Share

BESANAN DENGAN MANTAN
BESANAN DENGAN MANTAN
Penulis: Yenika Koesrini

1. Kejadian Sore Hari

SATU BESAN DUA MENANTU

"Astaghfirullah hal adzim ... ya Allah, Gadiiing!" 

Aku menutup mulutku dengan kedua tangan. Syok, marah, dan sedih berkumpul menjadi satu. Anak bujang yang kudidik dengan penuh kasih sayang. Serta kutanamkan ajaran agama sedari kecil tega melempar kotoran pada wajah.

Sore ini dengan mata kepala sendiri, aku melihat Gading tengah berbuat hal yang dilarang agama. Putra sulung kebanggaan itu terlihat menggagahi seorang gadis. Dia melakukan zina di rumah yang biasa aku dan adiknya gunakan untuk mengaji.

"I-ibu?"

Gading dan gadis di bawahnya pun sama terkejutnya dengan aku. 

Tidak bisa berkata-kata lagi, aku memilih hengkang dari kamar Gading. Kaki yang masih gemetaran ini aku seret hingga ke dapur. Pada meja makan, aku menghempaskan tubuh.

Kuraih teko berisi air putih. Gegas kutuang isinya pada gelas. Air putih dingin ini cukup membasahi tenggorokan yang cukup kering ini.

"Astaghfirullah hal adzim." 

Aku kembali menyebut. Rasa sesak yang teramat membuatku mengusap dada beberapa kali. Tidak terasa air mataku menetes. Bahkan kini sudah mulai mengajak sungai. Membanjiri kedua pipi. Semakin kusut, alirannya justru kian deras seperti hujan di luar sana.

"Bu ...."

Aku menghentikan isak saat mendengar Gading menyebut namaku. Ketika menoleh pemuda itu mendekat bersama seorang gadis. Gadis yang tidak asing di mata.

Aku menyipit sebentar. Berusaha mengingat siapa gadis yang berdiri takut-takut di samping Gading itu. Kupandangi dari ujung rambut hingga ujung kaki. 

Gadis dengan rambut sebahu itu tampak mengenakan kaos Gading yang tampak kedodoran. Sementara rok seragamnya terlihat sedikit basah.  Apa dia datang ke rumah saat masih hujan?

"Bu ...." Panggilan dari Gading membuatku tersadar dari lamunan.

"Siapa dia? Murid kamu?" cecarku sambil menunjuk gadis berparas manis itu. Gading anakku adalah seorang guru fisika di sebuah SMA negeri kecamatan kami.

"I-iya." Gading menjawab pelan.

PLAK!

PLAK!

Tanganku terulur menggambar keras pipi Gading. Membuat pemuda berumur dua puluh enam tahun itu tersentak. Tangannya langsung memegangi pipinya yang tampak merah. Sementara sang gadis menunduk dalam. Tanda dia benar-benar ketakutan.

"Kenapa? Kenapa kamu bisa sampai melakukan hal sekotor itu, Gading?" Kembali aku mencecar dengan menahan emosi. Sehingga suaraku cukup terdengar bergetar karenanya.

"Ma-maafkan aku, Bu." Tiba-tiba Gading langsung merosot ke lantai. Saat dia hendak mencium telapak kakiku, aku menghindar. "Sungguh, Bu, aku menyesal. Gading khilaf, Bu," ratapnya terguguk bersalah. Sedangkan sang gadis terus saja menunduk tanpa berani unjuk wajah padaku.

"Sudah berapa kali kalian melakukan zina, hah?" Aku menginterogasi sembari menarik lengan agar berdiri.

"Baru tadi saja, Bu," jawab Gading ikut menunduk. 

Wajahnya terus menunjukkan rasa ketakutan. Selama ini Gading memang sangat menghormati serta menyayangi aku. Dia dan Galang adiknya adalah anak yang penurut dan taat beribadah. Wajar jika aku benar-benar syok dengan kelakuannya barusan.

"Walau pun baru sekali, tetapi dosa zina itu sangat besar, Ding," tuturku kembali merasa sedih, "seratus kali cambukan bagi mereka yang belum menikah. Sementara yang sudah menikah bahkan lebih mengerikan lagi, yakni dirajam sampai mati." 

Air mata ini kembali menetes. Benar-benar merasa telah gagal mendidik anak. Tidak bisa menjalankan amanat suamiku tujuh tahun lalu. 

Pantas saja tadi di kios hati ini terasa tidak karuan. Rasanya ingin pulang saja. Seperti ada yang memanggil. Makanya walau hujan deras, aku terjang begitu saja. Ternyata Gading tengah berbuat mesum.

