Share

Bab 6 Menggoda

Penulis: Simbaradiffa
last update Terakhir Diperbarui: 2024-08-13 17:42:00

Fiona berdiri tepat di hadapan William yang melihatnya dengan tatapan datar. Fiona menundukkan setengah badannya agar sejajar dengan William yang duduk di kursi roda, sambil memainkan dasi merah yang dipakainya.

"Apakah kamu marah padaku?" tanyanya dengan suara lembut.

Hening, tak ada jawaban yang keluar dari mulut William. Dia hanya diam memperhatikan gerak gerik Fiona.

Dengan sentuhan lembut, Fiona meraba jas hitam William lalu merubah tangannya menjadi menunjuk tepat di arah detak jantung William.

“William, apa kamu masih ingat perkataanku kemarin? Jika lupa, aku akan ingatkan sekali lagi, bahwa kau tidak punya hak untuk melarang apapun yang aku lakukan karena aku tidak suka dilarang, termasuk oleh suamiku sendiri. Apalagi pernikahan kita-" Fiona belum menyelesaikan ucapannya, William telah memotong pembicaraannya.

"Kau tidak perlu membahasnya lagi! Aku sama sekali tidak tertarik dengan urusanmu," potong William dengan suara dingin, matanya menatap kosong ke arah lain.

Fiona terdiam sejenak, menelan ludah dengan perlahan. "Oh, baiklah! Apa kamu sudah makan malam? Bagaimana jika kita makan malam bersama? Aku akan memasak beberapa menu makanan untukmu," bisiknya, dengan nada suara menggoda.

William tetap tidak merespons, tatapannya sama sekali tidak melihat ke arah Fiona.

Merasa diabaikan dengan sia-sia, Fiona berdiri tegak dan mulai merapikan rambutnya dengan gerakan yang terlalu dibuat-buat, memperlihatkan leher jenjangnya.

"Kau tahu, di luar sana masih banyak pria yang akan melakukan apa saja untuk mendapatkan perhatian dariku, dan juga masakan terenak yang aku buat," katanya dengan nada genit, berharap bisa memancing reaksi dari William.

Fiona mendekatkan dirinya lagi, kali ini tangannya bermain di kerah jas William, jemarinya yang lentik seakan menari di sepanjang kain. "Kau begitu kaku, William. Tidak bisakah kita makan malam bersama? Seperti sepasang suami istri atau pengantin baru."

William hanya menarik napas dalam-dalam tanpa menjawab perkataan Fiona.

Fiona tersenyum lebar, matanya berkilat nakal. "Oh, ayolah, kau pasti menginginkannya kan?" godanya. Namun, William sama sekali tidak peduli dengan apa yang Fiona katakan.

Dengan wajah cemberut, Fiona merasa kesal karena terus diabaikan.

Saat Fiona hendak berbalik untuk pergi, William dengan cepat menarik pinggangnya, membuatnya kehilangan keseimbangan. Fiona terjatuh ke pangkuan William, terduduk di atas kursi roda bersamanya.

"Apa yang kau lakukan?!" seru Fiona, mencoba mengendalikan emosi dan keterkejutan dalam suaranya.

William mendekatkan wajahnya ke telinga Fiona dan berbisik dengan nada dingin, “Fiona, kau berhasil membuatku ingin mencoba masakanmu! Tapi kau gagal membuatku terkesan,”

Fiona terdiam, wajahnya memucat sejenak sebelum mengganti ekspresinya dengan senyuman penuh tipu daya. "Baiklah, William. Mungkin aku akan mencoba cara lain untuk membuatmu terkesan," katanya, mencoba mempertahankan senyum di bibirnya.

"Cobalah sepuasmu, Fiona. Aku tidak akan pernah tertarik pada permainanmu,” bisik William, tepat di telinganya.

William melepaskan genggamannya yang melingkar di pinggang Fiona dengan kasar.

Fiona segera berdiri, merapikan pakaiannya, mengabaikan perkataan William.

“William, aku akan mengganti pakaianku terlebih dahulu, sebelum melayanimu,” ujar Fiona, tanpa menunggu jawaban dari suaminya itu, dia segera pergi menuju kamarnya, berjalan meninggalkan William dengan langkah-langkah yang lambat, memastikan setiap gerakannya terkesan provokatif. Dia sengaja membuat William semakin muak dengan bersikap seperti itu.

