Alina tidak bisa tidur nyenyak.
Pikirannya terlalu pusing, terjebak di antara bayang-bayang Revan yang berbaring di sofa dan tulisan tangan di atas sticky note kuning itu. Pelajari musuhmu. Saat fajar pertama kali menyingsing di ufuk Singapura, Alina sudah duduk di sofa yang sama tempat Revan tidur semalam. Map tebal berwarna cokelat itu terbuka di atas pangkuannya. Ia membacanya. Bukan hanya membaca, tapi menelannya bulat-bulat. Ini bukan sekadar portofolio. Ini adalah sebuah pembedahan total terhadap Leo Santoso. Di dalamnya ada semua proyek yang pernah Leo tangani, lengkap dengan foto-foto indah, data bujet, dan daftar klien. Tapi bukan itu yang membuat Alina terpaku. Di antara data-data yang berkilauan itu, terselip analisis mendalam yang jelas-jelas bukan buatan Leo. Ada catatan-catatan kecil di pinggir halaman, ditulis dengan pulpen tinta hitam. Analisis tentang pilihan material Leo yang cenderung murah tapi dibungkus dengan fasad yang mewah. Analisis tentang bagaimana ia sering memenangkan tender karena berani memotong bujet di sektor-sektor yang tidak terlihat oleh mata awam, seperti fondasi atau sistem kelistrikan. Ini adalah hasil kerja tim intelijen. Dan ini menunjukkan betapa seriusnya Revan Adhitama saat ia ingin menjatuhkan seseorang. Alina merasakan campuran aneh antara rasa ngeri dan... kekaguman. Ngeri karena menyadari betapa berbahayanya pria yang kini menjadi "suami"-nya. Tapi juga kagum, karena untuk pertama kalinya, ia merasa tidak sedang bertarung sendirian. Tepat pukul tujuh pagi, saat Alina sedang menandai sebuah halaman penting, pintu kamar tidur utama terbuka. Revan melangkah keluar, sudah rapi dengan setelan bisnis berwarna abu-abu gelap, rambutnya tertata sempurna. Wajahnya kembali menjadi topeng dingin yang biasa ia kenakan. Seolah kelelahan dan momen "kopi hitam" itu tidak pernah ada. Ia berjalan ke arah meja makan, di mana seorang staf hotel baru saja selesai menata sarapan. Kali ini, dua mangkuk Bubur Ayam hangat dengan segala pelengkapnya. "Sudah selesai membacanya?" tanya Revan, tanpa basa-basi. Ia duduk dan mulai mengaduk buburnya. Alina menutup map itu dan berjalan ke arah meja makan. "Sudah," jawabnya singkat. "Lalu?" Revan mengangkat wajahnya, menatap Alina. "Apa yang kau temukan?" Ini dia. Ujiannya dimulai. "Kelemahannya," kata Alina, suaranya mantap. "Bukan pada desainnya. Aku akui, secara estetika, desainnya selalu terlihat 'wow'. Megah, fotogenik, sangat disukai investor." "Kelemahannya ada di sini." Alina menunjuk sebuah catatan kecil di dalam map. "Di integritas materialnya. Dia menjual mimpi, tapi membangunnya dengan fondasi yang biasa-biasa saja. Dia membangun sesuatu yang indah untuk dilihat, tapi tidak untuk ditinggali dalam jangka waktu lama." Revan berhenti mengaduk buburnya. Ia mendengarkan dengan saksama. "Dia akan menyerangku dengan argumen 'idealisme vs realita'," lanjut Alina, kini lebih percaya diri. "Dia akan bilang desainku terlalu mahal dan sulit dibangun. Aku akan membalikkannya. Aku akan bertanya padanya, 'Kemewahan seperti apa yang sebenarnya kita jual? Kemewahan yang hanya terlihat di brosur, atau kemewahan yang dirasakan oleh setiap tamu yang menginap, yang membuat mereka merasa aman dan nyaman?'" "Aku akan serang dari sisi integritas," tegas Alina. "Aku akan buktikan bahwa idealismeku justru adalah bentuk realisme jangka panjang yang paling menguntungkan." Keheningan menyelimuti meja makan itu. Revan menatap Alina lama. Ada kilat apresiasi di