Share

05. Pertarungan

Ana tak ingat kapan tepatnya dia melawan penindasan yang dilakukan orang-orang. Tetapi sejak SD, Ana kecil sudah berani melaporkan perilaku teman-teman sekelasnya hingga membuat seseorang menangis. Saat itu, Ana sudah berpikir bahwa candaan yang bisa menimbulkan rasa sedih di hati orang lain itu sangatlah salah, dan Ana akan membenci para pelaku ini.

Mungkin orang dewasa berpikir itu cuma permainan anak kecil. Bagi Ana, ini sama sekali tidak lucu. Dia tak mau orang itu menjadi tak ingin masuk sekolah. Setidaknya jika orang itu bersekolah, ia akan diberi uang jajan. Mohon dimaklumi. Bukankah anak kecil memang senang jajan?

Masuk SMP, Ana mulai mengerti soal pengelompokan manusia yang entah siapa yang membuatnya. Sekali lagi, Ana membencinya. Seperti menunjukkan bahwa orang lain tidak pantas berada dalam kelompok itu. Ana lebih suka menyendiri, atau menemani seseorang yang sedang dikucilkan oleh orang lain.

Kesendirian yang Ana dapatkan merupakan pilihannya, tetapi orang lain lebih sering dijauhi. Jadi, tidak jarang Ana memusuhi satu kelas karena kelompok-kelompok tersebut. Baginya, boleh berbeda pandangan dan pendapat. Tetapi, tidak seharusnya membuat kelompok yang sampai menyakiti perasaan seseorang. 

Di SMA, barulah dia mengenal soal senioritas, sampai kalimat "yang kalah akan tunduk kepada yang menang". Halo, Ana tidak sudi melakukan itu. Percuma menang jika tidak bisa mengambil hati orang lain. Yang ada, orang itu hanya cuma dilabeli "pemenang" saja, tetapi sedikit memiliki pendukung.

Pindah sekolah bukannya membuat kehidupan Ana lebih baik, ternyata malah dipertemukan dengan seorang pelaku penindasan yang memperlihatkan kepengecutannya. Seharusnya dia tahu diri, tinggi badannya bahkan lebih pendek dari si korban. Jika itu Ana, sudah pasti dirinya akan merasa malu.

Keduanya sempat bertatapan secara sengit ketika tidak sengaja berpapasan di koridor sekolah. Seketika tubuh Ana terasa melayang, dan barulah dia menyadari keberadaan Damar di depan sana, sedang menyaksikan pertemuan tersebut. Biar Ana buktikan keberanian itu seperti apa.

Gadis itu menarik kerah kemeja Rezvan dan membuat mereka jatuh bersama. Lutut kaki Ana serta punggung Rezvan terasa nyeri. Keduanya sama-sama mengernyit sakit.

"Apa yang kau lakukan?!"

"Jangan tanya balik padaku! Harusnya kau tanya dirimu sendiri! Siapa yang menyuruhmu mengadang kakiku?!" Ana balik memarahinya.

Kejadian ini disaksikan oleh berpuluh pasang mata. Mereka tidak merasa malu, malah saling mengumpat terhadap satu sama lain. Kesakitan dan kekesalan sudah menutupinya.

"Akh, sakit sekali!" keluh Ana.

"Kau pikir aku tidak?!"

Selama beberapa menit, keduanya dalam keadaan yang sama. Berseteru dan saling menyalahkan. Tetapi, Damar yang berada jauh di sana pun menyaksikan bahwa orang yang mengawali pertikaian itu adalah Rezvan. Hanya saja dia tidak berani melerai.

Namun, Ana tak memperkirakan kejadian selanjutnya. Dirinya terlalu kaget akibat kehadiran seseorang yang datang membantu Ana untuk berdiri selagi Rezvan pun dibantu oleh kekasihnya. Mengapa masih ada malaikat yang berbaik hati meski takut dan sempat memperingatinya?

"Kau bisa berdiri, Ana? Mau kubawa ke UKS?" tanya Kinanti yang tidak hanya mengulurkan tangan, tetapi merangkul bahu Ana juga.

