Share

02. Perempuan Penyelamat

Ana tidak tahu mengenai apa yang terjadi di dalam kerumunan murid tersebut, begitu pula dengan Kinanti. Mereka cuma bisa mengandalkan pendengaran yang tajam untuk mencari informasi terkait kerumunan itu. Juga sayang sekali, keduanya tidak dianugerahi dengan tubuh yang tinggi, sehingga mereka terlihat seperti anak SMP kelas 1 di antara murid-murid satu sekolah mereka.

Dia masih merasa penasaran dengan orang-orang itu. Belum lagi Ana dapat mendengar suara seseorang di antara obrolan para murid di kantin. Karakter suaranya sangat berbeda dengan murid-murid di sekitar. Ada rasa marah, cemburu, bahkan tingkat kebenciannya sangat tinggi. Karakter suara yang paling dibenci Ana.

"Ana, lihat ke sana!" Kinanti menunjuk ke sebuah tangga di gedung terdekat kantin. Ana melihat ke lantai dua. Menonton dari sana akan membuat dirinya lebih mudah menyaksikan tontonan murid-murid itu.

Segera gadis berbando itu menarik lengan Kinanti dan membawanya pergi ke tempat tujuan mereka, yakni tangga yang ditunjuk Kinanti. Keduanya pun bersembunyi begitu sudah sampai di atas. Ini dimaksudkan agar diri mereka tidak terlalu tampak di hadapan banyak orang. Namun, alasan yang konyol hingga mengendap-endap hanya karena ingin mencari tahu akar permasalahan yang ada.

Sontak Kinanti terkejut dengan mulut yang menganga, diikuti oleh Ana yang memiliki respon lebih santai dari teman barunya tersebut. Mereka melihat seseorang yang badannya tengah dibenturkan ke dinding oleh murid lain. Diam-diam Ana mengepalkan tangan. Dugaannya terbukti benar.

"Maafkan aku. Aku benar-benar tidak sengaja."

"Kau pikir hanya dengan meminta maaf, maka kau bisa bebas begitu saja?"

Tubuh sang penindas memang sedikit lebih rendah, namun itu bukan menjadi alasan kalau emosinya lebih rendah dari lawan yang tengah ia dihadapi. Tidak. Sosok seperti itu takkan pernah menerima kekalahan, pun akan melakukan segala cara jika berhasil dikalahkan oleh orang yangcupu seperti si korban. Ana sudah sangat hafal kondisi ini.

Berbeda dengan sang penindas, lawan mainnya memandang ia yang tidak berdaya. Ketakutan, cemas, ragu-ragu, dan masih banyak sisi negatif yang ia perlihatkan kepada semua orang. Di samping Ana, Kinanti tengah berbisik kepadanya.

"Namanya Rezvan, dan jangan pernah kau berurusan dengannya! Dia anak dari salah satu pengusaha besar. Sudah sering dilaporkan soal penindasan dan kekerasan ke polisi, tapi tak satupun bisa membuatnya jera. Bahkan dia bisa bebas dari penjara dan berbuat jahat lagi. Aku tidak tahu bagaimana caranya, tapi beredar kabar kalau orang tua Rezvan menyuap polisi untuk tutup mulut," ungkapnya.

Ana menoleh, menginginkan informasi yang lebih banyak. "Apa alasan dia melakukan itu, maksudku penindasan itu?"

Kinanti menggeleng-gelengkan kepala. "Entahlah. Dia bisa tiba-tiba marah hanya karena seseorang memandangnya. Temperamen menjadi kata yang cocok sekali untuk Rezvan," balasnya.

Ana kembali memusatkan perhatiannya pada Rezvan yang masih mendorong-dorong dada orang di hadapannya. Dia sudah tidak bisa membiarkan ini lebih jauh. Tiba-tiba Ana turun dari lantai dua dan mengabaikan pekikan pelan Kinanti di belakang.

Di bawah sana, Rezvan masih ingin membuat mental korbannya jatuh. Seringai yang bibirnya perlihatkan cukup menyeramkan. Laki-laki itu melihat ke arah tag nama siswa tersebut.

Dia berkata, "Damar, berapa kali lagi kau akan bertindak begitu, hah? Kau belum tahu ajaran mengenai sopan santun, ya? Baiklah, kau harus mengetahui apa itu pelajaran sopan santun."

Rezvan pun melayangkan tinju menuju wajah Damar dengan kepalan tangan yang sangat keras. Semua murid berteriak, namun tidak dengan seorang gadis yang melemparkan sebuah buku tepat di muka Rezvan, disusul datangnya tendangan yang mengarah ke perut Rezvan. Si pemuda bergerak mundur, dan setelah itu menatap tajam ke arah si gadis yang menyerangnya secara terang-terangan.

