Air mata Kartika tak terbendung lagi, ia pun menangis di pelukan Sundari.
"Terimakasih, bu."
"Ibu akan mengurus KTP mu ya nak. Oya, kau harus belajar untuk menabung, nak. Sedapat mungkin Ibu akan memberimu tamu yang baik dan tidak kasar juga royal dalam memberikan uang tips. Sehingga kau bisa cepat keluar dari sini. Ibu nggak mau kau bernasib sama seperti Ibu. Sampai tua di tempat seperti ini. Jangan berlama-lama di tempat ini, nak. Kau masih terlalu muda dan, kau masih berhak untuk merasakan kehidupan yang jauh lebih baik. Nah, sekarang kau bergabung dengan yang lain. Kalian akan segera diantar ke klub. Berdandanlah yang cantik. Biasanya tamu-tamu datang pukul 11 malam. Ibu akan memilih tamu yang baik untukmu ya, nak. Ada kok, tamu yang hanya booking untuk menemani karaoke. Tidak selalu harus menemani di atas ranjang."
"Sekali lagi, terimakasih bu."
"Sama-sama, nak."
Kartika pun beranjak keluar ruangan dan bergabung bersama Wendah dan Ayu.
Bersama gadis- gadis yang lain mereka pun diantar ke diskotik tempat mereka bekerja.
Mereka ditempatkan di sebuah ruangan. Nantinya tamu akan memilih gadis mana yang akan menemani mereka minum, atau langsung dibawa ke kamar hotel.
Tiba-tiba, terdengar suara Sundari memanggil Kartika.
"Ayo,Kartika ada tamu yang ditemani bernyanyi di room Karaoke."
Tamu Kartika seorang pemuda bertubuh tinggi, dia cukup tampan. Dari penampilannya paling tidak ia baru berusia 28 tahun.
"Ini namanya Bang Johny, abang ini kerja di Awiligar. Kamu temenin di room karaoke ya," kata Sundari. Kartika hanya mengangguk.
Johny langsung menggandeng tangan Kartika dan mengajaknya masuk ke dalam room yang sudah ia sewa.
"Kamu anak baru, ya?" tanya Johny pada Kartika.
"Iya, bang. Baru tadi siang aku sampai."
"Pantas, Mami bilang ada barang baru. Umur kamu pastinya masih kecil ya? Kelihatan dari wajah kamu. Beda sama yang lain di sana. Udah pada berumur, kamu masih segar," kata Johny.
Johny pun menyewa room yang berukuran sedang dan juga memesan makanan dan minuman. Minuman yang di pesan oleh Johny hanya minuman bersoda biasa dan juga beberapa cemilan seperti kentang goreng, nugget dan ayam goreng biasa.
"Aku bukan peminum, jadi aku nggak kuat kalau pesan minuman yang aneh-aneh. Lagi pula aku memang hobby bernyanyi, bukan mau mabuk-mabukkan. Pekerjaan aku cukup membuat lelah, dan aku butuh refresing," kata Johny lagi.
Kartika memang tidak terlalu banyak bicara. Ia cukup senang mendengarkan Johny bicara ini dan itu. Mereka bernyanyi bersama, suara Johny menurut Kartika cukup bagus. "Suara abang bagus," kata Kartika.
"Nah, begitu dong. Dari tadi abang ini mau mendengar kau bicara. Ini jadinya malah abang yang jadi radio butut bicara terus menerus," kata Johny.
"Aku malu, bang," jawab Kartika jujur. Johny hanya mengelus rambut Kartika perlahan.
"Kamu ada di sana atas keinginan kamu?" tanya Johny.
Kartika menggeleng, dan cerita sedih tentang ibunya pun mengalir begitu saja dari bibir Kartika. Johny yang mendengar cerita Kartika tanpa sadar meneteskan air mata.
"Tega sekali ibumu. Jadi, kamu belum pernah bertemu lagi dengan ibumu?" tanya Johny.
"Belum, bang. Jujur, aku juga tidak mau tinggal di tempat itu dan menjadi penjaja cinta. Aku masih ingin sekolah dan menikmati masa mudaku. Tapi, segalanya tidak terjadi sesuai dengan apa yang aku harapkan. Aku sudah menjadi sampah masyarakat. Aku sudah terlanjur kotor dan tidak layak untuk siapapun," kata Kartika menyudahi ceritanya.
Johny menghela napas panjang. Ia merasa iba mendengar cerita Kartika.
