"Kamu bener-bener keterlaluan, ya?! Udah ngembat anak saya, sekarang mau menjelekkan Bunga," caci Sarita geram.
Tangannya kembali hendak mencakar Gading. Namun, baik aku dan Mas Arif sama-sama menghalangi. Aku yang menjadi tameng buat Gading, sedang Mas Arif menarik lengan istrinya.
"Sari, jaga kelakuan kamu! Ingat tujuan kita datang ke sini!" Mas Arif tampak serius memperingati.
"Tentu saja ingat," sahut Sarita ketus, "kita akan menuntut Gading secepatnya. Biar dia membusuk di penjara karena telah tega memperkosa anak di bawah umur," cerocos wanita itu menggebu-gebu.
"Saya tidak memperkosa Bunga, Bu. Dia sendiri yang datang untuk menggoda saya." Gading kembali melakukan pembelaan.
"Kamu itu bener-bener, ya!" Ketika Sarita hendak menggampar Gading, lagi-lagi sang suami mencegahnya.
"Mas Arif, saya paham Mbak Sari sangat terpukul dengan kejadian ini. Apalagi kalian ada di pihak perempuan. Saya yang berada di pihak laki-laki pun sangat menyayangkan." Aku berkata dengan tenang, "tapi, kemarahan tidak akan menyelesaikan masalah."
"Kamu benar, Rini," sahut Mas Arif membenarkan omongan aku, "memang niat kedatangan kami ke mari sebenarnya adalah ingin meminta pertanggungjawaban dari Gading."
"Tapi setelah tahu kalo Gading anaknya kamu, saya mengurungkan niat," timpal Sarita masih berapi-api, "mumpung kandungan Bunga masih kecil, kita suruh dia gugurkan saja. Dan Gading harus siap mendekam di penjara!"
"Astaghfirullah hal adzim!" Aku, Gading, dan Mas Arif berseru bersamaan mendengar ancaman serius dari bibir Sarita.
"Mbak, menggugurkan janin itu dosanya besar. Itu sama saja pembunuhan." Aku menyergah cepat.
"Biar saja! Toh bayi itu memang tidak diinginkan. Anak haram!" cetus Sarita kian kasar, "dan yang pasti saya tidak sudi berbesanan dengan kamu, Rin." Usai menumpahkan kegeramannya, Sarita bangkit. "Ayo kita pulang, Mas! Gak ada gunanya berlama-lama di sini!" Wanita itu menarik lengan suaminya.
"Iya, tunggu!" Mas Arif menolak.
Sarita mencibir. Wanita itu angkat kaki dengan mengangkat dagu. Ketika sampai di pintu dia menoleh pada kami. Mas Arif mengibaskan tangan, kode jika menyuruh istrinya masuk mobil terlebih dulu.
"Sekali lagi, saya meminta maaf atas ketidaksopanan istri saya." Mas Arif menangkupkan kedua tangan seraya mengangguk kecil.
"Saya memakluminya, Mas. Tapi, tolong jangan jebloskan anak saya ke penjara," mohonku bersungguh-sungguh, "kita pikirkan semuanya dengan kepala dingin. Terutama tentang niat Mbak Sarita yang menginginkan Bunga menggugurkan kandungannya."
Mas Arif manggut-manggut tanda paham. "Iya, makanya lusa atau kapan kalian datanglah ke rumah saya untuk membicarakan masalah ini lebih lanjut," pintanya tenang.
TIN TIN!
Terdengar suara klakson mobil di depan. Pastinya Sarita yang membunyikannya. Sepertinya dia sudah tidak sabaran ingin segera pulang.
"Saya akan menenangkan istri saya dulu," pamit Mas Arif sembari bangkit.
Aku dan Gading ikut bangkit berdiri.
"Iya, Mas. Tolong ingatkan Mbak Sarita kalo semua bayi terlahir suci. Orang tuanya yang salah. Dia berhak hidup," ujarku berusaha bijak.
"Iya." Mas Arif mengangguk pelan, "kalo begitu saya permisi."
Aku dan Gading mengiringi pria berkacamata itu hingga pintu. Terlihat Sarita duduk di samping bangku kemudi. Wanita itu mendelik tajam pada Gading.
