Share

03. Pertemuan Kedua

Ana melangkah menuju meja makan yang terdapat berbagai macam jenis masakan buatan sang ibu. Harum dari masakan tersebut mampu menggugah selera Ana. Dia menghampiri ibunya yang masih menyiapkan piring untuk makan keduanya. Akan tetapi, Ana perlu berangkat pagi-pagi ke sekolah. Hanya saja dia tidak enak mengatakannya.

"Mengapa diam saja, Na? Ayo makan! Nanti kamu akan terlambat ke sekolah."

Ana menghela napas. Dia tak kunjung duduk meski ibunya sudah menyiapkan alat makan untuk dirinya dan anaknya, Anatari.

"Ibu, sepertinya aku akan membawa bekal saja. Aku sudah memiliki janji dengan teman sebangkuku kalau kami akan berkeliling sekolah lagi sebelum bel berbunyi," jelasnya.

Sang ibu terkejut. Alih-alih merasa kecewa karena Ana yang tidak makan bersama dengannya, justru dia terlihat menyunggingkan senyum manis atas ucapan anaknya itu.

"Kamu sudah punya teman, Na? Ibu senang karena anak Ibu memiliki teman baru. Ya sudah, Ibu akan siapkan bekalnya. Kapan-kapan, kamu ajak dia ke sini. Ibu ingin tahu siapa temanmu."

Respon yang sangat hangat hingga membuat hati sang anak Hawa meleleh. Namun, Ana memilih untuk menyembunyikannya. Dia hanya tidak mau terlihat kegirangan karena pikiran ibunya yang lebih terbuka soal sosial anaknya.

Tetapi, ada satu hal yang baru Ana sadari. Mata gadis itu berputar malas. "Ibu, dia itu perempuan. Jangan berlebihan begitu!"

Ibu Ana berkacak pinggang setelah mendengar penuturan sang anak. "Hei, apa Ibu menanyakan kalau temanmu itu perempuan atau laki-laki? Jangan-jangan dia memang teman laki-lakimu. Iya, kan?" tuduhnya.

Sepasang bola mata Ana membelalak. Sangkaan ibunya itu kelewat batas. Bahkan ibunya sendiri tahu kalau Ana tidak dekat dengan satupun laki-laki. Jangankan dengan teman. Bersama sepupunya saja tidak.

"Ibu, sudah kubilang kalau dia perempuan. Ibu sudah salah paham," ucap Ana mengulangi.

Pagi-pagi diajak berdebat. Padahal Ana masih mengantuk dan masih ingin melanjutkan kegiatan tidurnya. Namun, tentu dia harus berangkat sekolah karena dirinya masih berada di bangku SMA.

Perkataan ibunya yang berdebat dengan dirinya membuat Ana jadi semakin pusing kepala. Kebingungan dalam mencari kata yang tepat untuk membalas omongan ibunya yang masih panjang sejak terakhir kali dirinya berbicara.

"Ibu, jadi kapan aku akan berangkat?" Bukan bermaksud tidak sopan. Hanya saja dia tidak sedang dalam kondisi yang prima untuk membantah setiap argumen yang ibunya keluarkan.

Perkataan Ana berhasil mengingatkan ibunya. Si ibu menghela napas setelah menyadari dirinya sudah menghabiskan 1 menit hanya untuk melawan anaknya sendiri. Akhirnya sadar kalau Ana sedang dikejar waktu.

"Kalau begitu, berikan bekal yang satunya lagi pada temanmu itu."

Ana baru saja akan mengambil kedua wadah makanan yang disodorkan, sebelum sang ibu menariknya dan menasihati anaknya. "Tapi ingat, wadahnya harus dikembalikan lagi dalam keadaan sehat!"

Sudah biasa. Ana telah beberapa kali mendapatkan peringatan yang seperti ini. Sepandai-pandainya Ana dalam bela diri, tetap saja akan menjadi hal yang sangat menakutkan untuknya ketika si ibu kehilangan wadah makan kesayangannya. Bisa-bisa dirinya yang dikeluarkan dari kartu keluarga. Eugh, menyeramkan!

"Iya, akan aku pastikan itu selamat." Ana mengulurkan tangannya kepada sang ibu untuk meminta salam. "Aku pamit, Bu."