"Kalau kau butuh sesuatu, minta supaya Mami Sundari meneleponku. Aku akan datang untukmu, jika aku bisa membantumu ya aku akan bantu sebisa mungkin. Anggap saja aku ini abangmu, Kartika."
"Terimakasih banyak atas kebaikan Abang. Aku pikir, semua tamu yang datang hanya membutuhkan kepuasan di atas ranjang. Tapi, tenyata ada yang membutuhkan teman untuk bicara seperti abang."
"Jangan melihat segala sesuatu dari luarnya, Tika. Tidak semua yang buruk itu buruk. Dan, tidak semua yang baik itu dalamnya juga baik."
Tepat pukul 1 dini hari waktu booking Kartika sudah habis. Johny pun segera pulang dan tak lupa memeberikan tips untuk Kartika.
"Kau cape tidak?" tanya Sundari saat Kartika kembali ke ruangan kaca.
"Kenapa Mami?" tanya Kartika.
"Ada tamu yang mencarimu. Dia bilang tadi dia menelepon Mami Sania. Tapi, karena kau sudah kemari, dia menunggu. Dia akan membawamu ke hotel, kau di booking full sampai besok siang. Bawa pakaian ganti jangan memakai pakaian seperti ini," kata Sundari sambil memberikan celana panjang dan t-shirt serta cardigan pada Kartika.
"Ibu tadi meminta pakaianmu pada pembantu di mess, supaya kau tidak perlu kembali ke sana. Ayo, Ibu antar, orangnya menunggu di mobil. Jangan lupa pakai pengaman, ini sudah Ibu bawakan juga.
Kartika merasa terharu dengan perhatian yang diberikan oleh Sundari kepadanya. Ternyata, tamu yang menunggunya adalah Kang Teddy. Dia adalah tamu yang pernah memakai jasa Kartika ketika masih berada di rumah Sania.
"Aduh, si neng udah di sini aja. Kenapa nggak di rumah Mami Sania lagi?" tanya Kang Teddy.
"Iya, Kang udah ada anak yang baru juga. Jadi, saya, Wendah dan Ayu ya harus di pindahkan ke sini. Mungkin, kami udah nggak berharga lagi, buat Mami Sania," jawab Kartika polos.
"Saya tunggu kamu hampir satu jam. Untung kamu cepat datang, kalau nggak saya langsung pergi."
"Kenapa Akang nggak cari yang lain aja? Kan banyak teteh yang lain yang cantik."
"Nggak tau, Akang suka aja sama kamu, Kartika. Kamu udah makan belum?" tanya Teddy. Kartika ingat, tadi sore ia sempat makan nasi bungkus yang dibelikan oleh Marini. Dan, ketika di room karaoke juga ia sempat makan cemilan-cemilan bersama Johny.
Tanpa menunggu jawaban Kartika, Teddy mengemudikan mobilnya menuju ke daerah Dago. Di sana memang banyak sekali penjual makanan, mulai dari jagung bakar, pisang bakar keju, indomie dan lainnya.
"Kau membawa celana panjang, kan? Ganti dulu pakaiannya, supaya emak duduk di tenda terbuka begitu," kata Teddy.
Kartika sedikit ragu untuk mengganti pakaiannya, namun Teddy langsung turun dari mobilnya memberikan waktu untuk Kartika mengganti pakaiannya. Kartika pun segera mengganti dressnya dengan celana panjang dan t-shirt juga cardigan yang dibawakan oleh Sundari. Setelah selesai Kartika pun segera berjalan turun dari mobil dan menghampiri Teddy.
"Tuh, dandan kaya gini juga cantik, neng. Udah cantik mulus, pakai baju apa juga tetap aja cantik, neng."
"Makasih, kang."
"Mau makan apa? Akang udah pesen nasi goreng, kalau mau yang lainnya boleh, pesan aja," kata Teddy menawarkan.Kartika menggelengkan kepalanya. "Nasi goreng aja udah cukup kok, kang. Kita mau ke mana abis dari sini?"
"Ke Lembang aja. Tapi, nanti kita makan dulu. Biasanya suka ada pemeriksaan KTP kalau kesana malam- malam. Kata Mami, kamu nggak punya KTP, jadi kita tunggu sebentar. Biasanya jam 3 udah nggak ada razianya."
Kartika hanya mengangguk. Saat nasi goreng pesanan mereka sudah datang, mereka pun langsung makan tanpa banyak bicara. Kartika menghela napas panjang, ia menatap ke sekeliling nya. Membayangkan jika saja ia masih sekolah, tentu saja malam begini ia telah terlelap sehabis mengerjakan peernya. Biasanya pagi hari saat adzan subuh berkumandang, Kartika baru terbangun dan langsung mengerjakan pekerjaan rumah, seperti menyiapkan sarapan, membereskan rumah. Menyapu dan mengepel lantai dan juga membantu sang adik bersiap. Baru setelah itu, Kartika akan mandi dan bersiap untuk ke sekolah.
