Layla membuka mata. Dia menoleh ke samping. Bantal kepunyaan Banyu kosong.
Wanita itu mengedarkan pandangan. Kamarnya lengang tidak tampak sosok sang suami. Layla bangun dari rebahannya.
Hawa dingin dari pendingin ruangan langsung menerpa kulit. Layla kaget mendapati dirinya masih dalam keadaan polos. Seketika bibirnya menyunggingkan senyum mengingat aktivitasnya bersama sang suami satu jam yang lalu. Lelah membuatnya ketiduran.
Layla bahagia. Penantian enam tahun dirinya menemui ujung. Wanita itu merasa benar-benar bersyukur dapat memiliki seorang imam sebaik Banyu.
Sayup-sayup Layla mendengar suara gemericik air. Dia menduga jika suaminya tengah membersihkan badan. Perlahan wanita itu beringsut turun dari ranjang.
Layla memunguti pakaiannya yang tercecer
Panji merasa ada seseorang yang menarik-narik lengannya. Pria itu membuka mata. Ternyata si mungil Zea yang membangunkan.Tangan bocah berambut panjang itu menunjuk pintu. Sepertinya dia ingin keluar. Sekali sentak, Panji sudah terbangun duduk.Di sebelahnya, Hani masih melongo dengan posisi terlentang. Air liur membasahi pipi wanita itu. Panji mendesah. Sudah biasa dirinya terbangun lebih dulu dari Hani.Berbeda sekali saat masih beristrikan Layla. Dulu setiap Subuh wanita lembut itu akan membangunkannya. Mengajak Panji beribadah dan secangkir kopi pun telah tersedia.Sayang ... semenjak usahanya mengalami peningkatan, Panji menjadi malas beribadah. Lelah dan tidak ada waktu adalah alasannya. Apalagi sejak bertemu Hani. Pria itu benar-benar meninggalkan sholat.
"Stop! Stop ... hentikan!” teriak Atha tidak tega melihat gadisnya meraung kesakitan.“Ini maksudnya kumaha atuh?” Si nenek bertanya dengan bingung.“Hentikan urutnya! Aku nggak mau Bela mati,” perintah Atha tegas.Si nenek menatap Atha dengan tajam. Bela sendiri langsung bangkit. Dia menyambar tas selempang yang terletak di sebelah tempat ia berbaring. Gadis itu langsung berdiri di samping Atha.Wajah Bela masih terlihat pucat. Sementara bibirnya juga meringis menahan nyeri. Tangan gadis itu terus mengusap-usap perutnya yang tadi sempat diurut oleh si nenek.“Kita pergi,” putus Atha yakin.Air mata Bela menitik. Gadis itu mengangguk bahagia. Tanpa ragu-ragu dia memeluk belahan jiwanya.
"Ayo, Pak, kita periksa rumah Ibu Hani! Saya yakin pasti anak saya bersembunyi di rumah ini,” tutur Bapaknya Bela tanpa ragu.“Tunggu-tunggu!” Hani menginterupsi, “atas dasar apa Bapak nuduh kami yang menyembunyikan putri Bapak? Bapak punya bukti? Tunjukan!” tantangnya berani walau pun masih dalam gendongannya Panji.“Saya sudah mencari Bela di rumah teman-temannya dan keluarga kami. Tapi gak ada kami temukan,” balas Papa Bela lantang.“Hanya karena itu Bapak menuduh kami menyembunyikan Bela? Hah ... picik sekali,” ejek Hani dengan senyum merendahkan.“Ibu Hani, Bapak Beni melaporkan putra Ibu yang telah membawa kabur putri beliau. Untuk kepentingan penyidikan, kami minta tolong kerja samanya,” pinta seorang petugas dengan sopa
Atha dan Bela tengah menyaksikan siaran televisi. Keduanya baru saja menyantap pop mie. Mereka sedang asyik menikmati camilan yang dibeli di Indoapril.Keduanya duduk berdempetan. Tawa canda mewarnai kebersamaan mereka. Rasa kalut dan bingung beberapa waktu lalu telah sirna. Kini Atha dan Bela merasa dunia hanya milik berdua.“Tha, emang mulai kapan kamu nyari kontrakan?” tanya Bela dengan bibir mengunyah jajanan.“Tar lah kapan-kapan,” sahut Atha enteng. Tangannya mencomot jajanan ringan yang tengah dipegang Bela. “Nunggu diusir dulu. Tapi aku yakin sih, Kenzi gak bakalan ngusir asal kita pandai ambil hatinya. Apalagi anak itu gak tegaan.” Cengiran mewarnai bibir Atha.“Terus ... kapan kamu nyari kerjanya?”“Ahhh ... i
