Fiona berdiri tepat di hadapan William yang melihatnya dengan tatapan datar. Fiona menundukkan setengah badannya agar sejajar dengan William yang duduk di kursi roda, sambil memainkan dasi merah yang dipakainya.
"Apakah kamu marah padaku?" tanyanya dengan suara lembut. Hening, tak ada jawaban yang keluar dari mulut William. Dia hanya diam memperhatikan gerak gerik Fiona. Dengan sentuhan lembut, Fiona meraba jas hitam William lalu merubah tangannya menjadi menunjuk tepat di arah detak jantung William. “William, apa kamu masih ingat perkataanku kemarin? Jika lupa, aku akan ingatkan sekali lagi, bahwa kau tidak punya hak untuk melarang apapun yang aku lakukan karena aku tidak suka dilarang, termasuk oleh suamiku sendiri. Apalagi pernikahan kita-" Fiona belum menyelesaikan ucapannya, William telah memotong pembicaraannya. "Kau tidak perlu membahasnya lagi! Aku sama sekali tidak tertarik dengan urusanmu," potong William dengan suara dingin, matanya menatap kosong ke arah lain. Fiona terdiam sejenak, menelan ludah dengan perlahan. "Oh, baiklah! Apa kamu sudah makan malam? Bagaimana jika kita makan malam bersama? Aku akan memasak beberapa menu makanan untukmu," bisiknya, dengan nada suara menggoda. William tetap tidak merespons, tatapannya sama sekali tidak melihat ke arah Fiona. Merasa diabaikan dengan sia-sia, Fiona berdiri tegak dan mulai merapikan rambutnya dengan gerakan yang terlalu dibuat-buat, memperlihatkan leher jenjangnya. "Kau tahu, di luar sana masih banyak pria yang akan melakukan apa saja untuk mendapatkan perhatian dariku, dan juga masakan terenak yang aku buat," katanya dengan nada genit, berharap bisa memancing reaksi dari William. Fiona mendekatkan dirinya lagi, kali ini tangannya bermain di kerah jas William, jemarinya yang lentik seakan menari di sepanjang kain. "Kau begitu kaku, William. Tidak bisakah kita makan malam bersama? Seperti sepasang suami istri atau pengantin baru." William hanya menarik napas dalam-dalam tanpa menjawab perkataan Fiona. Fiona tersenyum lebar, matanya berkilat nakal. "Oh, ayolah, kau pasti menginginkannya kan?" godanya. Namun, William sama sekali tidak peduli dengan apa yang Fiona katakan. Dengan wajah cemberut, Fiona merasa kesal karena terus diabaikan. Saat Fiona hendak berbalik untuk pergi, William dengan cepat menarik pinggangnya, membuatnya kehilangan keseimbangan. Fiona terjatuh ke pangkuan William, terduduk di atas kursi roda bersamanya. "Apa yang kau lakukan?!" seru Fiona, mencoba mengendalikan emosi dan keterkejutan dalam suaranya. William mendekatkan wajahnya ke telinga Fiona dan berbisik dengan nada dingin, “Fiona, kau berhasil membuatku ingin mencoba masakanmu! Tapi kau gagal membuatku terkesan,” Fiona terdiam, wajahnya memucat sejenak sebelum mengganti ekspresinya dengan senyuman penuh tipu daya. "Baiklah, William. Mungkin aku akan mencoba cara lain untuk membuatmu terkesan," katanya, mencoba mempertahankan senyum di bibirnya. "Cobalah sepuasmu, Fiona. Aku tidak akan pernah tertarik pada permainanmu,” bisik William, tepat di telinganya. William melepaskan genggamannya yang melingkar di pinggang Fiona dengan kasar. Fiona segera berdiri, merapikan pakaiannya, mengabaikan perkataan William. “William, aku akan mengganti pakaianku terlebih dahulu, sebelum melayanimu,” ujar Fiona, tanpa menunggu jawaban dari suaminya itu, dia