"Satu ... dua ... tiga!"
Teriakan itu menggema di malam yang tenang, disambut dengan deru mesin yang meraung keras. Mobil-mobil melaju dengan cepat, meninggalkan jejak debu dan asap di jalanan aspal yang gelap. Seorang pria tampan berada di depan kemudi, memacu mobilnya dengan penuh percaya diri, matanya fokus pada jalan di depan. Cahaya lampu jalanan dan sorot lampu mobil-mobil lainnya memantulkan bayangan wajahnya yang tegang namun penuh determinasi. Di pinggir lintasan, Fiona baru saja tiba di lokasi. Dia memandang pemandangan di depannya dengan tenang, matanya menyapu kerumunan orang yang bersorak-sorai menyemangati para pembalap. Di sampingnya, Maya dan Adel berdiri dengan antusias, mengikuti setiap gerakan mobil-mobil yang berpacu di lintasan. "Wow, lihat dia! Mobilnya benar-benar melaju kencang," seru Maya, matanya berbinar penuh semangat. "Siapa orang yang di dalamnya itu? Dia begitu lihai," tanya Adel dengan nada penasaran, sambil menunjuk ke arah mobil yang memimpin balapan. Fiona tersenyum tipis, menikmati momen tersebut. "Aku tidak tahu, tapi dia memang terlihat sangat profesional," jawabnya pelan. Mobil-mobil terus berpacu, saling mendahului dengan kecepatan dan ketegangan yang memukau. Suara derit ban mobil yang bergesekan dengan aspal terdengar jelas, menambahkan keseruan suasana balapan. Fiona menatap intens mobil hitam paling depan yang memimpin balapan dengan tatapan penuh arti. "Siapapun dia, dia sangat berbakat," gumamnya dalam hati. Di dalam mobil, pria itu semakin mempercepat laju mobilnya, meninggalkan lawan-lawannya jauh di belakang. Sorakan penonton semakin keras, memberikan semangat tambahan bagi para pembalap. Di saat yang bersamaan, Maya dan Adel terus memperhatikan setiap gerakan dengan penuh konsentrasi, ekspresi wajah mereka dipenuhi dengan ketertarikan. Suasana ceria terpancar jelas dari wajah mereka, membuat malam terasa begitu menyenangkan. Bagi Adel dan Maya, ini adalah pengalaman pertama mereka menyaksikan balapan liar karena Fiona yang mengajak mereka. Beberapa saat kemudian, mobil pria itu melintasi garis finish dengan kecepatan penuh, disambut dengan sorakan meriah dari penonton. Ketika pria itu keluar dari mobilnya, Fiona terlihat terkejut, begitu pula Adel dan Maya. "Itu ... itu Alvaro!" seru Maya dengan mata terbelalak. Adel menutupi mulut dengan tangannya, seakan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Alvaro? Ketua OSIS kita?" ucapnya cukup terkejut. Fiona mengangguk, sama terkejutnya. "Siapa sangka dia bisa balapan seperti ini? Sangat menarik." Alvaro melihat sekeliling, dia juga sedikit terkejut melihat Fiona dan kedua temannya berdiri tak jauh darinya. Alvaro hanya tersenyum tipis tanpa berniat menyapa Fiona, memilih berjalan mendekati beberapa teman laki-laki dan beberapa teman perempuannya yang sama sekali tidak dikenal oleh mereka bertiga. "Siapa orang-orang yang bersama Alvaro? Sepertinya, mereka tidak satu sekolah dengan kita," ujar Maya. "Mana aku tahu! Aku baru masuk sekolah tadi siang," ucap Fiona. "Ya, sepertinya mereka memang tidak satu sekolah dengan kita," sahut Adel. Mereka bertiga terlihat penasaran dengan teman-teman Alvaro yang tidak ada satupun di antara mereka yang satu sekolah dengannya. Fiona tiba-tiba menyunggingkan bibirnya, seakan dia baru saja mendapatkan ide yang sangat bagus di