Namun, kini semua itu tinggal kenangan yang tersisa dalam ingatannya. Kini, yang ada hanyalah Kartika sang kupu-kupu malam yang jatuh ke dalam pelukan lelaki yang satu ke lelaki lainnya. Ia kini hanyalah wanita penghibur. Wanita murahan yang bekerja untuk uang dan untuk menghidupi diri sendiri.
Setelah selesai makan dan menunggu Teddy menghabiskan kopinya, barulah mereka berangkat menuju ke Lembang. Teddy menyukai hotel di Lembang karena udaranya yang sejuk dan tenang.
Teddy menyewa kamar di sebuah hotel untuk mereka berdua. Sebelumnya, Kartika pernah bermalam di. Hotel yang sama. Teddy langsung masuk ke kamar mandi dan menyalakan kran air hangat. Kartika mendengarnya bersiul dengan gembira. Kartika lalu mengeluarkan pengaman yang di berikan oleh Mami Sundari tadi, juga segera meminum pil untuk mencegah kehamillan. Kartika tidak mau jika ia harus hamil tanpa tau pada siapa ia meminta pertanggung jawaban.
Selesai mandi, Teddy hanya mengenakan handuk dan keluar dari kamar mandi. Melihat Kartika yang masih mengenakan pakaian lengkap ia pun merasa sedikit gemas. Dengan penuh hasrat ia pun segera memeluk tubuh Kartika dan menuntaskan hasrat terpendamnya. Tidak hanya satu kali,tapi berkali-kali. Ia memaksa Kartika untuk melayani dan memuaskannya.
Setelah semua selesai, ia pun tertidur dengan penuh kepuasan sambil memeluk tubuh Kartika. Sementara Kartika hanya mampu menangis tanpa suara. Setelah ia melihat Teddy tertidur dengan pulas Kartika pun langsung menyambar handuk bersih dan segera masuk ke kamar mandi kemudian menyalakan air hangat dan merendam tubuhnya di dalam bathtub sambil menangis terisak-isak.
'Apa yang terjadi, terjadilah
Yang dia tau Tuhan penyayang umatNya
Apa yang terjadi, terjadilah
Yang dia tau hanyalah penyambung nyawa'
(Kupu-kupu malam_ titik puspa)
Setelah merasa puas menangis dan membersihkan diri, Kartika pun mengeringkan tubuhnya dan memakai kembali pakaiannya. Dan ia pun membaringkan tubuhnya di ranjang dan menyusul Teddy ke alam mimpi.
Pagi hari Kartika terbangun dan menyalakan televisi dengan suara perlahan. Ia pun duduk di sofa sambil menikmati secangkir teh hangat yang ia buat. Ia sebenarnya merasa lapar, tapi ia tidak berani untuk membangunkan Teddy atau turun sendiri ke restoran. Ia takut jika bertemu dengan orang yang mengenalinya dan bertanya sedang apa ia di hotel seperti ini. Ia pasti akan bingung harus menjawab apa.
Tiba-tiba, Kartika merasa tubuhnya di peluk dari belakang dan ternyata Teddy terbangun.
"Kamu udah bangun jam segini, neng. Nggak tidur? Kita cek out nanti sore. Mau perpanjang juga gampang. Akang tinggal telepon Mami Sundari. Yang penting sekarang kamu sama akang dulu. Ayo,sini atuh," kata Teddy.
Kartika hanya pasrah dan menurut saat Teddy membawanya kembali ke tempat tidur dan mulai melancarkan aksinya untuk menikmati kembali tubuh Kartika. Sementara Kartika sendiri hanya bisa mengalah dan menuruti apa yang Teddy ingin lakukan serta mengikuti segala permainan lelaki berusia 35 tahun itu. Ya, bagi wanita seperti Kartika air mata hanyalah teman di kala sepi.
