Share

BETVIEL
BETVIEL
Penulis: Tans N

01. Bukan Asalnya

"Hei, kau, berhenti!"

Perempuan itu berlarian menerobos angin. Meski terlahir sebagai seorang perempuan, badannya yang kecil memudahkan dia untuk mengejar seorang pencuri yang baru saja mencopet tas kecil miliknya. Dia mengumpat di tengah pelariannya untuk mendapatkan kembali tasnya beserta membuat pencuri itu terkapar tidak berdaya di atas tanah.

Ia yang sedang sibuk sendiri, hampir tidak memedulikan tag nama bertuliskan Anatari. H. G yang akan terjatuh dari jas kantor yang tengah dia pakai. Tangannya yang gesit langsung meraih dan melepaskan benda itu agar ia tidak menyulitkannya saat melakukan pengejaran.

"Kubilang berhenti!" Dia kembali memekik. Akan tetapi, sosok itu tak kunjung memelankan laju. Justru kecepatan larinya kian bertambah.

Ana melepaskan sepatu ber-haknya sebelum berbelok ke sebuah gang yang sempit, yang mana cuma dia yang dapat masuk ke sana. Di belakang, nampak seorang laki-laki bertubuh tinggi dan agak berisi, turut serta dalam aksi kejar-kejaran itu. Sayangnya ia tidak muat untuk memasuki celah sempit tersebut.

Di sisi lain, sang pencuri tersenyum penuh kemenangan. Melihat desain tas Ana yang bisa dibilang keluaran merk yang terkenal di Indonesia, setidaknya akan menguntungkan dirinya ketika dijual kembali. Dia belum melihat ke dalamnya, namun sudah berharap kalau isinya hampir seberharga berlian atau setidaknya tidak berbeda jauh.

Begitu si pencuri mengambil belokan ke kiri, seketika itu juga sesuatu yang keras datang dari arah belakang dan mengenai kepalanya. Dia dapat merasakan kepalanya agak pusing, bersamaan dengan kemunculan cairan merah berbau amis dari dahinya.

Wajah itu memucat ketika melihat kedatangan si wanita tanpa bersepatu muncul setelah dirinya berbalik badan. Ialah korban pencuriannya. Betapa menyeramkan Ana hingga tidak ragu melukai kepala pencuri tersebut.

Anatari yang merupakan korban dari kejadian ini, menghampiri pencuri tersebut dengan wajah merah menahan amarah serta napas yang memburu. Seperti siap untuk melakukan tindakan yang lebih ekstrim.

"Kembalikan tasku!" pinta Ana dengan sorot mata yang menajam kepadanya.

Sang pencuri lupa ada jalan pintas untuk mencapai posisinya sekarang dalam waktu yang singkat. Padahal dia sudah sangat hafal mengenai lingkungan tersebut.

Menakutkan ketika melihat wanita asing itu marah. Jika saja sepatu yang Ana pakai memiliki ujung yang runcing, ini tidak akan menjadi kasus pencurian, melainkan pembunuhan yang mana sang korban akan dituduh sebagai pelaku. Tetapi, dia beruntung meski mendapat cedera yang cukup parah.

"Kau membuatku kehilangan kesabaran. Kau mau kuapakan? Mematahkan tanganmu? Atau kau bersedia menggantikan lenganmu menggunakan lehermu? Bahkan tengkorakmu bisa kubuat retak. Kemari!" terangnya.

Ancaman yang mengerikan dari seorang perempuan seperti Ana. Di balik tubuhnya yang nampak seperti seorang gadis remaja, rupanya tersimpan keberanian dan tenaga yang dapat menyaingi kaum Adam. Bahkan ekspresi yang dibuat Ana benar-benar tidak main.

Alhasil mau tak mau dompet Ana dikembalikan. Lebih baik pulang dalam keadaan seperti ini daripada tinggal nama. Pencurinitu sudah bersiap-siap kabur dikhawatirkan Ana akan kembali melaksanakan eksekusi terhadap dirinya.

"Tunggu!" Sang wanita pun berteriak dan si pencuri terdiam. Apa Ana akan menghabisinya? Sungguh, untuk urusan kematian, dia belum siap meninggalkan dunia.

Ana menyodorkan selembar uang berwarna biru. Jumlah yang besar untuk diberikan kepadanya yang telah melakukan sebuah tindakan kriminal. Ia memandang kosong Ana, namun cepat-cepat Ana meraih tangannya dan meletakkan uang itu dalam genggamannya sebelum dia menarik lagi tangannya.

"Ambil itu dan belilah obat-obatan untuk memerban kepalamu. Aku tidak akan meminta maaf atas sikapku barusan karena kau memang pantas mendapatkan. Tapi, perlu kau ingat satu hal. Setidaknya berusaha lah bertahan hidup tanpa melakukan tindakan kejahatan seperti barusan. Aku tahu dunia kejam, tapi jangan biarkan dunia yang mengaturmu."

