"Mari masuk! Kita bicarakan semuanya di dalam dengan kepala dingin." Aku mengajak setelah mampu menata hati.
"Cih! Gak sudi ya aku menginjakkan kakiku ke rumah kamu," tolak Sari sambil memleot-mleotkan bibirnya yang bergincu merah itu. Tebal sekali terlihat dia seperti Sari baru saja mengisap darah.
"Sariii!" Suaminya menyergah lagi.
"Apa sih, Mas?" Sari melototi suaminya, "dari tadi Sara-Sari terus," semprotnya judes.
"Jaga mulut kamu! Ingat ini rumah orang." Pria berumur akhir empat puluhan itu memperingatkan sang istri.
"Iya, aku tahu ini rumah mantanmu yang namanya masih kamu sebut kalo ngigau," tukas Sari sembari berkacak pinggang.
Aku sendiri cukup terhenyak mendengarnya. Begitu juga anak-anak. Keduanya sontak menatapku lalu berpaling pada suaminya Sari. Membuat wajah pria itu merah seperti kepiting rebus.
"Ibu kenal Bapak Arif dan Ibu Sarita?" tanya Gading terlihat ingin tahu. Di belakangnya sang adik tidak kalah penasarannya.
"Bukan cuma kenal, tapi puluhan tahun yang lalu ibumu nekat ngajak calon suami saya buat kawin lari," cerocos Sari masih dengan nada ketus.
"Sariii! Jaga ucapan kamu!" Lagi-lagi Mas Arif memerintah.
"Kenapa? Memang begitu kenyataannya kan?" sahut Sarita kian menjadi. Geram dengan tingkah sang istri, Mas Arif memilih melengos.
"Tolong jangan buat keributan di sini, saya gak enak dengan tetangga." Aku berujar tegas, "saya tidak punya waktu meladeni omong kosong njenengan, Mbak Sari," lanjutku dengan berusaha tenang.
"Hey ... dengar! Anak kamu sudah merusak masa depan putri kandungku," sergah Sari terlihat murka.
"Makanya kita sebagai orang tua duduk bersama untuk memecahkan masalah di dalam," balasku kalem, "monggoh Mas Arif sama Mbak Sari silakan masuk!" Jempolku mempersilakan.
"Ayo, Bu!" Mas Arif menarik lengan istrinya memasuki rumahku. Aku, Gading, dan Galang minggir memberikan ruang bagi mereka masuk.
Sari dengan gayanya yang selangit menyapu sekeliling rumahku. Bibirnya mendecih saat melihat foto wisuda Gading. Wanita itu tersentak saat suaminya menyeret ke kursi.
"Monggoh, silakan duduk!" izinku kembali mempersilakan.
"Terima kasih." Mas Arif mengangguk pelan. Namun, tangannya kembali menyentak istri agar ikut duduk di kursi minimalis kepunyaanku.
"Dek Galang, tolong buatkan minum untuk Bapak dan Ibu ini, ya," pintaku pada si bungsu.
"Nggih, Bu." Galang menyahut santun. Dasarnya kedua anak memang sudah tahu sopan santun sejak kecil.
"Gak usah! Gak usah!" Sari langsung berdiri dan melarang, "kami datang ke sini bukan untuk minta minum," cerocosnya angkuh.
"Tapi, minuman dingin bisa sedikit menyejukkan hati yang lagi kalap, Mbak," ujarku pelan.
"Aku bilang gak--"
"Boleh-boleh." Mas Arif memotong ucapan istrinya dengan cepat. Tampak pula dia menyikut lengan Sari agar tidak bicara lagi.
Galang langsung beranjak pergi begit mendengar jawaban Mas Arif. Pemuda itu melangkah ke dalam. Selang beberapa menit dia kembali. Tangannya memegang nampang berisi empat cangkir. Setelah menaruh cangkir berisi teh ke meja, anak itu memilih meninggalkan ruangan tamu.
"Silakan diminum," ucapku kembali berbasa-basi.