"Hei, gadis jelek! Apa kau tidak lihat luka siapa yang lebih sakit?!" Rezvan membentaknya.

Ana tak terima dan hendak membalas, namun Kinanti mencegahnya. Bahkan ia memberikan pandangan sinis terhadap Rezvan. Sisi baru yang Kinanti perlihatkan di depan mata Ana. Dia baru tahu Kinanti bisa menjadi wujud gadis yang berbeda 180° dari Kinanti yang selalu riang gembira.

"Kak Rezvan kan sudah ada yang membantu. Kalau begitu, aku permisi." Lalu, dia merangkul Ana untuk mengantarnya mendapatkan perawatan, dan mengabaikan Rezvan yang masih berteriak marah.

Ana memberitahu bahwa "orang gila" itu memanggil-manggil Kinanti. Tetapi, Kinanti hanya menjawab kalau dia tidak memiliki sangkut paut dengan Rezvan dan hanya Ana lah yang dia kenal dalam kejadian tadi. Dengan kata lain, dia tidak peduli terhadap apapun yang terjadi dengan Rezvan. Ya, benar, sama seperti apa yang dilakukan Karina kepada Rezvan yang merupakan kekasihnya, ia tidak peduli soal Ana.

***

Gadis itu tak tahu kalau apa yang dirinya alami bisa mengakibatkan luka yang agak serius. Lecet serta berdarah pada lutut. Ana dan Rezvan memang terjatuh di pertengahan area lapangan dengan keramik koridor. Karena Rezvan menyandungnya, Ana terjatuh ke depan dan sudah pasti lututnya yang terkena setelah bergesekan dengan bebatuan kecil.

Beberapa kali gadis itu menahan sakit karena Kinanti tengah mengobatinya menggunakan alkohol dan itu sangatlah perih. Setidaknya dia masih bisa menahan rasa itu lebih baik ketimbang merasakan kekesalan kepada Rezvan. Menyebalkan!

Kinanti berkata, "Sepertinya jatuhmu tadi cukup keras. Jujur, aku kagum kau masih bisa memarahi orang itu disela-sela kesakitanmu."

"Ya, aku juga agak kaget setelah mengingat-ingat soal tadi." Ana membalasnya.

Kinanti meletakkan obat-obatan tersebut. Setelah memastikan luka Ana sudah tertutupi seluruhnya oleh obat merah. Ia mengangguk mantap melihat hasil karyanya.

"Hei, Kinan, bagaimana kalau setelah ini Rezvan mengganggumu? Bukankah kau sendiri melarangku berhadapan dengannya?"

Kinanti menghela napas. "Tapi, membiarkanmu terluka tanpa ditolong siapapun, aku tak mungkin melakukan itu. Kau temanku, Na. Lagipula, aku tidak salah kan berucap seperti tadi? Pacarnya sudah ada, lalu apa masalahnya? Yang kupedulikan hanya kau, bukan dia."

"Tapi, kau pasti memiliki rasa takut setelah Rezvan melihatmu."

"Ya, perasaan itu memang ada." Kinanti menunduk dan memainkan jari-jarinya.

Ana menepuk bahu Kinanti untuk membuatnya mendongak menatap lawan bicaranya. "Dia bukan Tuhan yang perlu kau takuti, Kinan. Orang sepertinya memang haruslah dilawan. Dengan takut kepadanya, itu akan membuatnya semakin ingin bertindak semaunya."

"Terima kasih, Na, untuk semangat yang sudah kau berikan." Kinanti pun tersenyum sangat manis pada temannya. "Sekarang lukamu sudah selesai Kuobati. Ayo, kita harus pergi ke kelas. Aku akan membantumu."

Ana tertawa kering. Bukannya tidak mau. Hanya saja ini terlihat seperti dirinya terlalu lemah hingga harus terus-menerus dibantu oleh Kinanti. Dia tidak mau dipandang sebagai perempuan yang lemah yang hanya bisa menangisi keadaan. Tetapi, begitu dia menginjakkan kakinya ke tanah, seperti ada aliran listrik yang menyetrum ke otak Ana.

