Share

3. Ancaman Sarita

"Kamu bener-bener keterlaluan, ya?! Udah ngembat anak saya, sekarang mau menjelekkan Bunga," caci Sarita geram. 

Tangannya kembali hendak mencakar Gading. Namun, baik aku dan Mas Arif sama-sama menghalangi. Aku yang menjadi tameng buat Gading, sedang Mas Arif menarik lengan istrinya.

"Sari, jaga kelakuan kamu! Ingat tujuan kita datang ke sini!" Mas Arif tampak serius memperingati.

"Tentu saja ingat," sahut Sarita ketus, "kita akan menuntut Gading secepatnya. Biar dia membusuk di penjara karena telah tega memperkosa anak di bawah umur," cerocos wanita itu menggebu-gebu.

"Saya tidak memperkosa Bunga, Bu. Dia sendiri yang datang untuk menggoda saya." Gading kembali melakukan pembelaan.

"Kamu itu bener-bener, ya!" Ketika Sarita hendak menggampar Gading, lagi-lagi sang suami mencegahnya.

"Mas Arif, saya paham Mbak Sari sangat terpukul dengan kejadian ini. Apalagi kalian ada di pihak perempuan. Saya yang berada di pihak laki-laki pun sangat menyayangkan." Aku berkata dengan tenang, "tapi, kemarahan tidak akan menyelesaikan masalah."

"Kamu benar, Rini," sahut Mas Arif membenarkan omongan aku, "memang niat kedatangan kami ke mari sebenarnya adalah ingin meminta pertanggungjawaban dari Gading."

"Tapi setelah tahu kalo Gading anaknya kamu, saya mengurungkan niat," timpal Sarita masih berapi-api, "mumpung kandungan Bunga masih kecil, kita suruh dia gugurkan saja. Dan Gading harus siap mendekam di penjara!"

"Astaghfirullah hal adzim!" Aku, Gading, dan Mas Arif berseru bersamaan mendengar ancaman serius dari bibir Sarita.

"Mbak, menggugurkan janin itu dosanya besar. Itu sama saja pembunuhan." Aku menyergah cepat.

"Biar saja! Toh bayi itu memang tidak diinginkan. Anak haram!" cetus Sarita kian kasar, "dan yang pasti saya tidak sudi berbesanan dengan kamu, Rin." Usai menumpahkan kegeramannya, Sarita bangkit. "Ayo kita pulang, Mas! Gak ada gunanya berlama-lama di sini!" Wanita itu menarik lengan suaminya.

"Iya, tunggu!" Mas Arif menolak.

Sarita mencibir. Wanita itu angkat kaki dengan mengangkat dagu. Ketika sampai di pintu dia menoleh pada kami. Mas Arif mengibaskan tangan, kode jika menyuruh istrinya masuk mobil terlebih dulu.

"Sekali lagi, saya meminta maaf atas ketidaksopanan istri saya." Mas Arif menangkupkan kedua tangan seraya mengangguk kecil.

"Saya memakluminya, Mas. Tapi, tolong jangan jebloskan anak saya ke penjara," mohonku bersungguh-sungguh, "kita pikirkan semuanya dengan kepala dingin. Terutama tentang niat Mbak Sarita yang menginginkan Bunga menggugurkan kandungannya."

Mas Arif manggut-manggut tanda paham. "Iya, makanya lusa atau kapan kalian datanglah ke rumah saya untuk membicarakan masalah ini lebih lanjut," pintanya tenang.

TIN TIN!

Terdengar suara klakson mobil di depan. Pastinya Sarita yang membunyikannya. Sepertinya dia sudah tidak sabaran ingin segera pulang.

"Saya akan menenangkan istri saya dulu," pamit Mas Arif sembari bangkit.

Aku dan Gading ikut bangkit berdiri.

"Iya, Mas. Tolong ingatkan Mbak Sarita kalo semua bayi terlahir suci.  Orang tuanya yang salah. Dia berhak hidup," ujarku berusaha bijak.

"Iya." Mas Arif mengangguk pelan, "kalo begitu saya permisi."

Aku dan Gading mengiringi pria berkacamata itu hingga pintu. Terlihat Sarita duduk di samping bangku kemudi. Wanita itu mendelik tajam pada Gading. 

Sementara tetangga yang penasaran karena mendengar keributan di rumahku lekas kembali ke aktivasinya masing-masing. Ada yang langsung pura-pura menyapu, menyiram bunga, atau sibuk memilih sayuran pada tukang sayur.