Sulastri dimakamkan di hari berikutnya. Bu Aminah membantu segala proses pemakaman. Widya dan Aryani yang mendengar berita kematian ibu kandung Kartika juga datang melayat. Aryani dan Widya tampak bahagia melihat Reni yang kini sudah menerima Kartika dengan tangan terbuka. "Saya senang melihat Jeng Reni sekarang akur dengan Kartika. Dia itu anak yang baik, Jeng," kata Widya saat proses pemakaman Sulastri selesai. Reni mengangguk dan menepuk punggung tangan besannya itu sambil tersenyum."Iya, dia anak yang baik. Saya menyesal sekali waktu itu sudah bersikap kasar dan kurang baik kepadanya.""Yang penting sekarang kan kalian berdua sudah akur." Sampai Sulastri selesai dimakamkan, keluarga angkat Agung tidak ada datang, padahal Aminah sudah memberi kabar. Kartika hanya bisa mengelus dada ,padahal ia ingin sekali bertemu dengan ad
Kartika menundukkan kepalanya, ah, sudah berapa tahun ia tidak bertemu dengan wanita yang sudah melahirkannya? Rasanya lama sekali ia tidak bertemu. Rindu? Ya, ia merindukan ibunya bahkan sejak ia kecil. Kartika selalu merindukan sang ibu. Merindukan belai kasih sayangnya, rindu ungkapan cinta seperti yang selalu ia bisikkan di telinga Dania sebelum tidur. Kapan ia bisa merasakan hal itu juga? "Ib-ibu ... saya tidak tau apakah ibu masih hidup atau sudah ...."Melihat menantunya terisak, sebagai seorang ibu dari dua orang anak, Reni bisa merasakan apa yang Kartika rasakan."Dia bukan ibu yang baik untukmu, Tika," kata Reni dengan lirih. Perlahan, Kartika mengangkat wajahnya yang sudah berlinang air mata."Dia memang bukan ibu yang baik, bahkan sejak kecil ibu rasanya tidak pernah memanjakan saya, Bu. Beliau selalu berkata
Sejak keributan di rumah makan yang ia buat, Reni tak lagi mengganggu Kartika dan juga Dania. Bahkan ia mulai mau memakan makanan yang dikirimkan oleh Kartika melalui Rania yang sering datang menemui Kartika dan Dania. "Ini makanan dari Kartika?" tanya Reni sore itu saat Rania datang sambil membawa kolak dan soto kesukaannya."Iya, Bu. Mbak Kartika yang membuat makanan ini. Kalau ibu nggak mau biar aku yang abisin," kata Rania."Eh, jangan dong. Kamu kan udah makan di sana. Ini jatah ibu, udah tau ini makanan favorit ibu masih aja kamu ambil," gerutu Reni. Sementara itu, Rania hanya mencibir, "Makannya mau, tapi sama orangnya Ibu selalu memusuhi," sindir Rania membuat wajah Reni memerah karena malu."Aku sudah tidak pernah marah-marah kepadanya lagi," kata Reni sambil mencicipi kolak. Wajah Reni berbinar se
Reni menggebrak meja dengan kesal saat ia menerima pesan dari Rivan. Anaknya itu baru saja mengirimkan sejumlah uang yang dia minta. Padahal ia ingin sekali Rivan meminta padanya dan mengemis supaya ia bisa memisahkan Rivan dan Kartika. Entahlah, sejak pertama bertemu Kartika ia merasa seperti bertemu seseorang di masa lalunya. Orang yang pernah ia benci sekaligus ia cintai. Wajah Kartika sungguh mirip dengan orang itu."Bu , sudahlah jangan ganggu Mas Rivan terus. Toh dia tidak pernah merepotkan ibu," ujar Riana. Wanita cantik itu merasa heran dengan sikap ibunya yang ia rasa cukup kelewatan. Reni menoleh dan memicingkan mata kesal pada putrinya itu."Nggak! Ibu mau perempuan itu pergi dari Rivan!""Mereka ada anak, dan lagi perempuan itu tidak salah apa-apa. Aku sudah mendengar semuanya dari Mbak Aryani. Kalau ibu begini terus ,aku nggak mau lagi mengurus Sask