segera pergi menuju kamarnya, berjalan meninggalkan William dengan langkah-langkah yang lambat, memastikan setiap gerakannya terkesan provokatif. Dia sengaja membuat William semakin muak dengan bersikap seperti itu. Setelah mengganti pakaiannya, Fiona berjalan menuju dapur dengan rambut yang digulung cepol asal-asalan, membiarkan anak rambutnya menjuntai begitu saja. Fiona benar-benar memasak untuk makan malam mereka berdua, tanpa bantuan siapa pun. Dia memasaknya sendirian dengan penuh semangat, memotong sayuran dengan lihainya. Bagi Fiona, memasak bukanlah hal yang asing. Dia sudah terbiasa melakukannya ketika bersama ibunya. Dari kejauhan, William melihat pemandangan yang tak pernah dilihatnya. Ada perasaan tak biasa dalam diri William saat melihat Fiona memasak. Wajah Fiona tampak semakin cantik, dan keseriusannya dalam memasak benar-benar berbeda dengan sikap Fiona yang William kenal. “Selesai!” gumam Fiona sambil berjalan mendekati meja makan. William sudah menunggunya sejak beberapa menit yang lalu. Dia menatap menu makanan yang terlihat menggiurkan. “Makanlah ini,” kata Fiona, memberikan semangkuk kecil sup buatannya yang telah dicampuri garam dengan begitu banyak. Fiona sengaja melakukannya untuk mengerjai William. Namun, Fiona malah dikejutkan dengan William yang terus meminum sup tersebut tanpa berkomentar apa pun. Wajahnya tidak memperlihatkan ekspresi sedikit pun. Hal itu membuat Fiona merasa sedikit cemas. “William, hentikan!” pinta Fiona dengan nada panik. Namun, William tetap melakukannya. Fiona semakin panik dan mengambil mangkuk sup tersebut dari tangan William. “Apa kau sudah gila? Ini terlalu banyak garam, tidak baik untuk kesehatanmu,” seru Fiona dengan nada tegas. William tersenyum tipis, sampai-sampai senyumnya itu tidak akan terlihat di wajahnya, menatap Fiona tanpa berkata apapun. Fiona terdiam sejenak, lalu meletakkan mangkuk tersebut di meja. Dia berniat mengerjai William, tetapi dia sendiri yang merasa cemas. "Jangan pernah melakukan hal bodoh seperti itu lagi," ujarnya, mencoba menyembunyikan kekhawatiran di balik nada suaranya yang tegas. Wajahnya berubah cemberut karena merasa gagal mengerjai William yang sama sekali tidak peduli dengan apa yang dilakukannya. “Bukan aku yang melakukan hal bodoh itu, tapi–” Belum selesai William berucap, Fiona telah memotong perkataannya. “Ya, aku tahu itu salahku. Maaf!” ucap Fiona dengan nada pelan. William hanya menganggukkan kepalanya. Fiona menghela napas, lalu duduk di sebelah William. "Sekarang kita makan dengan benar," ucapnya sambil menyodorkan piring dengan makanan yang sudah disiapkannya. Mereka berdua pun mulai makan malam dengan suasana yang lebih tenang. **** Satu jam setelah selesai makan malam, Fiona berjalan penuh percaya diri melewati William yang sedang membicarakan pekerjaan dengan asistennya yang bernama, Max. Baru beberapa langkah melewati William, dia berbalik dan melayangkan senyum penuh tipu daya ke arah William yang tanpa sengaja melihat ke arah Fiona. "Aku akan keluar malam ini. Jangan tunggu aku pulang," katanya dengan nada santai. William menghela napas panjang, menatap Fiona dengan tatapan dingin. "Lakukan apa yang kau mau. Aku tidak peduli," balasnya dengan suara datar, menunjukkan ketidaktertarikannya pada Fiona. Fiona tersenyum senang, merasa puas dengan reaksi William. Dia