Home / Rumah Tangga / BEDA ISTRI BEDA REZEKI / 1. Kesulitan Ekonomi

Share

BEDA ISTRI BEDA REZEKI
BEDA ISTRI BEDA REZEKI
Author: Yenika Koesrini

1. Kesulitan Ekonomi

last update Last Updated: 2022-01-11 12:49:20

BEDA ISTRI BEDA REZEKI

 

"Yah, sepatu futsal aku udah butut nih. Gak enak banget dipakainya." Anak laki-laki berumur lima belas tahun itu mendekati ayahnya di meja makan.

 

"Uangnya lagi dipake buat kepentingan lain dulu, Zi," sahut Panji pada anak kandungnya. Pria itu tengah menyiduk nasi dari wadah.

 

Kenzi berdecak kesal. Anak itu duduk di samping Ziel adik kandungnya. Saat perceraian enam tahun lalu, Panji memang membawa kedua anaknya untuk tinggal bersama.

 

"Kemarin janji awal bulan ini, tapi sampai tanggal tua begini aku belum dibeliin juga," protes Kenzi sambil membuang muka.

 

"Nanti kalo ada duitnya juga dibeliin kok, Zi." Ibu tiri Kenzi ikut berujar.

 

"Iya, duit ayahku habis dipake Tante buat belanja ini itu sama biayain dia," tukas Kenzi sambil melirik sengit ke arah adik tirinya yang berkebutuhan khusus.

 

"Zi, sudah dong! Pagi-pagi sudah mau buat ribut!" tegur Panji menaikan suara.

 

"Iya, suka banget menghina Zea." Istri Panji menimpali, "gini-gini dia itu adik kamu," imbuhnya sambil mengelap bibir putrinya yang belepotan nasi.

 

"Memang kenyataannya begitu kok, Yah," balas Azriel kian berani. "Tante Hani ngrengek kukunya lecet langsung dikasih duit buat pergi ke salon."

 

"Kamu kalo masih banyak ngomong, ayah gak akan ragu lagi buat bungkam mulut kamu." Akhirnya Panji mengancam dengan serius.

 

Kenzi langsung berdiri. Dia mengurungkan niat untuk sarapan bersama. "Kalo begini mending aku pulang saja ke rumah Bunda," ancamnya sambil berlalu.

 

"Zi, kamu mau kemana!" Panji berseru melihat kepergian anaknya, "sarapan dulu!"

 

Namun, remaja kelas sepuluh SMA itu tidak menggubris seruan ayah kandungnya. Anak itu terus mengayun pergi. Hingga bertabrakan dengan saudara tirinya, Kenzi hanya menyeringai sinis.

 

"Kenapa Kenzi, Mah?" tanya anak sambung Panji sambil menarik kursi meja makan. 

 

"Biasalah minta duit," sahut istri Panji enteng. Wanita itu menyuapi anak perempuannya yang baru berusia lima tahun.

 

"Eum ... Om, aku juga mau minta uang jajan dong," tutur anak Hani sedikit meringis.

 

"Ini baru tanggal sebelas lho, Ta, masa sudah minta uang saku lagi," sahut Panji datar. Dia mengunyah sarapannya dengan malas.

 

"Kan kebutuhan Atha terus bertambah, Mas." Hani segera membela anak kandungnya, "kamu ngasih duit jajan segitu-gitu saja."

 

"Uang jajan Atha dan Kenzi sama lho." Mata Panji menatap istrinya dengan tajam.

 

"Ya, sama tapi kebetulan mereka berbeda."

 

"Berbeda gimana? Mereka sama-sama kelas sepuluh kok," sanggah Panji tidak mau kalah. Sekarang pria empat puluh tahun itu beralih menghadap putra sambungnya. "Makanya kalo belum bisa cari duit sendiri, jangan pacaran dulu. Sok-sokan suka traktir cewek segala."

 

"Mas Panji kalo gak mau kasih Atha duit gak usah ngomong nylekit gitu dong!" sergah Hani tidak terima. 

 

Wanita itu berlalu menuju kamar. Dia membuka tasnya. Sebuah dompet dengan brand ternama Hani keluarkan. Dirinya mengambil dua lembar uang kertas pecahan seratus ribuan. Hani pun kembali menemui anak dan suaminya.

