"Dengan penampilan seperti itu seharusnya kamu tak berakhir di tempat seperti ini." Suara berat itu memecahkan keheningan saat aku tengah bergelut dengan pikiran karena kembali dihadapkan dengan uang yang bisa datang dengan instan.
"Kalau kecantikan memang sebuah keuntungan, kenapa uang nggak bisa datang hanya dengan dipandang?" Kuajukan pertanyaan yang membuat Si Tampan sejenak terdiam."Setidaknya kamu punya pilihan.""Tapi nggak punya cukup kesempatan.""Seandainya kamu diberikan satu kali lagi kesempatan, akankah kamu bersedia untuk keluar dari lingkaran setan?""Tergantung kesempatan macam apa yang diberikan. Kalau cuma 1M dalam setahun aku juga bisa menghasilkan, tanpa perlu menggadaikan rahim pada orang."Hening."Selain uang, komitmen mungkin bisa membawa perubahan.""Komitmen?" Aku nyaris tertawa dibuatnya. "Anda pikir hanya dengan melayani satu orang lelaki, dalam satu tahun hidupku bisa berubah sepenuhnya?""Mungkin."Aku tersenyum miring."Kalau Anda sendiri nggak yakin, bagaimana bisa aku percaya?"Dia kembali terdiam."Denger, ya, Ganteng. Komitmen itu nggak membawa perubahan, tapi mengikat seseorang. Aku sudah merasakan bagaimana ikatan itu mencekik leherku dan rasanya sulit untuk dilepaskan." Aku beranjak dari ranjang, lalu mengenakan kembali mantel yang semula sudah ditanggalkan. Bersiap untuk keluar."Saya tambah jadi 2M, sisanya setelah kontrak kita selesai."Langkahku terhenti sebelum mencapai ambang pintu. Aku menatapnya dengan alis bertautan."Kenapa Anda sangat bersikeras ingin menanam benih di dalam ladang yang sudah sering dibajak orang?""Karena istri saya sendiri yang memintanya!"***"Bentar amat, Nin. Belon ada setengah jam. Dia lemah syahwat emang?"Kutatap nyalang Roy yang baru saja mendaratkan bokong di kursi yang tak terisi."Kita cuma ngobrol," jawabku sekenanya.Mata Roy membelalak lebar. "Dia bayar mahal cuma buat curhat doang?!"Aku menghela napas, lalu memutar-mutar kartu nama yang lelaki itu berikan bila suatu saat nanti aku berubah pikiran. Akhirnya pertanyaan itu tak terjawab dan berlalu begitu saja."Roy!" Kupanggil nama anak kandung Tante Lala yang juga sahabatku itu, setelah beberapa sesi keheningan."Hmm ...." Dia menaikkan alis dan melirikku hanya dengan sudut mata."Misalnya, nih. Ada yang mau kasih lu duit 1 M, mau lu pake buat apa?" Pertanyaan itu kuajukan dengan bumbu perumpamaan.Roy akhirnya benar-benar menatapku, lalu mengernyitkan dahi."Ya udah jelas buat buka usaha-lah, atau investasi jangka panjang.""Contohnya?""Buka panti pijet plus-plus, misal."Aku menatap datar, lalu menoyor kepalanya setelah itu."Oh, c'mon, Beib. Di zaman yang serba mahal ini, cuma bisnis perlaunte-an yang menjanjikan.""Kalau yang halal?""Halal?" Dia terbahak setelahnya. "Astaga Nindi, bisa-bisanya lo bahas tentang bisnis halal saat kita lagi ada di rumah bordil, terus hadep-hadepan sama minuman yang memabukkan.""Emang salah gue minta saran sama orang kayak elu." Aku mendengkus, lalu melipat tangan."Nggak usah baper, Beib. Lagian lo ngajuin pertanyaan aneh, kek duit 1M beneran bisa datang dalam satu malam.""Beneran bisa. Tapi dengan segala konsekuensinya.""Serius? Emang ada yang nawarin? Nggak sangka, ternyata apem lo bisa seharga mobil mewah.""Nggak kitu konsepnya!" Untuk yang ke sekian kali aku menoyor kepala Si Roy."Lah, terus?""Ada orang mau nanem bibit di ladang gue. Udah termasuk pupuk sama perawatan, belum lagi dikasih duit pemeliharaan dan sewa tempat. Menurut lu apa semuanya sepadan?""Sejak kapan lo punya kebon?""Tolol." Kugaruk rambut yang tak gatal. "Itu semua perumpaan, intinya dia mau sewa