dalam kepalanya. "Ayo kita pergi!" ajak Fiona, mengajak kedua temannya menuju mobilnya untuk segera pulang. Tak butuh waktu lama, Fiona telah tiba di kediaman Stefanus Thene setelah mengantar pulang kedua temannya. Fiona dengan santainya berjalan menuju lift yang ada di rumah William. Di samping lift tersebut, terdapat lift kedua yang berdampingan. Fiona masuk ke dalam salah satunya, memilih menggunakan lift karena berjalan menuju tangga akan melelahkan. Apalagi kamarnya berada di lantai atas. Saat Fiona telah berada di dalam lift, pintu lift tertutup dengan suara halus. Fiona menekan tombol lantai yang diinginkannya, namun tiba-tiba lift itu berhenti bergerak setelah berguncang untuk sesaat. Fiona mencoba menekan tombol lainnya dengan wajah yang mulai panik, namun tidak ada respons. "Kenapa liftnya berhenti?" pikirnya. Fiona terus menekan tombol darurat berkali-kali, tetapi tetap tidak ada reaksi. Dia mulai merasa panik semakin menjadi-jadi. Fiona memukul-mukul dinding lift, berharap ada yang mendengarnya. "Tolong! Ada orang disini! Tolong aku!" teriak Fiona, suaranya bergetar penuh kepanikan. Fiona mencoba memencet semua tombol yang ada di dalam lift, dari tombol lantai hingga tombol darurat, namun lift tetap tidak bergerak. Keringat mulai mengalir di dahinya dan detak jantungnya semakin cepat. Rasa takut mulai merayapi pikirannya. Dia memukul-mukul pintu lift, berharap ada seseorang yang mendengarnya di luar sana. "Tolong! Siapapun! Tolong aku!" jeritnya lagi, suaranya semakin serak. Pikiran Fiona mulai kacau. "Bagaimana jika tidak ada yang menemukanku? Bagaimana jika aku terjebak di sini selamanya?" pikirnya. Dia merasakan ketakutan yang luar biasa, mengingat dia tidak suka berada di ruang sempit untuk waktu yang lama. Fiona mencoba menarik napas dalam-dalam, menenangkan dirinya. "William? Ya… Aku harus menghubunginya," ucap Fiona dengan cepat, mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya. Fiona mencoba mencari nomor William di daftar kontaknya, tetapi dia tidak kunjung menemukan nomornya. "Shit! Aku belum menyimpan nomornya." Lagi-lagi Fiona berbicara sendiri, dan segera membuka menu pesan untuk melihat nomor William yang tadi siang mengirimnya pesan. Akhirnya, Fiona berhasil menemukan nomor ponselnya. Dengan cepat dia memencet tombol panggilan. Namun, sudah beberapa detik William belum juga mengangkat teleponnya. "Apa dia sudah tidur? Tidak-tidak, dia tidak boleh tidur." Fiona segera menghubunginya lagi. Sampai beberapa kali dia terus menghubunginya, tetapi William tidak kunjung mengangkat teleponnya. Satu-satunya orang yang diharapkan Fiona saat ini adalah dia. Tanpa terasa air mata Fiona menetes ke atas ponselnya. Fiona berjongkok dengan ponsel yang masih digenggamnya. Raut wajah sedih dan takut hanya bisa dirasakan olehnya tanpa tahu harus berbuat apa agar bisa keluar dari dalam lift. Bayangan masa kecilnya tiba-tiba muncul kembali dalam benak Fiona. Ketika pertama kalinya dia terjebak di dalam lift sendirian karena kecerobohannya yang ingin menggunakan lift tanpa tahu akibatnya. Semua itu terjadi saat kedua orang tuanya sedang bertengkar hebat di rumah. Fiona malah pergi dari rumahnya bersama sang kakak. Dia berniat untuk menghibur dirinya dengan bermain ke sebuah timezone bersama Azalea, justru malah terjebak di dalam lift. Ada banyak permainan