Untuk sesaat, di meja makan yang menghadap laut itu, mereka bukanlah suami dan istri palsu.
Mereka adalah dua profesional yang berbicara dalam bahasa yang sama. Bahasa desain, logika, dan kesempurnaan.
Ada sesuatu yang baru di udara. Bukan kehangatan, tapi juga bukan lagi hawa dingin yang menusuk. Mungkin... gencatan senjata. Sebuah jeda tak terduga yang tidak pernah tertulis dalam pasal kontrak mereka.
Alina merasa bisa sedikit bernapas. Mungkin, mungkin saja, mereka bisa melewati ini. Mungkin mereka bisa menemukan sebuah ritme, sebuah cara untuk hidup berdampingan sebagai mitra bisnis yang terpaksa berbagi atap.
Tapi, seperti kata orang, ketenangan seringkali hanyalah jeda singkat sebelum badai yang sesungguhnya datang.
Dan badai itu datang bukan dalam bentuk angin atau ombak.
Badai itu datang dalam bentuk getaran.
Ponsel Alina, yang dari tadi tergeletak diam di sudut meja, tiba-tiba bergetar hebat.
Nama "Deni - Kantor" menyala di layar.
Alina sedikit mengernyit. Tidak biasanya Deni menelepon di luar jam kerja, apalagi saat ia sedang "bulan madu".
Pasti ada sesuatu yang penting.
"Halo, Den?" sapanya, mencoba terdengar santai.
Revan, yang sedang menatap laut, tidak menoleh. Tapi Alina tahu, pria itu mendengarkan.
"Iya, aku lagi di luar… Kenapa?"
**
Hening sejenak.
Lalu, raut wajah Alina berubah drastis.
"Apa?!" suaranya meninggi, penuh ketidakpercayaan. "Kenapa bisa? Bukannya kita sudah bayar depositnya minggu lalu?"
Alina bangkit dari kursinya, berjalan mondar-mandir di tepi dek dengan gelisah.
"Ya ampun! ini nggak masuk akal, Den! Mereka nggak bisa seenaknya batalin pesanan H-minus sekian! Itu kerangka baja untuk proyek utama kita tahun ini!"
Suaranya bergetar, campuran antara panik dan amarah yang tertahan. Satu tangannya tanpa sadar meremas rambutnya sendiri, sebuah kebiasaan lama saat ia merasa terpojok.
"Coba hubungi lagi manajernya. Cari tahu alasannya. Aku… aku akan coba cari cara."
Alina menutup telepon dengan tangan gemetar. semua warna seolah tersedot dari wajahnya, meninggalkan kekalutan yang terpahat jelas di setiap garisnya.
Ia menatap laut dengan tatapan kosong. Pikirannya kacau. PT. Baja Perkasa, salah satu supplier baja terbesar, baru saja membatalkan pesanan vital mereka secara sepihak. Tanpa mereka, proyek terbesarnya pasti akan mandek total. Cipta Ruang Estetika akan kembali ke jurang kehancuran.
Semua terasa sia-sia.
Ia begitu sibuk bernegosiasi soal harga dirinya di pulau ini, hingga lupa bahwa di dunia nyata, perusahaannya masih begitu rapuh.
Revan masih duduk di kursinya. Tidak bergerak, tidak berkata apa-apa. Ia hanya menatap Alina, matanya yang tajam seolah memindai setiap detail dari kepanikan itu—getar di suaranya, cara tangannya mencengkeram telepon, hingga bahunya yang sedikit merosot.
Merasa diperhatikan, merasa lemah, Alina tidak tahan lagi.
"Aku… aku butuh waktu sebentar," katanya pelan, lalu berbalik dan berjalan cepat masuk ke dalam vila, menuju kamarnya. Ia butuh ruang untuk berpikir, untuk tidak terlihat hancur di depan pria itu.
Koridor vila terasa sunyi setelah Alina menghilang di balik pintu kamarnya.
Hanya Revan yang tersisa di dek utama.
Ia masih duduk diam selama beberapa saat. Menatap laut. Menatap cakrawala.
Lalu, dengan gerakan yang tenang dan tanpa tergesa-gesa, ia mengeluarkan ponselnya.