lalu berjalan keluar, memastikan pintu tertutup dengan suara yang sengaja dibuat cukup keras untuk menegaskan kepergiannya. Setelah Fiona pergi, William meremas lengan kursi rodanya, berusaha meredam kemarahan yang membara dalam dirinya. Max yang melihat reaksi William mencoba bertanya, “Apa kita perlu mengikutinya?” “Tidak perlu!” William dengan cepat menjawab. Di luar ruangan, Fiona berhenti sejenak, menatap bayangan dirinya di cermin besar di lorong, merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Sebuah senyum tipis tercetak jelas di bibirnya. Dengan cara seperti ini, dia bisa mempertahankan kendali atas dirinya sendiri tanpa terjebak dalam permainan perasaan dan akan membuatnya semakin dekat dengan tujuannya. Fiona menghela napas, mengangkat dagunya, dan melanjutkan langkahnya keluar rumah. Malam ini, dia akan pergi bersenang-senang menikmati hiburan dengan menonton balap mobil liar yang biasanya diselenggarakan setelah jalanan sepi. Bagi Fiona, menonton balapan dan bermain di malam hari sudah menjadi kebiasaan saat tinggal di Italia.Tangannya gemetar saat menekan nama kontak yang disimpannya sebagai “Suamiku.” Nessa belum mengganti nama yang ditulis Dawson.Panggilan tersambung.“Dawson… tolong aku...” bisiknya, hampir menangis.Tapi yang menjawab bukan suara Dawson.“Halo?” suara wanita terdengar di seberang telepon.Nessa membeku.Suara itu sangat asing, tapi cukup untuk menusuk dadanya. Ia tidak menjawab. Dadanya sesak, napasnya terhenti.Sudah cukup lama Dawson tidak pulang. Sudah cukup lama ia tidak tahu apa yang sebenarnya pria itu lakukan di luar sana.Dan kini, saat ia dalam bahaya, telepon Dawson dijawab oleh wanita lain. Kini ia menemukan jawabannya. Nessa tersenyum getir lalu mematikan sambungan teleponnya.“Dawson...” gumamnya sekali lagi, nyaris tanpa suara.Di saat ia masih terpaku, satu dari pria itu kembali menariknya. Kali ini lebih kasar. “Sudah cukup main ponselnya!”Nessa teranjat kaget dan langsung berteriak, mencoba melarikan diri, tapi salah satu dari mereka berhasil menangkapnya dan mend
Suasana hening, hanya suara detik jam dan desiran napas pelan yang mengisi ruangan.Nessa masih berada dalam pelukan Dawson, tubuhnya menegang meski perlahan mulai terbiasa dengan kehangatan yang menyelimuti punggungnya. Ia bisa merasakan detak jantung pria itu tenang, stabil—tidak seperti miliknya yang kacau.Dengan suara pelan, Nessa berusaha tenang. “Apa kau datang untuk tidur di sebelahku?” katanya. Dawson tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap wajah Nessa yang separuh masih tertutup rambut, kemudian menyelipkan beberapa helai rambut itu ke belakang telinga gadis itu. Sentuhan itu pelan, tapi membuat tubuh Nessa seolah dialiri listrik halus.“Aku tidak datang hanya untuk tidur di sebelahmu,” ucap Dawson tenang.Nessa mengerutkan alis.“Aku kembali ... karena aku ingin melihatmu,” lanjutnya.Nessa tersenyum sinis. “Bicaramu bisa membuat orang salah paham.”Dawson mendekat, wajahnya hanya sejengkal dari wajah Nessa. Matanya tidak lepas dari mata gadis itu. Tatapannya serius, tak