"Sudah pulang tamunya, Bu?" Tiba-tiba Galang sudah mendekat. Aku yang malas menanggapi pertanyaan Galang hanya mengangguk pelan. "Sebenarnya apa yang terjadi? Apakah ini yang  membuat Ibu akhir-akhir ini gak menyapa Mas Gading?" cecar Galang terlihat begitu penasaran. 

"Kamu tanyakan langsung saja ke orangnya, Lang," suruhku lesu. 

Kaki tergerak menuju meja makan. Niat hati ingin meneruskan sarapan yang sempat tertunda barusan. Namun, selera makanku sudah menguap entah ke mana.

"Bu, tolong maafkan Gading." Gading datang dan langsung bersimpuh di kakiku.

"Duduk!" suruhku datar.

"Gak mau sebelum Ibu maafin aku." Gading bersikeras untuk bersimpuh.

Aku menghela napas panjang. Sementara Galang hanya memandangi kakaknya dengan wajah yang tidak bisa dijelaskan. Mungkin dia kasihan pada Gading. Tapi aku yakin, Galang juga tidak mungkin membenarkan perbuatan kakaknya.

"Jangan minta maaf sama Ibu. Minta maaflah sama Allah," balasku masih datar. "Taubat nasuha sana!"

"Pasti, Bu. Aku pasti akan melakukannya." Gading tampak bersungguh-sungguh saat berjanji.

"Baguslah, sekarang yang terpenting siapkan mentalmu." Kupandangi pemuda berkulit kecokelatan itu dengan prihatin. "Semoga saja Ibu Sarita tidak jadi menjarakan kamu," harapku sedikit cemas.

Gading hanya mendesah resah.

"Mas, tadi aku sempet mendengar saat kamu bilang kalo Bunga menggoda kamu duluan. Itu maksudnya bagaimana, Mas?" Galang yang sedari tadi diam tiba-tiba mengajukan pertanyaan.

Gading mengangguk pelan. "Iya, dia memang anak yang nakal," kecamnya terlihat kesal.

"Kenapa kamu ngomong seperti itu?" cecarku sembari menyipit bingung. "Itu omongan laki-laki pengecut yang mau lari dari tanggung jawab." Kesal membuatku sedikit mengutuk.

"Memang begitu kenyataannya, Bu." Gading tetap kokoh dengan ucapannya.

"Apa yang mendorong Mas berkata begitu?" Galang menimpali.

"Baiklah aku akan menceritakan kronologis kejadian sore itu," putus Gading serius.

Pemuda itu terlihat menghirup oksigen perlahan-lahan. Sepertinya dia sedang menata omongan.

"Jadi begini ...."

FLASH BACK

Sore itu sebulan lalu, Gading sedang sibuk mengoreksi hasil ulangan siswanya di ruang tengah. Dia sendirian di rumah. Aku masih berada di kios. Sedangkan Galang belum juga pulang dari kampusnya.

Di luar hujan turun begitu deras. Hawa dingin cukup mengusik kulit. Tiba-tiba terdengar ketukan pintu di luar. Gading juga mendengar seseorang memanggil namanya.

Gedoran pintu kian terdengar jelas. Gading pun bangkit untuk melihat siapa yang datang. Pemuda itu cukup kaget melihat siapa yang telah mengetuk pintu.

"Bunga?" sapa Gading sedikit kaget. 

Pasalnya gadis itu datang sendirian dalam keadaan basah kuyup. Belum lagi gadis itu masih mengenakan seragam. Padahal waktu pulang sekolah sudah dua jam yang lalu.

"Pak Gading, bo-boleh ... sa-saya ma-masuk?" izin Bunga sambil memeluk tubuhnya yang basah.

"Mari masuk!" Gading mengizinkan karena tidak tega melihat Bunga kedinginan.

"Te-terima kasih," ucap Bunga dengan bibir yang sudah terlihat biru.

Kedua insan muda itu memasuki rumah. Gading mempersilakan Bunga duduk di ruang tamu.

"Ada apa hujan-hujanan ke sini? Jadwal les dengan saya bukannya masih dua hari lagi?" tanya Gading sedikit menundukkan pandangan. 

Gading lumayan terganggu melihat keadaan Bunga. Seragamnya yang kuyup membuat dadanya tercetak begitu jelas. Gading bahkan bisa melihat warna bra yang digunakan gadis delapan belas tahun itu.

"Sa-saya kedinginan, Pak," ujar Bunga tanpa menjawab pertanyaan Gading. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status