Ia tidak menelepon Kakek. Ia tidak menelepon klien.
Ia menekan satu nomor dari panggilan cepatnya.
"Andra," katanya saat panggilan itu tersambung. Nadanya dingin, efisien, tanpa emosi.
"Cari tahu semua tentang PT. Baja Perkasa."
"Cari tahu siapa pemiliknya, siapa dewan direksinya, dan cari tahu kenapa mereka membatalkan pesanan dari Cipta Ruang Estetika."
Ia berhenti sejenak, matanya menatap tajam ke arah pintu kamar tempat Alina menghilang.
"Aku mau laporan lengkapnya di emailku dalam satu jam."
"Dan, Andra…"
Suara Revan menjadi lebih rendah, lebih tajam.
"Buat mereka mengirimkan kembali pesanan itu besok pagi. Dengan permohonan maaf."
Panggilan itu ditutup.
Revan meletakkan kembali ponselnya di atas meja.
Ini bukan lagi soal kontrak atau bisnis. Ini soal yurisdiksi. Soal teritori. Dan Cipta Ruang Estetika, suka atau tidak suka, kini berada di dalam wilayah kekuasaannya.
Tanpa disadari Alina, sangkar emasnya kini memiliki penjaga—dan penjaga itu baru saja menunjukkan taringnya.
Tadaa!! Akhirnya telah tiba!Rumah Kakek Bramantyo terasa seperti sebuah kapsul waktu.Udara di dalamnya sejuk, membawa aroma samar kayu jati tua dan bunga sedap malam dari sebuah vas besar di sudut ruangan.Perabotannya antik, lantainya marmer dingin, dan setiap sudutnya seolah menyimpan cerita dari generasi-generasi sebelumnya.Ini adalah pusat kekuasaan yang sesungguhnya, sebuah benteng di mana kesepakatan bisnis miliaran rupiah mungkin diputuskan bukan di ruang rapat, tapi di atas secangkir teh sore di taman belakang.Dan kini, Alina melangkah masuk ke dalamnya, bergandengan tangan dengan sang pewaris takhta.Genggaman tangan Revan terasa kokoh di tangannya. Bukan lagi genggaman posesif atau genggaman untuk pertunjukan. Ini terasa seperti genggaman seorang partner, sebuah jangkar di tengah lautan yang tidak ia kenali.Mereka menemukan Kakek Bramantyo di ruang keluarga, duduk di kursi berlengan favoritnya ya
Kabin jet pribadi itu.. ah.. suasananya begitu hening.Hanya ada deru mesin yang halus sebagai musik latar perjalanan mereka kembali ke Jakarta. Di luar jendela, gumpalan awan putih membentang seperti karpet kapas yang tak berujung.Dunia di ketinggian tiga puluh ribu kaki seharusnya terasa damai, tempat di mana semua masalah di darat terlihat kecil. Tapi bagi Alina, keheningan di dalam kabin jet pribadi ini justru membuat semua masalah di kepalanya terdengar lebih nyaring.Ia duduk di kursi kulit yang empuk, tapi tubuhnya terasa kaku. Di seberangnya, Revan kembali tenggelam dalam dunianya. Tablet di tangan, jari-jarinya menari di atas layar, matanya fokus pada barisan angka dan grafik.Pria itu sudah kembali menjadi mesin. Seolah semua drama di Singapura—Leo, ancaman, cokelat, pujian—hanyalah sebuah anomali, sebuah glitch dalam sistemnya yang kini sudah kembali normal.Apa dia benar-benar tidak terpengaruh sama sekali?Pikiran itu membuat Alina sedikit kesal.Atau... apa ini caran