"Aku tahu kau perlu bantuan, Na."

Ana mengerucutkan bibir dan itu nampak menggemaskan sekali di mata Kinanti. Ia mengabaikan temannya yang sedang merajuk akibat ulah diri sendiri. Kinanti segera membantu Ana memapah mencapai kelas mereka berdua, serta bangku keduanya.

Damar masih menonton kejadian tersebut dari kejauhan. Dia sangat ingin membantu Ana. Tetapi, rasa takutnya mengubah lelaki itu menjadi seperti seorang pengecut. Ya, sesuai dengan apa yang dikatakan Ana.

Damar menggumam, "Setelah ini, aku harus menemuinya lagi."

***

Ana menaikkan sebelah alisnya sembari memandang sosok laki-laki yang sedang berdiri di depan demi menghalangi Rezvan yang akan menyerang Ana lagi. Keadaan gadis itu bahkan sudah sama parahnya seperti Rezvan, dengan pipi lebam dan alis tergores cincin yang dikenakan pemuda tersebut. Entah bagaimana Ana mampu mengimbangi keadaan.

Ini dimulai setelah bel istirahat berbunyi, Ana dan Kinanti pergi ke kantin sekolah. Perut mereka perlu diisi agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan, seperti tidak fokus atau bahkan hilang kesadaran diri. Mereka memesan makanan, seperti biasanya. Mengobrol cukup santai dan membahas apapun itu.

"Na, pernah dengar tentang angsa hitam?"

Ana menggoyangkan kepala ke kiri kanan. Banyak arti yang terdapat dalam ucapan Kinanti dan dia takut salah menjawabnya.

"Sebenarnya, angsa hitam lebih identik mengenai hal-hal 'ketidak mungkinan' menjadi 'mungkin'. Dalam kata lain, itu adalah peristiwa yang langka atau tidak bisa diprediksi."

Ana menggaruk kepalanya. Sungguh, dia tidak memahami perkataan Kinanti.

"Bisa kau jelaskan lebih panjang?"

Netra Kinanti memperhatikan ke atap kantin. "Contohnya ... Kau pernah melihat angsa hitam?"

Ana langsung menjawabnya, "Bukankah angsa itu berwarna putih?"

Lantas, Kinanti tertawa disebabkan 1 pertanyaan kecil yang Ana lontarkan. "Seperti itu istilah angsa hitam ini, Na. Orang-orang berpikir angsa hanya ada yang berwarna hitam. Tapi, tiba-tiba muncul seekor angsa hitam yang disebut sebuah 'ketidak mungkinan' menjadi 'mungkin'. Tapi, angsa hitam yang ingin aku bahas di sini bukan soal itu.

"Dalam film Black Swan dan music video Black Swan milik salah satu grup idola K-Pop,  angsa hitam digambarkan sebagai bayangan atau sisi gelap dari diri seseorang. Naluri hewan dalam diri manusia. Maksudku, kemarahan yang kita rasakan hingga timbulnya kebencian, itu berasal dari sisi gelap kita. Ketakutan, rasa panik, bahkan cemburu, mereka juga termasuk bagian dari bayangan.

"Jika tidak dikendalikan, sisi itu akan menjadikanmu sebagai seseorang yang kasar bahkan melukai orang lain. Insting hewan akan muncul dari dalam diri manusia. Tapi, katanya kita tidak seharusnya mengendalikan sisi itu dengan cara menekannya, seperti mengatakan, 'Aku tidak boleh cemburu. Aku tidak boleh marah.' Sebaliknya, kau harus mengakui kalau kau memang merasakan perasaan itu, juga memikirkan apa yang akan terjadi jika ia mengatur hatimu. Menerima sisi itu akan lebih baik untukmu."

Harus Ana akui, pembahasan kali ini sangat menyita perhatiannya. Gadis itu memang menyukai hal-hal seperti arti di balik sebuah istilah atau teka-teki. Kinanti pandai membawa ke mana arah pembicaraan mereka tanpa perlu dirinya beritahu.

