Home / Romansa / Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin / BAB 15 : Panggilan Kedua

Share

BAB 15 : Panggilan Kedua

Author: TenMaRuu
last update Last Updated: 2025-07-18 11:42:32

Alina membanting tubuhnya ke atas tempat tidur yang empuk. Tapi empuknya kasur itu tidak memberikan kenyamanan apa pun. Ia malah merasa seperti tenggelam dalam lautan keputusasaan.

Ia merasa seperti tercekik.

Di satu sisi, ada sangkar emas yang ia masuki dengan sadar, dengan segala aturan mainnya yang dingin. Di sisi lain, ada Cipta Ruang Estetika, mimpinya yang kini di ambang kehancuran total karena satu pembatalan sepihak.

Rasanya seperti permainan takdir yang sangat kejam.

Ia meraih ponselnya, otaknya bekerja cepat, mencoba mencari jalan keluar dari labirin masalah ini. Ia mulai menghubungi beberapa teman lama, supplier-supplier kecil yang mungkin bisa menolong, meski ia tahu itu hampir mustahil.

Satu per satu panggilannya berakhir dengan jawaban yang sama: mengecewakan.

Stok kosong. Butuh waktu inden berbulan-bulan. Tidak sanggup memenuhi pesanan sebanyak itu dalam waktu singkat. Setiap penolakan terasa seperti satu paku lagi yang ditancapkan ke peti mati perusahaannya.

Dinding kamarnya yang luas terasa semakin menyempit, seolah mau meremukkan sisa-sisa harapannya.

Ia melempar ponselnya ke samping. Untuk sesaat, bayangan wajah Ayah dan Ibunya melintas, dan rasa gagal itu terasa begitu menyesakkan hingga ia membenamkan wajahnya ke bantal. Berteriak dalam diam, bukan karena marah, tapi karena malu. Malu karena telah menyeret mereka ke dalam masalah ini, malu karena ia ternyata tidak sekuat yang ia kira.

Saat ia pikir semuanya sudah benar-benar berakhir, ponselnya kembali bergetar.

Nama "Deni - Kantor" lagi.

Dengan malas, Alina mengangkatnya. Mungkin Deni mau melaporkan kabar buruk lainnya, melengkapi hari sialnya.

"Halo, Den. Gimana? Nggak ada kabar bagus, kan?" sapanya, suaranya terdengar serak dan pasrah.

Tapi suara Deni di seberang telepon justru terdengar aneh. Bukan panik, tapi… bingung. Sangat bingung.

"Bu Alina… saya nggak ngerti, Bu. Ini aneh banget."

"Nggak ngerti gimana?"

"PT. Baja Perkasa… barusan telepon kantor lagi, Bu!" kata Deni, nadanya seperti baru saja melihat hantu. "Manajer seniornya langsung yang telepon. Bukan staf biasa."

"Mereka minta maaf sebesar-besarnya atas 'kesalahpahaman' tadi. Katanya, pesanan kita akan tetap diproses dan dikirim besok pagi. Tepat waktu. Bahkan mereka menawarkan diskon tambahan sebagai permohonan maaf."

Alina langsung terduduk tegak di atas tempat tidur. Jantungnya berdebar, tapi kali ini karena alasan yang berbeda.

"Bahkan," lanjut Deni, suaranya sedikit berbisik, "cara bicara manajernya… kayak orang ketakutan, Bu. Saya bisa dengar suaranya sedikit gemetar. Aneh banget."

Telepon itu masih menempel di telinganya, tapi suara Deni sudah tidak lagi terdengar. Hanya ada satu kata yang bergema di kepalanya: ketakutan. Ketakutan tidak datang dari kesalahpahaman. Ketakutan datang dari kekuasaan. Kekuasaan yang bisa memutarbalikkan keputusan sebuah perusahaan raksasa dalam sekejap.

Dan di pulau terpencil ini...

Hanya ada satu orang yang punya kekuatan untuk melakukan hal sebesar itu.

Satu jawaban.

Satu nama.

Revan.

Rasa putus asa itu langsung hilang, menguap seperti embun pagi. Berganti dengan perasaan lain yang dingin, tajam, dan menusuk. Ini bukan lagi soal bisnis yang diselamatkan. Ini soal harga diri yang dilangkahi.

Ia bangkit dari tempat tidur.

Setiap gerakannya kini terasa tenang dan penuh perhitungan.

