Share

04. Dunia Ini Bukan Untukmu

Setiap menitnya dalam menjalani kehidupan, sejak kemunculan seorang gadis tak dikenal yang berani memandang menantang kepadanya, lelaki itu jadi menyimpan rasa kesal serta dendam. Seperti tak ada rasa takut, ia mampu melawan Rezvan di saat murid lain hanya bisa terdiam kaku.

Ini begitu memalukan. Harga diri Rezvan jatuh setelah seorang perempuan berhasil mengalahkannya.

Dalam waktu 4 hari, Rezvan berhasil menyimpan beberapa informasi mengenai orang itu, yang didapat dari orang kepercayaannya. Maksudnya orang yang sudah dia ancam jika tidak memberitahunya mengenai sosok itu. Anatari adalah nama panjangnya. Sedangkan dia sering dipanggil Ana.

Dari raut wajahnya menjelaskan bahwa Ana merupakan seorang gadis bertingkah laku tenang, namun bisa menjadi menyeramkan jika situasi sudah membuatnya marah. Ada beberapa saksi yang mengatakan hal yang hampir sama. Rezvan bisa melihat setenang apa Ana jika dirinya tidak ada.

Ketika mereka berpapasan, Ana akan menggenggam tangannya sendiri dengan sangat kuat seakan-akan dia siap untuk melayangkannya ke arah tubuh Rezvan. Pandangannya pun sangat tajam.

Segi ekonomi? Sejauh ini, tak ada yang mengetahui soal kondisi keluarga Ana. Sepertinya ia sangat tertutup mengenai kehidupannya di luar sekolah. Pernah sekali Rezvan menyuruh seseorang untuk mengikuti Ana. Akan tetapi, entah apakah Ana memiliki tingkat kepekaan serta kewaspadaan yang tinggi atau tidak, karena orang itu kehilangan jejak Ana.

Ini membuat Rezvan murka, membuat gelas kaca yang sebelumnya dia pegang beberapa detik yang lalu, terbanting ke atas meja hingga menimbulkan suara yang cukup keras. Tak ada Karina di sekelilingnya. Dia tidak perlu susah-susah menyembunyikan jati dirinya untuk saat ini.

"Oh, sepertinya Rezvan menemukan mangsa baru," ujar temannya yang terkesan meledek Rezvan.

"Diam kau!" seru Rezvan yang memberikan lirikan mata yang mematikan.

Temannya Rezvan yang lain berkata, "Aku ingin tahu orang seperti apa yang akan dihadapi Rezvan."

Salah satunya ikut menggoda Rezvan juga. "Hei, kawan, apakah dia perempuan yang pernah 'melukai' mu?"

Segera Rezvan menarik kerah baju orang yang ada di sampingnya itu, yang sempat menyenggol lengannya dan memprovokasinya. Namun, tak ada perlawanan apapun dari keempat temannya. Seperti sudah biasa dengan perilaku Rezvan yang satu ini.

"Tenanglah, kawan. Kami hanya ingin tahu saja, siapa yang akan menjadi lawan mainmu untuk kali ini."

Rezvan membalas dengan nada yang dingin, "Apa urusannya denganmu?"

"Karena kami jarang melihatmu semarah ini hingga mencari tahu tentang kehidupan pribadinya."

Rezvan yang tersadar pun langsung melepaskan temannya dan duduk kembali seolah tak terjadi apapun. Dia tidak ingin teman-temannya tahu soal keberadaan Ana secara mendalam. Di mana dia akan menaruh muka jika hal itu sampai terjadi?

Kalah oleh seorang wanita? Diam-diam pemuda itu berdecak kesal.

***

Cuaca hari ini menjadi hal yang tidak terduga. Sejak dini hari, langit diselimuti awan hitam yang setia berada di tempat bahkan setelah matahari memunculkan wujudnya dari arah timur. Saat pukul 5 pagi, hujan baru berhenti, namun entah berapa lama akan terus seperti itu mengingat langit masih nampak mendung. Sangat tidak mendukung Ana yang berangkat sekolah.

Jalanan yang becek membuat Ana terpaksa membungkus sepatunya memakai plastik khusus. Alih-alih membawa payung, Ana memilih mengambil jas hujan dari rak "anti hujan" miliknya.

Dia memperhatikan orang-orang yang sama kerepotan seperti dirinya ketika masuk ke dalam lingkungan sekolah dan mendapati lantai yang belum di pel sepenuhnya. Sudah dapat dipastikan kalau semua murid akan membersihkan seluruh sekolah, berhubung ini sudah hari Jum'at.

Ana yang baru muncul di kelas, sudah diserang oleh antusiasme Kinanti dengan mata berbinarmya, menatap dalam Ana setelah mencapai kursi.

