Kartika tersentak saat mendengar bentakan dari seseorang. Begitu juga dengan Wendah dan Ayu.Mereka langsung melepaskan pelukan dan menatap gadis yang berdiri di depan pintu kamar mereka.
"Kalian ini nggak tau diri ya! Baru datang udah bikin keributan. Kalau siang begini, jam nya istirahat! Emang dulu di rumah Mami Sania kalian kerja kantoran! Sama aja, kerja kaya kami, jangan sok ya karena kemarin-kemarin kalian dapat tamu pejabat dan bos berduit kalian mau sombong!"
"Maaf ya, Mbak. Kami nggak bermaksud untuk buat Mbak nggak nyaman. Maaf kalau suara kami ganggu Mbak," kata Ayu dengan sedikit gemetar ketakutan.
Gadis itu mencebik dan menatap Ayu dengan tajam. "Bilang sama kedua temen kamu ya, terutama yang pakai baju biru," katanya sambil menuding ke arah Kartika. "Jangan sok cantik di sini!" Setelah puas meluapkan emosinya, gadis itu pun segera pergi meninggalkan mereka bertiga. Ayu langsung bangkit lalu menutup pintu dengan cepat. Ia tidak mau gadis itu kembali lagi karena merasa terganggu.
"Suara kita terlalu keras mungkin ya?" kata Kartika dengan wajah yang sedikit pucat. Ayu menggedikkan bahunya. "Nggak sih, hanya saja mungkin dia sedang tidak enak hati. Hah, sudahlah lebih baik kita juga tidur. Tadi kita baru tidur sebentar kan, waktu Mami bangunin trus nyuruh kita pindah."
Kartika dan Wendah pun mengangguk dan menuruti perkataan Ayu . Diantara mereka bertiga memang Ayu yang berusia paling tua. Sementara, Kartika lah yang berusia paling muda. Mereka pun bergegas membereskan sisa barang mereka dan memasukkannya ke dalam lemari kemudian, mereka pun mengunci pintu kamar dan mematikan lampu kemudian tidur. Bagi mereka, kehidupan itu berjalan terbalik. Malam menjadi siang, siang menjadi malam. Mereka beraktivitas di malam hari dan tidur di siang hari.
Sore hari mereka terbangun karena mendengar suara pintu kamar mereka diketuk. Wendah langsung membuka pintu dan Marini tampak tersenyum sambil membawa bungkusan berisi nasi.
"Aku beli ini di warung nasi di depan sana. Kalian pasti lapar kan? Makan dulu, ya. Habis ini kalian bisa istirahat lagi atau mandi. Nanti kalau agak malam gantian mandinya. Lebih baik sekarang deh," kata Marini.
"Mbak, tadi waktu Mbak tidur apa suara kami ganggu?" tanya Kartika. Marini tersenyum, "Nggak, kok. Denger sih sayup- sayup kalian ngobrol gitu. Tapi, nggak berisik kok. Kenapa? Ada yang marahin kalian tadi?" tanya Marini.
. Mereka bertiga menggeleng serempak. "Ya sudah kalau tidak ada. Ya udah, aku mau mandi dulu ya, kalian cepet abisin makanannya. Sekarang udah jam 4 sore. Waktu nggak akan terasa taunya udah malam."
Marini pun meninggalkan mereka bertiga.
Kartika, Wendah dan Ayu yang memang merasa lapar langsung membuka bungkusan makanan pemberian Marini. Isinya nasi, sambal tumis usus ayam dan tempe orek. Kebetulan sekali itu adalah makanan kesukaan Kartika. Ia pun segera makan dengan lahap.
"Kamu suka ya, usus ayam tumis pedas begitu?" tanya Wendah. Kartika mengangguk, "Bapak sama Ibu jarang punya uang banyak untuk masak enak. Kalau makan ayam atau daging paling pas lebaran. Sehari- hari ya paling tempe tahu, kangkung, lalapan, paling mewah itu ya usus ayam kaya gini. Biasanya, aku suka ungkep terus di goreng makan pakai sambal. Tapi, ya dimasak kaya gini juga udah enak banget. Emang kalian nggak suka?"
"Nggak terlalu, Kar. Kami lebih suka makan hati ampela daripada usus kaya gini," jawab Ayu.
"Tapi, kalau lagi lapar ya apa aja juga enak, sih," jawab Wendah.
Kartika hanya tertawa kecil mendengar ucapan Wendah. Setelah mereka selesai makan, mereka langsung mandi mengikuti ucapan Marini. Walau bagaimana mereka sadar diri bahwa kehadiran mereka masih baru jangan sampai menimbulkan keributan atau kerusuhan. Kejadian tadi siang saja rasanya masih membekas di ingatan mereka.
Tidak seperti Wendah dan Ayu yang suka memakai make up, Kartika memilih untuk memakai make up seadanya saja. Ia memang tidak bisa mengenakan make up berlebihan. Tapi, justru di sanalah daya pikat Kartika. Pada dasarnya, Kartika memang sudah memiliki wajah yang cantik. Ia memiliki sepasang mata yang bulat, hidung mancung, bibir yang mungil dan merah alami. Di tambah lagi rambutnya yang lurus dan tebal serta hitam, cocok untuk menjadi model iklan shampoo.
Mami Sundari mendatangi mereka tepat jam 8 malam. "Kalian ikut saya," katanya. Ketiganya pun langsung patuh dan mengikuti Mami Sundari.
"Kalian sudah memiliki KTP?" tanyanya. Wendah dan Ayu mengangguk dan memperlihatkan KTP mereka.
