Home / Rumah Tangga / BERAS LIMA RIBU / Tak bisa bertahan

Share

Tak bisa bertahan

Author: Mommy Alkai
last update Last Updated: 2024-10-24 06:31:04

"Eh, iy-iya. Bu-bukannya semua hari itu baik?" Arfan terdengar salah tingkah lagi.

Kali ini Ahmad sampai terkekeh meski sudah berusaha menahannya.

"Bang, beli beras dong!" kata seorang Ibu yang baru datang untuk berbelanja. "Lho, ada Bu Wandi, di sini?"

Melirik wanita itu, Arfan merasa terganggu saat memanggil Rasti dengan menyebut nama suaminya. Cemburu lebih tepatnya. Padahal di daerah ini, memang lumrah memanggil istri dengan nama suaminya.

"Eh, iya, Bu Angga. Saya kerja di sini."

"Kerja?" Wanita itu sempat melongo, tapi buru-buru menyadarinya. "Wah, rajin banget Bu Wandi. Padahal, kan, gaji suaminya sudah besar."

Saling melempar pandangan, fokus Arfan dan Ahmad kini tertuju pada wajah Rasti. Wanita itu berusaha tersenyum di balik luka yang disembunyikannya selama ini.

Rasti sebenarnya bukan tipe orang yang suka menceritakan masalah rumah tangganya, termasuk pada mertua dan saudara Wandi.

Sebagai orang sebatang kara dengan bekal pendidikan yang kurang, Rasti merasa tidak punya tempat lain untuk bergantung selain dengan suaminya. Meski sadar Wandi membodohinya dengan asal-asalan memberi nafkah, Rasti tetap bertahan demi Faiz yang sebentar lagi masuk sekolah. Dia tak mau anaknya tidak bisa melanjutkan sekolah seperti dirinya.

Walau ragu, Rasti berusaha yakin kalau Wandi tidak akan membiarkan Faiz tidak mendapat pendidikan yang layak.

"Daripada diam di rumah, Bu," jawab Rasti tanpa berani mengangkat wajah. Malu, karena harus berbohong di hadapan Wandi dan Ahmad.

"Tapi, di sini kan, laki-laki semua?" Wanita itu bertanya sambil memutar bola matanya.

Rasti, Ahmad dan Arfan tahu apa yang dimaksud oleh Bu Angga. Kalau dibiarkan, mungkin bisa saja timbul fitnah.

"Di samping ada kakak kandung saya beserta istrinya, Bu. Mereka sering bolak-balik ke sini. Lagipula, Mbak Rasti juga kerjanya di luar, nggak masuk ke dalam," jelas Ahmad.

"Oh, gitu ... oh, jadi yang jualan sayur ini masih saudara toh?"

"Iya, Bu."

***

"Kamu itu, harusnya pelan-pelan, Fan. Karena Mbak Rasti bukan tipe orang yang ingin dikasihani. Lihat, tetangganya saja nggak tahu soal suaminya. Artinya, Mbak Rasti ini menutupi kesusahannya dari orang lain. Jadi kalau kamu terburu-buru seperti tadi, aku yakin dia akan merasa tidak nyaman kerja di sini."

"Ya, tadi saya hanya kasihan sama Faiz. Dia begitu ingin makan ayam goreng tepung. Kamu tahu, Mat. Sesusah-susahnya, aku belum pernah makan nasi pakai garam saja."

"Enak itu, Fan. Apalagi nasinya hangat. Kamu belum tahu saja!"

"Tapi ini beda, Mat. Mereka makan bukan karena menyukainya, tapi karena keadaan."

"Ah iyalah. Susah memang kalau lagi jatuh cinta."

"Mat, jangan asal ngomong! Nanti didengar orang, bagaimana?" tegas Arfan memperingatkan. Dia tak mau Rasti mengalami kesulitan atau malah berhenti dari pekerjaannya jika gosip beredar.

"Santai saja! Aku dukung Mbak Rasti untuk un-instal suaminya. Terus d******d yang baru."