Dan begitulah akhir dari drama babak pertama.Satu bantingan pintu yang keras.Setelah itu? Hening. Tapi ini bukan hening yang biasa. Ini adalah hening yang punya bobot, yang terasa menekan bahu, yang membuat udara di dalam suite mewah itu terasa sulit untuk dihirup.Alina masih berdiri mematung di balik pintu kamarnya, tangannya yang gemetar masih mencengkeram gagang pintu. Jantungnya berdebar begitu kencang, memompa campuran antara rasa takut dan adrenalin ke seluruh tubuhnya.Ia mendengar langkah kaki Revan yang menjauh dari pintu utama, lalu berhenti.Dengan napas yang tertahan, Alina memberanikan diri. Ia membuka pelan pintu kamarnya.Revan berdiri di tengah ruangan, memunggunginya. Bahunya terlihat tegang.Saat pria itu berbalik, tatapan mereka bertemu.Dan di sanalah Alina melihatnya. Wajahnya yang pucat, tangannya yang sedikit gemetar. Revan, yang seolah bisa membaca setiap detail kecil, pasti menyadari bahwa pertahanannya telah runtuh.Alina sudah siap untuk apa pun. Siap
Perjalanan kembali ke suite hotel di dalam lift terasa begitu berbeda.Jika tadi pagi lift ini terasa seperti sebuah kotak sempit yang menyesakkan, kini lift yang sama terasa seperti podium kemenangan yang sunyi.Alina tidak berkata apa-apa. Revan pun diam.Tapi keheningan di antara mereka tidak lagi canggung. Ada sebuah pemahaman baru yang menggantung di udara. Sebuah pengakuan tanpa kata bahwa mereka baru saja melewati sebuah pertempuran bersama.Dan mereka menang.Begitu pintu suite tertutup di belakang mereka, Alina akhirnya bisa bernapas dengan lega. Adrenalin yang sejak tadi membuatnya berdiri tegak kini mulai surut, meninggalkan perasaan lelah yang memuaskan.Ia melepaskan sepatunya yang berhak tinggi dan berjalan ke arah jendela, menatap lampu kota Singapura yang kini terasa lebih ramah."Kerja bagus," sebuah suara tiba-tiba memecah keheningan.Alina menoleh.Revan berdiri di
Boardroom itu terasa dingin, bukan hanya karena pendingin ruangan yang disetel rendah, tapi juga karena atmosfer di dalamnya.Di satu sisi meja panjang yang mengilap, duduklah Leo Santoso, dengan senyum percaya diri yang seolah sudah memenangkan pertempuran bahkan sebelum dimulai.Di sisi lain, duduklah Alina. Jantungnya berdebar kencang, tapi ia memaksakan punggungnya untuk tetap tegak. Di sampingnya, Revan duduk dengan tenang, wajahnya adalah topeng netralitas yang sempurna. Ia benar-benar memposisikan diri sebagai klien, sebagai juri.Selain mereka bertiga, ada dua orang lain di ruangan itu. Dua investor dari Singapura yang mewakili pihak penanam modal.Yang pertama adalah Mr. Chen, seorang pria paruh baya dengan pembawaan tenang dan tatapan mata yang bijak.Yang kedua adalah Ms. Yuo, seorang wanita muda yang terlihat sangat cerdas dan kritis, dengan kacamata berbingkai tipis dan tatapan yang seolah bisa memindai setiap kebohongan."Baik, terima kasih atas kehadirannya," Revan mem
Alina tidak bisa tidur nyenyak.Pikirannya terlalu pusing, terjebak di antara bayang-bayang Revan yang berbaring di sofa dan tulisan tangan di atas sticky note kuning itu.Pelajari musuhmu.Saat fajar pertama kali menyingsing di ufuk Singapura, Alina sudah duduk di sofa yang sama tempat Revan tidur semalam. Map tebal berwarna cokelat itu terbuka di atas pangkuannya.Ia membacanya.Bukan hanya membaca, tapi menelannya bulat-bulat.Ini bukan sekadar portofolio. Ini adalah sebuah pembedahan total terhadap Leo Santoso.Di dalamnya ada semua proyek yang pernah Leo tangani, lengkap dengan foto-foto indah, data bujet, dan daftar klien. Tapi bukan itu yang membuat Alina terpaku.Di antara data-data yang berkilauan itu, terselip analisis mendalam yang jelas-jelas bukan buatan Leo. Ada catatan-catatan kecil di pinggir halaman, ditulis dengan pulpen tinta hitam.Analisis tentang pilihan material Leo yang cenderung murah tapi dibungkus dengan fasad yang mewah. Analisis tentang bagaimana ia serin