rahim gue buat ngandung anak dia sama bininya!""Oalah, kenapa lo nggak bilang dari tadi? Udah tahu IQ gue pas-pasan.""Au ah.""Kalau menurut gue nggak sepadan, Nin. Hamil itu nggak gampang, belum taruhannya nyawa. Lagian buat apa, sih duit 1M? Kurang dari setahun aja lo bisa dapet."Aku tertegun."Sisi terjahat dalam diri gue mulai mengambil alih, Roy. Saat dihadapkan dengan duit lebih, yang ada pikiran cuma menyingkirkan beban. Beban yang selama ini selalu membelenggu. Beban yang sampai detik ini masih belum bisa gue lepaskan."Roy mengulurkan tangan, dia meremas bahuku yang selama ini berdiri kokoh meski berkian kali diterjang kerasnya kehidupan."Kalau selama ini lo anggap Bu Nia dan Nana itu beban, kenapa nggak dari awal lo tinggalin mereka? Lo punya hak buat itu, Nindi. Karena nggak ada darah yang mengikat kalian."Bahu yang semula berdiri kokoh, perlahan mulai terkulai. Kenyataan kembali menampar, ketika aku dihadapkan dengan uang dan kebebasan."Setidaknya kalau ada duit lebih yang gue tinggalkan, mereka bisa hidup layak di yayasan. Bu Nia bisa dapet donor ginjal, dan Nana bisa lanjutin sekolah sampai kuliah. Lalu gue nggak lagi dibebankan kebutuhan hidup yang makin mencekik tiap bulan.""Nindi ...." Roy menggenggam erat jemariku saat beban yang selama ini kupendam, berhasil diluapkan."Bahkan saat Si Brengsek itu berhasil lempar gue ke pusat neraka dunia, gue masih bisa bersyukur saat dipertemukan dengan orang-orang kayak kalian. Gue masih bisa senyum, saat beban-beban yang Si Brengsek tinggalkan menyambut gue dengan pelukan, walaupun mereka nggak tahu apa yang udah gue lalui sampai ada di titik terendah kehidupan." Mataku memanas saat menyaksikan Roy sudah menangis dalam pelukan."Lo udah kuat sejauh ini, Nin. Lo hebat. Jangan pernah menyesal menebar kebaikan. Semua yang udah lo lakukan pasti ada timbal baliknya."Aku melerai pelukan, menatap mata Roy dengan tajam. "Satu-satu penyesalan gue adalah pernikahan, Roy. Seandainya gue nggak menggantungkan harapan sama seorang pecundang, setidaknya masa depan gue masih bisa diselamatkan."Nindia Putri Zaelani adalah nama yang orang tuaku berikan sebelum membuangku di panti asuhan. Dibandingkan yang lain, aku dibuang hanya sepekan setelah dilahirkan. Di tempat penampungan anak terlantar, aku tumbuh besar dan mengenal dunia yang terbatas. Pendidikanku hanya berhenti sampai SMP, karena katanya pihak panti mengalami keterbatasan biaya, padahal aku tahu ada oknum pengelola yang korup dan memutar dana yang dikirim pemilik yayasan atau para penyumbang.Tak perlu kujelaskan bagaimana hari-hari yang kulewati di tempat penampungan dengan oknum pengelola yang mata hatinya sudah dibutakan dunia. Sebagai salah satu anak yang tak pernah diadopsi hingga beranjak dewasa, bukan satu dua kali aku direndahkan, bahkan dilecehkan secara fisik maupun ferbal, walaupun tak ada yang sampai berani melakukan tindak pemerkosaan. Namun, hal itu sudah cukup untuk membuat hidupku kacau.Hingga sampai di titik terendah kehidupan. Saat aku menerima uluran tangan dari lelaki yang menjanjikan kehidupan layak setelah pernikahan, menjanjikan tawa setelah begitu banyak derita, menawarkan cinta di tengah keputusasaan--justru berhasil menorehkan luka yang entah sampai kapan sembuhnya.Hanya setahun, setahun setelah dia menciptakan indahkan cinta dan kehidupan setelah pernikahan, aku tak menyangka bahwa neraka dunia sedang menanti setelahnya.Semuanya masih terekam jelas dalam ingatan, meski lima tahun telah berlalu. Saat dia lepas genggaman tanganku dan melemparku ke dasar jurang terdalam. Demi rupiah yang tak