 

"Nih buat jajan kamu." Hani menyerahkan uang tersebut pada Atha.

 

"Wahhh ... makasih banyak, Ma," ucap Atha girang. Remaja berwajah bersih itu langsung memeluk ibunya.

 

"Sudah sekarang kamu sarapan!" suruh Hani usai mengurai pelukan.

 

"Iya." Atha mengangguk antusias. Anak itu gegas menyuap nasi goreng ke mulutnya dengan cepat. Setelah tinggal separuh, bocah itu melirik arloji pada pergelangan tangannya. "Ma, Om, aku pergi berangkat, ya," pamitnya sopan.

 

"Hati-hati di jalan, ya." Hani mengusap pucuk rambut Atha ketika sang putra mencium punggung tangannya.

 

Sementara Panji hanya terdiam ketika anak sambungnya salim padanya. Atha berlalu tanpa memedulikan Ziel adiknya Kenzi.

 

"Mas, besok jadwalnya Zea terapi lho." Hani mengingatkan sembari meyuapi putri bungsunya.

 

"Tinggal berangkat sendiri, biasanya juga gitu kan?" sahut Panji acuh.

 

"Iya, tapi bagi duit dulu."

 

"Lha tadi bisa ngasih duit sama Atha, berarti masih punya duit kan?"

 

"Ada duit, tapi buat bayar arisan dua hari lagi, Mas."

 

"Kalo gitu tunda bayar arisannya!" Panji masih mencoba menghabiskan sarapannya.

 

"Kok ditunda?" Mata Hani langsung membulat, "ingat kita baru saja dapat undiannya dua bulan lalu kok."

 

"Kamu kan yang dapat? Ya sudah kamu yang bayar!"

 

"Enak saja uang itu juga dipake separuhnya buat bayar pegawai kamu kok."

 

"Han, aku itu lagi gak pegang duit," sambar Panji geregetan, "tahu sendiri kan bengkel sama toko kita lagi sepi."

 

"Ya, tapi kita harus bayar--"

 

"Ayaaah!" Ziel yang sedari tadi diam memukul piring dengan sendok. Sontak Panji dan Hani menatap bocah berumur sepuluh tahun itu. "Aku sudah makannya."

 

Azriel bangkit. Seperti Kenzi kakak kandungnya, anak itu berlalu meninggalkan meja makan.

 

"Kalo begitu terapinya yang ditunda saja." Panji memberikan usul. Dan langsung dibalas sungutan oleh sang istri.

 

Panji tidak menggubris. Dia lekas bangkit, lalu menyusul putra keduanya. Ternyata Azriel sudah menunggu di depan pintu mobil. Anak itu diam saja saat ayahnya mendekat.

 

Begitu Panji membuka pintu mobil, dia dan anaknya gegas masuk. Sepanjang perjalanan, ayah dan anak itu tidak saling bicara. Panji yang sibuk memikirkan kebutuhan sehari-hari. Sedangkan Azriel yang memang enggan mengobrol dengan ayahnya.

 

Sampai di depan pintu gerbang sekolah anaknya, Panji menurunkan Azriel. Tidak ada basa-basi bocah itu langsung berlari pergi. 

 

Panji sendiri langsung tancap gas. Dia melajukan mobilnya ke bengkel. Usaha yang sudah dirintisnya sejak enam belas tahun lalu. Saat ia masih beristrikan ibunya Kenzi dan Azriel.

 

Berkat keuletan serta doa sang istri, bengkel Panji mengalami kemajuan. Dia juga bisa membuka toko yang menjual onderdil motor. Di samping itu istri pertamanya dulu juga punya usahanya sendiri.

 

Ibunya Kenzi sangat pandai membuat aneka roti, kue kering dan basah. Awalnya cuma teman-temannya yang pesan. Lama-lama istrinya pun mampu membuka toko roti sendiri. Taraf hidup mereka kian meningkat.

 

Ujian melanda rumah tangga mereka. Panji bertemu dengan Hani mantan gebetannya waktu zaman sekolah. Saat itu Hani sudah menjadi janda dengan satu anak. 

 

Panji yang merasa ekonominya melimpah bertekad menikahi Hani.