"Terima kasih." Mas Arif mengangguk sopan. Sementara istrinya memilih membuang muka. "Langsung pada pokok permasalahannya saja ya, Rin."
Aku mengangguk pelan. Sedikit kaget saat Mas Arif menyebut namaku tanpa embel-embel Mbak atau ibu. Seolah tengah menegaskan pada Gading jika memang pernah ada hubungan di antara kami.
"Jadi begini ...." Mas Arif tampak menghela napas sebelum melanjutkan cerita, "dari beberapa hari kemarin Bunga mengaku sakit. Tiap pagi mual dan muntah. Tadinya kami pikir dia masuk angin biasa. Puncaknya kemarin sore sehabis pulang sekolah Bunga tiba-tiba pingsan. Saat kami bawa ke rumah sakit, dokter bilang ... Bunga hamil." Suara Mas Arif terdengar bergetar. Sepertinya dia tengah menahan luapan kesedihan dan amarah. Pria itu memilih menunduk sejenak.
"Sebagai orang tua, tentu saja saya dan Sarita kaget bukan main mendengarnya," tutur Mas Arif meneruskan ceritanya. Tadinya Bunga tidak mau mengaku, tapi setelah didesak dia akhirnya buka mulut--"
"Dan kami sangat tidak percaya kalo ternyata Gading, sosok yang kami anggap anak yang baik tega merusak masa depan putri kami!" sela Sarita penuh emosi. Kelopak wanita berambut ikal sebahu itu terlihat berembum. "Bunga memang polos dan tidak terlalu pintar, makanya kami rela membayar Gading untuk diles privat. Tapi ... tapi kenapa ini balasannya, hah?!" Tangan Sarita menarik seragam Gading.
"Maafkan saya, Bu," ucap Gading menunduk takut.
"Kamu tahu? Ucapan maafmu gak bisa mengembalikan keperawanan Bunga," caci Sarita sengit.
Gading cukup tertohok mendapatkan serangan telak dari Sari. Pemuda itu kembali tidak berani unjuk wajah. Sebagai ibu, tentu saja aku trenyuh melihatnya.
"Atas nama Gading, saya selaku Ibunya meminta maaf yang sebesar-besarnya pada keluarga Mas Arif. Terutama Bunga," ucapku tulus dan sedikit menahan sedih. "Saya sendiri juga tidak percaya, anak yang sudah saya gadang-gadang sebagai anak yang baik ternyata bisa melakukan hal sekotor ini. Maaf." Aku menangkupkan kedua tangan dengan bersungguh-sungguh.
"Makanya punya anak itu dipantau jangan diumbar tidak jelas begitu!" Sari kembali menyemprot dengan keras.
"Gading sudah dewasa tidak mungkin saya pantau tiap waktu, Mbak."
"Tapi akibatnya seperti ini, Rini!" tukas Sari terpancing emosi, "pantes saja akhir-akhir gak pernah datang lagi ke rumah buat privat Bunga ternyata mau lari dari tanggung jawab."
"Saya tidak lari dari tanggung jawab, Bu, hanya saja---"
"Apa?!" Sari memotong ucapan Gading.
"Saya tidak mencintai Bunga," aku Gading takut.
PLAK!
PLAK!
Aku memejam saat melihat Sari menggampar pipi Gading kiri dan kanan. Sebagai seorang ibu, aku bisa merasakan sakit yang tengah dirasakan Gading. Selain sakit dan panas di pipi, pastinya hati Gading malu bukan main.
"Omong kosong! Bilang tidak cinta, tapi anak saya diembat," maki Sari geram.
"Dengarkan penjelasan saya dulu, Bu Sari," pinta Gading sambil memohon.
"Apa? Kamu berdalih apa?"
"Saya gak berdalih, saya cuma mau berkata jujur," sahut Gading pelan. "Jadi ... jadi sebenarnya saya itu justru adalah kekasihnya Nona. Kakak Bunga."
Sontak Mas Arif dan Sarita ternganga bersama.
"Dasar ba ji ngan!" maki Sarita sambil mencakar wajah Gading. "Bener-bener keterlaluan. Tega-teganya mempermainkan kedua anak saya."