Tak lama kemudian. Suara kecil terdengar dari mikrofon di telinga masing-masing.“Mobil boks target terlihat. Melewati jalur yang kita rencanakan,” lapor Max dengan nada cepat namun tenang.Dawson mengangguk meski tak terlihat. “Jaga posisi. Tunggu aba-aba.”Mobil boks berwarna abu-abu itu melaju pelan di jalanan rusak, tak menyadari bahwa di sekelilingnya, empat pria bersenjata lengkap tengah menunggu saat yang tepat.“Target dalam jangkauan,” gumam Ethan dari atap.“Siap di belakang,” ucap David pelan.Dawson menempelkan punggungnya pada dinding dan mengatur napas. Wajahnya datar, tapi matanya penuh fokus. Ia menatap bayangan kendaraan itu yang perlahan semakin dekat.“Tiga detik lagi,” bisik Max.“Dua…”“Satu.”Dan misi rahasia pun dimulai.Dawson dan David berhasil membuat ban mobil boks itu kempes. Ketika dua pria dari dalam kendaraan turun untuk memeriksa, keduanya langsung bergerak.Dawson menangkup mulut pria pertama dan menghantamkan sikunya ke leher. Dugg! Tubuh pria itu
Keduanya terdiam sejenak. Hanya suara napas Dawson yang berat dan aroma wine samar yang memenuhi ruang di antara mereka.Nessa ingin segera bangkit, tapi tangan Dawson kini melingkar di punggungnya, menahannya agar tidak pergi. Wajahnya nyaris bersentuhan dengan wajah Dawson. Mata pria itu terpejam, tapi bibirnya bergerak pelan, menggumamkan kata-kata yang membuat Nessa terdiam.“Jangan pergi…”Nessa menahan napasnya.Dia tahu Dawson mabuk. Tapi suara itu terdengar begitu tulus.Tangannya yang hendak mendorong dada Dawson perlahan melemah. Ia hanya bisa menatap wajahnya yang terlihat tenang. Begitu berbeda dari sosok Dawson yang biasanya dingin dan mengintimidasi.Nessa menggeleng kecil, lalu menepuk pipi Dawson pelan. “Kau mabuk, Dawson. Lepaskan.”Pria itu menggumam tak jelas, tapi pelukannya melemah. Dalam hitungan detik, ia tertidur lebih dalam, napasnya mulai stabil.Dengan hati-hati, Nessa melepaskan diri dari pelukannya dan bangkit dari sofa. Ia menarik napas panjang, menatap p
Nessa terlonjak kaget dengan kedatangan Dawson tiba-tiba berdiri di sampingnya, tubuhnya reflek mundur. Tumit heels-nya terpeleset sedikit, membuat keseimbangannya goyah. Tas kecilnya jatuh ke lantai, mengeluarkan bunyi nyaring.Belum sempat Nessa terjatuh, Dawson sudah maju dan merangkul pinggangnya untuk mencegahnya jatuh membuat mata mereka saling bertatapan untuk sejenak.“Kenapa mengejutkanku begitu?!” seru Nessa sambil mendorong dada Dawson dengan kesal, membuat pelukannya lepas.Dawson tetap tenang, tapi matanya turun naik menelusuri penampilan Nessa. Dress hitam yang membentuk lekuk tubuhnya. “Dari mana saja kau?” tanyanya sekali lagi.Nessa memutar bola matanya, malas menjawab. Ia membungkuk untuk mengambil tasnya, lalu berdiri dan hendak membuka pintu kamar.Namun sebelum tangannya menyentuh gagang, Dawson bergerak cepat dan menyudutkannya ke dinding di sebelah pintu. Tubuhnya menekan Nessa, menahan ruang gerak gadis itu. Tangan Dawson bertumpu di sisi samping tubuh Nessa,
Di sisi kiri area taman kampus, tiga mahasiswi berdiri memperhatikan Nessa. Tatapan mereka tajam, menilai dengan sinis. Salah satunya bahkan melipat tangan di dada sambil menyipitkan mata.Nessa melihat mereka. Tapi seperti biasa, dia tidak peduli. Dia hanya berjalan melewati mereka dengan kepala tegak.Sampai satu kalimat bernada racun terdengar jelas di telinganya.“Dari mana lagi kalau bukan hasil jual diri?”Langkah Nessa berhenti. Ia berbalik perlahan dan menatap ketiganya dengan tatapan tajam.Mulutnya sudah hampir terbuka, ingin membalas perkataannya. Namun, suara orang yang memanggilnya membuat Nessa mengurungkan niatnya.“Nessa!"Suaranya nyaring, seorang gadis berambut panjang bergelombang menghampiri Nessa sambil melambaikan tangan.Wajahnya terlihat manis, dia adalah Evelyn—sahabatnya sejak semester pertama kuliah. Nessa segera menoleh dan menyambut Evelyn dengan senyum. Evelyn meraih tangannya dan menariknya menjauh dari tiga gadis tadi tanpa menoleh sekalipun.“Jangan