seberapa dia gadaikan harga diri istrinya di sebuah pusat pelacuran. Masih lekat dalam ingatan, nyeri bercampur jijik, ketika pertama kali aku merasakan tubuh dijamah orang yang tak dikenal. Ketika tangis tak lagi terdengar, dan teriakanku dibekap oleh bantal. Yang kurasakan setelahnya adalah sebuah pelukan, pelukan dari Tante Lala.Hari-hari yang kulewati setelahnya tak kalah kejam. Tiap langkah yang kutapaki tak ubahnya duri yang menikam. Ketika senyum yang ditunjukkan tak lagi berarti kebahagiaan, aku hanya bisa pasrah menerima takdir yang sudah digariskan....Bersambung."Silakan diminum dulu, Mas. Mumpung masih hangat." Mulut Khalid terbuka setengah, matanya nyaris tak berkedip saat mengitari seisi rumah mewah ini. Dia bahkan tak menanggapi seorang perempuan bercadar yang tengah hamil besar, sedang menyodorkan minum padanya.Di sebuah rak khusus dia melihat tumpukan brosur catering dan dekorasi, matanya juga tak berhenti menatap foto-foto pernikahan Roy yang terpajang di beberapa titik dalam ruangan. Saat melihatnya ternyata Khalid juga baru ingat kalau 'Berkah catering & decoration' adalah perusahaan WO yang sedang naik daun beberapa tahun belakangan. Jasanya banyak digunakan artis dan orang-orang penting, karena harga, rasa, kualitas, serta pelayanannya yang sama sekali tak mengecewakan."Kenalin, ini istri saya Ainun!" Ucapan Roy membuat Khalid kembali tersadar. Dia menatap pria yang tak percaya akan menyambutnya selayaknya tamu, setelah apa yang terjadi pada sahabat baiknya sewindu lalu.Namun, tak bisa dipungkiri. Tatapan Roy terlihat begitu taj
Roy berdiri terpaku di dekat brankar yang ditempati Nindi pasca persalinan yang perempuan itu jalani. Kedua tangannya terkepal, sementara air matanya terus mengalir memerhatikan perempuan yang berkaca-kaca menatap kedua bayi kembarnya dalam gendongan.Seolah masih lekat dalam ingatan Roy fakta demi fakta yang Nindi ungkapkan seiring dengan perutnya yang semakin membuncit"Setelah keguguran gue dan Bang Khalid pisah ranjang kurang lebih satu bulan, jadi sebelum sidang putusan cerai gue bisa dengan mudah mengidentifikasi dari mana benih yang mulai tumbuh di rahim gue berasal. Lucunya hidup ini ketika akhirnya gue sadar tengah mengandung anak dari keparat yang udah gue enyahkan. Kebetulan di hari yang sama saat tragedi itu terjadi, ternyata gue lagi ovulasi." Nindi menghela napas panjang sebelum melanjutkan. "Entah anugerah atau kutukan ketika Tuhan memberikan gue kesuburan, meski hanya dengan satu atau dua kali penetrasi ... benih-benih janin yang tak diinginkan tumbuh dengan mudah di r
Di sebuah desa kecil yang terselip di antara gemerlap hijaunya alam, anak-anak kecil berlarian di bawah langit senja, gembira dan bersemangat mengikuti tradisi yang telah diteruskan dari generasi ke generasi. Mereka melantunkan sholawat sembari menyusuri jalan berkerikil dengan langkah kecil yang penuh semangat menuju masjid terdekat.Di sela-sela ladang hijau yang melambai-lambai sejalan dengan angin, para petani yang menjadi mata pencaharian utama di desa, juga terlihat berbondong-bondong pulang dari ladang membawa hasil panen yang diangkut menggunakan kendaraan roda dua, roda empat, maupun gerobak melewati jalan utama. Peluh, lapar, serta dahaga tak lagi dirasa mengingat ada sebuah keluarga yang menunggu untuk disambung hidupnya."Mas Roy! Wes mandi langsung ke masjid ae, ya! Ditunggu karo Budhe Lala buat buka puasa bersama!"Salah satu petani yang mengangkut hasil panennya menggunakan mobil bak terbuka langsung menyenggol sang sopir untuk menghentikkan laju kendaraannya."Sek, sek!