Aku sendiri hanya bergeming. Cacian dan umpatan yang terlontar dari mulut Sari membuat kepala ini terasa pusing.
"Astaghfirullah hal adzim." Aku nyebut seraya mengelus dada.
"Bunga ... Bunga ... yang terlebih dulu mengoda saya." Gading berujar lagi. "Saya ... saya seperti dikerjai oleh dia."
Lagi-lagi kami bertiga sebagai orang tua hanya bisa tercekat.
Next.
Apa?" Aku, Mas Arif, dan Nona serempak bertanya."Itu ... eee ... Bunga ... Bunga hamil lagi, Bu, Yah," jawab Gading sedikit ragu. "Sudah delapan minggu.""Owalah mau ngomong itu aja lama bener," ujarku sambil menggeleng heran."Habisnya aku malu, Bu," aku Bunga sedikit menunduk."Malu kenapa?" Lagi-lagi kami bertiga menyahut kompak."Ya itu ... Fawwaz belum juga berumur dua tahun, malah sudah hamil lagi," tutur Bunga terlihat bersalah."Wong hamil punya suami kok malu." Mas Arif menanggapi dengan santai. Pria itu menyerahkan cucunya pada sang ibu. Dia mulai menikmati sarapannya sendiri."Oh ya ... aku juga ada yang mau disampaikan nih," kata Nona tersenyum manis."Apa?" Kami semua menoleh padanya."Jadi gini ...." Nona membasahi bibirnya dengan lidah, "malam Rabu besok Mas Haris akan bawa orang tuanya buat silahturahmi ke sini," terangnya malu-malu."Mbak Nona mau dilamar?" tanya Bunga antusias.Nona hanya mengangguk dengan pipi yang merona."Kamu sudah yakin dengan calonmu?" tanya M
Tidak terasa sudah empat bulan aku menyandang status sebagai Nyonya Arifin. Menjadi pengantin baru di usia yang hampir mendekati setengah abad tidak pernah sekalipun aku membayangkannya. Kadang masih tidak percaya jika Mas Arif sudah menjadi imam dalam hidupku. Sosok yang pernah sangat berarti, lalu karena keadaan kami terpisah jarak dan yang cukup lama. Dua puluh delapan tahun sendiri.Mungkin inilah yang dinamakan jodoh tidak akan lari kemana. Kami pernah membina rumah tangga masing-masing. Lalu karena campur tangan Allah, kami bertemu lagi.Kadang geli sendiri. Mas Arif memang sudah berumur. Dua tahun lagi usianya genap lima puluh tahun. Empat bulan lebih tua dariku. Namun, kelakuannya mirip anak tujuh tahun. Manjaaaa ... sekali.Mas Arif tidak akan pernah mau mandi jika tidak mandi bersamaku. Setiap hari sebelum dapat ciuman hangat, anak muda zaman sekarang bilang morning kiss lelaki itu akan berangkat kerja. Sarapan pun enggan jika belum aku suapi.Geli dan lebay ... memang! Tapi
Sesuai rencana, satu minggu kemudian Gading dan Bunga melangsungkan akad ulang mereka. Keduanya tampak berseri. Mereka mengenakan jas serta kebaya pengantin enam bulan lalu. Walau begitu Gading dan Bunga terlihat bahagia.Jika dulu Gading tampak begitu terpaksa, tidak dengan hari ini. Suaranya yang lirih dulu saat mengikrarkan janji kini terdengar lebih lantang. Bahkan dia melafalkan hanya dengan satu tarikan napas.Sayangnya acara bahagia ini tidak dihadiri oleh Nona. Anak itu baru menjalani masa kurungan selama satu bulan. Tentu saja dirinya tidak diizinkan untuk datang.Walau begitu kebahagiaan ini tidaklah berkurang. Bahkan kian bertambah karena usai ijab qobul Gading dan Bunga, Mas Arif mengajukan lamaran untukku di hadapan tamu. Khususnya Ibu serta keluarga aku."Mak Siti, njenengan tahu kalo saya sama Marini sudah saling suka dari waktu kecil," ujar Mas Arif tenang di hadapan keluargaku dan keluarganya."Yo, tahu," sahut Ibuku juga tidak kalah tenang, "kalian bahkan pernah mau