Arfan tersenyum lebar.

"Tapi belum tentu juga, kamu, Fan!" Ahmad terkekeh sambil berlalu meninggalkan Arfan dan wajah masamnya.

***

Sementara itu, Rasti melipat salah satu uang sepuluh ribuan yang diberikan Ahmad tadi. Dia masih tak percaya, bisa mencari tambahan uang sendiri.

Rencananya, Rasti akan menabungnya sebagian. Kalau sudah terkumpul, mungkin bisa dijadikan modalnya buka usaha laundry.

Entah sampai kapan mimpinya terwujud, Rasti hanya berharap dia bisa tetap dapat tambahan uang seperti ini.

"Ayamnya enak, Bu. Pantas aja mamanya Vio sering beli," kata Faiz dengan polosnya sambil terus mengunyah makanannya. "Punya Ibu, nggak dimakan?"

"Nanti, tunggu Faiz habis dulu."

Melihat Faiz makan dengan begitu lahap, membuatnya khawatir putranya masih ingin menambah lagi.

"Faiz udah kenyang."

"Alhamdulillah, ucap apa?"

"Alhamdulillah ...."

"Lalu doa setelah makan!" perintahnya lagi.

Sambil mendengarkan Faiz merapalkan doa, Rasti tersenyum puas melihat kebahagiaan yang terpancar di wajah putranya hanya karena kesampaian makan makanan yang diinginkannya.

***

"Bagaimana kerja tadi? Capek, kan?" tanya Wandi sepulangnya bekerja. Seperti biasa, dia akan merebahkan tubuhnya di sofa sambil bermain game di ponselnya.

"Lumayan, Mas."

"Makan apa hari ini?"

"Seperti biasa, nasi dan telur ceplok."

Mendengar jawaban Rasti, Wandi langsung beranjak duduk.

"Tadi Mas lihat ada kotak ayam goreng di plastik depan yang belum dibuang? Kamu nggak beliin, Mas?"

"Oh itu ... nggak beli, tapi dikasih sama yang punya warung."

"Kenapa Mas nggak disisain?"

"Aku pikir, pasti nggak enak kalau sampai sore."

"Kamu ini bisa-bisanya makan enak nggak ingat suami."

"Mas juga sama. Memang pernah ingat kalau makan enak di pabrik?"

"Mas capek. Lagipula wajar mau beli apa saja, Mas yang kerja."

"Jadi aku sama Faiz nggak berhak menikmati semua itu? Aku nggak mau meributkan ini lagi. Makanannya juga sudah sampai ke perut." Rasti berusaha mengakhiri, tapi Wandi masih belum puas juga.

"Setidaknya, pikirkan suami yang mencari nafkah untuk keluarga. Kamu enak hanya diam di rumah nggak memikirkan apa-apa." Wandi masih tak terima hanya karena perkara makanan pemberian orang. Tanpa dia sadari, perkataannya barusan membuat kesabaran Rasti kian terkikis.

"Selama ini, apa Mas pernah memikirkan kami berdua? Pagi makan nasi sangrai hanya dengan bumbu garam. Lalu siang makan dengan dadar telur atau goreng tempe yang dibagi dua untuk sore? Mas nggak tahu bagaimana rasa penasaran aku dengan soto ayam yang sering Mas ceritakan? Atau ayam bakar yang katanya hampir setiap hari Mas makan?"

Mendengar jawaban Rasti membuat Wandi emosi. Bahkan, dia sampai berdiri memelototi istrinya sambil berkacak pinggang.

"Kamu ini, baru kerja sehari saja sudah berani menjawab. Bagaimana kalau nanti banyak uang?'