Sementara tetangga yang penasaran karena mendengar keributan di rumahku lekas kembali ke aktivasinya masing-masing. Ada yang langsung pura-pura menyapu, menyiram bunga, atau sibuk memilih sayuran pada tukang sayur.
"Sudah pulang tamunya, Bu?" Tiba-tiba Galang sudah mendekat. Aku yang malas menanggapi pertanyaan Galang hanya mengangguk pelan. "Sebenarnya apa yang terjadi? Apakah ini yang membuat Ibu akhir-akhir ini gak menyapa Mas Gading?" cecar Galang terlihat begitu penasaran.
"Kamu tanyakan langsung saja ke orangnya, Lang," suruhku lesu.
Kaki tergerak menuju meja makan. Niat hati ingin meneruskan sarapan yang sempat tertunda barusan. Namun, selera makanku sudah menguap entah ke mana.
"Bu, tolong maafkan Gading." Gading datang dan langsung bersimpuh di kakiku.
"Duduk!" suruhku datar.
"Gak mau sebelum Ibu maafin aku." Gading bersikeras untuk bersimpuh.
Aku menghela napas panjang. Sementara Galang hanya memandangi kakaknya dengan wajah yang tidak bisa dijelaskan. Mungkin dia kasihan pada Gading. Tapi aku yakin, Galang juga tidak mungkin membenarkan perbuatan kakaknya.
"Jangan minta maaf sama Ibu. Minta maaflah sama Allah," balasku masih datar. "Taubat nasuha sana!"
"Pasti, Bu. Aku pasti akan melakukannya." Gading tampak bersungguh-sungguh saat berjanji.
"Baguslah, sekarang yang terpenting siapkan mentalmu." Kupandangi pemuda berkulit kecokelatan itu dengan prihatin. "Semoga saja Ibu Sarita tidak jadi menjarakan kamu," harapku sedikit cemas.
Gading hanya mendesah resah.
"Mas, tadi aku sempet mendengar saat kamu bilang kalo Bunga menggoda kamu duluan. Itu maksudnya bagaimana, Mas?" Galang yang sedari tadi diam tiba-tiba mengajukan pertanyaan.
Gading mengangguk pelan. "Iya, dia memang anak yang nakal," kecamnya terlihat kesal.
"Kenapa kamu ngomong seperti itu?" cecarku sembari menyipit bingung. "Itu omongan laki-laki pengecut yang mau lari dari tanggung jawab." Kesal membuatku sedikit mengutuk.
"Memang begitu kenyataannya, Bu." Gading tetap kokoh dengan ucapannya.
"Apa yang mendorong Mas berkata begitu?" Galang menimpali.
"Baiklah aku akan menceritakan kronologis kejadian sore itu," putus Gading serius.
Pemuda itu terlihat menghirup oksigen perlahan-lahan. Sepertinya dia sedang menata omongan.
"Jadi begini ...."
FLASH BACK
Sore itu sebulan lalu, Gading sedang sibuk mengoreksi hasil ulangan siswanya di ruang tengah. Dia sendirian di rumah. Aku masih berada di kios. Sedangkan Galang belum juga pulang dari kampusnya.
Di luar hujan turun begitu deras. Hawa dingin cukup mengusik kulit. Tiba-tiba terdengar ketukan pintu di luar. Gading juga mendengar seseorang memanggil namanya.
Gedoran pintu kian terdengar jelas. Gading pun bangkit untuk melihat siapa yang datang. Pemuda itu cukup kaget melihat siapa yang telah mengetuk pintu.
"Bunga?" sapa Gading sedikit kaget.
Pasalnya gadis itu datang sendirian dalam keadaan basah kuyup. Belum lagi gadis itu masih mengenakan seragam. Padahal waktu pulang sekolah sudah dua jam yang lalu.
"Pak Gading, bo-boleh ... sa-saya ma-masuk?" izin Bunga sambil memeluk tubuhnya yang basah.
"Mari masuk!" Gading mengizinkan karena tidak tega melihat Bunga kedinginan.
