“Gimana kabarnya Amel, Bu? Sudah lama aku gak dengar suaranya. Aku merindukannya, Bu. Ponselnya Amel juga gak bisa dihubungi. Kira-kira dia ke mana ya?” tanyaku pada Ibu.
Saat ini aku sedang berbicara dengan keluargaku melalui sambungan telepon“Amel baik-baik saja, Bayu,dia tidak bisa dihubungi karena ponselnya rusak gara-gara kena susunya Arka,” jawab Ibu yang menjelaskan kenapa ponsel istriku tidak bisa dihubungi. “Lalu kenapa Ibu gak kasih tau Bayu kalau ponsel Amel rusak? Bayu kan jadi khawatir?”“Ya Ibu gak mau kamu jadi kepikiran. Makanya ibu gak hubungi kamu sebab takut ganggu kerjaan kamu di sana.”“Iya, Bayu, kita ini nggak mau ganggu kerja kamu. Makanya kita diam saja. Nanti kalau kita mengadu ini dan itu takutnya bakal mengganggu konsentrasi kerjaan kamu. Makanya kita nunggu kamu telpon duluan aja.” Mbak Sita menimpali. Ia kakakku yang tinggal bersama Ibu dan kedua anaknya sedangkan suaminya juga sama sepertiku merantau ke luar pulau. Hanya saja, kami berdua berbeda pulau. “Terus sekarang amel ke mana, Bu, Mbak? Tolong berikan ke dia ponselnya, sebab aku mau bicara.”Posisi ponsel di-loudspeaker, makanya Mbak Sita bisa menimpali obrolan aku dan Ibu. “Amel tidak ada di rumah kontrakannya. Dia lagi menginap di rumah orang tuanya. Nanti, kalau Amel pulang, Mbak dan Ibu akan beritahu kamu,” sahut ambak Sita padaku.“Emangnya ada apa sih? Kok kelihatannya penting sekali. Sebab setiap kamu menelpon pasti selalu menanyakan Amel,” imbuh Mbak Sita. “Ya kangen aja, Mbak. Sudah hampir dua bulan kalau kuingat, aku dan Amel tidak bertukar kabar. Bahkan, kabar Arka saja aku tidak tahu. Aku kan juga ingin video call dengan mereka berdua, Mbak. Emangnya gak boleh ya aku mau tahu kabar istri dan anakku?”“Ya boleh aja sih, Bay. Tapi kan kesannya kamu kayak yang gak percaya aja gitu sama aku dan Ibu. Soalnya setiap kali telepon pasti yang ditanya Amel, Arka, Amel, Arka aja terus. Lagian salah siapa ponselnya rusak.”“Ya kalau begitu suruhlah dia itu beli, Mbak.”“Istrimu itu susah kalau dikasih tahu, Bay. Sudah berapa kali Mbak dan ibumu mau belikan dia ponsel dan menyuruh untuk membeli ponsel agar bisa kamu hubungi. Tapi jawabannya selalu sayang uangnya. Ya kita bisa apa kalau dia bersikerasnya seperti itu.” Kali ini Ibu yang menimpali. Aku menghela napas sejenak, entah kenapa rasanya ada yang ganjil, tetapi tidak bisa menebaknya. Sudah hampir dua bulan aku tidak pernah bisa berbicara dengan Amel dan Arka. Setiap menghubungi Ibu dan Mbak Sita pasti jawabannya selalu ada saja. Namun, untuk terus mencecar keduanya sungguh aku tidak enak hati. Mereka Ibu dan kakakku. Takutnya nanti mereka justru tersinggung. “Baiklah kalau begitu. Kalau Amel sudah pulang tolong kabari aku ya, Mbak, Bu. Aku merindukan istri dan anakku.”Setelah berbasa-basi dan mengucapkan salam akhirnya kami menyudahi obrolan. Kuletakkan ponsel di atas kasur yang kutempati ini. Sebenarnya aku ingin membicarakan hal penting pada Amel. Aku berniat untuk mengajaknya tinggal bersamaku di sini. Setelah dua tahun lamanya aku berjuang di pulau orang akhirnya kerja kerasku membuahkan hasil. Ini juga pasti berkat doa Amel dan Arka selan doa Ibu tentunya. Pekerjaan di luar kota menjadikanku jauh dari keluarga. Aku bekerja di kalimantan di sebuah perusahaan pertambangan. Aku baru bisa pulang satu tahun sekali. Aku sangat bersyukur sebab Ibu, kakak, dan istriku sangat