Ia berjalan keluar dari kamarnya, menyusuri koridor yang sunyi, dan kembali ke dek utama.

Revan masih di sana. Duduk di kursi yang sama, menatap laut, seolah tidak ada apa pun yang terjadi. Begitu tenang, begitu terkendali.

Alina tidak berteriak. Ia tidak marah.

Ia berjalan dengan langkah mantap, angin laut meniup ujung gaunnya. Ia berhenti tepat di hadapan Revan, bayangannya jatuh menutupi pria itu dari silaunya matahari. Menghalangi pandangannya ke arah laut.

Revan mengangkat wajahnya, menatap Alina dengan satu alis terangkat, seolah bertanya 'ada apa lagi?'.

Alina menatap lurus ke mata pria itu, mencari celah di balik topeng datarnya.

"Apa yang sudah kau lakukan?" tanyanya.

Suaranya sama sekali tidak bergetar. Terdengar dingin, penuh kontrol, dan jelas-jelas menuntut jawaban.

Revan tidak tampak terkejut. Ia hanya menatap Alina selama beberapa saat, seolah sedang menilai lawannya. Menilai apakah wanita di hadapannya ini akan berterima kasih atau justru marah.

Ia mengambil gelasnya, menyesap isinya dengan pelan, lalu meletakkannya kembali sebelum menjawab dengan nada paling datar yang pernah Alina dengar.

"Aku hanya melindungi asetku."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin   BAB 26 : Pertolongan Pertama

    Dan begitulah akhir dari drama babak pertama.Satu bantingan pintu yang keras.Setelah itu? Hening. Tapi ini bukan hening yang biasa. Ini adalah hening yang punya bobot, yang terasa menekan bahu, yang membuat udara di dalam suite mewah itu terasa sulit untuk dihirup.Alina masih berdiri mematung di balik pintu kamarnya, tangannya yang gemetar masih mencengkeram gagang pintu. Jantungnya berdebar begitu kencang, memompa campuran antara rasa takut dan adrenalin ke seluruh tubuhnya.Ia mendengar langkah kaki Revan yang menjauh dari pintu utama, lalu berhenti.Dengan napas yang tertahan, Alina memberanikan diri. Ia membuka pelan pintu kamarnya.Revan berdiri di tengah ruangan, memunggunginya. Bahunya terlihat tegang.Saat pria itu berbalik, tatapan mereka bertemu.Dan di sanalah Alina melihatnya. Wajahnya yang pucat, tangannya yang sedikit gemetar. Revan, yang seolah bisa membaca setiap detail kecil, pasti menyadari bahwa pertahanannya telah runtuh.Alina sudah siap untuk apa pun. Siap

  • Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin   BAB 25 : Jangan Sentuh Dia

    Perjalanan kembali ke suite hotel di dalam lift terasa begitu berbeda.Jika tadi pagi lift ini terasa seperti sebuah kotak sempit yang menyesakkan, kini lift yang sama terasa seperti podium kemenangan yang sunyi.Alina tidak berkata apa-apa. Revan pun diam.Tapi keheningan di antara mereka tidak lagi canggung. Ada sebuah pemahaman baru yang menggantung di udara. Sebuah pengakuan tanpa kata bahwa mereka baru saja melewati sebuah pertempuran bersama.Dan mereka menang.Begitu pintu suite tertutup di belakang mereka, Alina akhirnya bisa bernapas dengan lega. Adrenalin yang sejak tadi membuatnya berdiri tegak kini mulai surut, meninggalkan perasaan lelah yang memuaskan.Ia melepaskan sepatunya yang berhak tinggi dan berjalan ke arah jendela, menatap lampu kota Singapura yang kini terasa lebih ramah."Kerja bagus," sebuah suara tiba-tiba memecah keheningan.Alina menoleh.Revan berdiri di

  • Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin   BAB 24 : Konsep yang Jujur