matanya yang dingin. "Bagus," katanya akhirnya. "Itu serangan dari sisi filosofis. Kau serang dari sana." Ia mengambil serbet, membersihkan sudut bibirnya. "Dan aku akan serang dari sisi angka." Alina mengerutkan keningnya. "Maksudmu?" "Saat dia menyajikan datanya, aku akan bertanya padanya tentang biaya depresiasi bangunannya dalam sepuluh tahun ke depan. Aku akan minta data maintenance cost dari material murah yang ia pakai. Aku akan minta proyeksi kepuasan pelanggan yang akan menurun saat cat mulai mengelupas dan pipa mulai bocor." Revan menatap Alina, dan untuk pertama kalinya, mereka tidak terlihat seperti musuh. Mereka terlihat seperti dua jenderal yang sedang merancang strategi perang di atas peta. "Kau serang jiwanya," kata Revan. "Biar aku yang hancurkan logikanya." Aliansi itu, yang semalam terasa begitu rapuh, kini terasa kokoh. Dibangun di atas fondasi yang aneh: keinginan bersama untuk menghancurkan orang lain. Revan melirik jam tangannya. "Leo dan tim investor akan tiba di lobi hotel dalam tiga puluh menit." Ia bangkit berdiri, merapikan jasnya. "Waktunya pertunjukan, Alina."Dan begitulah akhir dari drama babak pertama.Satu bantingan pintu yang keras.Setelah itu? Hening. Tapi ini bukan hening yang biasa. Ini adalah hening yang punya bobot, yang terasa menekan bahu, yang membuat udara di dalam suite mewah itu terasa sulit untuk dihirup.Alina masih berdiri mematung di balik pintu kamarnya, tangannya yang gemetar masih mencengkeram gagang pintu. Jantungnya berdebar begitu kencang, memompa campuran antara rasa takut dan adrenalin ke seluruh tubuhnya.Ia mendengar langkah kaki Revan yang menjauh dari pintu utama, lalu berhenti.Dengan napas yang tertahan, Alina memberanikan diri. Ia membuka pelan pintu kamarnya.Revan berdiri di tengah ruangan, memunggunginya. Bahunya terlihat tegang.Saat pria itu berbalik, tatapan mereka bertemu.Dan di sanalah Alina melihatnya. Wajahnya yang pucat, tangannya yang sedikit gemetar. Revan, yang seolah bisa membaca setiap detail kecil, pasti menyadari bahwa pertahanannya telah runtuh.Alina sudah siap untuk apa pun. Siap
Perjalanan kembali ke suite hotel di dalam lift terasa begitu berbeda.Jika tadi pagi lift ini terasa seperti sebuah kotak sempit yang menyesakkan, kini lift yang sama terasa seperti podium kemenangan yang sunyi.Alina tidak berkata apa-apa. Revan pun diam.Tapi keheningan di antara mereka tidak lagi canggung. Ada sebuah pemahaman baru yang menggantung di udara. Sebuah pengakuan tanpa kata bahwa mereka baru saja melewati sebuah pertempuran bersama.Dan mereka menang.Begitu pintu suite tertutup di belakang mereka, Alina akhirnya bisa bernapas dengan lega. Adrenalin yang sejak tadi membuatnya berdiri tegak kini mulai surut, meninggalkan perasaan lelah yang memuaskan.Ia melepaskan sepatunya yang berhak tinggi dan berjalan ke arah jendela, menatap lampu kota Singapura yang kini terasa lebih ramah."Kerja bagus," sebuah suara tiba-tiba memecah keheningan.Alina menoleh.Revan berdiri di