akur.Selama ini banyak sekali berita ipar,mertua dan menantu yang tidak akur, tetapi berbeda dengan Amel. Hubungan keluargaku dengannya terbilang baik. Itulah sebabnya aku bisa lebih tenang meninggalkan anak dan istri di waktu berangkat jauh untuk bekerja.Selama bekerja di kalimantan nafkah yang kuberikan untuk keluarga alhamdulillah lancar. Aku selalu ditransfer ke rekening Mbak Sita sebab Amel sudah lama tidak mengaktifkan rekeningnya. Ia sering lupa nomor pin ATM. Itulah sebabnya selama ini selalu menumpang di rekening Mbk Sita. Aku dan Amel sudah menikah selama tiga tahun. Setahun pernikahan belum diberi momongan. pada saat itu hidup kami sangatlah pas-pasan. Sebab saat itu pekerjaanku hanya serabutan dan cukup sulit mendapatkan pekerjaan meski aku lulusan sarjana.Di tahun kedua pernikahanku barulah kabar bahagia datang dari Amel bahwa dia hamil. Senyum kebahagiaan terpancar dari wajah Amel, tetapi sayangnya aku harus berangkat ke pulau kalimantan sebab lamaran pekerjaan yang kuajukan diterima. Demi merubah nasib, akhirnya Amel merelakanku untuk pergi dan kita pun menjalani hubungan LDR. Kusudahi lamunanku, kini aku kembali mengambil ponsel dan membuka-buka media sosial yang sedang digandrungi hampir semua orang baik tua maupun muda. Saat tangan ini terus men-scroll layar tiba-tiba ada satu postingan yang membuatku tertarik saat membaca tulisan besar di akun bernama Netizen Konoha. Di sana captionnya tertulis huruf besar. [Sungguh kasihan ibu ini, ditinggal merantau suaminya tapi tidak pernah dikirimi nafkah hingga mengharuskannya bekerja sebagai pemulung padahal suaminya bekerja di pertambangan. Naasnya lagi, saat ini anaknya sedang mengidap penyakit TB. Bagi yang mau membantu Ibu ini dan anaknya bisa kirimkan donasinya ke nomor rekening yang tertera di caption]Awalnya aku masih biasa saja saat melihat video seorang wanita berjilbab sembari menggendong seorang anak kecil yang wajahnya ditutupi dengan kain yang digunakannya untuk menggendong. Sepertinya anak itu sedang tertidur. Hingga sampai pada saat sosok wanita itu menampakkan wajahnya di kamera. Mataku membulat karena ternyata wanita itu adalah Amel ….Astaga Amel, benarkah itu istriku? Kenapa bisa? Bukankah Ibu dan Mbak Sita mengatakan kalau Amel sedang berada di rumah orang tuanya? Lantas, mengapa dia di sana dan memulung? Aku tertegun sejenak, sebab orak ini masih berpikir tentang apa yang sebenarnya terjadi. Apakah ini artinya kalau keluargaku yang berbohong? Karena dilanda rasa penasaran yang tinggi, akhirnya aku langsung berinisiatif menghubungi pemilik akun Netizen Konoha itu melalui pesan pribadi. [Selamat malam, maaf sebelumnya kalau saya mengganggu. Saya mau tanya tentang kebenaran video seorang perempuan dan anaknya yang pemulung dan si anak sedang sakit TB. Apakah semua itu benar?]Sedikit resah, sebab aku sangat penasaran menunggu jawaban si pemilik akun. Mataku mungkin berbinar sebab mendengar notifikasi pesan di ponselku berbunyi. Bergegas aku mengambil kembali ponsel yang tadi sempat aku letakkan di atas nakas. [Selamat malam juga. Iya video yang saya up itu memang benar]Tidak menunggu lama, aku kembali membalas