Namun, istrinya tidak mengizinkan. Keduanya sering bertengkar. Hingga akhirnya sang istri memilih mundur dari kehidupan Panji.

 

Jika mengingat hal itu Panji sering dihinggapi rasa menyesal. Karena ternyata sikap Hani tidaklah sebaik istri pertamanya yang bernama Nur Layla. Selain pandai memasak, Layla juga tipe istri rumahan.Beda dengan Hani yang suka keramaian. 

 

Toko roti Layla yang memang bersertifikat atas nama Panji berhasil dikuasai sang suami. Sayangnya Hani tidak becus mengurus toko tersebut.

Lima tahun dipegang Hani, toko tersebut mengalami kerugian. 

 

Selain memang para customer kecewa karena rasa rotinya sudah beda, Hani juga bukan tipe orang ramah. Sehingga sudah dua tahun toko tersebut tutup.

 

Panji berencana menjual bangunan tersebut. Hari ini dia akan bertemu dengan orang yang akan membeli tokonya. Panji terpaksa menjual toko tersebut karena bengkel dan tokonya pun mengalami kemunduran.

 

Pukul sembilan pagi orang yang akan membeli toko rotinya datang. Dilihat dari penampilannya, Panji menilai jika pembelinya adalah seorang pria yang cukup santun dan berada.

 

Panji membawa calon customernya untuk melihat-lihat rukonya. Dia menjelaskan semuanya. Hingga suatu ketika dia dibuat terpana mendengar penuturan calon pembelinya itu.

 

"Toko roti ini akan saya hadiahkan untuk seseorang yang sangat berarti untuk hidup saya. Namanya Layla. Persis seperti nama toko ini."

 

Panji termangu. Hani sempat menyuruh untuk mengganti nama Layla Bakery's dengan namanya. Namun, Panji dengan tegas menolak. Dia beralasan jika nama tersebut sudah banyak dikenal khalayak. Tetap saja toko tersebut bangkrut dipegang oleh Hani.

 

"Nama Layla ada ribuan di kota ini," batin Panji mengingatkan diri.

 

"Layla sangat pintar membuat kue dan roti. Red Velvet buatannya sangat enak," puji lelaki yang mengenalkan diri dengan sebutan Banyu.

 

Panji kembali termenung. Layla sang mantan istri paling pintar membuat Red Velvet. Kue kesukaannya. Dulu setiap hari dia selalu menikmati penganan warna merah tersebut.

 

"Hanya kebetulan." Lagi-lagi Panji membatin.

 

"Beberapa tahun lalu dia pernah punya toko roti juga." Pria yang tidak begitu jauh umurnya dari Panji itu terus bercerita. "Jadi saya berharap Layla akan terkesan saat melihat toko yang kebetulan namanya sama."

 

Panji tersenyum tipis. "Pastinya calon Anda akan terkesan dengan toko ini."

 

"Semoga saja." Calon pembeli itu kian tersenyum lebar, "sayang dia tipe wanita yang tertutup padahal sudah lama menjanda, sekitar enam tahunan."

 

Panji tercekat. Enam tahun sudah dia bercerai dengan Layla. "Boleh tahu siapa nama lengkap calon Anda?" tanya dia penasaran, tapi tetap bersikap tenang.

 

"Namanya Nur Layla."

 

Panji menelan ludahnya dengan susah.

 

Next

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Yuli Defika
Mantan istrinya bertemu dgn orang baik
goodnovel comment avatar
Sri Wahyuni
Makan dan nikmati tu karma yg harus kau telan, baru mulai baca udah grmes aku
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • BEDA ISTRI BEDA REZEKI   82. Detik-detik Melahirkan

    Besok pagi adalah pesta ulang tahun Azriel yang kesebelas. Tumben-tumbennya bocah yang sudah mulai beranjak gede itu minta pada ayahnya untuk diadakan pesta. Padahal selama ini Azriel tidak pernah mau jika hari lahirnya dirayakan. Walaupun berkali-kali dulu sudah dibujuk oleh Layla, Panji ataupun Banyu.Bukannya Layla tidak mau menuruti keinginan Azriel. Namun, kondisi tubuh wanita itu sudah tidak memungkinkan lagi untuk mengurus persiapan pesta. Hari perkiraan lahir tinggal seminggu lagi. Badannya juga terasa amat berat. Malah sedari pagi sebenarnya dia sudah merasakan mulas-mulas ringan.Kehamilan kali ini membuat berat badan Layla naik lumayan drastis. Jika sebelum hamil bobot tubuhnya paling berat hanya lima puluh kilogram. Sekarang sudah mencapai enam puluh delapan. Hampir dua puluh kilogram penambahannya.Anehnya banyak yang bilang jika hanya bagian perut dan pipi saja yang mengalami peningkatan. Lainnya tetap terlihat normal. Dan yang membuat