Setelah mengganti pakaiannya, Fiona berjalan menuju dapur dengan rambut yang digulung cepol asal-asalan, membiarkan anak rambutnya menjuntai begitu saja. Fiona benar-benar memasak untuk makan malam mereka berdua, tanpa bantuan siapa pun. Dia memasaknya sendirian dengan penuh semangat, memotong sayuran dengan lihainya.

Bagi Fiona, memasak bukanlah hal yang asing. Dia sudah terbiasa melakukannya ketika bersama ibunya.

Dari kejauhan, William melihat pemandangan yang tak pernah dilihatnya. Ada perasaan tak biasa dalam diri William saat melihat Fiona memasak. Wajah Fiona tampak semakin cantik, dan keseriusannya dalam memasak benar-benar berbeda dengan sikap Fiona yang William kenal.

“Selesai!” gumam Fiona sambil berjalan mendekati meja makan.

William sudah menunggunya sejak beberapa menit yang lalu. Dia menatap menu makanan yang terlihat menggiurkan.

“Makanlah ini,” kata Fiona, memberikan semangkuk kecil sup buatannya yang telah dicampuri garam dengan begitu banyak.

Fiona sengaja melakukannya untuk mengerjai William. Namun, Fiona malah dikejutkan dengan William yang terus meminum sup tersebut tanpa berkomentar apa pun. Wajahnya tidak memperlihatkan ekspresi sedikit pun. Hal itu membuat Fiona merasa sedikit cemas.

“William, hentikan!” pinta Fiona dengan nada panik. Namun, William tetap melakukannya.

Fiona semakin panik dan mengambil mangkuk sup tersebut dari tangan William.

“Apa kau sudah gila? Ini terlalu banyak garam, tidak baik untuk kesehatanmu,” seru Fiona dengan nada tegas.

William tersenyum tipis, sampai-sampai senyumnya itu tidak akan terlihat di wajahnya, menatap Fiona tanpa berkata apapun.

Fiona terdiam sejenak, lalu meletakkan mangkuk tersebut di meja. Dia berniat mengerjai William, tetapi dia sendiri yang merasa cemas.

"Jangan pernah melakukan hal bodoh seperti itu lagi," ujarnya, mencoba menyembunyikan kekhawatiran di balik nada suaranya yang tegas. Wajahnya berubah cemberut karena merasa gagal mengerjai William yang sama sekali tidak peduli dengan apa yang dilakukannya.

“Bukan aku yang melakukan hal bodoh itu, tapi–” Belum selesai William berucap, Fiona telah memotong perkataannya.

“Ya, aku tahu itu salahku. Maaf!” ucap Fiona dengan nada pelan. William hanya menganggukkan kepalanya.

Fiona menghela napas, lalu duduk di sebelah William. "Sekarang kita makan dengan benar," ucapnya sambil menyodorkan piring dengan makanan yang sudah disiapkannya.

Mereka berdua pun mulai makan malam dengan suasana yang lebih tenang.

****

Satu jam setelah selesai makan malam, Fiona berjalan penuh percaya diri melewati William yang sedang membicarakan pekerjaan dengan asistennya yang bernama, Max.

Baru beberapa langkah melewati William, dia berbalik dan melayangkan senyum penuh tipu daya ke arah William yang tanpa sengaja melihat ke arah Fiona.

"Aku akan keluar malam ini. Jangan tunggu aku pulang," katanya dengan nada santai.

William menghela napas panjang, menatap Fiona dengan tatapan dingin.

"Lakukan apa yang kau mau. Aku tidak peduli," balasnya dengan suara datar, menunjukkan ketidaktertarikannya pada Fiona.

Fiona tersenyum senang, merasa puas dengan reaksi William. Dia lalu berjalan keluar, memastikan pintu tertutup dengan suara yang sengaja dibuat cukup keras untuk menegaskan kepergiannya.

Setelah Fiona pergi, William meremas lengan kursi rodanya, berusaha meredam kemarahan yang membara dalam dirinya.

Max yang melihat reaksi William mencoba bertanya, “Apa kita perlu mengikutinya?”

“Tidak perlu!” William dengan cepat menjawab.

Di luar ruangan, Fiona berhenti sejenak, menatap bayangan dirinya di cermin besar di lorong, merapikan rambutnya yang sedikit berantakan.