Wanita itu mengelus kepala Ana penuh kasih sayang. "Iya. Hati-hati di jalan!"

***

Ana memperhatikan jam keberangkatannya dari rumah dan menghitung berapa menit lagi bagi bus untuk datang. Gadis itu mencoba mengecek ponselnya, khawatir waktu pada jam tangannya tidak sesuai dengan yang ada di ponsel.

Merasa firasatnya tidak enak, buru-buru Ana memasukkan kembali ponsel itu ke dalam tas. Kejadiannya terjadi beberapa detik sebelum tubuh Ana kecipratan genangan air yang muncul akibat hujan pada dini hari tadi.

Dia tidak basah kuyup. Akan tetapi, kini seragamnya terlihat sedikit memiliki bercak-bercak basah serta noda hitam. Ana mengeraskan rahangnya.

Mobil yang menciprati Ana mundur dan diam di hadapan gadis itu. Bayangkan betapa kesalnya Ana ketika mengetahui kalau pelakunya adalah anak dari hasil didikan orang tua yang tidak becus merawat anak mereka, sekaligus orang yang sempat bertengkar dengannya, yakni Rezvan. Beribu kali Ana menghujat sosok tersebut di dalam hatinya.

"Rasakan itu!" Lalu, Rezvan menaikkan kembali kaca mobil dan memerintahkan sopirnya untuk pergi mendahului Ana. Gadis itu menatap tajam ke arah mobil tersebut seraya mengeraskan kepalan tangannya.

Begitu bus tiba di terminal, buru-buru Ana masuk ke dalamnya dan duduk di kursi yang masih kosong. Dia sudah sangat tidak sabar untuk sampai di sekolah dan mendatangi Rezvan untuk meminta pertanggung jawaban terhadap dirinya. Bahkan menghajarnya habis-habisan sudah ada dalam bayangan di kepalanya.

Pikiran Ana melayang ke banyak hal hingga tidak terasa dia sudah sampai di terminal dekat sekolah.

Jalannya sangat cepat bahkan nyaris berlari. Pakaian Ana yang sedikit terlihat kotor membuatnya dipandang oleh murid-murid di sekitar.

Tiba di kelas, Ana melemparkan tasnya dan mengabaikan Kinanti yang terkejut serta berteriak memanggil namanya. Pandangan anak Hawa itu sudah ditutupi oleh kebencian serta amarah yang besar kepada sosok Rezvan.

Hanya mendengar dari bisik-bisik para murid menjadikan Ana dapat menemukan kelas yang ditinggali oleh Rezvan. Bahkan dia bisa melihat Rezvan yang sedang tertawa tanpa dosa bersama teman sekelasnya.

Ana masuk tanpa permisi, kemudian memukul Rezvan begitu saja hingga lelaki itu jatuh berbaring di lantai. Ana meraih kerah seragam Rezvan dan menatapnya galak.

Ana memekik kencang. "Apa masalahmu, hah?!"

Rezvan mencengkeram pergelangan tangan Ana tak kalah kuat. "Apa maksudmu?! Lepaskan aku!"

"Kau sengaja memerintahkan sopirmu itu untuk melajukan mobil di dekat genangan air yang akan kulewati, kan?! Mengaku saja!" Ana mengguncangkan tubuh Rezvan yang berada di bawahnya.

Rezvan bertanya, "Apa kau punya bukti setelah menuduhku?"

Ana pun menyeringai. "Kau ingin bermain sebagai korban? Apa kau dendam karena aku mempermalukanmu kemarin? Sepertinya aku benar. Orang tuamu memang menyuap polisi untuk tutup mulut mengenai tingkah anak mereka. Kau benar-benar sampah, seperti orang tuamu! Menutupi kejahatan kalian!"

Seketika itu juga Rezvan mengambil alih posisi, memegang dan mencekam leher Ana hingga Ana kesulitan bernapas. "Maki aku sepuasmu, tapi akan kubunuh kau karena menghina orang tuaku!"

Ana menendang kepala Rezvan. Laki-laki itu menyatakan kesulitannya akibat rasa sakit yang Ana timbulkan. Keadaan pun kembali berbalik. Ana mendominasi lagi pertarungan di antara mereka berdua.