"Dia itu muridmu, Ding. Seharusnya kamu menjaganya bukan malah merusaknya," sesalku sedih. "Jika kalian saling mencintai bukan begini caranya." Aku mengelap sudut mata yang berair. 

"Aku khilaf, Bu ...."

"Jangan sentuh Ibu!" Aku langsung menepis ketika Gading hendak mencium punggung tanganku. "Bawa pergi gadis itu dari hadapan ibu!" perintahku lagi.

"Bu ...."

"Pergi!" Tanganku mengacung keluar.

Gading mengangguk lemah. Pemuda itu menuntun sang gadis pergi. Hatiku trenyuh melihat langkah gadis itu yang tertatih-tatih. Gading tidak berbohong. Sepertinya ini perbuatan tercela mereka yang pertama. Namun, tetap saja ini menyakitkan hati.

Tiba-tiba tubuh ini terasa lemah. Tidak kuasa menahan beban badan, aku lirih ke lantai. Bibir ini terus mengucap istighfar. Meminta maaf kepada Allah atas kelakuan bejat Gading.  

"Ibu ... Ibu kenapa?" Tidak lama Galang putra keduaku datang. Pemuda yang baru satu semester mengenyam bangku kuliah itu langsung mendekat. "Ibu kenapa?" Anak itu langsung membantuku berdiri. Lalu mendudukkan di kursi meja makan.

"Masmu, Lang." Aku tidak sanggup menyelesaikan ucapan.

"Kenapa dengan Mas Gading? Kenapa dia pergi hujan-hujanan dengan murid lesnya?" tanya Galang heran.

Aku hanya menggeleng sedih. Rasanya tidak sanggup jika harus bercerita tentang kelakuan bejat kakak yang sangat dikagumi Galang itu.

"Ibu mau sholat ashar," putusku saat menoleh pada jam di dinding. Sepertinya sholat bisa mendamaikan hati.

Galang yang tidak tahu apa-apa tidak mencegah kepergianku. Aku sendiri langsung bergegas menuju ke kamar mandi. Berwudhu secepatnya, lalu beribadah di kamar pribadi.

Tangan ini kutengadahkan. Mulut ini tidak henti-hentinya memohon ampun kepada Allah. Berharap ampunan dari-Nya atas kelalaian ini.

*

Semenjak kejadian itu hubunganku dengan Gading menjadi renggang. Aku yang masih didera rasa kesal. Sedangkan Gading yang terus dihantui rasa bersalah.

Sikap dingin di antara kami membuat Galang dilanda bingung. Namun, baik aku maupun Gading tidak ada yang mau bercerita. Aib ini cukup kami yang tahu. Namun, bangkai lambat laun baunya juga pasti menyengat.

Sebulan kemudian, pagi itu kami bertiga tengah sarapan bersama. Gading sudah siap dengan seragam gurunya. Galang rapi dengan pakaian ke kampusnya. Sedangkan aku juga siap pergi ke kios.

Ketika tengah menyantap sarapan terdengar pintu depan digedor orang. Ada suara wanita berteriak-teriak memanggil nama Gading. Putraku itu langsung berdiri dan berjalan menuju pintu depan.

Terdengar keributan. Aku dan Galang mendengar wanita itu memaki Gading. Kami yang penasaran bergerak menghampiri mereka.

"Stop! Tolong hentikan dulu!" Aku berteriak saat melihat Gading tengah dipukuli.

"Rin-Rini?" Pria yang tengah menggampar Gading terkejut. Sama seperti halnya aku yang juga tidak kalah terkejutnya.

"Ohhh ... jadi Gading itu anak kamu, Rini?" Sang istri langsung mendelik tajam padaku.

"Asal kamu tahu aja ya, Rini. Kami sudah mempercayai Gading untuk membimbing Bunga belajar. Membayar dia dengan mahal, tetapi kenapa anakmu justru tega merusaknya, hah? Jawab!" maki wanita itu ketus. "Dan kamu tahu? Anak saya sekarang hamil satu bulan. Dan sungguh saya tidak sudi jika harus berbesan denganmu, Rini!"

"Sari, jaga mulutmu!" Suaminya menyergah.

"Bela! Bela terus mantan terindahmu itu, Mas!" Perempuan bernama Sari itu berteriak keras.

Aku sendiri hanya bisa mengelus dada. Sedikit menyalahkan takdir. Kenapa harus ketemu mereka berdua lagi?

Next.

Jangan lupa subscribe ya untuk update part terbaru 🙏

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Puspita Rahayu
Cerita lain daripada yang lain
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status