Sebuah senyum tipis tercetak jelas di bibirnya.

Dengan cara seperti ini, dia bisa mempertahankan kendali atas dirinya sendiri tanpa terjebak dalam permainan perasaan dan akan membuatnya semakin dekat dengan tujuannya.

Fiona menghela napas, mengangkat dagunya, dan melanjutkan langkahnya keluar rumah.

Malam ini, dia akan pergi bersenang-senang menikmati hiburan dengan menonton balap mobil liar yang biasanya diselenggarakan setelah jalanan sepi.

Bagi Fiona, menonton balapan dan bermain di malam hari sudah menjadi kebiasaan saat tinggal di Italia.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Noor Sukabumi
memang yah yg nmnya perempuan sombong kalau belom terjadi sesuatu yg bikin dia jera g bkln berhenti sama kesombongannua
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • BENIH PRESDIR LUMPUH   Bab 112 Menciumnya Perlahan

    Perlahan Dawson mencium bibir Nessa sekilas, mencoba menenangkannya. Lalu menutup matanya sesaat. Kepalanya berat, bukan hanya karena luka dan kelelahan, tapi karena semua yang baru ia ketahui. Kenyataan yang baru diterimanya membuat pikirannya kacau.Fiona dan William masuk perlahan, berdiri di sisi ruangan tanpa mengganggu momen mereka. William hanya menatap putranya dari jauh, ekspresinya sulit di tebak. Fiona menggenggam tangan William erat, seolah hanya itu yang membuatnya tetap tenang.Dawson membuka mata, menatap mereka, lalu kembali pada Nessa yang duduk di sisi ranjangnya.“Nessa … kamu tidak perlu khawatir lagi, aku baik-baik saja sekarang,” ucapnya pelan. “Kita sudah bertemu, dan sekarang … tidak sendirian lagi.”Nessa menatap wajah Dawson, matanya lembut, meski masih tampak cemas. Dawson mengerang pelan saat mencoba bangkit dari posisi berbaring. Tubuhnya masih lemah, namun dia memaksa dirinya untuk duduk. Nessa buru-buru membantunya, menyanggah punggungnya agar tidak terla

  • BENIH PRESDIR LUMPUH   Bab 111 Tidurnya Tak Nyenyak

    Beberapa hari terakhir terasa seperti neraka bagi Nessa. Sejak terakhir kali Dawson menghubunginya, tak ada satu pesan pun yang masuk. Nomor Dawson pun sudah tidak aktif. Seperti menghilang ditelan bumi. Awalnya, ia mencoba untuk tidak terlalu memikirkan hal itu. Tapi semakin lama, rasa cemasnya semakin menyesakkan dada. Ada firasat buruk yang terus menghantui pikirannya, membayanginya siang dan malam.Tidurnya tak pernah nyenyak. Malam-malam dilaluinya dengan resah, berulang kali menatap layar ponselnya tanpa hasil. Ia mencoba bertanya pada anak buah Dawson, namun mereka tidak memberikan jawaban yang meyakinkan, hanya memintanya tetap di rumah demi keselamatannya.Karena merasa tertekan dan butuh teman, Nessa akhirnya menghubungi Evelyn. Dia memintanya datang dan menginap di rumah. Tapi sayangnya, para penjaga tak mengizinkan Nessa untuk bermalam di luar. Sehingga Nessa mengajak Evelyn menginap di rumahnya dan gadis itu pun setuju untuk datang.Ketika malam tiba, Evelyn datang tak se

  • BENIH PRESDIR LUMPUH   Bab 110 Moncong Pistol

    Dawson turun perlahan, melompati atap ke belakang gedung, lalu menyelinap masuk lewat pintu layanan yang hanya di jaga satu orang. Dengan menangkap dari arah belakang dan gerakan memutar lehernya, Dawson berhasil masuk tanpa menimbulkan suara. Ia sudah memetakan jalur ini berhari-hari sebelumnya. Saat pria-pria berjaga sibuk memindahkan peti-peti logam, Dawson meluncur dalam bayangan, seperti hantu yang tak terlihat.Ruang utama hanya berjarak satu koridor lagi. Saat ia sampai di sana, ia melihat Reuben duduk santai di kursi kulit, dikelilingi tiga pria berbadan besar dan satu wanita bersenjata.Tanpa banyak basa-basi, Dawson menarik pelatuk. Tiga peluru senyap menghentikan nyawa pengawal itu dalam sekejap. Teriakan wanita bersenjata tak sempat keluar karena pisau lempar Dawson lebih cepat dari suaranya.Reuben bangkit, berusaha mengeluarkan pistol, namun Dawson menembaknya lebih dulu—tepat di dada.Tubuh Reuben terhuyung lalu tumbang ke belakang, darah mengalir membasahi marmer mewah