  • BEDA ISTRI BEDA REZEKI   81. Nama Mantan

    Tiga hari kemudianLayla tengah mematutkan diri di cermin. Siang itu dia akan pergi periksa kandungan. Usia kandunganku sudah memasuki minggu ketiga puluh lima.Detik-detik menanti kelahiran. Layla sudah harus cek kandungan seminggu sekali. Beruntung Banyu selalu bersedia menemaninya untuk check up. Sesibuk apapun dirinya tidak pernah absen.Ketika Layla baru saja memoles bibirnya dengan lipstik terdengar derit pintu kamar. Perempuan itu menoleh. Seraut wajah kusut datang. Banyu suami tercinta melangkah masuk dengan gontai.Pria itu melempar begitu saja tubuhnya ke ranjang dengan tengkurap. Wajah Banyu terbenam pada bantal bersarung warna putih tersebut. Mau tak mau aku harus menghampiri sang suami."Ayang Mbep, ada apa ini?" tanya Layla lembut. Perlahan dia memegang pundak suami tercinta. "Dateng-dateng kok mukanya ditekuk gitu?" tegurnya perhatian.Banyu membalikkan badan. Wajah pria yang sehari-hari tampak tenang kini terlihat keruh. "Bu

  • BEDA ISTRI BEDA REZEKI   80. Ayang Mbep

    Layla dan Banyu tengah jalan pagi mengitari komplek. Aktivitas menyehatkan itu sudah Layla jalani dari awal hamil. Syukurnya Banyu selalu setia menemani.Padahal Layla tidak pernah mengajak sang suami. Namun, Banyu punya kesadaran untuk melakukan olahraga tersebut. Karena kata Banyu, jalan pagi itu selain mudah, murah, juga kaya manfaat yang baik untuk kesehatan tubuh.Banyu sendiri berusaha menjadi suami yang siaga. Jadi setiap pagi sebelum berangkat kerja, dia menyempatkan diri untuk menemani sang istri jalan pagi. Selain itu dirinya juga sekalian berolahraga untuk kebugaran tubuh.Jalan kaki dipilih karena dapat menjaga berat badan, menurunkan kadar kolesterol, serta menyeimbangkan tingkat tekanan darah. Sehingga mengurangi resiko kelahiran prematur.Satu jam berlalu. Layla merasa cukup berolahraga. Peluh sudah mulai membanjiri badan. Belum lagi cacing di dalam perut sana meminta jatah makan pagi. Akhirnya wanita itu pun mengajak sang suami untuk

  • BEDA ISTRI BEDA REZEKI   79. Buah Kesabaran

    "Hani hamil anakku?” gumam Panji tidak percaya. Pria itu tertawa sumbang, “kami bahkan sudah berpisah hampir dua bulan, Pak. Dan sebelum itu, aku dan Hani juga sudah pisah ranjang,” papar Panji menerangkan keraguan hatinya. “Terus kalo bukan anak kamu, itu anaknya sapa?” sergah Bapaknya Hani mulai meradang, “Hani memang bukan wanita yang alim, tapi saya bisa menjamin kalo dia gak akan mungkin murahan menjajakan diri,” semburnya cukup lantang. “Ayah!” Dari dalam menghambur Zea yang diikuti oleh Bik Ijah dan Tantri. Kakak Panji itu sengaja mampir begitu pulang dari kantor. Perempuan itu ingin mendengar jalannya sidang perdana perceraian sang adik. “Pak Hadi?” sapa Tantri begitu sadar akan kehadiran mertua adiknya, “dari Bogor langsung ke sini kah?” “Gak,” sahut

  • BEDA ISTRI BEDA REZEKI   78. Kehamilan Hani

    “Dia bukan istri saya,” tampik Bapak Beni begitu dokter menyangka Hani adalah istrinya.“Oh bukan? Lantas adiknya?” Dokter bertanya seraya membetulkan letak kaca matanya.“Bukan adik saya juga.” Pak Beni kembali menggeleng.Dokter seumuran Pak Beni itu tersenyum. “Oke ... entah itu teman, saudara atau pun tetangga, saya cuma mau menjelaskan kalo ibu ini lagi hamil. Dan sekarang sudah menginjak minggu ke delapan.”Bapak Beni hanya mengangguk.