Konflik rumah tangga antara Khalid dan Nindi berakhir di meja pengadilan agama. Setelah tiga bulan serangkaian proses berjalan, kedu belah pihak tetap tak menemukan titik terang. Mereka sudah sepakat berpisah. Hari ini, 15 Desember waktu setempat, sidang putusan perceraian mereka berlangsung di Pengadilan Agama Batam. Pengunjung yang menghadiri kebanyakan didominasi oleh pihak keluarga penggugat. Semua orang yang memenuhi ruang sidang seolah tak bisa memalingkan pandangan dari kedua pasangan yang duduk di depan meja hakim. Pasangan suami istri yang pernah saling memiliki itu terlihat menunjukkan ekspresi yang berlawanan.Nindi duduk dengan tenang di sisi kanan, wajahnya menunjukkan ekspresi datar yang sulit diartikan. Namun, mata bulatnya seolah memancarkan kepedihan mendalam yang dengan sempurna dia tutupi dalam kebungkaman.Sementara di sisi kiri, Khalid duduk dengan tegang, di tempatnya dia tampak gelisah, bahkan tak henti menoleh pada sosok di sebelahnya. Rahang kokoh itu mengeta
Sebuah keluarga yang terdiri dari sepasang suami-istri dan dua anak itu tengah menatap api unggun yang berkobar di depan tenda mereka. Warnanya berubah-ubah dari merah, putih, hingga oranye dengan menyebarkan kehangatan untuk orang-orang di sekelilingnya. Mereka terlihat bersuka-cita menghabiskan waktu akhir pekannya, meski hanya berkemah di belakang rumah.Suara riang sepasang anak yang hanya selisih kurang dari setahun itu memecah keheningan malam. Keduanya tampak bercanda dan berlari kecil mengelilingi api unggun. Derai tawa menggelora, kebahagiaan sederhana itu dirasakan mereka saat mengejar api kecil yang melompat-lompat dari perapian."Sayang, ya si Neli nggak ada di sini." Nindi menyenggol lengan Khalid saat keduanya tengah memerhatikan anak-anak yang asik bermain, sembari menusuki marshmallow yang siap dibakar."Bukannya lebih bagus kalau nggak ada Neli? Jadi, kita bisa bebas ngapain aja tanpa perlu denger sindirannya yang kadang bikin risi?" Khalid terkekeh sembari melingkark
Langit mendung menyelimuti kota Batam. Sebuah pemakaman yang tak biasa digelar, dihadiri oleh banyak kolega, teman-teman, bahkan sampai awak media. Mereka semua berkumpul untuk mengucapkan selamat jalan pada Vincent Benedict Tjahjono, pengusaha juga anak konglomerat yang telah berpulang akibat sebuah tragedi.Di tengah kerumunan, Khalid hadir, meski dia harus menjaga jarak dari keluarga mendiang. Dia tahu bahwa kedatangannya di sini adalah sebuah tindakan yang berani, mengingat situasi yang tengah dihadapinya. Namun, mengingat hubungannya dengan keluarga Vincent selama ini telah berjalan cukup baik, dia merasa perlu memberikan penghormatan terakhir.Mrs. Diane yang menyadari kehadiran Khalid di tengah kerumunan, mencoba menutupi kesedihan dan berniat menghampirinya dengan hati-hati agar tak disadari oleh sang suami.Begitu wanita paruh baya itu sampai di hadapan, Khalid langsung meraih tangannya."Bu, saya sangat menyesal atas apa yang terjadi," ucapnya dengan suara lirih dan Bahasa In
