Share

Sebuah kebenaran

Astaga Amel, benarkah itu istriku? Kenapa bisa? Bukankah Ibu dan Mbak Sita mengatakan kalau Amel sedang berada di rumah orang tuanya? Lantas, mengapa dia di sana dan memulung? 

Aku tertegun sejenak, sebab orak ini masih berpikir tentang apa yang sebenarnya terjadi. Apakah ini artinya kalau keluargaku yang berbohong? 

Karena dilanda rasa penasaran yang tinggi, akhirnya aku langsung berinisiatif menghubungi pemilik akun Netizen Konoha itu melalui pesan pribadi. 

[Selamat malam, maaf sebelumnya kalau saya mengganggu. Saya mau tanya tentang kebenaran video seorang perempuan dan anaknya yang pemulung dan si anak sedang sakit TB. Apakah semua itu benar?]

Sedikit resah, sebab aku sangat penasaran menunggu jawaban si pemilik akun. Mataku mungkin berbinar sebab mendengar notifikasi pesan di ponselku berbunyi. Bergegas aku mengambil kembali ponsel yang tadi sempat aku letakkan di atas nakas. 

[Selamat malam juga. Iya video yang saya up itu memang benar]

Tidak menunggu lama, aku kembali membalas pesan itu. 

[Maaf kalau boleh tau dari mana anda dapat video itu? Maksud saya anda merekamnya di mana?] 

[Saya melihatnya di jalan Ahmad Yani di kota tempat bu Amel dan anaknya tinggal]

[Maaf saya mau bertanya lagi. Apa anda melihat perempuan dan anak itu setiap hari memulung di sana ?]

[Ya benar, dia setiap sore hari biasanya di sana, sebab harus ngumpulin barang-barang bekas yang dikumpulkannya ke pengepul] 

[Baiklah terima kasih, maaf sudah mengganggu malam-malam begini] 

[Kalau boleh tahu, anda ini siapanya perempuan dan anak itu?]

“Kalau aku menjawab suaminya Amel pasti nanti akan viral dan aku dibully oleh mereka. Jadi, mungkin mengaku ingin berdonasi saja secara langsung,” gumamku. 

Akhirnya kuketik lagi balasan untuknya. 

[Saya gak kenal, Mas/Mbak. Saya hanya terenyuh saat melihat video yang anda posting. Jadi, saya hanya ingin membantu, maksudnya mau bertanya dia tinggalnya di daerah mana. Jadi rencananya mau ketemu dengan orangnya langsung] 

Setelah sedikit berbasa-basi dengan  si pemilik akun, aku kembali meletakkan ponsel ke atas nakas. 

Kedua tangan kulipat di bawah kepala, mata memandangi langit-langit kamar. Apa berarti selama ini mbak Sita dan Ibu berbohong?  Tapi kalau emang benar semua itu terjadi masa iya mereka setega itu pada istriku? Bukankah selama ini hubungan mereka tampak baik-baik saja? 

Pikiranku sangat kacau. Keraguanku terhadap mbak Sita dan Ibu semakin besar. Apakah harus aku mencurigai mereka sedangkan aku keluarganya sendiri? 

 Memang semenjak Amel tidak bisa aku hubungi serasa sepertinya ada yang ganjil, tetapi pada kenyataannya aku memang tidak tahu sama sekali dengan semua ini. 

Aku bingung harus mencari tahu bagaimana dengan nasib anak dan istriku. Mau pulang pun tidak bisa mendadak, aku harus meminta izin terlebih dahulu. 

Pada akhirnya kuputuskan untuk menghubungi tetangga sebelah rumah kontrakan. Aku baru ingat kalau punya nomor ponsel Mbak Wati, nama tetanggaku itu. 

Beberapa kali aku menghubungi, tetapi tidak diangkatnya. Hati semakin gelisah. Namun, aku tetap mencoba menghubunginya. Hingga akhirnya sambungan telepon yang ke lima kali, teleponku pun terjawab. 

“Halo, Mbak Wati? Ini aku Bayu, Mbak.”

“Yah, aku sudah tau. Ngapain kamu telepon?!” jawab mbak Wati dengan ketus yang membuat keningku berkerut. 

Aku heran kok mbak Wati ngomongnya begitu? Selama ini sosoknya yang aku kenal sangatlah ramah dan baik dan dia juga dekat dengan Amel. Oleh sebab itu lah aku menghubunginya. 

“Klk Mbak ngomongnya gitu? Aku ada salah apa sama mbak?”

“Kamu masih nggak tau apa salahmu?”

“Kalau Mbak nggak ngomong gimana aku bisa tahu salahku di mana?”

“Terus kamu telpon mau apa?”

“Aku rindu sama Amel dan anakku, Mbak. Mau tau gimana kabarnya, Apa mereka baik-baik saja?”

“Tumben kamu tanya? Bukannya selama ini kamu nggak peduli sama mereka ya?” jawabnya lagi yang membuat aku semakin terheran. 

“Siapa bilang begitu, Mbak? Aku selama ini peduli  sama anak dan istriku, tapi kata Ibu dan Mbak Sita ponselnya Amel rusak karena kena susunya Arka, benarkah begitu, Mbak?”

“Ponselnya Amel memang rusak, tapi bukan karena kena susunya Arka. Arka itu sudah lama tidak menyusu asal kamu.” 

“Maksudnya, Mbak? Gak menyusu lagi gimana? Usia Arka kan masih harus dikasih susu, Mbak.”

“Apa yang mau dia pakai untuk beli susu, Bayu?! Anakmu terpaksa dikasih air tajin asal kamu tau!” 

Degh. 

Benaekah ini? Tapi kenapa? Bukankah selama ini aku selalu kirim uang yang cukup untuk Amel? 

“Jahat sekali kamu Bayu, di sana kamu bergelimang uang, makan enak tidur nyenyak. Kamu kerja jauh-jauh katanya demi anak istri, tapi nyatanya apa? Anak istrimu terlantar di sini!” ucap Mbak Wati yang terdengar berapi-api. 

Mendengar perkataan Mbak Wati sesak rasanya dada ini. Serasa aku ini suami sekaligus seorang ayah yang tidak berguna. Namun, sungguh aku tidak seperti yang dikatakannya, tidak pernah terpikirkan olehku untuk menelantarkan Amel dan juga Arka. 

Aku sungguh tidak sejahat itu, apalagi pada anak dan istriku. Aku rela jauh dari mereka demi kelangsungan hidup dan rumah tanggaku. 

“Astaghfirullah … Mbak apakah yang kamu ucapkan ini benar?”

“Cih, untuk apa aku membual. Kalau kamu tidak percaya kamu bisa pulang dan lihatlah sendiri bagaimana kehidupan anak dan istrimu di sini. Keluargamu itu sangat jahat, Bayu. Mereka selalu mengatakan kalau Amel itu orang lain yang kebetulan dinikahi jadi tidak diberi uang yang banyak. Hanya secukupnya saja. Dan itu mereka yang mengatakan kalau kamu yang bilang begitu. Mereka hanya menyampaikan amanat darimu.”

“Enggak, Mbak! Aku gak pernah bilang begitu. Oke, aku akan pulang lusa. Tolong jangan beritahu Amel dan juga keluargaku. Biar aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana wajah asli mereka selama ini.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status