Kartika menjadi jauh lebih kuat dengan dukungan dari Widya dan Aryani. Ia dan Rivan benar-benar memulai kehidupan yang baru. Semua bisnis keluarga yang tadinya dijalankan oleh Rivan kini dijalankan oleh Agung, suami Riana adiknya. Semua itu karena Reni yang tidak ikhlas jika Kartika menikmati hasilnya. Hanya rumah makan yang masih Rivan jalankan. Karena modal rumah makan itu murni dari uang pribadi Rivan yang ia kumpulkan. Kartika tidak mengeluh dengan itu semua. Bahkan, terkadang ia datang ke rumah makan bersama Dania di jam makan siang sekadar untuk menemani suaminya makan siang. Jika dulu Rivan hanya datang sesekali untuk mengecek, maka sekarang Rivan lebih fokus menjalankan usaha itu sehingga rumah makan miliknya yang sudah hampir 15 tahun ia bangun menjadi lebih berkembang. Karyawan di sana beberapa sudah ganti. Hanya Ella
Kartika menunduk mendengar perkataan Widya."Kenapa,sayang?"Sontak, Kartika mengangkat wajahnya. Seumur hidup belum pernah ia dipanggil sayang oleh ibunya, Sulastri. Bahkan mertuanya pun mati-matian membencinya. Tetapi, wanita di hadapannya ini begitu lembut dan penuh kasih sayang. Air mata tak terbendung lagi jatuh membasahi pipinya yang putih mulus itu."Loh ,kenapa kok malah nangis? Ibu salah bicara?" tanya Widya kebingungan. Kartika menggelengkan kepalanya perlahan , "Bu, seumur hidup belum pernah saya dipanggil sayang oleh ibu kandung saya. Tapi, ibu barusan memanggil saya sayang? Saya nggak salah dengar, kan?""Ya Allah, Tika ...."Widya pun langsung membawa Kartika ke dalam pelukannya. Ia merasa iba dan terharu mendengar pengakuan Kartika. Bahkan mendengar kisah hidupnya pun ia merasa sangat terharu. &nb
Saat pemakaman berlangsung, Aryani dan Kartika tidak hadir , barulah ketika Widya mengirimkan pesan bahwa Reni dalam perjalanan untuk menjemput Saskia, Aryani bergegas membawa Kartika pergi ke rumah sakit untuk menjenguk Rivan. Hal itu sengaja dilakukan supaya Reni dan Kartika tidak bertemu. Widya merasa tidak tega jika Reni terus menerus mengatakan bahwa Kartika pembawa sial. Ternyata Gazali yang mengurus kepindahan rumah sakit Rivan dan tentu Kartika pun tidak kesulitan untuk melihat kondisi suaminya itu. Dania yang melihat kondisi Rivan yang dipasang beberapa alat bantu langsung menangis sedih."Menurut dokter kondisinya kini belum stabil, Rivan sempat sadar sebentar, tapi kembali seperti ini," kata Gazali. Dania perlahan mendekati Rivan dan memegang tangan ayahnya itu. Kemudian gadis kecil itu mengecup dahi Rivan.&nbs
Bu Widya pulang ke rumah pukul tiga pagi, ia terkejut saat melihat Kartika baru saja keluar dari kamar mandi."Kamu tidak tidur, Nak?" tanyanya. Kartika tersenyum, "Saya mau tahajud, Bu," jawabnya."Ya Allah, Nak ... Kamu ternyata memang anak baik," ujar Widya sambil memeluk Kartika."Kita solat bersama, ya, tunggu ibu sebentar," ujarnya lagi lalu Widya pun bergegas mengambil air wudhu dan mereka pun melaksanakan solat sepertiga malam bersama. Setelah selesai solat, Widya mengajak Kartika duduk bersamanya di ruang keluarga."Aryani sudah bercerita kepada Ibu, Nak. Kartika, ibu mohon jangan pernah mengatakan bahwa dirimu ini pembawa sial. Tidak ada hal yang seperti itu, Nak.""Ibu belum tau siapa saya yang sebenarnya, jika ibu tau mungkin ibu akan mengusir saya dari rumah ini saat ini juga," kata Kartika. Widya menghela napas panjang, "
Aryani menoleh ke pintu, dua orang gadis kecil tampak berdiri namun ragu untuk melangkah ke kamar karena melihat kehadiran Kartika dan Dania."Saskia, Yunita, ayo sini!" panggil Aryani pada kedua gadis kecil itu. Mendengar nama Saskia, Kartika tau bahwa salah satu dari kedua gadis itu adalah anak RIvan dan Salsa."Yang berambut panjang dan sedikit lebih tinggi itu adalah Yunita anakku, TIka. Hmm ... boleh aku panggil Tika?""Boleh, Mbak ....""Ya, itu Yunita anakku, dan yang satunya Saskia anaknya Salsa. Saskia, Yunita ini Dania, dia adalah sepupu kalian. Jadi, kalian harus akur, ya?""Iya, Ma. Oya , ini tante siapa?" tanya Yunita."Ini Tante Kartika, mamanya Dania." Yunita langsung tersenyum ramah pada Kartika lalu mendekat dan mencium punggung tangan Kartika."Tante, saya Yunita," ujar Yunita dengan ramah. Tampak bahwa sikap