Banyu terus melangkah. Dia menapaki tangga besi itu tahap demi tahap. Tiba di atas dirinya tidak menemukan apa pun.Banyu membutuhkan penerangan untuk memperjelas penglihatan. Dia merogoh kantong celananya untuk mengambil ponsel. Pria itu mulai menyalakan senter pada benda pipih tersebut. Tangannya mengarahkan ponsel tersebut ke segala penjuru.Banyu terus melangkah. Benar-benar tidak ada orang. Lelaki itu kembali memeriksa sekeliling.Sementara di dalam penampungan, Bela dan Atha sudah mulai merasa kekurangan udara. Apalagi airnya cukup dingin. Seperti air dari dalam lemari pendingin. Bela sampai menggigil karenanya.“Aku gak kuat, Tha,” rengek Bela merasa ketakutan.“Ssst!” Atha langsung membungkam mulut Bela dengan tangannya. “Jangan sampai
"Mamaaa!" Atha terus memanggil ibunya. Dia menepis pegangan tangan polisi. “Biarkan saya ngomong sama Mama, Pak. Sebentar saja. Saya mohon,” izinnya dengan menangkupkan kedua tangan.“Ya sudah sana jangan lama-lama!” Polisi berbadan tinggi itu mengizinkan.Atha mengangguk senang. Anak itu berlari dan langsung menghambur mendekap Hani.Hani yang tidak siap ditubruk sedikit oleng karenanya. Beruntung Panji menahan. Sehingga wanita itu tidak terjatuh.Untuk mengambil hati Hani, Atha bersujud dan mencium kaki wanita itu.“Tolong maafkan aku, Ma,” ucap Atha dengan air mata buaya. Persis Hani jika sedang bersandiwara. Anak itu berdiri. Dia mengambil dompetnya. Anak itu menggenggamkannya pada Hani. “Ini uang sama ATM Mama aku balikin.&rdq
SepanjangperjalananPanji hanya membisu. Dia tidak menghiraukan semua perkataan yang Hani lontarkan. Hati kecilnya terus berteriak kalau dia tidak setuju jika harus menjual mobil Avanza-nya. Apalagi Pajero dalam status gadai.Pria itu memilih diam. Karena apa pun alasannya dirinya selalu kalah jika berdebat dengan Hani. Hingga akhirnya mereka sudah sampai di rumah.Saat membuka pagar gerbang, Panji melihat ada mobil Tantri di halaman rumahnya. Hatinya merasa bungah. Karena ada yang akan membelanya. Panji juga tahu Tantri sering menang jika berdebat dengan Hani.Dengan setia dia membimbing Hani turun. Langkah Hani memang sudah membaik. Namun, wanita itu masih terlampau manja untuk berjalan sendiri.“Mbak.” Panji menyapa kakaknya yang sedang duduk.
"Sekarang Pak Panji tiduran dulu,” suruh Pak Ustad sembari mempersilakan, “dan mohon cincin kawin Pak Panji dilepas juga," imbuhnya saat Panji hendak merebahkan tubuh.Panji menurut. Lelaki itu mencopot cincin kawinnya. Dia memberikan benda tersebut pada sang kakak besertaponselnya.Tantri menerima benda berbahan emas putih serta layar tipis tersebut. Perempuan itu menyimpannya pada tas yang ia bawa. Selanjutnya ia menyaksikan apa yang akan dilakukan Pak Ustad pada adiknya.Panji sendiri mulai merebahkan tubuhnya pada karpet berwarna merah tersebut. Dia perlahan menutup mata. Jujur dirinya merasa cukup tegang.Pak Ustad beringsut. Dia duduk di depan kepala Panji. Dirinya tersenyum melihat kegugupan pada tampang pasiennya.“Pak Panji rileks saj