"Kalau banyak uang, aku akan tinggalin, Mas!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • BERAS LIMA RIBU   RENCANA AHMAD

    "Ah itu ... Rasti cuma kepikiran siapa yang gantiin Ibu popok. Bukannya Ibu nggak nyaman kalau nggak sering-sering ganti?""Memang ... tapi kan, jadi menyita banyak waktu kamu?""Nggak masalah, selagi saya bisa. Cuma ya gitu, Rasti nggak bisa datang tepat waktu, Bu."Mata Sulastri mengembun. Segenap penyesalan menghampirinya. Bagaimana dia tidak bisa merasakan ketulusan Rasti?"Nanti kalau mau ke sini lagi, telepon Arfan saja.""Nggak perlu, Bu. Saya masih bisa sendiri. Kasihan kalau Bang Arfan harus ninggalin toko terus-terusan," kata Rasti sambil mulai membuka pakaian Sulastri. Tanpa sungkan, apalagi merasa jijik."Ibu juga nggak nyangka sama mereka berdua. Toko ini makin ramai setiap harinya. Mungkin, keduanya sudah butuh karyawan baru.""Di sini kan, nggak ada agen, Bu. Dan toko ini membedakan harga ecer dengan harga rencengan. Jadi pembeli yang mau selisih harga, pasti lebih memilih ke sini.""Ya, Ibu nggak ngerti soal begituan. Kamu juga. Katanya, laundryan kamu sekarang makin m

  • BERAS LIMA RIBU   PERHATIAN RASTI

    "Sudah jam berapa, Fan?" tanya Sulastri dengan wajah gelisah. Seperti sedang menunggu seseorang."Baru jam sepuluh, Bu. Ada apa?""Nggak apa-apa."Seingat Arfan, ini sudah ketiga kalinya Sulastri bertanya mengenai waktu Dan setiap ditanya kenapa, jawabannya juga selalu sama.Saat ini, Arfan begitu yakin kalau ibunya sedang menunggu kedatangan Rasti. Mungkin karena melihat ketulusan wanita itu saat mengurusnya tadi pikirannya berubah. Begitu dugaannya.Ada segelintir perasaan bahagia yang menghampiri Arfan. Mungkinkah ibunya akan segera merestui hubungannya dengan Rasti?"Ibu mau ke kamar mandi?" Arfan kembali bertanya untuk memastikan. Khawatir ibunya ingin buang air dan menunggu Rasti membantunya."Nggak, Fan ....""Terus, kenapa Ibu gelisah begitu?" Arfan makin penasaran dan berharap ibunya memberi jawaban sesuai harapannya."Nggak apa-apa.""Arfan sudah dapat nomor yayasan yang biasa menyalurkan ART untuk merawat lansia. Cuma masih dua hari lagi mungkin." Arfan kembali memancing p

  • BERAS LIMA RIBU   PENGORBANAN RASTI

    "Bang, jadi saat ini kita pacaran?""Terserah Dik Wita mau menyebutnya apa. Abang masih nggak percaya semua ini bisa terjadi dengan cepat.""Ya ampun, Bang. Wita juga nggak sesempurna yang Abang bayangin. Banyak kekurangan aku yang mungkin bikin Abang kaget nanti.""Apa?""Aku nggak pinter masak!""Abang cari pendamping, Dik, bukan cari tukang masak!""Yakin?""Serius.""Eh, bentar! Kata Mbak Rasti, Abang aktifin handphonenya!""Habis baterai. Kenapa memang?""Katanya, ibunya Bang Arfan jatuh di kamar mandi. Sekarang masih di klinik.""Inalillahi wa innailaihi rojiun ... terus, Mbak Rasti bilang apalagi? Keadaannya bagaimana?""Tadi masih diperiksa, Bang. Coba telepon Bang Arfan.""Kamu punya nomornya?""Nggak. Kan bisa minta sama Mbak Rasti.""Jangan!""Kenapa?""Abang takut kamu berubah pikiran.""Abang ... !!! Sini lihat mata aku! Aku tuh udah nggak naksir lagi sama Bang Arfan. Masa mikir gitu, sih?""Abang cemburu karena merasa jauh kalau dibandingkan sama Arfan.""Masya Allah Aba

