisinya menjadi lebih santai tapi aku bisa melihat ekspresi aneh muncul di wajahnya.

“Kenapa?” tanyaku merasa ada yang mengganjal.

Manee menggeleng. “Kayaknya kita terlalu kepagian. Gimana kalau kita mampir dulu ke tempat lain. Aku punya satu tempat menarik yang pengin aku tunjukin ke kamu.”

“Tempat? Asal bukan tempat yang aneh-aneh, aku sih mau aja kalau ke sana.”

Manee menarik rem tangan. “Oke, kita ke sana sekarang.”

Aku tidak tahu Manee membawaku ke mana, hanya saja aku bisa melihat Chiang Mai University yang sempat kami lewati. Mobil kami berhenti tepat di depan satu gedung yang bertuliskan ‘Catmosphere’. Cat? Kucing?

“Ini dia,” Manee membuka pintu mobil. “Suka kucing nggak?”

“Suka banget sih, nggak. Biasa aja.” Aku ikut turun dengan tanpa sekali pun memalingkan pandangan dari pintu tempat itu.

“Ini tempat makan? Atau?” Melangkah lebih dekat aku bisa melihat ada deretan meja dan kursi seperti cafe pada umumnya. Tapi yang menarik adalah kehadiran kucing yang jumlahnya tidak hanya satu atau pun dua ekor.

Manee menarik lenganku, mengajakku masuk. “Ini cat cafe. Kalau di Jepang udah tersebar di mana-mana. Di sini lagi musim juga. Di Indonesia ada juga?”

“Setahuku ada, tapi aku belum pernah ke sana.”

Catmosphere tidak memiliki ruangan yang begitu luas namun dari mulai cat dinding hingga sarung bantal berwarna-warni. Memberi kesan ceria. Di salah satu dinding bahkan dicat dengan warna ungu dengan gambar kucing di tengahnya. Begitu masuk, kucing-kucing yang memiliki bulu tebal terlihat jinak asyik bermain dengan para pelanggan. Ada yang berlari-lari, ada yang duduk manis di kursi-kursi kecil, ada yang sibuk mencari perhatian pelanggan.

“Duduk, Tha.” Manee menarik kursi, mempersilakanku untuk duduk kemudian dia duduk di hadapanku. “Lucu ya? Aku udah beberapa kali ke sini. Khususnya kalau lagi bosan atau mood lagi berantakan. Minum minuman segar sambil main sama kucing, semuanya langsung membaik.”

Ada seekor kucing berbulu oranye menghampiri kami. Aku mengelus-ngelus leher kucing itu. Benar, bermain dengan binatang yang jinak selalu bisa membuat relaks.

“Kucingnya lucu-lucu banget.” Aku mengambil beberapa gambar. Mungkin nanti saat aku kembali ke Indonesia, aku akan mengunjungi cat cafe yang ada di sana.

“Yang oranye ini namanya Jackson.”

“Emang dia jantan?”

“Nggak tau deh. Itu sih nama buatanku sendiri. Habis dia sombong banget kalau sama aku. Jutek, nggak mau dekat-dekat. Jadi aku kasih sebutan ‘Jackson’. Kucing gaya selebriti. Hahaha.” Manee menyilangkan tangannya depan dada.

Aku tertawa mendengar alasannya. Bagaimana bisa dia menamankan kucing dengan alasan seperti itu? Kucing ini pasti punya nama lain. “Mungkin dia tahu kamu itu nyebelin.”

“Nyebelin? Emangnya aku nyebelin?” Telunjuk Manee menunjuk wajahnya sendiri. “Jadi aku itu nyebelin?”

Aku memutar otak. “Aku nggak ngomong kamu nyebelin, kan?”

“Barusan ngomong...”

“Ih, tadi itu cuma dugaan doang.”

Manee berdecak. Menyuruput green tea latte kencang-kencang. “Emang aku nyebelin beneran?”

Ya, ampun, betapa sensitifnya laki-laki ini. Baru kali ini aku bertemu laki-laki yang sensitif. “Aku nggak ngomong gitu. Tapi kalau kamu ngerasa, ya urusan kamu.”

Selama hampir satu jam, tidak ada pembicaraan di antara kami. Apakah Manee marah? Laki-laki aneh! Dia puraa-pura sibuk dengan ponselnya dan aku ikut pura-pura sibuk bermain dengan kucing.

Manee mengkerutkan keningnya. “Udah, ah. Ayo kita lanjut ke acara pokok kita.”

Kami beranjak dan kembali ke dalam mobil untuk melanjutkan perjalanan. Tidak tahu mengapa, walau aku baru saja kenal dengannya, Manee terasa tidak asing bagiku. Seperti bertemu teman lama yang sudah tahu satu sama lain.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status