Pada akhirnya aku pun pulang ke tanah kelahiranku di pulau jawa. tidak sabar rasanya ingin langsung mengecek sendiri kebenarannya tentang anak dan istriku.Namun, mbak Wati bilang kalau di jam siang Amel dan Arka masih keliling cari barang bekas. Jadi, sebaiknya langsung kutunggu saja di rumah kontrakannya baru sorenya ke jalan Ahmad Yani.Hatiku resah tidak karuan saat berada di dalam pesawat. Pikiranku berkecamuk, bagaimana bisa kepergianku merantau untuk menafkahi keluarga justru membuat anak dan istriku menderita.Akan tetapi, kenapa Amel diam saja? Dia tidak mau menceritakan semua yang dialaminya, bukankah aku ini suaminya? Apa amel sengaja agar tidak mengganggu pekerjaanku agar bisa fokus pada pekerjaan? Namun, kalau seperti ini kan aku jadi merasa bersalah. Aku jadi merasa tidak becus sebagai seorang suami dan ayah. Lamunanku buyar setelah salah mendengar suara yang menginformasikan kalau pesawat sudah tiba di bandara Soekarno Hatta, bergegas aku bersiap untuk transit ke band
Sesaat aku mendengar ada yang berteriak memanggil nama Amel berulang kali. Siapa kira-kira yang datang? Kenapa dia sampai marah-marah begitu?Karena rasa penasaran yang tinggi akhirnya aku langsung bergegas keluar rumah untuk mencari tahu sumber suara itu. Saat di depan pintu ternyata ada seorang perempuan paruh baya yang kini berdiri tegak di hadapanku yang ternyata dia adalah Ibu Endang, pemilik kontrakan yang kami tempati ini. “Maaf, Bu, Ibu kok teriak-teriak di depan rumah? Ada apa?” tanyaku pada Bu Endang, tampak sekali ia memandangku dengan tatapan sinis.“Oh ternyata kamu sudah pulang toh. Saya pikir kamu sudah lupa dengan anak istrimu, tapi baguslah kebetulan sekali kalau kamu pulang. Ayo buruan kamu bayar kontrakan ini. Sudah nunggak tiga bulan tau! Ke mana aja kamu, sampai istrimu nggak sanggup bayar! Saya butuh uang, kalau nggak sanggup bayar lebih baik keluar saja dari rumah ini. Masih banyak yang mau tinggal di sini tau gak! Saya heran deh, kamu kan kerja di kalimantan
Berbekal alamat yang diberikan oleh mbak wati padaku. Di mana tempat para pemulung menyetorkan barang bekas untuk ditimbang lali mendapatkan uang. Sembari menahan sesak di dada aku terus saja berjalan menuju tempat pengepul tersebut. Jaraknya memang tidak jauh dari rumah kontrakan kami. Hanya sekitar 2 km saja. Namun, meski hanya 2 km tetap saja kalau berjalan kaki ya lelah juga. Padahal sewaktu lebaran tahun kemarin aku sudah membeli motor dengan niat agar istriku ke mana-mana tidak perlu lagi kecapekan. Namun, sekarang ini barang itu juga tidak ada di rumah ini. Padahal aku membelinya secara kredit dan hingga sekarang kreditannya juga masih aku bayar. Aku tidak bisa membayangkan betapa lelahnya Amel yang setiap harinya harus melakukan ini sambil menggendong anak kami. Aku yang jalan seorang diri saja cukup lelah dan kepanasan apalagi istriku. Sesekali aku berhenti sebab kaki terasa lelah sembari menghela napas karena kesedihan yang kurasakan saat ini.Sesampainya di sana ternyata
“Gak, Mas! Untuk apa? Untuk aku dihina lagi sama ibu dan kakakmu? Gak, Mas! Gak mau lagi aku ke sana kalau hanya untuk dihina. Sudah cukup selama ini aku menahannya.” Kutatap wajah Amel dengan matanya yang sudah berkaca-kaca. Oh Tuhan … separah itukah keluargaku berbuat pada istri dan anakku? Seandainya aku tidak mau percaya pun sudah banyak yang mengatakan tentang kelakuan mereka pada istriku. “Tapi, Mel, kita harus tau apa tujuan mereka melakukan ini semua pada keluarga kecil kita,” ucapku dengan suara sedikit lirih sebab semakin banyak pasang mata yang melihat ke arah kami. Terpaksa aku menarik tangan Amel untuk sedikit menjauh dari tempat ini. Awalnya Amel menolak, tetapi tenagaku jelas lebih kuat dibanding dirinya hingga akhirnya Amel tidak menolak untuk kubawa sedikit menyingkir dari tempat semula. “Mel please, ikut aku ke rumah ibu dan Mbak Sita. Biar kita tau apa maksud mereka melakukan ini semua.”“Apa lagi? Jelas mereka melakukan ini semua karena ketidaksukaan mereka pada
