Kimmy memang sudah berencana untuk mengundurkan diri akhir bulan ini yang artinya tinggal sekitar satu minggu lagi dirinya bekerja. Tapi sampai sekarang Kimmy masih belum berani membahasnya dengan Jacline, karena Kimmy benar-benar tidak tahu bagaimana harus mengucapkan perpisahan dengan rekan kerjanya itu. Kimmy suka Jacline dan mungkin dialah teman terbaik yang pernah ia temukan dalam seumur hidupnya.
Sementra itu Jacline hanya tahu jika Kimmy akan menikah satu bulan lagi dan akan ikut pindah bersama suaminya ke Singapura, yang artinya ia akan kehilangan rekan kerja semanis Kimmy yang agak lemot tapi sebenarnya sangat baik hati. Jacline pikir karena Kimmy cantik jadi orang-orang yang pada iri semakin suka menggosipkannya belakangan ini. Padahal kalau dia bayangkan tidak enak juga berada di posisi Kimmy. Setiap hari dia masih harus melihat Tristan Murai yang mengabaikannya tapi semua ora
Tristan masih melumat hangat bibir Kimmy yang ternyata juga tak kalah antusias membalasnya. Entah karena rindu atau justru karena kekesalannya beberapa hari ini yang telah memuncak. Sebab Kimmy juga belum pernah begitu menginginkan Tristan hingga seperti ini. Rasanya masa bodoh dengan yang lainnya masih bisa dia pikirkan anti. Yang pasti sekarang mereka berdua sedang sama-sama menginginkan dan sedang tidak bisa dijeda.Nafas Tristan terasa panas bergemuruh di belakang daun telinga Kimmy ketika bibir hangat pria itu kembali membuat jejak lembab di sisi kulit lehernya, menghisap dan menggigit kecil beberapa kali hingga Kimmy tidak tahan dan mulai menjambak rambut di kepala Tristan yang masih gigih tidak mau berhenti."Tristan, aku menginginkanmu," keluh Kimmy yang sebenarnya juga tidak ingin pria itu berhenti.Tristan yang mulai tidak sabar segera mengangkat tubuh Kimmy dari atas meja dan membawanya pindah ke sofa. Membiarkan Kimmy duduk di atas pangkuannya
Persis seperti yang Kimmy duga, ibunya senang luar biasa ketika melihat Tristan datang mengantarkannya pulang. Ibu Kimmy sempat tidak percaya dan berdiri bengong di tengah pintu. Tristan yang lebih dulu menghampiri ibu Kimmy dan memeluknya sebentar."Kupikir kau tidak ingat kami?""Mana mungkin aku lupa dengan sarapan yang Ibu buat." Bahkan Tristan juga sudah biasa memanggilnya ibu seperi Kimmy."Tristan sibuk, Bu. Karena itu dia baru sempat kemari," bohong Kimmy."Apa kalian sudah makan?""Belum." Mereka berdua kompak menjawab.Ibu Kimmy langsung sibuk menarik Tristan untuk mengikutinya. "Kau mau makan apa nanti Ibu buatkan?""Apa saja yang Ibu buat aku akan makan."Ibu Kimmy kembali tersenyum karena Tristan Murai memang bisa jadi sangat manis jika sedang senang hatinya."Ibu, aku mau mandi dan ganti baju dulu." Kimmy berpamitan untuk naik ke kamarnya, karena bagaimanapun dia risi jika tidak buru-buru mandi.Kimm
Ini adalah kali pertama Kimmy mengunjungi salah satu tempat paling cantik yang pernah ia lihat. Tempat yang juga terkenal dengan rumah-rumah penghasil anggur terbaik di dunia. Walau Kimmy bukan penikmat anggur tapi Kimmy suka Tuscany. Kimmy suka jalanan tanahnya yang berkelok menuruni lembah dan perbukitan yang indah bak hamparan surga yang di sajikan di depan mata. Barisan pohon cemara berjajar rapi di kanan kiri jalan dengan pemandangan perkebunan anggur yang membentang hingga sejauh mata memandang. Tempat yang tenang tanpa kebisingan, benar-benar seperti mimpi untuk dapat di singgahi.Tristan sengaja mengendarai mobil dengan kap terbuka agar Kimmy bisa ikut menikmati keindahan tempat kelahiran kakeknya. Tristan suka Tuscany, meski dulu dia hanya diperbolehkan berkunjung sekali dalam setahun namun semua momen di tempat ini memang tidak akan pernah terlupakan baginya. Ayah Tristan tidak pernah akur dengan sang kakek, karena itu Tristan hanya di beri waktu terbata