    Boardroom itu terasa dingin, bukan hanya karena pendingin ruangan yang disetel rendah, tapi juga karena atmosfer di dalamnya.Di satu sisi meja panjang yang mengilap, duduklah Leo Santoso, dengan senyum percaya diri yang seolah sudah memenangkan pertempuran bahkan sebelum dimulai.Di sisi lain, duduklah Alina. Jantungnya berdebar kencang, tapi ia memaksakan punggungnya untuk tetap tegak. Di sampingnya, Revan duduk dengan tenang, wajahnya adalah topeng netralitas yang sempurna. Ia benar-benar memposisikan diri sebagai klien, sebagai juri.Selain mereka bertiga, ada dua orang lain di ruangan itu. Dua investor dari Singapura yang mewakili pihak penanam modal.Yang pertama adalah Mr. Chen, seorang pria paruh baya dengan pembawaan tenang dan tatapan mata yang bijak.Yang kedua adalah Ms. Yuo, seorang wanita muda yang terlihat sangat cerdas dan kritis, dengan kacamata berbingkai tipis dan tatapan yang seolah bisa memindai setiap kebohongan."Baik, terima kasih atas kehadirannya," Revan mem

  • Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin   BAB 23 : Dua Jenderal

    Alina tidak bisa tidur nyenyak.Pikirannya terlalu pusing, terjebak di antara bayang-bayang Revan yang berbaring di sofa dan tulisan tangan di atas sticky note kuning itu.Pelajari musuhmu.Saat fajar pertama kali menyingsing di ufuk Singapura, Alina sudah duduk di sofa yang sama tempat Revan tidur semalam. Map tebal berwarna cokelat itu terbuka di atas pangkuannya.Ia membacanya.Bukan hanya membaca, tapi menelannya bulat-bulat.Ini bukan sekadar portofolio. Ini adalah sebuah pembedahan total terhadap Leo Santoso.Di dalamnya ada semua proyek yang pernah Leo tangani, lengkap dengan foto-foto indah, data bujet, dan daftar klien. Tapi bukan itu yang membuat Alina terpaku.Di antara data-data yang berkilauan itu, terselip analisis mendalam yang jelas-jelas bukan buatan Leo. Ada catatan-catatan kecil di pinggir halaman, ditulis dengan pulpen tinta hitam.Analisis tentang pilihan material Leo yang cenderung murah tapi dibungkus dengan fasad yang mewah. Analisis tentang bagaimana ia serin

  • Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin   BAB 22 : Pelajari Musuhmu

    Kalimat itu menggantung di udara, terasa penuh makna."...itu juga yang membuatnya tak ternilai."Setelah itu, keheningan mengambil alih. Tapi ini bukan keheningan yang dingin atau canggung. Ini adalah keheningan yang terasa rapuh, seolah sebuah gelas kristal baru saja diletakkan di tepian meja, dan keduanya menahan napas, takut jika satu gerakan yang salah akan membuatnya jatuh dan pecah berkeping-keping.Revan adalah orang pertama yang memecah kontak mata.Ia berdeham pelan, sebuah suara kecil yang terdengar begitu keras di tengah kesunyian. Lalu, ia berbalik dan berjalan ke arah jendela kaca yang besar, memunggungi Alina.Ia menatap kerlip lampu kota Singapura di bawah sana. Sebuah cara untuk membangun kembali dindingnya yang baru saja retak.Alina hanya bisa diam, mengamati punggung pria itu. Punggung yang selalu terlihat tegap dan kokoh, tapi entah kenapa, saat ini terlihat sedikit... berbeda.Apa aku sudah melangkah terlalu jauh?Pikiran itu melintas di benak Alina.Apa aku bar

  • Istri Kontrak Tuan Pewaris Dingin   BAB 21: Aku Menjual Cerita

    Revan berdiri menjulang di hadapannya, tatapannya menuntut, tidak memberikan ruang untuk alasan."Tunjukkan padaku strategimu."Udara di dalam suite mewah itu terasa menipis. Ini adalah momen penentuan. Momen di mana Alina harus membuktikan bahwa klausul yang ia perjuangkan mati-matian semalam bukan hanya gertakan sambal.Alina menarik napas dalam-dalam.Ia menatap tumpukan coretan dan diagram di buku sketsanya. Data, studi kasus, analisis kompetitor. Semua ada di sana. Ia bisa saja menyajikan argumen yang sangat teknis, sangat logis, sangat… Revan.Tapi ia tahu, itu adalah permainan yang tidak akan pernah bisa ia menangkan. Melawan Revan dengan logika adalah seperti mencoba memadamkan api dengan bensin.Maka, ia melakukan sesuatu yang tidak terduga.Ia menutup buku sketsanya. Dengan satu gerakan pelan yang terasa begitu final.Revan mengangkat sebelah alisnya. Sebuah gestur kecil yang menunjukkan ketertarikan.Alina bangkit berdiri, menyejajarkan tatapan matanya dengan pria itu."Str

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status