Rezvan melihat seorang perempuan yang kini mengubah rambutnya menjadi rambut dikuncir poni, sedang berkacak pinggang sambil menatap remeh kepadanya. Anatari, tertulis itu di tag namanya. Kini semua orang bernapas lega, tetapi tidak dengan Kinanti.

"Tendangan itu aku sebut sebagai pelajaran sopan santun," ucapnya santai.

"Apa-apaan ini?!" Rezvan berteriak kesal.

Ana menaikkan kedua bahunya. "Bukankah kau yang mengatakan ingin memberi pelajaran tentang sopan santun? Aku sudah mengajarimu dengan cara yang sama sepertimu. Adil, bukan?"

Rezvan tertawa sinis. Ana bilang itu adil, meskipun tinjunya belum sampai dan dia sudah menendang perutnya. Rezvan tidak terima. Jelas-jelas ini tidak adil!

Dia menghadap Ana dan mendorong kepala gadis itu memakai jari telunjuknya, seakan-akan tengah menghina sangbgadis. Akan tetapi, segera Ana meraih tangan Rezvan dan agak meremasnya. Mencoba balik mengintimidasi.

Ana berujar, "Tak ada alasan bagiku untuk takut padamu, Rezvan."

Ana dapat menangkap sorot mata kebencian Rezvan yang ditujukan kepada dirinya. Dia melanjutkan, "Kuharap kau menghormati harga dirimu itu. Aku ingin tahu, apakah perempuan sepertiku akan kau perlakukan 'lebih lembut' atau menganggapku sebagai jenis yang sama sepertimu. Aku berharap kau mengambil pilihan kedua."

"Jangan menyesal setelah mengatakan itu!"

Kemudian, Rezvan menahan lengan Ana dan tangannya yang terbebas akan memberi pukulan di muka Ana, sebelum seseorang datang memeluk Rezvan dari belakang dan berusaha keras menenangkannya.

"Rezvan, aku mohon hentikan semua ini!"

Lelaki itu terkejut, begitu juga dengan Ana yang terlalu memperhatikan Rezvan hingga seseorang datang di tengah pertengkaran mereka berdua.

"Karina!?" ucap Rezvan.

Tubuhnya jadi tak bisa bergerak. Sentuhan lembut siswi itu berhasil melumpuhkannya. Cepat-cepat Ana melepaskan diri dan memberi jarak antara dirinya dengan Rezvan. Melihat momen itu rasanya sangat menyebalkan.

"Jangan bertengkar, Rezvan! Aku tidak ingin kau terkena masalah yang lebih besar!" seru gadis itu, yang sedang gelisah terhadap suatu hal belum tentu terjadi.

Memperhatikan mereka mendatangkan rasa kecewa bercampur jengkel bagi Ana. Yang menimbulkan keheranan dalam diri Ana adalah sosok perempuan yang Rezvan panggil Karina, tidak datang ketika laki-laki itu sedang mengganggu Damar. Tetapi, dia malah menghentikan perkelahian yang terjadi antara dirinya dengan Rezvan.

Secara mendadak, muncul sebuah pemikiran jahat dalam pikiran Ana. Kini, orang-orang memperhatikan dirinya sebagai lawan yang tangguh bagi Rezvan. Akan tetapi, bagaimana jika beberapa detik ke depan dia menjadi korban dari perbuatan Rezvan yang menyebabkan dirinya cedera?

"Oh, ayolah! Setelah kau menyebabkan keributan ini, kau ingin berhenti begitu saja? Apa kau tidak punya rasa tanggung jawab? Ah, benar juga. Aku dengar orang tuamu menyuap polisi untuk membebaskanmu dari penjara. Apa aku salah dengar? Mungkinkah mereka menyuap karena kau anak yang tidak berguna hingga membebankan mereka?"

Rezvan dan Karina melihat dengan memalingkan muka mereka ke arah Ana. Sesuai perkiraan Ana, Rezvan terpancing oleh ucapannya. Bahkan wajah orang itu sangat memerah akibat tindakan yang Ana lakukan. Namun, lagi-lagi Karina menghentikannya.

"Kau benar-benar–"

"Ikut aku!" titah Karina yang telah membawa Rezvan pergi menjauh dari kantin, ke tempat sepi yang hanya mereka berdua yang tahu.

Suasana sedikit demi sedikit mulai membaik. Akhirnya Kinanti mau turun dari lantai atas. Para murid satu per satu meninggalkan kerumunan dan menyisakan Ana serta Damar yang masih terdiam di tempat mereka.