Suasana semakin tidak terkendali. Hawa ruangan jadi memanas selama Ana dan Rezvan ditahan oleh orang-orang agar tidak terjadi keributan. Tangan Rezvan yang mencekik Ana sukses terlepas. Bahkan Ana tidak sadar Kinanti datang karena penasaran mengenai perasaan Ana yang terlihat sedang naik saat berada di kelas mereka.

"Aku hanya ingin memberi tahu. Kalau kau ingin melaporkan tindakanku yang sekarang, maka aku juga dapat mengadukan pembulian yang telah kau lakukan. Seberapa kuat orang tuamu itu membayar polisi, aku takkan pernah menyerah untuk menjadikan masa depanmu sebagai mimpi buruk. Kita berdua sama-sama mendapat hukuman. Adil, kan?"

Setelah mengatakan hal itu, Ana berbalik badan dan melangkah pergi meninggalkan kelas tersebut dengan hati yang setidaknya sedikit melega. Rupanya Kinanti mengikuti langkah Ana sejak Ana datang ke kelas kemudian pergi lagi.

"Apa benar dia yang mengotori bajumu?" tanya Kinanti, karena dirinya merasa tidak percaya atas perlakuan Rezvan yang menurutnya kekanak-kanakan.

Namun, jika benar pelakunya adalah Rezvan, maka sudah tidak mengherankan. Dia merasa kasihan kepada Ana yang datang ke sekolah memakai pakaian kotor seperti itu. Beruntung pelajaran olahraga dilakukan di jam pertama.

"Seperti yang kau lihat," balas Ana tanpa menatap teman barunya. Ya, gadis itu masih dalam perasaan yang tidak baik.

Di sisi lain, seorang laki-laki sedang bersembunyi agar tidak terlihat dalam pandangan Ana. Dia masih tidak terima atas perkataan Ana. Akan tetapi, gadis itu sedikitnya telah menyadarkan dirinya.

***

Bel pulang sekolah sudah berbunyi 10 menit yang lalu. Meskipun Ana masih berstatus sebagai murid baru, namun bukan menjadi penghalang baginya untuk membantu teman-temannya yang tengah membersihkan kelas. Bahkan sekarang gadis berwajah manis nan dingin itu sedang memegang pengeruk sampah.

Tiba-tiba ada salah satu teman sekelasnya yang berseru, "Ana, ada seseorang yang ingin menemuimu!"

Ana keheranan. Dia belum punya teman di luar kelas. Yang paling dekat ialah Kinanti, dan orang itu sudah pulang setelah mendengar bunyi bel. Sisanya masih mengakrabkan diri dan hal itu hanya di lingkungan kelas. Tetapi, Ana akan mempersiapkan diri jika orang yang akan ditemuinya bukanlah orang yang mau menjadi temannya.

Ketika Ana mencoba menghampirinya, dia melihat punggung tegak yang tidak asing. Begitu berbalik, barulah Ana tahu siapa pemiliknya. Orang itu mendekati Ana dan berdiri tepat di hadapan si gadis.

"Oh, kau yang ingin berbicara denganku?" Damar membenarkan perkataan Ana. "Ada apa? Terjadi sesuatu?"

Ana memang terkesan dingin, tapi entah mengapa Damar dapat merasakan kekhawatiran dari cara bicara gadis itu. Dia coba menepis pemikirannya itu.

"Aku cuma ingin berbincang saja dan mengajakmu mengunjungi sebuah tempat makan. Apa kau punya waktu luang sekarang?"

Ana masih terdiam ketika Damar menunggu jawaban darinya.

"Apa alasanmu?" Damar sedikit mengernyit. "Aku tidak akan mengikutimu jika kau tidak memberitahukan aku mengenai alasanmu mengajakku pergi."

Damar menyempatkan diri untuk bermain-main dengan jarinya. Sungguh, ini pertama kali ada seseorang yang tanpa basa-basi langsung mengatakan apa yang ada dalam pikirannya.

Memang Damar sendiri tahu kalau mereka baru saling mengenal secara sangat singkat dan dirinya sudah mengajak Ana berbincang di tempat yang mungkin tidak Ana kenali. Wajar bagi perempuan itu melakukannya. Sang pemuda menarik napas sejenak sebelum meneruskan percakapan mereka.

"Ini mengenai Rezvan, anak yang menindasku kemarin. Kau perlu tahu tentang dia."