Tristan sudah memperhatikan Kimmy sejak pertama kali gadis itu di bawa masuk ke dalam barnya dengan belahan gaun merah menggoda dan jemari yang tidak pernah lepas dari genggaman erat kekasihnya. Tristan menyukai wanita itu dan harus mendapatkannya. Memang hanya Tristan yang tahu apa alasannya, atau jangan -jangan selama ini dia sendiri juga tidak menyadari keinginannya sendiri. Tristan masih berusian tujuh belas tahun ketika salah seorang teman wanita ayahnya menyusup masuk ke kamarnya. Seorang wanita muda yang kira-kira seumuran Kimmy sekarang, dengan rambut gelap dan kulit eksotik yang indah. Tristan masih setengah tertidur ketika wanita itu tiba-tiba sudah menyentuhnya. Awalnya Tristan hanya terkejut, karena walaupun ia sudah biasa menyaksikan ayahnya mergumul dengan banyak wanita. Tapi Tristan sendiri memang belum pernah disentuh
Akhirnya Tristan membawa Kimmy pulang ke rumah keluarganya, dan Kimmy sepertinya juga menyukai semuanya. Kimmy suka dengan rumah tiga lantai dengan disain klasik tersebut, dari kejauhan saja sudah terlihat cantik seperti castel di atas bukit. Sama seperti kebanyakan bangunan di tempat ini, dinding luarnya terbuat dari batu bata coklat yang tidak di plester dan seperti dibiarkan alami seperti itu tapi nampak elok dengan tanaman rambat yang daunnya juga sedang menguning. Ada pekarangan yang sangat luas karena rumah tersebut memang agak terpisah dengan rumah-rumah penduduk. Walaupun agak sepi tapi nampak terawat, terlihat dari pagar-pagar tanaman yang di pangkas rapi bahkan bunga-bungan yang menempel di dinding pagar."Tristan, ada berapa orang di rumah ini?" tanya Kimmy masih agak heran karena rumah tersebut nampaknya memang terlalu besar jika hanya di huni satu keluarga.
Kimmy sempat duduk sebentar untuk memastikan apa ponselnya masih berfungsi. Setelah memasang baterainya yang sempat tercecer ia segera menghidupkannya lagi. Kimmy lega karena ternyata layarnya berhasil kembali menyala. Buru-buru dia keluar menyusul Tristan dan belum sempat membalas chat dari tunangannya. karena jujur saja Kimmy masih belum sempat berpikir dan tidak tahu harus membalas apa."Kemarilah, Kim."Tristan menarik Kimmy untuk menciumnya sebentar sebelum kemudian mengijinkan gadis itu duduk di kursinya sendiri."Kau mau teh atau kopi?" Tristan tahu Kimmy tidak minum anggur jadi tristan juga berusaha untuk tidak menyentuh minuman jenis itu ketika bersama Kimmy."Aku bisa minum kopi di pagi hari.""Biar kusuruh pelayan untuk membuatkannya untukmu." Tristan sudah hendak mengetik pesan di ponselnya saat Kimmy menghentikannya."Tidak usah aku bisa minun yang ini saja." Kimmy sudah meraih cangkir Tristan dan ikut meminumnya sedikit. Kemudi
Tristan benar-benar mengantarkan Kimmy sampai ke Singapore untuk menemui tunangannya."Maukah kau menemaniku minum sebentar?" tanya Tristan. "Hanya menemaniku, untuk yang terakhir.Kimmy tidak tahu kenapa rasanya bisa begitu sakit hanya dengan menatap Tristan. Kimmy mengangguk.Tristan menyuruh sopir yang menjemput mereka untuk langsung ke salah satu klub malam miliknya di kawasan Marina Bay Sands. Sebenarnya Kimmy juga baru tahu jika salah satu klub malam terbesar di Asi Tenggara itu adalah miliknya. Jujur saja Kimmy agak pusing jika harus masuk ke tempat hiburan seperti itu. Walaupun begitu banyak macam hiburan yang di sajika di klub malam tersebut, termasuk biang lala dan beberapa permainan dewasa yang agak luar biasa untuk berada di dalan sebuah klub malam, tapi tetap saja tidak pernah cocok dengan gaya Kimmy yang memang lebih suka suasana tenang. Dia lebih suka suasana seperti minum berdua di balkon atau di sofa ruang keluarga yang hangat. Dunia Tristan mem
Hanif yang akhirnya mengantarkan Kimmy pulang ke Indonesia dan sekaligus kembali menemui kedua orangtua Kimmy. Hanif bercerita jika setelah menikah nanti dia juga akan keluar dari perusahaan dan akan mulai merintis miliknya sendiri. Dia meminta doa dari kedua orang tua Kimmy dan meminta ijin untuk mengajak putri mereka berjuang bersama merintis dari awal.Hanif memang bukan anak yang terlahir dari keluarga kaya raya seperti Tristan Murai, tapi dia adalah pria yang gigih. Karena itu Kimmy selalu percaya dan yakin jika Hanif akan tetap sukses di manapun ia berada. Jika pria seperti itu mengharapkan dukungan darinya, tentu bertapa sangat beruntung dirinya sekarang."Kuharap kau tidak keberatan?" kata Hanif setelah mereka hanya berdua."Kadang aku masih merasa tidak pantas mend