Benalu part 15
POV Angga
“Mas Angga, sudah ada duit belum?”
“Saya harap secepatnya di bayar hutang ibumu!”
“Kalau nggak bisa bayar jangan ngutang dong!”
“Baru saja pisah sama Dewi, sudah kere aja, Ga? Berarti kamu memang pengangguran dong?”
“Padahal hidupmu waktu masih sama Dewi, mewah loo, beli ini itu nggak pernah mikir harganya, sekarang? Miris amat hidup loo, Ga?”
Banyak sekali umpatan yang aku terima semenjak pisah dari Dewi. Belum lagi hutang ibu yang semakin hari semakin menumpuk. Orang-orang yang dulu dekat denganku, sekarang menjauh satu persatu. Aku baru menyadari betapa nol nya aku tanpa Dewi. Tanpa Dewi aku tak bisa apa-apa. Tanpa Dewi juga, aku sudah tak di hargai orang lagi.
Orang-orang yang dulu sering datang untuk minjam uang atau sekedar minta
POV AnggaAku merasa sangat merasa bersalah dengan Dewi. Memaksanya pulang dengan pemberitaan yang tak wajar. Membuat dia pingsan cukup lama. Aku sangat cemas. Saat dia tersadar, sorot matanya memancarkan kebencian. Semakin menambah rasa bersalahku. Untuk membayar hutang ibu ke Kosim, akhirnya di pinjami uang Om Heru. Rasa malu yang luar biasa menjalar di suluruh tubuh.Belum lagi tingkah dan ucapan Ibu, semakin membuatku malu. Selalu membahas pembagian harta. Aku tahu dan faham, aku tak ada hak atas harta Dewi. Terlebih saat Tante Tika berdebat dengan Ibu. Ingin membentak Ibu, tapi aku tak kuasa. Entahlah. Bingung.“Ibu nggak mau tahu, Ga. Pokoknya kamu harus minta bagian dari harta Dewi!” cerocos Ibu sampai rumah. Membuatku engap.“Bu! Sadar! Angga ini nikah sama Dewi nggak bawa apa-apa,” kesalku.“Yang namanya udah nikah itu, ya, harta bersama!&rd
POV Ibu“Mak Angga, kapan mau di bayar hutangnya? Janji mulu?” sungut Mak Wesi. Membuatku geram. Datang kekontrakan bukannya masuk salam, malah teriak-teriak di depan pintu. Bener-bener nggak punya etika.“Sabar dong, Mak Wesi. Cuma hutang segitu aja, kok.” Aku tak kalah menyungut.“Cuma? Kalau memang cuma, ya di bayar, dong!” bentaknya mengacak pinggang. Berani sekali dia membentakku.“Nggak usah teriak-teriak! Telingaku masih belum budeg,” ucapku melotot. tetangga pada berdatangan. Berkerumun saling tanya dan saling senggol. Mungkin suara kami nyaringnya, mengalahkan speaker masjid.“Lu, kalau di pelanin nglunjak! Anaknya pengangguran aja, malah fitnah Dewi.” Sahutnya malah nyangkut-nyangkut ke Dewi.“Udah bener, tu, Dewi gugat Angga. Biar kere jadi glandangan nggak bisa bayar kontrakan
Benalu part 18Rasanya aku sudah tak mengenal Mas Angga lagi. Semakin kesini, tingkah dia semakin di luar batas kewajaran. Mas Angga yang aku kenal dulu, berbeda jauh dengan sekarang. Apa karena memang itu sifat aslinya?“Keputusanmu itu sudah tepat, Wi. Cerai saja! Udah pengangguran, ibunya kayak gitu? Tante bener-bener nggak nyangka Angga seperti itu?” cerocos Tante Tika membuyarkan lamunanku, sambil bantu Bi Ijah beberes. Aku duduk di sofa yang tidak jauh dari mereka. Belum ada seminggu di tinggal, rumah sudah sangat kotor penuh debu.“Jangan jadi kompor beleduk, Ma!” sahut Om Heru, yang duduk tak jauh dariku dengan menikmati kopi buatan Bi Ijah.“Siapa juga yang mau jadi kompor beleduk, Pa? Mama nggak rela, Dewi di perlakukan seperti itu. Apalagi hutang ibunya Angga udah menumpuk kayak gitu, nanti kalau rujuk sama Dewi, bisa-bisa Dewi yang di suruh ngelunasin.”