"Ana, ada kabar baik!"

"Apa itu?" Ana menanggapinya dengan santai.

"Sekolah kita mengikuti program pertukaran pelajar. Akan ada siswa yang terpilih untuk pergi ke sekolah di luar negeri." Kinanti yang terdengar sedang bergembira, bertepuk tangan penuh semangat sampai-sampai Ana mengkhawatirkan telapak tangan Kinanti akan berbekas merah dan perih.

Ana menanyakannya, "Kau mau ikut?"

"Sejujurnya ... Iya." Kinanti menunduk, namun senyuman manis tidak hilang begitu saja di wajahnya. "Setidaknya di sekolah yang memperbolehkan siswi muslim untuk berhijab. Bagaimana denganmu?"

Ana terdiam beberapa saat. Mungkin yang ada dalam pandangan Kinanti adalah Ana melamun sebentar kemudian membalasnya. Tetapi, kenyataannya tidak sesederhana itu.

Belajar di luar negeri? Itu adalah impian terbsesarnya! Sesekali Ana ingin menyombongkan kepintarannya dan menunjukkan bahwa dia pantas mengikuti program tersebut.

Namun, ada satu fakta harus selalu Ana ingat di manapun, kapanpun, dan apapun yang terjadi. Yang awalnya ingin menyenangkan diri, harus berakhir mendatarkan kembali perasaannya.

"Aku tidak akan ikut."

"Eh?! Kenapa?!" Kinanti refleks memekik hingga mengakibatkan teman-teman sekelas mereka berdua menoleh kepada gadis berhijab itu.

Ana mendesah berat. Dia berkata, "Aku memiliki terlalu banyak urusan di sini. Ditinggalkan selama beberapa bulan hanya akan memperburuk keadaan."

"J-jadi, kita tidak bisa pergi bersama?"

Baru kali ini Ana mengetahui salah satu impian Kinanti. Dia tidak bisa menyangkal kalau peringkat gadis itu berada di atasnya. Tetapi, Ana juga tak ingin membebankan Kinanti. Mungkin ia ingin Ana ikut supaya dirinya ada teman?

"Ini jalan hidupmu. Jangan jadikan aku sebagai patokan mimpimu. Dan ingat, kita belum lama berteman dekat. Belum saling mengenal satu sama lain. Aku hanya tidak mau menghambatmu meraih apa yang kau inginkan, Kinan. Jadi, selama kau mampu, ikut saja."

Kalau Kinanti ikut, maka Ana akan duduk sendirian. Selain gadis itu, tak ada yang bisa dia ajak mengobrol. Semua memandang Ana sebagai sosok yang dingin. Akan tetapi untuk Kinanti, Ana hanya terkadang kesulitan untuk berkomunikasi.

"Terima kasih sudah peduli padaku, Ana," tutur Kinanti yang kembali berani menatap teman sebangkunya tersebut.

Netra Ana melirik ke sudut tempatnya, memperhatikan seseorang yang menarik perhatiannya. "Aku harus pergi. Kurasa seseorang menungguku."

"Apa? Siapa? Mengapa aku tidak mendengar apapun?"

Akan tetapi, Ana memutuskan untuk menjauh dari Kinanti dan menghadapi orang itu. Ana tidak mengenalnya, dan sepertinya Kinanti juga, karena dia dapat merasakan sorot mata kebingungan khas Kinanti.

Seperti habis melihat hantu, kaki dari sosok itu bergetar. Ana hanya melihatnya dan sama sekali tidak mengganggu. Justru sekarang, Ana lah yang merasa terganggu.

"Ada apa? Kau tahu kalau kehadiranmu bisa mengundang banyak pertanyaan dari teman-temanku," jelas Ana menegaskan. Dia benar-benar memperlihatkan sisinya yang menakutkan karena ia berpikir sisi itu lah yang ingin dilihat orang itu.

"R-Rezvan memintamu datang ke belakang sekolah."

Ana mengernyitkan dahi. Dia tidak salah dengar, kan? Orang itu baru saja menyebut nama lelaki pengecut yang senangnya menindas orang lain?

"Jika tidak?"

"J-jika tidak ...," Ana menunggu ucapan selanjutnya keluar dari mulut pemuda tersebut, "Rezvan a-akan menghabisiku!"

Untuk ketiga kalinya, Ana menemukan laki-laki pengecut. Apa yang Rezvan punya hingga berhasil membuat orang-orang takut kepadanya?

"Anak itu benar-benar minta aku hajar. Aku akan pergi sekarang juga. Kuharap kau langsung kembali ke kelasmu. Kita tidak tahu apa yang laki-laki itu akan lakukan ketika marah. Karena setelah ini, aku akan membuatnya menghancurkan dunia."