anak-anak di sina, dia sudah terbiasa datang ke mal yang tak jauh dari rumahnya. Apalagi kehidupan mewah sudah ada sejak Fiona lahir, tetapi baginya kehidupan mewah tidak membuatnya merasakan kebahagiaan dalam hidupnya. Fiona selalu saja mendengar kedua orang tuanya bertengkar karena kesalahpahaman yang sudah tak dapat mereka selesaikan, belum lagi perusahaan ayahnya mengalami penurunan yang cukup serius pada saat itu, dan membuat orang tuanya hampir setiap hari bertengkar. Dalam kesedihan yang terus melanda hati Fiona yang masih terjebak di dalam lift, ada banyak penjaga berada di luar yang telah diperintahkan William untuk segera mengeluarkan Fiona.Perlahan Dawson mencium bibir Nessa sekilas, mencoba menenangkannya. Lalu menutup matanya sesaat. Kepalanya berat, bukan hanya karena luka dan kelelahan, tapi karena semua yang baru ia ketahui. Kenyataan yang baru diterimanya membuat pikirannya kacau.Fiona dan William masuk perlahan, berdiri di sisi ruangan tanpa mengganggu momen mereka. William hanya menatap putranya dari jauh, ekspresinya sulit di tebak. Fiona menggenggam tangan William erat, seolah hanya itu yang membuatnya tetap tenang.Dawson membuka mata, menatap mereka, lalu kembali pada Nessa yang duduk di sisi ranjangnya.“Nessa … kamu tidak perlu khawatir lagi, aku baik-baik saja sekarang,” ucapnya pelan. “Kita sudah bertemu, dan sekarang … tidak sendirian lagi.”Nessa menatap wajah Dawson, matanya lembut, meski masih tampak cemas. Dawson mengerang pelan saat mencoba bangkit dari posisi berbaring. Tubuhnya masih lemah, namun dia memaksa dirinya untuk duduk. Nessa buru-buru membantunya, menyanggah punggungnya agar tidak terla
Beberapa hari terakhir terasa seperti neraka bagi Nessa. Sejak terakhir kali Dawson menghubunginya, tak ada satu pesan pun yang masuk. Nomor Dawson pun sudah tidak aktif. Seperti menghilang ditelan bumi. Awalnya, ia mencoba untuk tidak terlalu memikirkan hal itu. Tapi semakin lama, rasa cemasnya semakin menyesakkan dada. Ada firasat buruk yang terus menghantui pikirannya, membayanginya siang dan malam.Tidurnya tak pernah nyenyak. Malam-malam dilaluinya dengan resah, berulang kali menatap layar ponselnya tanpa hasil. Ia mencoba bertanya pada anak buah Dawson, namun mereka tidak memberikan jawaban yang meyakinkan, hanya memintanya tetap di rumah demi keselamatannya.Karena merasa tertekan dan butuh teman, Nessa akhirnya menghubungi Evelyn. Dia memintanya datang dan menginap di rumah. Tapi sayangnya, para penjaga tak mengizinkan Nessa untuk bermalam di luar. Sehingga Nessa mengajak Evelyn menginap di rumahnya dan gadis itu pun setuju untuk datang.Ketika malam tiba, Evelyn datang tak se
Dawson turun perlahan, melompati atap ke belakang gedung, lalu menyelinap masuk lewat pintu layanan yang hanya di jaga satu orang. Dengan menangkap dari arah belakang dan gerakan memutar lehernya, Dawson berhasil masuk tanpa menimbulkan suara. Ia sudah memetakan jalur ini berhari-hari sebelumnya. Saat pria-pria berjaga sibuk memindahkan peti-peti logam, Dawson meluncur dalam bayangan, seperti hantu yang tak terlihat.Ruang utama hanya berjarak satu koridor lagi. Saat ia sampai di sana, ia melihat Reuben duduk santai di kursi kulit, dikelilingi tiga pria berbadan besar dan satu wanita bersenjata.Tanpa banyak basa-basi, Dawson menarik pelatuk. Tiga peluru senyap menghentikan nyawa pengawal itu dalam sekejap. Teriakan wanita bersenjata tak sempat keluar karena pisau lempar Dawson lebih cepat dari suaranya.Reuben bangkit, berusaha mengeluarkan pistol, namun Dawson menembaknya lebih dulu—tepat di dada.Tubuh Reuben terhuyung lalu tumbang ke belakang, darah mengalir membasahi marmer mewah