Boardroom itu terasa dingin, bukan hanya karena pendingin ruangan yang disetel rendah, tapi juga karena atmosfer di dalamnya.Di satu sisi meja panjang yang mengilap, duduklah Leo Santoso, dengan senyum percaya diri yang seolah sudah memenangkan pertempuran bahkan sebelum dimulai.Di sisi lain, duduklah Alina. Jantungnya berdebar kencang, tapi ia memaksakan punggungnya untuk tetap tegak. Di sampingnya, Revan duduk dengan tenang, wajahnya adalah topeng netralitas yang sempurna. Ia benar-benar memposisikan diri sebagai klien, sebagai juri.Selain mereka bertiga, ada dua orang lain di ruangan itu. Dua investor dari Singapura yang mewakili pihak penanam modal.Yang pertama adalah Mr. Chen, seorang pria paruh baya dengan pembawaan tenang dan tatapan mata yang bijak.Yang kedua adalah Ms. Yuo, seorang wanita muda yang terlihat sangat cerdas dan kritis, dengan kacamata berbingkai tipis dan tatapan yang seolah bisa memindai setiap kebohongan."Baik, terima kasih atas kehadirannya," Revan mem
Alina tidak bisa tidur nyenyak.Pikirannya terlalu pusing, terjebak di antara bayang-bayang Revan yang berbaring di sofa dan tulisan tangan di atas sticky note kuning itu.Pelajari musuhmu.Saat fajar pertama kali menyingsing di ufuk Singapura, Alina sudah duduk di sofa yang sama tempat Revan tidur semalam. Map tebal berwarna cokelat itu terbuka di atas pangkuannya.Ia membacanya.Bukan hanya membaca, tapi menelannya bulat-bulat.Ini bukan sekadar portofolio. Ini adalah sebuah pembedahan total terhadap Leo Santoso.Di dalamnya ada semua proyek yang pernah Leo tangani, lengkap dengan foto-foto indah, data bujet, dan daftar klien. Tapi bukan itu yang membuat Alina terpaku.Di antara data-data yang berkilauan itu, terselip analisis mendalam yang jelas-jelas bukan buatan Leo. Ada catatan-catatan kecil di pinggir halaman, ditulis dengan pulpen tinta hitam.Analisis tentang pilihan material Leo yang cenderung murah tapi dibungkus dengan fasad yang mewah. Analisis tentang bagaimana ia serin
Kalimat itu menggantung di udara, terasa penuh makna."...itu juga yang membuatnya tak ternilai."Setelah itu, keheningan mengambil alih. Tapi ini bukan keheningan yang dingin atau canggung. Ini adalah keheningan yang terasa rapuh, seolah sebuah gelas kristal baru saja diletakkan di tepian meja, dan keduanya menahan napas, takut jika satu gerakan yang salah akan membuatnya jatuh dan pecah berkeping-keping.Revan adalah orang pertama yang memecah kontak mata.Ia berdeham pelan, sebuah suara kecil yang terdengar begitu keras di tengah kesunyian. Lalu, ia berbalik dan berjalan ke arah jendela kaca yang besar, memunggungi Alina.Ia menatap kerlip lampu kota Singapura di bawah sana. Sebuah cara untuk membangun kembali dindingnya yang baru saja retak.Alina hanya bisa diam, mengamati punggung pria itu. Punggung yang selalu terlihat tegap dan kokoh, tapi entah kenapa, saat ini terlihat sedikit... berbeda.Apa aku sudah melangkah terlalu jauh?Pikiran itu melintas di benak Alina.Apa aku bar
Revan berdiri menjulang di hadapannya, tatapannya menuntut, tidak memberikan ruang untuk alasan."Tunjukkan padaku strategimu."Udara di dalam suite mewah itu terasa menipis. Ini adalah momen penentuan. Momen di mana Alina harus membuktikan bahwa klausul yang ia perjuangkan mati-matian semalam bukan hanya gertakan sambal.Alina menarik napas dalam-dalam.Ia menatap tumpukan coretan dan diagram di buku sketsanya. Data, studi kasus, analisis kompetitor. Semua ada di sana. Ia bisa saja menyajikan argumen yang sangat teknis, sangat logis, sangat… Revan.Tapi ia tahu, itu adalah permainan yang tidak akan pernah bisa ia menangkan. Melawan Revan dengan logika adalah seperti mencoba memadamkan api dengan bensin.Maka, ia melakukan sesuatu yang tidak terduga.Ia menutup buku sketsanya. Dengan satu gerakan pelan yang terasa begitu final.Revan mengangkat sebelah alisnya. Sebuah gestur kecil yang menunjukkan ketertarikan.Alina bangkit berdiri, menyejajarkan tatapan matanya dengan pria itu."Str