Bibir Mas Arif masih mengembangkan senyum. Sementara matanya terus menatapku intens. Aku sampai risih dibuatnya."Sudah, Mas, jangan pandangi aku terus. Malu!" tegurku benar-benar jengah, "sudah dimakan itu pesanan kamu!"Mas Arif kian meringis. "Rin, tolong cubit lenganku," pintanya sembari menyodorkan tangan.Alisku bertaut. "Kok minta dicubit?""Enggak ... aku cuma mau memastikan bahwa ini tuh nyata, real. Kamu menerima pinangan aku."Kali ini aku yang tersenyum. "Sudah gak usah lebay gitu, Mas. Ingat kita ini pasangan kakek nenek lho, bukan anak muda lagi!" tuturku mencoba mengingatkan."Kata siapa kita sudah tua?" Mas Arif langsung menukas, "belum juga lima puluh tahun. Kata orang kita lagi di puncak kematangan hidup.""CK ... udah itu bakmine nanti dingin." Aku mengalihkan perhatian dengan menunjuk mangkok berisi bakmie kepunyaan Mas Arif.Mas Arif mulai membubuhkan saos. Setelah itu dia mengaduk makanan panjang itu dengan sumpit. Lelaki itu menyicipi kuahnya dengan sendok.Tiba
Aku tersentak saat mendengar suara kondektur yang menyuruh penumpang turun di terminal daerah Ibu. Hebat! Tiga jam perjalanan aku sama sekali tidak mengantuk. Waktuku habis hanya untuk memikirkan Mas Arif.Turun dari bus aku langsung mencari tukang ojek. Begitu dapat kusuruh lelaki berhelm itu untuk mengantar ke TPU. Hanya butuh waktu sepuluh menit, aku sudah tiba di makam Bapak dan juga kakek.Bunga-bunga yang kubeli di toko tadi, kutaruh pada kedua makam tersebut. Usai memanjat doa dan menyiram air bunga, aku melangkah pergi. Tukang ojek masih menunggu.Pria itu mengantar aku hingga tiba di depan rumah Jani. Ketika aku membayar lebih, lelaki seumuran Pak Kus mengucapkan banyak terima kasih.Jani menyambut kedatanganku dengan senang. Wanita itu menyiapkan makan siang untukku. Kami makan siang bertiga Ibu. Anak-anak Jani dan suaminya belum ada yang pulang."Sebenarnya maksud kedatangan aku ke sini adalah ingin meminta saran dari kalian," ungkapku usai makan siang bersama."Kamu mau ce
"Mas, ini tuh--""Saya kasih kamu waktu untuk berpikir, Rin," sela Mas Arif segera, "silakan berpikir matang-matang agar nanti tidak ada penyesalan di kemudian hari," tuturnya terdengar bijak."Terima kasih banyak, Mas." Aku tersenyum senang."Ya sudah kalo sudah tidak ada lagi yang dibicarakan, saya pamit pulang saja," izin Mas Arif selanjutnya."Tapi, Yah, kita kan belum bahas rencana nikah ulang aku dan Mas Gading." Bunga langsung mencegah kepergian ayahnya."Lho bukannya nanti bareng sekalian sama nikahannya ayah dan Ibu Rini," sahut Mas Arif santai."Cieee!" Gading dan Galang sontak meledek. Membuat pipiku terasa hangat.Bunga tertawa. "Tapi kalo ayah ditolak lagi bagaimana?""Gak papa ... toh setidaknya ayah pernah berusaha keras mengejar cinta pertama ayah." Mas Arif menjawab dengan sok bijak."Cieee!" Lagi-lagi Gading dan Galang menanggapi dengan ledekan."Kalian berdua apa sih dari tadi cie-cie saja?" Aku menegur dengan sedikit gondok. Namun, baik Gading maupun Galang tetap s