Si pencuri tersenyum hampa. "Dari semua orang yang barangnya pernah kucuri, baru kali ini ada yang mau berbaik hati pada orang serendah diriku." Suaranya agak bergetar dan Ana dapat mendengarnya dengan jelas.

Ana menimpalinya, "Kau sendiri yang memandang dirimu rendah. Di mataku, kau cuma kurang memiliki tujuan. Setelah ini, hidup lah dengan baik." Lalu, dia pun pamit. "Selamat tinggal!"

Ana melambai-lambai dan berlalu menjauhi pencuri tersebut. Matanya agak menyipit saat mendapati sosok pria yang sejak tadi ia sadari tengah mengejarnya sampai di lokasi Ana berada sekarang.

"Kau baik-baik saja, Ana?" tanya si pria. Deru napasnya tidak teratur sehabis mengejar Ana dan sang pencuri.

Ana mengangguk-angguk. "Ya, kurang lebih. Mengapa kau mencariku, Damar?" Wanita itu menatap sosok yang berbalut pakaian formal seperti hendak melakukan pekerjaan kantoran.

"Bagaimana aku tidak mencarimu? Kau itu sekretarisku. Segala macam hal yang harus kulakukan, jadwalnya ada padamu. Kalau sekretarisku tidak bekerja dengan baik, maka aku juga takkan bisa menuntaskan pekerjaanku." Damar menyentil kening Ana hingga si gadis mengaduh.

"Hei, itu sakit!" Ana menyentaknya. "Iya, aku tahu soal itu. Aku hanya ingin memperjuangkan hak asasiku. Ayo pergi! Tidak baik pemimpin perusahaan sepertimu datang terlambat."

Ana sudah mendahuluinya. Dia berjalan sembari mengenakan lagi sepatu ber-haknya. Di belakang, Damar tertawa pelan agar Ana tak bisa mendengarnya.

"Posisimu pun menjadi sekretarisku. Aku terlambat, berarti salah si sekretaris," gumamnya sebelum mengejar langkah Ana.

***

SMA Negeri Nusantara 2.

Ana memperhatikan nama sekolah yang tertera di atapnya. Sedikit bingung lantaran memikirkan alasan dari mengapa nama sekolah harus tertulis di atas sana? Memangnya akan terlihat dari dalam pesawat terbang? Dirinya bahkan tidak mau melihat ke bawah saat pesawat terbang masih berada di udara.

Ana hanya mencoba berpikir realistis.

Dan lagi, ini adalah hari pertama dirinya dinyatakan sebagai murid pindahan di tempat tersebut. Suasana sekolah di Kota Jakarta masih terasa asing untuknya. Entah hanya perasaannya saja atau memang murid-murid di kelasnya terlihat lebih mengutamakan individualisme dibanding sosialisme.

"Kelas kita kedatangan murid baru. Berhubung Wali Kelas sedang sakit, jadi Kepala Sekolah memberiku amanat untuk memperkenalkannya pada kalian," ujar sang ketua kelas yang namanya tidak Ana pedulikan. Terlebih lagi raut wajahnya. Ana kurang menyukainya, kalau boleh jujur. Dia memakai topeng keramahannya.

Ana pun memperkenalkan dirinya. "Namaku Ana. Murid pindahan dari Bandung. Salam kenal."

Dia memperhatikan murid-murid di kelasnya dengan jumlah yang telah dia hitung. Ada sebanyak 33 orang dan mungkin ada yang tidak masuk. Semuanya tak  perkataan Ana dan menyibukkan diri mereka sendiri. Ana juga tidak ingin berpikir lebih banyak. Mereka suka atau tidak, dia akan tetap menjadi bagian dari kelas tersebut.

"Maaf, Na."

Segera Ana mengangkat tangan dan menutup mulut sang ketua kelas. Mengisyaratkannya untuk diam. "Aku paham. Tidak usah mengatakan apapun. Sekarang, aku duduk di mana? Kurasa sebentar lagi akan ada guru yang datang."

Tiba-tiba seseorang berteriak, "Cepat ke tempat duduk kalian! Bu Kana sedang menuju ke mari!"

Ana masih memperhatikan sang ketua kelas. Dengan asal, siswa itu menempatkan Ana bersama seorang siswi berhijab putih yang nampaknya tengah menulis sesuatu di buku. Gadis itu tersenyum ketika menyadari kehadiran Ana di sampingnya.

"Halo. Namaku Kinanti. Maaf tidak melihatmu saat sedang berbicara di depan. Ada jawaban yang salah hitung di PR matematika. Jadi, aku harus memperbaiki ini. Guru matematika di sini tidak bisa dianggap remeh. Kau harus berhati-hati."

Kesan pertama yang Ana dapatkan dari Kinanti adalah gadis cerewet yang tak memerlukan topengnya. Mengabaikan reaksi Ana yang kemungkinan akan memperlakukannya dengan buruk. Namun, tentu saja dia tidak akan melakukan hal itu.

