Hai, apa kabar? Sudah lama aku tidak melihatmu. Kau tahu? Aku rindu!
Rasanya sudah lama sekali aku tidak bergulat dengan pena dan menuliskan segala hal tentangmu di lembaran-lembaran diaryku, sejak peristiwa yang menyakitkan hati itu. Penyesalan mendalam yang muncul ketika aku tahu kau mencintaiku sama seperti aku juga mencintaimu. Sejak saat itu, aku sudah menutupnya, meskipun sesekali aku membukanya lagi jika aku merindukanmu.
Padahal sebelumnya, setiap malam, aku akan menghabiskan waktuku untuk mengingatmu, mencoret lembar-lembar kosong, mengisinya dengan namamu dan tentang hari itu. Tapi itu dulu. Dulu sekali.
Dan entah mengapa, malam ini aku tiba-tiba teringat padamu. Aku rindu. Jantungku berdetak kencang dan aku ingin sekali membuka diary itu.
***
Aku bergegas menuju meja kerjaku, mengambil diary usang yang sudah lama aku simpan. Sampulnya sudah kusam, pinggirannya pun terlihat kecokelatan, tapi lembar-lembar didalamnya masih bersih. Jika berdebu sedikit saja akan kupastikan untuk membersihkannya, sehingga tulisan-tulisan didalamnya pun tidak pudar.
Aku sengaja menyimpannya ditempat yang menurutku sangat rahasia dan mudah aku jangkau sehingga aku bisa dengan mudah mengambilnya jika aku sedang merindukannya seperti malam ini. Aku sangat gelisah tidak seperti hari-hari biasanya. Hanya dengan melihat diary ini saja, perasaanku tidak karuan.
Oh, Tuhan. Ada apa ini? Tidak mungkin dia merindukanku, bukan? Hati dan pikiranku bertanya-tanya tentang apakah penyebab perasaan yang muncul tiba-tiba ini. Atau apakah aku yang sedang merindukannya? Tidak. Tidak mungkin, aku segera menampiknya.
Setelah mengambil buku diary itu, aku masuk ke kamar, duduk dengan setangah berbaring. Kuselimuti kaki dan sebagian tubuhku, lalu kugenggam diaryku, menatapnya lama.
Aku mencoba memaksakan mataku terpejam beberapa kali, tetapi setiap kali terpejam, senyumnya selalu muncul menghiasi ingatanku, dan semakin aku memaksa untuk hilang, justru airmataku jatuh tanpa sebab. Lalu, kuputuskan untuk membukanya. Lembar demi lembar.
Ya Tuhan, jantungku masih berdebar setiap aku membuka halaman demi halaman. Perasaan ini masih sama seperti aku pertama kali mengenalnya, bahagia, jantung berdebar, dan pelangi seperti kumiliki sendiri. Dan apa ini? Bukankah aku merasa bahagia, tetapi mengapa aku air mataku jatuh setiap membaca setiap kata yang tertulis dalam lembaran-lembaran penuh kenangan ini?
Saat itu adalah masa dimana aku masih menjadi seorang remaja polos tanpa polesan bedak atau lipgloss di wajahku. Seragamku pun masih kelonggaran, rambut kukuncir kuda agar tidak mengganggu penglihatan mataku yang minus. Ya, saat itu mataku sudah minus tetapi aku tidak ingin memakai kaca mata. Jangan tanya apa sebabnya. Jawabannya sangat jelas. TIDAK PERCAYA DIRI. Aku merasa diriku semakin jelek jika harus memakai kacamata. Pagi itu, aku memasuki kelas yang sudah terlihat sangat ramai, menaruh tasku di atas meja, kemudian meletakkan kepalaku di atas tas itu. Bel jam pertama sebentar lagi berbunyi tapi aku tidak peduli. “Hmmm” gumamku pelan. Rasanya sedikit kesal mengingat kejadian di koridor tadi. Siapa lagi kalau bukan sekelompok anak sok ganteng yang cuma bisa bersiul menggoda anak-anak perempuan
Oh ya, sebelum aku lanjutkan ceritaku, perkenalkan, namaku Keisya. Aku adalah anak yang pendiam dan sulit bergaul sehingga aku tidak memiliki teman. Aku menutup diri karena aku tidak ingin menceritakannya kalau sebenarnya, ketidakpercayaan diriku membuatku sangat kesulitan. Sudah hampir dua tahun duduk di bangku SMA dan sebentar lagi naik kelas tiga, tetapi aku masih tidak memiliki seorang teman. Aku sering dimarahi guru perihal nilai kalau sudah berurusan dengan kerja kelompok, bukan karena aku bodoh. Justru sebaliknya, aku bisa dikatakan anak cerdas. Banyak guru yang juga mengatakan hal itu, bahkan salah satu dari guru matematika di sekolahku pernah mengatakan “Keisya, kamu ini cerdas, nilai ulanganmu selalu paling tinggi di kelas, tetapi kenapa kamu tidak bisa beradaptasi dengan temanmu?” Dan aku menjawabnya hanya dengan menangis. Ya, nilai
“Yess, gue tahu Pak Toni pasti nunjuk gue untuk mimpin pertandingan kali ini.” Suara itu menggema riang membuat suasana kelas menjadi sangat hidup. Andra terlihat bahagia bisa menjadi kapten tim basket sekolah kami dalam pertandingan antar sekolah di tingkat wilayah Jakarta Utara. Sebenarnya Andra adalah kapten dari tim basket di sekolah ketika kami duduk di kelas satu SMA tahun lalu. Tetapi entah mengapa di kelas dua, dia mengundurkan diri, walau masih aktif latihan. Dan seingatku, dia menjuarai banyak pertandingan saat itu, baik tingkat nasional atau pertandingan antar sekolah biasa. “Ya! Dan jangan lupa di SMA Cakrawala pasti banyak cewek-cewek bohay dan cantik, kita bisa dapet cem-cem’an baru, guys.” Kali ini suara Dani tidak kalah heboh. Sahabat Andra yang satu itu memang m
“Loe lihat? Gue berhasil dapat medali emas di pertandingan kemarin. Gue masih kompeten bermain basket.” Andra dan Dimas berjalan di koridor sekolah. Tangan kanan Andra merangkul pundak Dimas dan tangan kirinya menyanggah tas ransel dipundaknya “Terserah loe. Semerdeka loe aja, dah,” jawab Dimas memanyunkan bibirnya mendengar celoteh Andra tentang kemenangannya di pertandingan basket melawan SMA Cakrawala kemarin. “Kenapa sih loe gak happy gitu dengarnya ?” kata Andra melirik Dimas dengan sinis. Dimas menghentikan langkahnya lalu menatap Andra yang juga ikut menghentikan langkahnya. “Andra! Gimana? Loe dapat nomer cewek-cewek cantik SMA Cakrawala, nggak?” teriak Dani dari ujung koridor sambil berjalan mendekat, mengagetkan Andra dan Dimas.