"Baiklah. Aku sedikit mengerti. Jadi alih-alih tidak menyukai sisi itu, kita perlu mencintai dan menerima ia, yang hidup dalam diri kita? Jadi, tujuan obrolan kita ini mengenai cara mencintai diri sendiri?"

"Benar sekali, Na! Kau memang pintar!"

Seperti ada sesuatu yang menggelitik di dalam dirinya, Ana merasa pujian itu menyenangkan. Bukan bermaksud sombong, tetapi ini memang terasa berbeda.

Di arah jam 7, seorang pemuda mengeratkan kepalan tangannya menyaksikan Ana yang melempar senyum kepada gadis yang dia pikir ia adalah teman Ana. Gadis yang sama yang telah mempermalukan dirinya meski saat itu hanya berada di depan sang kekasih. Sejujurnya Rezvan benci senyuman itu. Jadi, dia mencari akal agar Ana dapat menghargainya sebagai kakak kelas.

Tak mengetahui dengan apa yang akan terjadi, Ana melihat pada makanannya yang kurang pedas. Tidak ada bumbu atau saus tambahan di atas meja kantin. Secara terpaksa, Ana meminta izin kepada Kinanti untuk menambahkan sambal. Namun, Kinanti terlambat untuk memberitahu Ana.

Sepiring makanan jatuh di atas mangkok baksonya, dan semua ini ulah Rezvan yang sekarang memandang rendah Ana. Gadis itu mengeraskan rahang bawahnya secara refleks.

"Ups, maaf."

Segera Kinanti mencengkeram lengan Ana. Ia menggeleng-geleng. "Kau boleh marah, tapi jangan biarkan sisi itu menguasaimu."

Harus Ana akui, istilah angsa hitam itu dapat merubah pola pikirnya, sedikit.

"Sabar, Na," ucap Kinanti melanjutkan.

Namun, sama halnya seperti pertama kali mereka bertemu, Rezvan membalaskan dendam dengan cara yang sama seperti yang Ana pakai. "Kudengar ayahmu kabur dari rumah. Kenapa? Apakah karena dia memiliki keluarga yang tidak becus menjaganya?"

Ana pun membatin, "Kau marah, tapi jangan biarkan Rezvan mempengaruhimu, Ana!"

"Biar aku tebak," kata Rezvan kembali, "pasti karena ibumu berselingkuh."

Kinanti heran, sebenarnya Rezvan itu seorang laki-laki atau perempuan? Mulutnya begitu "lembut" untuk membicarakan rahasia keluarga orang lain. Namun, keheranan itu berubah menjadi keterkejutan lantaran Ana berhasil mendorong tubuh Rezvan hingga jatuh ke tanah dan memukul tepat di pipi pemuda tersebut berkali-kali.

"Br*ng**k!"

Suasana di kantin menjadi ramai oleh pasang mata yang menyaksikan. Kinanti tahu, Ana kelewat marah oleh ucapan Rezvan. Ingin mewajarkan pun tetap saja tindakan Ana akan berakibat buruk pada diri gadis itu sendiri, karena seperti perkiraannya, seorang guru BK datang dan menghentikan perkelahian di antara mereka.

"Apa yang sudah kalian lakukan?!"

Menyadari kehadiran orang yang tidak diinginkan, Ana tak lagi melanjutkan pemberontakannya setelah saat ini Rezvan yang membalikkan keadaan. Bagus, rencananya untuk menjebak Rezvan di saat-saat kemarahannya merupakan ide yang baik.

"Kalian, ikut Ibu ke ruang BK!"

Meski begitu, Ana masih jengkel karena sikap Rezvan. Dia belum puas menyakiti lelaki itu. Jadi, si gadis menatap tajam Rezvan sebelum langkah mereka menyusul sang guru.

"Temui aku di taman dekat sekolah ini! Kau mau bertarung melawanku? Akan kuladeni kau, b*Jin**n!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status