Ana menatap tangan si gadis berhijab putih yang terulur kepadanya. Kemudian, dia tersenyum kecil dan membalas jabatan tangan Kinanti. "Aku Anatari."

Kinanti terdengar sedikit berdeham. "Ehm, kau mau ikut mengerjakannya? Setidaknya ini cukup membantumu agar terlihat sebagai murid yang rajin di hari pertamamu sekolah di sini."

Tawaran yang menarik. Di hari pertama mereka bertemu, Kinanti sudah membantunya. "Baiklah. Coba kulihat," ucap Ana.

Si gadis yang memakai bando hitam itu menyimak tulisan tangan Kinanti yang meskipun hitungannya bisa terbilang mengarah ke sana-sini karena terdapat beberapa tanda panah, namun masih bisa dimengerti. Ana menyimpulkan kalau Kinanti merupakan tipe orang yang mendetail terhadap sesuatu.

"Ada yang salah. Harusnya kau mengerjakannya seperti ini." Ana mengeluarkan sebatang pensil dari tasnya dan mulai mengerjakan tugas milik Kinanti. Di sampingnya, si pemilik tugas membelalak tidak percaya.

"Tidak mungkin! Bagaimana kau tahu cara sederhana seperti ini?"

Ana menggaruk-garuk kepalanya. "Hanya memperhatikan orang lain saja."

***

Ini sangat salah. Dia terlalu meremehkan Kinanti yang kelihatan seperti sosok perempuan lemah yang patut dilindungi. Untuk pertama kalinya dalam sepanjang sejarah kehidupan Ana, ada seorang perempuan yang sanggup melemahkan kakinya sehabis berjalan-jalan ke seluruh sekolah.

Ana masih menarik napasnya saat mengatakan, "Kinanti, bisakah untuk tidak terlalu bersikap aktif? Aku membutuhkan minum. Aku ... Aku haus."

Kinanti gelagapan akibat penuturan Ana. Dia tidak tahu efek dari keaktifannya dalam beraktivitas bisa separah ini. "B-baiklah, maafkan aku. Aku terlalu bersemangat."

Jam istirahat dipakai Kinanti untuk mengenalkan lingkungan sekolah tersebut kepada Ana. Ini sudah berjalan lebih dari 15 menit dan Kinanti berlarian sambil menyeret Ana. Sebenarnya Ana tidak masalah soal sikap aktifnya Kinanti. Hanya saja dia butuh waktu untuk mengisi perut dan dahaga.

"Kupikir kau mencintai sekolah ini karena sebuah alasan. Di salah satu ruangan, aku bisa merasakan emosimu yang lebih bahagia dibandingkan pada saat kita berada di tempat lain." Kinanti menengok pada Ana. "Apa aku benar, kalau kau sedang mencari seseorang?"

Merasa ketahuan, Kinanti pun tersenyum malu. "Kau benar. Tapi, sepertinya dia tidak ada di tempat itu."

Ana mengernyit sebentar sebelum membalasnya lagi. "Kekasihmu?"

Tebakan Ana berhasil membuat Kinanti semakin malu bukan main. Apakah sejelas itu perasaan Kinanti di depan Ana, atau gadis itu yang memang mudah menebak perasaan orang lain?

Kinanti menggerakkan tangannya ke kanan-kiri. Tidak setuju atas ucapan Ana. "B-bukan! Hanya ... H-hanya ...." Namun, dia malah kebingungan mencari jawabannya sendiri.

Ana tidak ingin memaksa Kinanti untuk menjawab pertanyaannya. Lagipula dia sudah mengetahui kebenarannya. Reaksi Kinanti sekarang cukup menghiburnya.

Ana memanggil si gadis berhijab itu setelah mendengar perutnya berbunyi. "Kau tahu letak kantin? Aku lapar."

Kinanti tertawa sebentar sebelum menjawab, "Tentu saja. Turnya kita lanjutkan nanti saat pulang sekolah."

Ana merasa tidak keberatan. Dia senang bertemu dengan Kinanti, gadis dengan mata berwarna cokelat yang berbinar-binar ketika melakukan suatu hal yang kelihatannya dia sukai. Karakter yang Kinanti miliki tidak berlebihan ataupun ingin terlihat paling baik kepribadiannya di mata orang, dari Ana. Dia menyukai Kinanti. Suka dalam artian tertarik.

Belum beranjak dari tempatnya, Ana dibuat keheranan setelah melihat beberapa murid berlarian ke satu arah yang sama. Kedua alis milik gadis itu berkerut. Ana memandang Kinanti, namun yang dituju malah mengangkat bahu. Pertanda bahwa Kinanti pun tidak tahu-menahu terkait apa yang terjadi saat ini.

"Kau mau mengikuti mereka?" tanya Kinanti dengan nada bicara yang kelewat pelan, bahkan nyaris berbisik.

Entahlah. Ana bingung. Biasanya jika ada keadaan yang seperti ini, maka telah terjadi sesuatu di tempat kejadian. Ana menghela napas.

"Lebih baik kuikuti."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status