Hari ini sekolahku libur. Yah, hari Sabtu dan Minggu memang jatah semua siswa untuk beristirahat, dan pilihan terbaikku adalah tidur di kamar. Aku tidak seperti gadis lain yang sebaya denganku yang akan mempersiapkan diri untuk kencan malam minggu. Semenjak memasuki masa remaja, aku belum pernah merasakan bagaimana berkencan di malam minggu. Bukan karena tidak ada yang mengajak, tetapi aku takut melakukannya. Dan jangan bilang aku bodoh, aku memiliki alasan untuk tidak melakukannya. Seperti yang terjadi hari ini di rumahku, menjadi salah satu alasan, kenapa aku tidak ingin melakukan kencan di malam minggu. “Dasar bodoh!” Suara teriakan ayah tiriku terdengar dari ruang tamu di lantai satu, yang jaraknya cukup jauh dari kamarku, kemudian disambung dengan kata-kata kasar lainnya. Hampir setiap hari aku mendengarnya dan aku tahu ini akan berlangsung lama.&
Pagi ini, aku tiba di sekolah agak pagi. Kelas sudah ramai dengan berbagai macam kegiatan anak-anak. Ada yang ngobrol di sudut kelas, ada yang mempersiapkan diri untuk pelajaran olahraga. Andra memasuki ruang kelas dengan wajah kuyu dan mengantuk. “Hey, semalam loe kemana aja? Kenapa gak balik ke arena?” Suara Angga menggema setelah Andra menaruh tas sekolahnya di atas meja. “Lupa kalo lagi tanding,” kata Andra tersenyum sekilas. Angga hanya mengangguk sambil mengupas kuacinya yang diletakkan di atas meja milik Dani. “Semalem ada yang kesel gara-gara loe gak balik,” kata Dani melirik Andra sekilas dengan wajah bantalnya. Sepertinya mereka kurang tidur karena semalam. “Kenapa?” Andra menaikan alisnya menatap Dani “Tahu, dah. Udah kaya perempuan aje temen loe,
“Keisya, cepat turun. Anak-anak kelas masih nunggu loe di kantin.” Itu sudah ketiga kalinya Keanu memanggilku ke dalam kelas. Aku masih duduk di bangku ku, di pojok kelas sendirian. Ini aneh, tidak biasanya mereka begitu cerewet kepadaku, aku masih memikirkan ada apa dengan hari ini. Aku belum selesai dengan lamunanku yang tak berujung, ketika Ara datang menghampiriku dengan riang. Dia menarik pergelangan tanganku dan bodohnya, aku hanya diam mengikuti langkah Ara. “Ayo, cepat. Dimas sama yang lain nungguin loe dari tadi,” kata Ara menarikku dengan tidak sabar ke kantin. Satu minggu ini sekolah kami menyelenggarakan classmeeting, beberapa pertandingan kecil antara adik kelas melawan kakak kelas diadakan. Aku mendapat kabar Andra dan kawan-kawannya memenangkan pertandingan basket, itu berarti kelasku s
Kejadian semalam membuatku sekujur tubuhku terasa kaku bahkan untuk sekedar bangun dari tempat tidur. Rasanya ingin sekali bolos sekolah, rasanya sangat berat bertemu Andra di kelas. Dia pasti bertanya-tanya apa yang terjadi saat dia mengantarku pulang semalam. Lagipula aku masih sangat mengantuk, aku tidak bisa tidur semalaman. Suara tangisan Ibu terus saja terdengar di telingaku membuatku sulit terpejam. Tapi jika aku melewatkan hari ini tanpa sekolah, Ayah pasti akan semakin marah. Bukan. Bukan omelan Ayah yang kutakutkan, tapi jika aku terus di rumah justru akan membuatku semakin sedih melihat kesedihan Ibu atau melihat kemarahan Ayah terus-menerus. Jadi, kuputuskan untuk pergi sekolah meskipun kakiku sangat berat untuk turun dari tempat tidurku. &