Ana menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "Lalu, apa urusannya denganku?"

"Karena kau sudah ikut campur ke dalam masalahku. Jadi, setidaknya kau juga perlu mengetahui hal ini," jawab Damar yang kini telah memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.

Ana mencoba berpikir terlebih dahulu. Ajakan Damar tidak menampakkan hal aneh sedikitpun. Seperti keinginan untuk balas dendam, misalnya? Tetapi, Damar tidak menunjukkan hal itu. Sebaliknya, dia terlihat meyakinkan untuk dijadikan sekutu, meskipun sebenarnya dirinya lah yang memang masuk ke dalam lingkar permasalahan antara Damar dan Rezvan. Namun, Ana juga tidak ingin tertipu.

Jadi, dia mengiyakan ajakannya. Damar menyempatkan diri untuk tersenyum sebelum Ana kembali mengatakan sesuatu.

"Jangan coba cari gara-gara denganku, asal kau tahu saja," ancamnya. Ini mengakibatkan Damar susah payah menelan salivanya. Aura yang Ana miliki langsung berubah menjadi gelap.

***

Entah apakah dia harus merasa lega atau tidak enak hati lantaran makanan yang dipesan Ana tergolong murah. Gadis itu adalah pecinta berat bakso. Tidak suka jika harga mahal sedangkan rasanya terlalu biasa. Ana akan sangat kecewa.

Semua fakta itu Damar ketahui dari mulut Ana langsung. Agar rencananya berjalan dengan lancar, maka Damar menuruti permintaan Ana yang ingin makan di warung bakso pilihannya.

Damar memperhatikan gerak-gerik Ana yang sederhana namun penuh kegembiraan. Dia tidak ragu menuangkan macam-macam saus ke makanannya. Bahkan menawari Damar untuk menggunakan resep ala Ana. Ke mana Ana yang agak kasar itu? Damar jadi tidak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang.

Ana menyuruh Damar memakan baksonya sampai habis agar keduanya dapat berbincang secara leluasa selepas makan. Jadi, beginilah keadaan mereka sekarang. Ana kembali menjadi dirinya. Menatap Damar dengan pandangan dingin nan santai seperti sebelumnya.

"Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Ana tanpa basa-basi lagi.

Damar mengucek matanya terlebih dahulu. Dia membalas, "Rezvan. Kau pasti telah mengenalnya. Sudah dua kali kau berhadapan dengannya. Kau memang benar soal gosip itu. Rezvan diselamatkan dari kurungan penjara karena orang tuanya membayar denda.

"Setelah ini, Rezvan tidak mungkin akan membiarkanmu pergi dengan mudah. Dia terbiasa memperlakukan orang dengan buruk setelah menaruh dendam terhadap orang tersebut. Jadi maksudku, kau sedang dalam bahaya."

Ana mengangguk-angguk. "Tidak perlu kau ungkapkan soal itu. Aku sangat menyadari perbuatanku."

"Ini bukan tentang aku lagi. Kau terlibat! Tolong jangan bersikap terlalu santai seperti ini! Berhenti memutar-mutar kunci rumahmu! Aku sedang serius!"

Ana benar-benar tidak melanjutkan lagi aktivitasnya. Damar bahkan dibuat jadi takut setelah melihat wajah datar Ana dengan tatapan yang nyaris kosong.

Setelah itu, Ana membayar tagihan bakso milik masing-masing. Meskipun Damar terus menolak, akan tetapi si gadis yang tanpa bicara panjang lebar tetap mentraktir Damar. Ini membuat pemuda itu jadi merasa sangat lelah dengan sendirinya karena kurangnya respon dari Ana.

Tiba-tiba anak Hawa itu tak lagi bergerak dan malah memutar tubuhnya menghadap Damar.

"Kau tidak perlu khawatir. Ini hidupku, dan ini pilihanku. Akan kutanggung segala risiko yang muncul. Aku memang murni membenci tindakan pembulian. Mengenai Rezvan, akan kupastikan dia menyesal telah berbuat jahat pada orang-orang, termasuk dirimu."

Senyuman kecil yang Ana berikan kepadanya membuat dada Damar terasa sesak serta wajahnya pun jadi memanas. Dalam pikiran Damar, Ana bukan gadis SMA biasa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status