  • BENIH PRESDIR LUMPUH   Bab 109 Membantunya

    Ketika pintu lift terbuka, koridor dengan karpet mewah dan pencahayaan hangat menyambut mereka. William menggenggam tangan Fiona sebelum membuka pintu besar menuju ruang kantornya.Begitu pintu tertutup di belakang mereka, Fiona langsung duduk di sofa dekat jendela besar yang menyuguhkan pemandangan kota. William melepas jasnya dan menggantungkannya di sandaran kursi.“William, haruskah aku mendekati Nessa?” “Bukankah, kamu sudah mendekatinya,” ucap William sambil membuka dokumen yang ada di atas meja kerjanya. “Maksudku, lebih dekat lagi. Aku ingin tahu tempat tinggal Dawson. Jika mereka sudah menikah, pastinya akan tinggal serumah,” lanjut berkata. “Aku sudah terlalu lama menunggu jawaban tentang anak kita berada, William.” William meraih tablet dari mejanya dan mulai mengetik sesuatu. “Aku akan minta laporan latar belakang tentang Nessa dari HRD. Pasti ada sesuatu yang tercatat.”Fiona menatap ke luar jendela. Angin menghembuskan tirai tipis. “Aku hanya berharap ini bukan harapa

  • BENIH PRESDIR LUMPUH   Bab 108 Bergerak Halus

    Dawson duduk di sebuah meja kayu besar di dalam bangunan tua dan tersembunyi. Tak lama, empat pria masuk—David, Max, Erick, dan Ethan. "Dawson, mengapa kau mengumpulkan kami disini?" kata David sambil bersandar di dinding, menyilangkan tangan.Dawson berdiri. "Aku butuh bantuan kalian. Ini penting."Max menyipitkan mata. "Masalahnya apa?” "Aku ingin hidup dengan damai dan mengakhiri pekerjaanku selama ini. Namun, Kondrey tidak akan membiarkanku pergi begitu saja. Aku tahu itu. Tapi yang paling aku khawatirkan bukan diriku … tapi Nessa. Dia sengaja memberikan tugas yang cukup jauh, dia bisa saja mencoba melukai satu-satunya kelemahanku."Erick dan Ethan saling pandang, lalu mendekat."Kau ingin kami jaga dia?" tanya Erick."Ya. Pastikan dia aman. Aku akan menambah beberapa penjaga tetap di rumah, tapi aku butuh mata dan telinga yang lebih tajam—orang yang aku percaya sepenuhnya."Dawson menatap mereka satu per satu. "Aku titipkan hidup Nessa pada kalian."David menarik napas. “Kami b

  • BENIH PRESDIR LUMPUH   Bab 107 Jangan Melibatkan Istriku

    Dua hari berlalu sejak insiden di galeri. Nessa akhirnya diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Meski kondisinya sudah membaik, Dawson tetap tidak tenang. Ia datang menjemput Nessa pagi-pagi sekali, mengenakan kemeja gelap dan mantel panjang, wajahnya tak lepas dari ekspresi serius sejak memasuki bangsal.Di dalam mobil, Nessa duduk diam, kepalanya bersandar di jendela sambil memandangi jalanan. Dawson sesekali melirik, memastikan gadis itu baik-baik saja.“Kalau kamu masih ingin istirahat di rumah sakit, aku tidak keberatan,” ujar Dawson pelan, memecah keheningan.Nessa menggeleng kecil. “Aku lebih tenang di rumah. Apalagi di rumahnya ada suamiku.” Dawson menoleh dan tersenyum sambil mengacak-acak rambutnya. “Aku akan selalu ada.”Nessa hanya tersenyum tipis, ia tahu suaminya tidak akan selalu ada, mengingat pekerjaannya yang mengharuskannya jarang pulang ke rumah. Begitu sampai di rumah, beberapa pria berseragam hitam dengan tubuh gagah dan besar langsung membukakan gerbang. Meng

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status