  • BERAS LIMA RIBU   SIKAP BERBEDA

    lMenggigit ujung bibirnya, Rasti kebingungan harus menjawab apa. Haruskah mengatakan kalau dia juga merasa sangat kehilangan?Hanya dengan mengambil banyak orderan, dia bisa sedikit mengalihkan perasaan itu. Meski di dalam dirinya masih merasa hampa."Biasa saja," jawabnya berbohong. Bagaimanapun juga, Sulastri belum memberi restu. Dan Rasti tidak ingin jawabannya menyisakan harapan untuk Arfan."Nggak masalah."Rasti menoleh cepat. Kenapa Arfan merespon begitu?"Nggak masalah kalau saat ini kamu merasa biasa saja. Saya akan menunggu sampai kamu merindukan saya. Entah kapan.""Ka-kalau tidak pernah?""Tidak apa-apa. Saya akan terus menikmati perasaan ini. Anggap saja kamu masih bersama dia. Tak bisa digapai!" kata Arfan melebarkan senyumnya.Rasti bergeming. Kehabisan kata-kata untuk menanggapi pengakuan Arfan barusan. Padahal, dia sudah berusaha memberikan jawaban yang tidak sesuai dengan isi hatinya."Jangan anggap pengakuan saya menjadi beban buat kamu sampai harus menghindar begi

  • BERAS LIMA RIBU   KEPUTUSAN AHMAD

    Pernyataan Faiz membuat Wandi terkejut bukan main. Matanya langsung tertuju pada sosok wanita yang masih menyisakan rasa di dalam hatinya."Jadi kalian mau menikah? Kapan?" Wandi masih memburu pertanyaan dengan mata melotot tajam. Seolah tak peduli ada Santi dan Mak Saroh di samping kanan dan kirinya. Juga tetamu yang mungkin saja mendengarnya.Rasti tidak menjawab. Dia membiarkan saja Wandi bergelut penuh teka-teki. Meski selintas rasa tak enak pada Arfan yang berada di sampingnya."Doakan saja!" Arfan menimpali meski tak kuasa menahan tawa melihat ekspresi Wandi."Kalau kalian sampai menikah, aku akan ambil Faiz untuk tinggal sama kami!" ancam Wandi dengan emosi yang semakin menjadi-jadi. Entah apa yang membuatnya jadi marah begitu."Apakah ini sebuah ancaman, Mas? Kamu kan, sudah hidup bahagia dengan Santi. Kenapa harus mencampuri urusanku lagi?" Rasti tak mau kalah. Wandi sendiri yang membuatnya berubah menjadi perempuan kuat dan tidak menerima begitu saja perlakuan buruk yang men

  • BERAS LIMA RIBU   PENOLAKAN WANDI

    "Di sini?" Rasti menatap ke sekeliling. Syukurlah, mereka semua paham situasi. Satu persatu beranjak pergi menuju meja prasmanan supaya Rasti dan Arfan bisa bicara."Di mana lagi selain di sini? Kamu selalu menghindar belakangan ini," ceplos Arfan tak sabar melihat wanita yang dicintai kini ada di hadapannya.Wita yang datang menghampiri untuk mengajak mereka makan, justru mendengar perkataan Arfan. Dia bisa membaca situasi dan langsung menggandeng Faiz pergi ke tempat es krim, diikuti Ahmad yang mengekor di belakangnya."Bang Ahmad mau juga?" tawar Wita yang berbalik badan ketika menyadari Ahmad mengikutinya."Bo-boleh ...," jawab Ahmad gugup setelah 'tertangkap basah'.Wita lalu berjalan lebih dulu dan meminta tiga cup es krim untuk mereka. Setelah itu, baru kembali pada Ahmad dan Faiz."Bang, sebenarnya aku mau hubungin Bang Ahmad. Tapi malu, takut ganggu!" kata Wita jujur, sambil menyerahkan satu cup es krim pada lelaki yang wajahnya terlihat sangat gugup itu."Lho kenapa harus m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status