Hampir sebulan berlalu, proses visum sudah Nindi jalani setelah dia berhasil memberi keterangan yang meyakinkan pada pihak penyidik. Kemungkinan akan diadakan mediasi bila Vincent berhasil sadarkan diri.Hari-hari yang Nindi lewati tak berjalan semestinya. Nasibnya tak pasti, dia seperti ada di tepi jurang yang siap dilompati bisa seseorang dengan sengaja mendorongnya dari belakang. Perempuan itu seolah sudah pasrah dengan keadaan. Untuk sekarang Nindi hanya merindukan anak-anaknya, teman-teman juga waktu kebersamaan yang tak yakin bisa kembali dia lalui."Mbak, liat, Mbak!" Neli menepuk bahu Nindi. Dari balik jendela dia melihat sebuah mobil memasuki pelataran.Seketika semangat Nindi kembali saat melihat Khalid pulang setelah hampir dua minggu suaminya nyaris tak ada kabar. Nindi tak tahu apa yang sudah lelaki itu lewati selama dua pekan terakhir ini.Nindi langsung memeluk Khalid begitu lelaki itu memasuki ruangan. Dia kesampingkan ego dan menelan bulat-bulat rasa kecewanya sendir
Perempuan dengan pakaian serampangan dan hanya kerudung yang disampirkan itu duduk di salah satu bangku ruang tunggu sebuah rumah sakit ternama di kota Batam. Satu setengah jam lalu ambulans mengantar lelaki yang terkapar tak sadar dengan luka serius di kepala. Ruangan itu dipenuhi dengan atmosfer tegang, dan perempuan berusia 31 tahun tersebut justru tenggelam dalam kecamuk pikirannya yang kacau.Beberapa kali dia meremas kedua tangan, tubuhnya gemetar. Ibu dua anak itu tertunduk dalam memerhatikan pijakkan, mencoba menenangkan diri dan perasaan yang sulit dideskripsikan.Dia berharap semua yang terjadi hanya mimpi. Mulai dari pertemuan kembali dengan sosok dari masa lalu yang membangkitkan kenangan kelam yang coba dia kubur dalam, lalu kontrak tak masuk akal yang terpaksa ditandatangani, hingga kesepakatan yang seharusnya tak pernah terjadi. Dia merasa seperti telah terjebak dalam perjanjian yang menjadi pemicu keretakan rumah tangganya dengan sang suami.Imbas dari semua yang terja
Suara hujan yang lembut mengalir di luar jendela, seperti melodi kenangan yang berputar di kepala. Di ruang tengah aku duduk sendiri, menatap benda persegi yang membawa kembali ingatan akan momen-momen tak terlupakan dalam empat tahun kebersamaan kami di Lumajang. Kusaksikan kembali tubuh kembang Alid dari mulai tengkurap, merangkak, berjalan, sampai berlari. Begitu juga dengan proses hijrahku yang dibimbing oleh orang-orang ahli yang sukarela mengajari tanpa menghakimi.Seolah masih lekat dalam ingatan saat aku dengannya berbagi tawa dan tangis dalam setiap lembar cerita. Kala itu, hidupku terasa begitu ringan, meski beban yang kupikul sangatlah berat. Kami optimis mampu mewujudkan mimpi dan harapan di tengah terpaan cobaan.Namun, kini aku duduk di sini, dengan rasa berat di dada. Hidup telah membawaku ke dalam peran yang jauh dari apa yang kumimpikan. Pernikahan yang diawali dengan cinta, kini terasa seperti penjara yang mengekangku dalam dilema. Harapan-harapan yang dulu begitu ce