POV AnggaRasa cemburu berdesir, melihat Dewi tertawa tanpa beban dengan Rama. Mereka terlihat sangat bahagia. Sebenarnya aku bisa nonjok Rama, karena Dewi masih sah istriku. Tapi, dengan kondisiku saat ini, aku merasa tak percaya diri untuk mendekati Dewi. Aku dan Rama bagaikan langit dan bumi. Apalagi Dewi sekarang sudah membenciku. Sudah tak ada tatapan cinta itu lagi di matanya. Yang ada hanya tatapan kebencian.Aku memutuskan pulang. Masih nasib baik, bertemu tetangga dan ngikut di bonceng, hingga sampai rumah. Sesampainya di rumah ibu lagi bertengkar dengan Mak Wesi. Ada Pak RT juga. Ku usap wajahku dengan kasar. Kapan masalah ini akan berakhir?“Itu Angga datang!” Mak Wesi menunjukku. Aku hanya terdiam bingung. Tak ada senyum di bibirku.“Ada apa ini?” tanyaku ketika sampai di teras kontrakan.“Mau nagih hutang ibumu, Ga! Udah berapa lama ini?
Benalu part 20Entah kenapa bayangan wajah Mas Angga yang memprihatinkan tadi, berseliweran di ingatanku. Dia nampak sangat tidak terurus. Badannya juga kurus sekarang. Gaya maconya sudah tak kelihatan. Kasihan sekali.“Hallo ...” Rama memetikan jarinya di wajahku. Membuyarkan lamunanku.“Eh, Ram, maaf, maaf,” jawabku gelagapan,“Mikirin apa, sih? Dari tadi aku ngomong di cuekin?” tanyanya sambil menyeruput minumannya.“Emang ngomong apa?” tanyaku balik. Karena memang tidak fokus.“Nggak, nggak penting! Em, langsung pulang apa gimana?” sahutnya seraya bertanya.“Kalau kamu mau pulang, pulang dulu aja! Aku masih ingin di sini!” jawabku.“Ok. Aku juga akan di sini nemenin kamu!” balasnya dengan senyuman menggoda.&ld
POV Ibu“Dewi!!!” teriakku panik dengan menggedor-gedor rumah Dewi. Angga tiba-tiba pingsan. Aku nggak tau lagi mau minta tolong ke siapa.“Bu, bisa nggak datang ke rumah orang itu salam dulu? Yang sopan gitu?” sahut Bu Tika setelah membuka pintu. Kenapa harus dia yang buka pintu.“Ada apa, Ma?” tanya Pak Heru ikut keluar.“Ibunya Angga ini lo, Pa? Datang teriak-teriak,” jawabnya.“Masuk dulu, Bu!” Pak Heru mempersilahkanku. Kami masuk dan duduk di sofa. Harusnya memang kayak gitu, orang tua bertamu, bukannya di suruh masuk, malah di cerocosin.“Ada apa, Bu, kesini?” tanya Pak Angga terdengar sopan dan berwibawa.“Gini, Pak Heru. Saya nggak tahu mau minta tolong ke siapa lagi, Angga pingsan.” Jawabku dengan nada cemas.
“Dek, maafin Mas! Mas Janji akan menjadi suami yang kamu inginkan!” ucap Mas Angga serius, menatap mataku lekat. Bola mata itu memancarkan cinta. Masih terlihat besar cinta itu untukku.“Maaf, Mas! Terlalu sakit kamu menggores hatiku,” jawabku setelah terdiam cukup lama. Bola mata itu memancarkan kekecewaan. Dia menunduk, meraih kedua tanganku.“Kasih kesempatan sekali lagi untuk membuktikan ucapan Mas!” ucapnya, semakin memegang erat tanganku.“Sekali lagi maafkan aku!” ku tarik pelan genggaman tangannya, tapi percuma. Genggaman tangan itu semakin erat.“Apa karena Ibu?” tanyanya lirih. Membuat hatiku berdenyut. Takku jawab, memilih membisu.“Kalau memang karena Ibu, Mas akan antar ibu pulang kampung.” Ucapnya lagi.“Bukan hanya karena itu,” sahutku.
“Handoko?” sebut Om Heru kepada laki-laki yang main dorong pintu dengan Ibu. Seketika laki-laki itu menoleh. Menyipitkan mata, seakan mencoba mengingat. Karena lelaki itu melepaskan pintunya, kesempatan ibu untuk menutupnya. Kami berada di teras tanpa di persilahkan masuk.“Heru?” sebut lelaki itu. Mereka menyeringai seakan tak percaya. Jabat tangan dan berpelukkan khas laki-laki. Aku dan Tante Tika saling melongo. Siapa? Ada ikatan apa dengan ibu?“Lama kita tak bertemu, apa kabar?” tanya lelaki itu. Dengan menepuk-nepuk pundak Om Heru.“Kabar baik, oh ya, kenalkan ini istri dan keponakan saya!” jawab Om Heru seraya mengenalkan kami.“Handoko. Teman SMA Heru,” ucap lelaki itu mengenalkan diri, menjabat tangan kami bergantian.“Tika.”“Dewi.”Jawab kami be