Air menyambutnya dingin, tapi ia tidak peduli. Matanya menyorot ke dasar kolam, tapi sebelum ia bisa meraih tubuh Nessa. Tawa gadis itu pecah di dekatnya.Nessa muncul ke permukaan, tertawa terbahak-bahak. “HAH! Kena kau!”Dawson terengah, dan menyadari Nessa berenang ke sisinya sambil terkekeh. “Kolamnya dangkal, bodoh! Lihat, aku bisa berdiri!”Wajah Dawson menyatu antara lega, marah, dan malu.“Kau pura-pura tenggelam?” suaranya datar, nyaris tak percaya.“Lihat siapa yang panik!” Nessa masih tertawa, lalu menyiramkan air ke wajah Dawson.Dawson menyeka air dari wajahnya dan menatap Nessa dengan tajam. “Kau pikir ini lucu?”“Lucu sekali,” jawab Nessa santai, menjauh darinya.Dawson menyusul. “Kau pikir kau bisa main-main denganku?”“Aku cuma membalas ciuman tadi,” sahutnya, senyum lebar di wajah Nessa.Tanpa peringatan, Dawson menarik tangannya. Nessa hampir jatuh lagi, tapi Dawson menahannya. Kini mereka kembali dekat, napasnya bersinggungan.“Kau suka bermain-main ternyata, baga
Pada sore hari, Nessa baru saja pulang dari kampus. Sudah beberapa hari ia tidak mengikuti mata kuliah, membuat beberapa tugasnya tertinggal. Biasanya ia tidak terlalu peduli dengan hal semacam itu, tapi kali ini Nessa tidak ingin menyia-nyiakan waktunya. Ia ingin fokus belajar kembali. Ia tidak ingin uang pamannya yang telah membiayai sekolahnya terbuang sia-sia.Sejak kemarin, ia sudah diperbolehkan kembali ke rumahnya setelah Nick memberitahunya bahwa Dawson mengizinkannya pulang. Meski begitu, ia belum juga bertemu dengan pria itu—bahkan hingga sekarang."Ahh!" Nessa berteriak kaget ketika mendapati seseorang sedang duduk santai di dalam kamarnya, membaca buku diary miliknya."Kau?! Kenapa kau ada di sini!" tanyanya panik sambil berjalan cepat mendekat dan menyambar buku dari tangan Dawson.Dawson hanya mendengus kecil. Dengan cepat, ia menarik pergelangan tangan Nessa hingga gadis itu terduduk di atas pangkuannya."Hei! Lepaskan! Apa yang kau lakukan di sini?" serunya, mencoba me
Dawson semakin mendekat, Nessa menjerit kecil lalu berlari tergesa ke dalam kamar mandi dan mengunci pintu. Jantungnya masih berpacu cepat. Ia menyandarkan tubuhnya di balik pintu kayu, mencoba menenangkan diri dari rasa takut dan marah yang bercampur aduk.Di luar, Dawson hanya tersenyum tipis. Dia membiarkan gadis itu bersembunyi dan kembali merebahkan tubuhnya ke ranjang. Pundaknya terasa berat setelah semalaman membereskan beberapa masalah. Tak butuh waktu lama akhirnya ia kembali tertidur, napasnya perlahan menjadi teratur.Waktu berlalu. Nessa baru keluar dari kamar mandi setelah merasa aman. Ia berjalan pelan, lalu berhenti di sisi ranjang saat melihat Dawson tertidur dengan pulas, memperhatikan pria itu yang tidur tanpa beban seolah dunia ini hanya miliknya seorang.‘Tampan, tetapi menjengkelkan,’ pikir Nessa dalam hati.Dengan pelan, ia melangkah ke arah pintu dan mencoba membukanya—namun pintu itu terkunci. Nessa mengerutkan kening. Ia memutar kenopnya beberapa kali, tapi t