Ketika pintu lift terbuka, koridor dengan karpet mewah dan pencahayaan hangat menyambut mereka. William menggenggam tangan Fiona sebelum membuka pintu besar menuju ruang kantornya.Begitu pintu tertutup di belakang mereka, Fiona langsung duduk di sofa dekat jendela besar yang menyuguhkan pemandangan kota. William melepas jasnya dan menggantungkannya di sandaran kursi.“William, haruskah aku mendekati Nessa?” “Bukankah, kamu sudah mendekatinya,” ucap William sambil membuka dokumen yang ada di atas meja kerjanya. “Maksudku, lebih dekat lagi. Aku ingin tahu tempat tinggal Dawson. Jika mereka sudah menikah, pastinya akan tinggal serumah,” lanjut berkata. “Aku sudah terlalu lama menunggu jawaban tentang anak kita berada, William.” William meraih tablet dari mejanya dan mulai mengetik sesuatu. “Aku akan minta laporan latar belakang tentang Nessa dari HRD. Pasti ada sesuatu yang tercatat.”Fiona menatap ke luar jendela. Angin menghembuskan tirai tipis. “Aku hanya berharap ini bukan harapa
Dawson duduk di sebuah meja kayu besar di dalam bangunan tua dan tersembunyi. Tak lama, empat pria masuk—David, Max, Erick, dan Ethan. "Dawson, mengapa kau mengumpulkan kami disini?" kata David sambil bersandar di dinding, menyilangkan tangan.Dawson berdiri. "Aku butuh bantuan kalian. Ini penting."Max menyipitkan mata. "Masalahnya apa?” "Aku ingin hidup dengan damai dan mengakhiri pekerjaanku selama ini. Namun, Kondrey tidak akan membiarkanku pergi begitu saja. Aku tahu itu. Tapi yang paling aku khawatirkan bukan diriku … tapi Nessa. Dia sengaja memberikan tugas yang cukup jauh, dia bisa saja mencoba melukai satu-satunya kelemahanku."Erick dan Ethan saling pandang, lalu mendekat."Kau ingin kami jaga dia?" tanya Erick."Ya. Pastikan dia aman. Aku akan menambah beberapa penjaga tetap di rumah, tapi aku butuh mata dan telinga yang lebih tajam—orang yang aku percaya sepenuhnya."Dawson menatap mereka satu per satu. "Aku titipkan hidup Nessa pada kalian."David menarik napas. “Kami b
Dua hari berlalu sejak insiden di galeri. Nessa akhirnya diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Meski kondisinya sudah membaik, Dawson tetap tidak tenang. Ia datang menjemput Nessa pagi-pagi sekali, mengenakan kemeja gelap dan mantel panjang, wajahnya tak lepas dari ekspresi serius sejak memasuki bangsal.Di dalam mobil, Nessa duduk diam, kepalanya bersandar di jendela sambil memandangi jalanan. Dawson sesekali melirik, memastikan gadis itu baik-baik saja.“Kalau kamu masih ingin istirahat di rumah sakit, aku tidak keberatan,” ujar Dawson pelan, memecah keheningan.Nessa menggeleng kecil. “Aku lebih tenang di rumah. Apalagi di rumahnya ada suamiku.” Dawson menoleh dan tersenyum sambil mengacak-acak rambutnya. “Aku akan selalu ada.”Nessa hanya tersenyum tipis, ia tahu suaminya tidak akan selalu ada, mengingat pekerjaannya yang mengharuskannya jarang pulang ke rumah. Begitu sampai di rumah, beberapa pria berseragam hitam dengan tubuh gagah dan besar langsung membukakan gerbang. Meng