Ana membenturkan kedua kepalan tangannya, membiarkan orang di hadapannya itu menjadi takut kepada Ana. Dia tidak ambil pusing soal itu. Ana mengabaikannya.

"B-bagaimana denganmu? Aku tidak mungkin membiarkan perempuan menyelesaikan itu."

Ana menarik satu sudut bibir hingga pipinya terlihat sedikit mengembang. "Sebelum mengkhawatirkan orang lain, urus dirimu sendiri. Apa kau sudah layak melindungi perempuan atau belum."

***

Bagi Ana, rasanya sangat mengasyikkan melihat Rezvan yang melemparkan batu ke dinding secara terus-menerus, kesal karena si gadis tak kunjung datang juga. Padahal Ana sedari tadi sudah tiba, hanya ingin melihat lelaki itu kembali marah. Tetapi, lama kelamaan Ana juga lelah. Akhirnya dia mau menampakkan diri di depan Rezvan.

"Kau memanggilku?" 

Meskipun lemparan batu Rezvan nyaris melukai muka Ana, akan tetapi si gadis tak menunjukkan sedikitpun rasa takut kepada Rezvan. Ana malah bersikap santai dengan tangan yang menyilang ditempatkan di depan perut.

"Rupanya kau punya nyali untuk datang ke sini."

Ana mengangkat kedua bahu. "Kau yang meminta, kan. Kalau aku tidak melakukannya, pasti kau akan melampiaskan kekesalanmu pada orang itu. Sungguh, itu adalah tindakan dari seorang pengecut sepertimu."

Rezvan menggeram marah. Namun, sebisa mungkin dia mengatur perasaannya agar situasi tetap berjalan di bawah kendalinya.

Lelaki itu berkata, "Jangan banyak bicara! Aku memerintahkanmu untuk berlutut meminta maaf kepadaku sekarang! Kau sudah mempermalukan harga diriku!"

Gadis itu memandang rendah Rezvan. "Siapa kau hingga berani menyuruhku? Orang yang membuat harga dirimu itu jatuh tidak lain dan tidak bukan adalah kau sendiri. Aku cuma membantu mempermudah saja."

"Kau benar-benar kurang ajar!" Rezvan menyeru.

Baru saja akan mengangkat tangannya untuk memukuli wajah Ana yang bersih tanpa sedikitpun luka, si empunya sudah berbicara hingga membuat Rezvan terhenti atas tindakannya.

"Silahkan pukul aku," kata Ana. "Tapi, jangan harap bisa kabur hanya karena orang tuamu merupakan keluarga pengusaha yang kaya. Aku mempunyai banyak cara untuk mengalahkanmu, Rezvan. Tak ada tempat untukmu selama kau bersikap buruk pada orang lain."

Kepribadian Ana mulai menarik perhatian Rezvan. Dia menghampiri Ana hingga jarak mereka hanya kurang dari 1 meter, lalu menatapnya yang memiliki pandangan berada lebih bawah dari Rezvan. Dia tersenyum miring.

Rezvan menjelaskan, "Aku baru saja memikirkan sesuatu. Seluruh sistem yang ada di dunia ini kejam. Kau memusnahkan satu orang jahat, maka akan muncul orang jahat lain. Begitulah siklusnya. Mau membunuhku? Maka kau harus pikirkan siapa yang nanti akan membunuhmu untuk membalaskan dendam atas kematianku. Membela atas dasar kebaikan? Jangan bercanda. Kau tahu atau tidak, bahwa orang yang bersikap sok pahlawan, tidak memiliki tempat di dunia yang sekejam ini?

"Kau tidak akan bisa menghapus semua sikap jahat dari diri seseorang, karena kau begini pun sudah menunjukkan kepadaku apa sisi jahatmu. Sisi gelap dari seorang 'pahlawan'."

Ana mengeratkan kepalan tangannya. Bukankah ini menandakan kalau Rezvan akan selamanya menjadi orang yang terus-menerus menindas yang lemah? Itukah yang ia maksud?

"Aku berbeda darimu." 

"Sangat optimis. Tapi, dengan keadaan yang seperti ini," Rezvan mendekatkan mulutnya hingga berada di samping telinga Ana, "tak ada tempat bagi orang yang bersikap sok pahlawan sepertimu di dunia ini."

Ana menengok hingga bibir mereka nyaris bersentuhan. Tetapi, memikirkannya saja dia sudah tidak sudi.

"Akan aku buktikan padamu bahwa aku layak untuk hidup. Dan kau, suatu hari aku pastikan kau menderita hingga menangis tak ingin lagi ada di dunia ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status