  • BEDA ISTRI BEDA REZEKI   77. Ibu Lia Kena Batu

    Ibu Lia menyeringai puas. Hatinya cukup merasa bahagia melihat Hani beranjak pergi dengan menarik dua kopernya. Wanita itu lantas memotret Hani dari belakang.Walau pun tidak terlihat jelas wajah Hani, tetapi Ibu Hani tetap akan menyebarkan foto Hani yang mengenaskan tersebut. Jika dituruti hawa nafsunya, wanita itu ingin sekali melihat Hani menangis berdarah-darah di hadapannya.Perempuan itu lantas mengeluarkan satu gepok uang pada amplop cokelat. Ibu Lia mengangsurkan amplop tersebut pada seorang kepala preman. Dia sengaja menyewa preman guna mengusir Hani.Ibu Lia pikir Hani masih sama seperti yang dulu. Pintar beradu mulut dan keras kepala. Makanya dirinya mengantisipasi dengan membawa preman.

  • BEDA ISTRI BEDA REZEKI   76. Diusir Lagi

    "Diperintahkan?” Dahi Hani berkerut indah.“Apakah Mas Panji yang menyuruh?”otak Haniberpikir gusar, “tidak mungkin!”Hani menggeleng keras sendiri, “jika dia mau menggunakan ruko ini untukmembuka usaha, harusnya dari kemarin-kemarin cek keadaan ruko ini.”Hani lantas menatap para preman bertubuh besar dihadapannya. “Memangnya siapa yang memerintahkan kalian untuk mengosongkan rukoini?” tanya dia cukup penasaran.“Aku yang menyuruh mereka, Hani.”Hani menoleh. Saking kagetnya melihat kedua kopernyadikeluarkan oleh orang yang tidak dikenal, dia sampai tidakngehjikaada mobil yang berhenti tidak jauh dari pelataran ruko itu.Hani mengenal mobil me

  • BEDA ISTRI BEDA REZEKI   75. Sidang Perdana

    Hani baru saja keluar dari kamar mandi. Hari ini adalah jadwal sidang perceraiannya. Dia akan datang untuk mempertahankan rumah tangganya.Sebenarnya Hani enggan keluar dari kediamannya. Karena sejak tadi pagi dia mual-mual. Padahal dirinya sudah meminum obat masuk angin dan juga asam lambung. Tetap saja perempuan itu diserang enek.Hani membuka koper. Dia mengambil kotak make up yang kini tinggal bedak dan lipstik. Bagaimana pun juga wanita itu ingin tetap terlihat menarik di hadapan Panji.Usai memoles wajah, Hani meraih salah satu koleksi busana terbaik yang dipunyai. Sebuah dress lengan panjang Korea. Koleksi baju panjang perempuan itu tidaklah banyak. Dulu dia begitu menyukai baju-baju mini dan sed

  • BEDA ISTRI BEDA REZEKI   75. Ibu Lia Menemui Panji

    Sopir Ibu Lia mengangguk patuh. Pria paruh baya itu mulai melajukan mobilnya.“Pelan-pelan saja, Pak! Jangan sampai wanita itu tahu kalo kita lagi ngikutin,” suruh Ibu Lia dengan fokus tetap tertuju pada Hani.“Baik.” Pak sopir kembali mengiyakan.Sementara di luar sana, Hani terus melangkah. Pikirannya kosong. Sungguh pemutusan hubungan kerja ini membuatnya bingung.Hani bukanfreshgraduateyang gampang mencari pekerjaan. Dia hanya seorang ibu-ibu yang tidak punya keterampilan khusus. Apalagi berkas-berkas ijazah tertinggal di rumah ibunya.

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status