Damar menundukkan kepala dan menggaruk-garuk lehernya. "Terima kasih sudah menolongku. Tapi, sebenarnya kau tidak perlu membantuku. Aku tidak ingin kau jatuh ke dalam masalah yang sama sepertiku."

"Apa aku terlihat membantumu?" Pertanyaan Ana menyebbkan Damar menengok ke atas menuju Ana. "Aku hanya ingin membuatmu terlihat lebih seperti pecundang," katanya.

Seketika dagu Damar nampak mengeras. "A-apa maksudmu?! Aku bukan pecundang!"

Ana berdiri tepat di depan wajah Damar. Meski tinggi Damar melebihi Ana, namun tak ada rasa ragu yang ditunjukkan perempuan itu kepada Damar. Sebaliknya, Ana memperlihatkan seringainya.

" 'Bukan,' katamu? Kau takut dengan lelaki yang lebih pendek darimu itu, yang terlihat menggemaskan? Kalau begitu, apa itu kalau sebutannya bukan pecundang?" Ana memberikan tatapan meremehkan untuk Damar, berhasil menyulut emosi anak Adam itu.

"Jaga bicaramu!"

Ana berbicara dengan suara yang pelan yang hanya bisa didengar oleh mereka berdua. "Apa kau mau buktikan kalau dirimu bukan pecundang seperti yang aku bicarakan? Kau baru saja tersulut oleh perkataanku. Lantas, mengapa kau tidak bisa melakukan itu padanya? Apa karena aku adalah perempuan yang mudah kau tindas sebagai lelaki? Kita lihat saja. Kau atau aku yang ucapannya benar."

Kinanti di belakang Ana cuma menyaksikan Ana yang mendekat pada Damar, mengatakan beberapa hal, lalu pergi menjauh. Kata-katanya seperti disengaja untuk membuat Damar mulai memberontak atas penindasan yang dilakukan Rezvan, meski harus berawal lewat kebencian Damar kepada Ana.

***

Kinanti menghentikan bahu Ana yang mana tubuh itu masih ingin melangkah lebih jauh ke depan. Tidak. Dia tak ingin membiarkan sesuatu yang buruk terjadi kepada Ana, terlebih gadis itu sudah menjadi temannya juga. Kinanti amat khawatir kepada Ana.

"Apa kau sudah gila, Na?! Bagaimana jika Rezvan melakukan sesuatu yang buruk kepadamu?" Ana memiringkan kepalanya, tertarik oleh ucapan Kinanti. "Padahal aku sudah memperingatkanmu soal Rezvan, tapi kau malah membuang muka dariku dan pergi menghadapi orang itu," tuturnya meneruskan.

Ana menghela napasnya, kemudian memijat-mijat pelipisnya. "Jika aku memiliki kemampuan untuk memusnahkan penindasan di muka bumi ini, maka aku akan memutuskan untuk mengambil pilihan itu."

"Tapi, kau tidak memperhatikan dirimu sendiri! Bagaimana kau akan melindungi orang lain saat kau sendiri malah terluka? Apa yang bisa kau lakukan saat hal itu terjadi?"

Sebagai teman baru, Kinanti sudah menjadi sosok yang tergolong melindungi orang lain. Memiliki prinsip yang hampir sama dengan Ana, hanya gadis itu mengambil langkah yang aman alih-alih bar-bar seperti dirinya. Begitulah kesimpulan yang Ana dapatkan setelah mengamati Kinanti.

Lalu, Ana berucap, "Kau benar. Aku perlu memikirkan hal ini baik-baik. Maafkan aku, Kinan."

Pipi Kinanti langsung berubah menjadi merah malu. Untuk pertama kalinya dia mendengar panggilan seperti itu, terlebih lagi datang dari mulut Ana yang merupakan teman barunya. Ada sepercik kegembiraan dalam hati Kinanti.

"Terlepas dari hal itu, sejujurnya aku menyukai sifatmu ini. Kebanyakan orang takut untuk ikut campur, termasuk aku. Tapi, kau berbeda dengan mereka." Dan akhirnya Kinanti mengungkapkan isi pikirannya mengenai Ana sedari tadi. Inilah yang Ana tunggu.

Ana pun tersenyum lebar. "Itulah alasan mengapa kau mau berteman denganku."

"Percaya diri sekali."

Keduanya tertawa bersama. Jika memiliki buku diari, Ana ingin menuliskan kalau di hari pertamanya pindah sekolah merupakan hari yang cukup baik. Diberikan teman sebaik Kinanti, mendapat masalah yang setidaknya dia harap dapat menyadarkan seseorang mengenai betapa berharganya diri sendiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status