"Te-terima kasih," ucap Bunga dengan bibir yang sudah terlihat biru.
Kedua insan muda itu memasuki rumah. Gading mempersilakan Bunga duduk di ruang tamu.
"Ada apa hujan-hujanan ke sini? Jadwal les dengan saya bukannya masih dua hari lagi?" tanya Gading sedikit menundukkan pandangan.
Gading lumayan terganggu melihat keadaan Bunga. Seragamnya yang kuyup membuat dadanya tercetak begitu jelas. Gading bahkan bisa melihat warna bra yang digunakan gadis delapan belas tahun itu.
"Sa-saya kedinginan, Pak," ujar Bunga tanpa menjawab pertanyaan Gading.
Apa?" Aku, Mas Arif, dan Nona serempak bertanya."Itu ... eee ... Bunga ... Bunga hamil lagi, Bu, Yah," jawab Gading sedikit ragu. "Sudah delapan minggu.""Owalah mau ngomong itu aja lama bener," ujarku sambil menggeleng heran."Habisnya aku malu, Bu," aku Bunga sedikit menunduk."Malu kenapa?" Lagi-lagi kami bertiga menyahut kompak."Ya itu ... Fawwaz belum juga berumur dua tahun, malah sudah hamil lagi," tutur Bunga terlihat bersalah."Wong hamil punya suami kok malu." Mas Arif menanggapi dengan santai. Pria itu menyerahkan cucunya pada sang ibu. Dia mulai menikmati sarapannya sendiri."Oh ya ... aku juga ada yang mau disampaikan nih," kata Nona tersenyum manis."Apa?" Kami semua menoleh padanya."Jadi gini ...." Nona membasahi bibirnya dengan lidah, "malam Rabu besok Mas Haris akan bawa orang tuanya buat silahturahmi ke sini," terangnya malu-malu."Mbak Nona mau dilamar?" tanya Bunga antusias.Nona hanya mengangguk dengan pipi yang merona."Kamu sudah yakin dengan calonmu?" tanya M
Tidak terasa sudah empat bulan aku menyandang status sebagai Nyonya Arifin. Menjadi pengantin baru di usia yang hampir mendekati setengah abad tidak pernah sekalipun aku membayangkannya. Kadang masih tidak percaya jika Mas Arif sudah menjadi imam dalam hidupku. Sosok yang pernah sangat berarti, lalu karena keadaan kami terpisah jarak dan yang cukup lama. Dua puluh delapan tahun sendiri.Mungkin inilah yang dinamakan jodoh tidak akan lari kemana. Kami pernah membina rumah tangga masing-masing. Lalu karena campur tangan Allah, kami bertemu lagi.Kadang geli sendiri. Mas Arif memang sudah berumur. Dua tahun lagi usianya genap lima puluh tahun. Empat bulan lebih tua dariku. Namun, kelakuannya mirip anak tujuh tahun. Manjaaaa ... sekali.Mas Arif tidak akan pernah mau mandi jika tidak mandi bersamaku. Setiap hari sebelum dapat ciuman hangat, anak muda zaman sekarang bilang morning kiss lelaki itu akan berangkat kerja. Sarapan pun enggan jika belum aku suapi.Geli dan lebay ... memang! Tapi
Sesuai rencana, satu minggu kemudian Gading dan Bunga melangsungkan akad ulang mereka. Keduanya tampak berseri. Mereka mengenakan jas serta kebaya pengantin enam bulan lalu. Walau begitu Gading dan Bunga terlihat bahagia.Jika dulu Gading tampak begitu terpaksa, tidak dengan hari ini. Suaranya yang lirih dulu saat mengikrarkan janji kini terdengar lebih lantang. Bahkan dia melafalkan hanya dengan satu tarikan napas.Sayangnya acara bahagia ini tidak dihadiri oleh Nona. Anak itu baru menjalani masa kurungan selama satu bulan. Tentu saja dirinya tidak diizinkan untuk datang.Walau begitu kebahagiaan ini tidaklah berkurang. Bahkan kian bertambah karena usai ijab qobul Gading dan Bunga, Mas Arif mengajukan lamaran untukku di hadapan tamu. Khususnya Ibu serta keluarga aku."Mak Siti, njenengan tahu kalo saya sama Marini sudah saling suka dari waktu kecil," ujar Mas Arif tenang di hadapan keluargaku dan keluarganya."Yo, tahu," sahut Ibuku juga tidak kalah tenang, "kalian bahkan pernah mau