“K-kamu serius, Mel? Sampai separah itu?”“Menurutmu? Untuk apa aku berbohong? Kamu pikir aku mau gitu pakai baju jelek begini kalau memang aku ada baju yang baru?” Lagi-lagi aku menghela napas. Kuusap kasar wajahku. “Terus baju-bajunya Arka gimana?” tanyaku lagi sembari menatapnya. “Bajunya Arka juga diambil sama Mbak Sita. Katanya lebih cocok dipakai sama Rafa anaknya dan dia juga bilang umur Rafa dengan Arka tidak jauh beda hanya selisih lebih tua Rafa lima bulan dari Arka. Makanya diambil, katanya ya sama kalau Arka gak pantas pakai baju mahal. Keturunan dari rahimku gak ada yang pantas pakai barang bagus.”Astaga Mbak Sita ….Kenapa sih dia sejahat itu sama anak dan istriku? Padahal setiap bulan kalau Mbak Sita menghubungiku untuk meminta bantuan atau meminjam uang dengan dalih kebutuhan mendesak pasti aku kasih. Dan sampai sekarang hurang-hurangnya yng jika aku total ada 20 juta belum pernah ia kembalikan dan belum pernah juga aku memintanya. Aku menggerutu dalam hati dan men
“Iya, Mas, aku mau asalkan selalu bersamamu dan anak kita.” Mendengar jawaban Amel, kembali aku memeluknya dengan tangis bahagia. Akhirnya … aku bisa berkumpul kembali dengan anak dan istriku. Ah, rasanya aku terharu sekali. Setelah selesai makan aku pun membereskan sisa makananku dan juga makanan mereka. Amel pun ikut membantu, tetapi aku larang. “Mel biar aku saja yang membereskannya, kamu istirahatlah kan seharian sudah keliling pasti capek.”“Nggak apa-apa, Mas, aku ini istrimu dan sudah sepantasnya aku ikut beres-beres karena kamu juga pasti capek sebab dari perjalanan jauh,” jawab Amel sambil melanjutkan beres-beresnya.“Sudah, sebagai istri kamu harus menurut. Kamu beristirahatlah biar aku saja membereskan semua ini. karena kamu kuperhatikan udah terlalu lelah.”Aku terus bersikukuh, hingga akhirnya Amel menurut dan tidak bisa menolak lagi. Setelah itu aku membuang semua bungkus bekas makanan termasuk bekas makanan Arka. Setelah selesai aku juga menyapu dan mengepel bekas ma
Apa kalian mau tau bagaimana rasanya hatiku? Jelas sakit, sangat-sangat sakit. Selama ini yang kutahu Ibu dan mbak Sita sangat menyayangi Amel dan juga Arka. Namun, faktanya sekarang aku mendengar sendiri semuanya dengan telingaku melalui mulut mereka. Aku menyandarkan tubuh di dinding tepat sebelah pintu. Kuhembuskan napas berkali-kali untuk menghilangkan rasa sesaknya dada. Sesaat langkahku terhenti, aku terpaku dan mulut terbungkam saat mendengar ucapan Ibu dari dalam rumah, kepulanganku ini ternyata sudah disambut oleh rencana jahat keluargaku. Uang nafkah yang tadinya untuk anak dan istriku ternyata benar dimanfaatkan oleh mereka.Jika sebelumnya aku hanya mendengar dari mulut tetangga, tetapi sekarang aku benar-benar mendengar secara langsung dari mulut ibu sendiri.Ya Allah … tiada rasa sakit yang lebih parah kecuali ucapan dan rencana jahat dari keluarga sendiri. Aku benar-benar tidak menyangka kalau ibu dan kakakku ternyata sejahat itu. Awalnya aku masih berharap kalau kab