Bibir Mas Arif masih mengembangkan senyum. Sementara matanya terus menatapku intens. Aku sampai risih dibuatnya."Sudah, Mas, jangan pandangi aku terus. Malu!" tegurku benar-benar jengah, "sudah dimakan itu pesanan kamu!"Mas Arif kian meringis. "Rin, tolong cubit lenganku," pintanya sembari menyodorkan tangan.Alisku bertaut. "Kok minta dicubit?""Enggak ... aku cuma mau memastikan bahwa ini tuh nyata, real. Kamu menerima pinangan aku."Kali ini aku yang tersenyum. "Sudah gak usah lebay gitu, Mas. Ingat kita ini pasangan kakek nenek lho, bukan anak muda lagi!" tuturku mencoba mengingatkan."Kata siapa kita sudah tua?" Mas Arif langsung menukas, "belum juga lima puluh tahun. Kata orang kita lagi di puncak kematangan hidup.""CK ... udah itu bakmine nanti dingin." Aku mengalihkan perhatian dengan menunjuk mangkok berisi bakmie kepunyaan Mas Arif.Mas Arif mulai membubuhkan saos. Setelah itu dia mengaduk makanan panjang itu dengan sumpit. Lelaki itu menyicipi kuahnya dengan sendok.Tiba
Aku tersentak saat mendengar suara kondektur yang menyuruh penumpang turun di terminal daerah Ibu. Hebat! Tiga jam perjalanan aku sama sekali tidak mengantuk. Waktuku habis hanya untuk memikirkan Mas Arif.Turun dari bus aku langsung mencari tukang ojek. Begitu dapat kusuruh lelaki berhelm itu untuk mengantar ke TPU. Hanya butuh waktu sepuluh menit, aku sudah tiba di makam Bapak dan juga kakek.Bunga-bunga yang kubeli di toko tadi, kutaruh pada kedua makam tersebut. Usai memanjat doa dan menyiram air bunga, aku melangkah pergi. Tukang ojek masih menunggu.Pria itu mengantar aku hingga tiba di depan rumah Jani. Ketika aku membayar lebih, lelaki seumuran Pak Kus mengucapkan banyak terima kasih.Jani menyambut kedatanganku dengan senang. Wanita itu menyiapkan makan siang untukku. Kami makan siang bertiga Ibu. Anak-anak Jani dan suaminya belum ada yang pulang."Sebenarnya maksud kedatangan aku ke sini adalah ingin meminta saran dari kalian," ungkapku usai makan siang bersama."Kamu mau ce
"Mas, ini tuh--""Saya kasih kamu waktu untuk berpikir, Rin," sela Mas Arif segera, "silakan berpikir matang-matang agar nanti tidak ada penyesalan di kemudian hari," tuturnya terdengar bijak."Terima kasih banyak, Mas." Aku tersenyum senang."Ya sudah kalo sudah tidak ada lagi yang dibicarakan, saya pamit pulang saja," izin Mas Arif selanjutnya."Tapi, Yah, kita kan belum bahas rencana nikah ulang aku dan Mas Gading." Bunga langsung mencegah kepergian ayahnya."Lho bukannya nanti bareng sekalian sama nikahannya ayah dan Ibu Rini," sahut Mas Arif santai."Cieee!" Gading dan Galang sontak meledek. Membuat pipiku terasa hangat.Bunga tertawa. "Tapi kalo ayah ditolak lagi bagaimana?""Gak papa ... toh setidaknya ayah pernah berusaha keras mengejar cinta pertama ayah." Mas Arif menjawab dengan sok bijak."Cieee!" Lagi-lagi Gading dan Galang menanggapi dengan ledekan."Kalian berdua apa sih dari tadi cie-cie saja?" Aku menegur dengan sedikit gondok. Namun, baik Gading maupun Galang tetap s