"Kamu?" tanyanya pada Kartika. Kartika menggelengkan kepalanya.
"Saya nggak punya, Mami."
"Kok bisa nggak punya? Berapa memangnya usia kamu?" tanya Sundari.
"16 tahun, Mami."
Sundari menghela napas panjang. Tatapan Sundari yang tadinya tajam, entah mengapa dirasakan oleh Kartika menjadi teduh.
"Ayu dan Wendah kalian ikut dulu sama Marini ya. Dia ada di luar, saya mau bicara sebentar dengan Kartika."
Kartika sedikit heran, Sundari justru memanggilnya dengan nama asli.
"Kenapa kamu bisa sampai ke rumah Mami Sania?" tanyanya dengan lembut. Kartika memberanikan diri untuk mengangkat wajahnya dan menatap Sundari.
"Sa-saya...saya dijual oleh Ibu saya kepada Mami Sania, Mami."
Sundari menyembuhkan napasnya dengan kasar. Ia menggelengkan kepalanya, lalu perlahan ia mengusap kepala Kartika. "Ibu tiri?"
"Ibu kandung saya, Mami."
"Astagfirullah..."
Meskipun seorang Mami ditempat yang kurang baik, tapi Sundari adalah wanita yang baik. Tidak ada seorangpun yang tau bahwa Sundari tidak pernah lepas dari solat fardhu 5 waktu sesuai dengan imannya. Hanya saja, untuk pergi dari tempat ini Sundari belum memiliki keberanian. Bukan masalah rezeki, tidak sama sekali. Sundari percaya bahwa Allah akan mengatur rezekinya. Hanya saja, ia belum siap untuk kembali ke lingkungan orang-orang biasa. Ia belum siap jika mendengar kata- kata hinaan seperti Wanita murahan atau mantan seorang kupu-kupu malam.
"Kamu masih muda sekali, Kartika. Apakah kamu masih sekolah?"
"Masih Mami, saya masih SMA. Saya nggak tau kalau Ibu akan menjual saya hari itu. Ibu hanya menyeret saya untuk pergi bersamanya dan kemudian saya ditinggalkan di rumah Mami Sania."
Sundari memeluk Kartika dengan hangat, membuat gadis belia itu sedikit terkejut. Perlakuan Sania dan Sundari sangat jauh berbeda. Sania lebih galak dan sangat sinis, sementara Sundari begitu lembut. Hal ini tentu membuat Kartika bingung.
"Jika saja anakku masih hidup, dia tentu seusia denganmu, Kartika. Tidak usah takut tetaplah menjadi anak yang baik meskipun kini kamu berada di tempat yang kurang baik. Boleh, aku meminta sesuatu?"
"Ap-apa, Mami?"
"Jika di depan anak-anak yang lain, kau bisa tetap memanggilku Mami. Tapi, jika hanya kita berdua panggil aku Ibu. Kau mau?"
Sulastri dimakamkan di hari berikutnya. Bu Aminah membantu segala proses pemakaman. Widya dan Aryani yang mendengar berita kematian ibu kandung Kartika juga datang melayat. Aryani dan Widya tampak bahagia melihat Reni yang kini sudah menerima Kartika dengan tangan terbuka. "Saya senang melihat Jeng Reni sekarang akur dengan Kartika. Dia itu anak yang baik, Jeng," kata Widya saat proses pemakaman Sulastri selesai. Reni mengangguk dan menepuk punggung tangan besannya itu sambil tersenyum."Iya, dia anak yang baik. Saya menyesal sekali waktu itu sudah bersikap kasar dan kurang baik kepadanya.""Yang penting sekarang kan kalian berdua sudah akur." Sampai Sulastri selesai dimakamkan, keluarga angkat Agung tidak ada datang, padahal Aminah sudah memberi kabar. Kartika hanya bisa mengelus dada ,padahal ia ingin sekali bertemu dengan ad
Kartika menundukkan kepalanya, ah, sudah berapa tahun ia tidak bertemu dengan wanita yang sudah melahirkannya? Rasanya lama sekali ia tidak bertemu. Rindu? Ya, ia merindukan ibunya bahkan sejak ia kecil. Kartika selalu merindukan sang ibu. Merindukan belai kasih sayangnya, rindu ungkapan cinta seperti yang selalu ia bisikkan di telinga Dania sebelum tidur. Kapan ia bisa merasakan hal itu juga? "Ib-ibu ... saya tidak tau apakah ibu masih hidup atau sudah ...."Melihat menantunya terisak, sebagai seorang ibu dari dua orang anak, Reni bisa merasakan apa yang Kartika rasakan."Dia bukan ibu yang baik untukmu, Tika," kata Reni dengan lirih. Perlahan, Kartika mengangkat wajahnya yang sudah berlinang air mata."Dia memang bukan ibu yang baik, bahkan sejak kecil ibu rasanya tidak pernah memanjakan saya, Bu. Beliau selalu berkata
Sejak keributan di rumah makan yang ia buat, Reni tak lagi mengganggu Kartika dan juga Dania. Bahkan ia mulai mau memakan makanan yang dikirimkan oleh Kartika melalui Rania yang sering datang menemui Kartika dan Dania. "Ini makanan dari Kartika?" tanya Reni sore itu saat Rania datang sambil membawa kolak dan soto kesukaannya."Iya, Bu. Mbak Kartika yang membuat makanan ini. Kalau ibu nggak mau biar aku yang abisin," kata Rania."Eh, jangan dong. Kamu kan udah makan di sana. Ini jatah ibu, udah tau ini makanan favorit ibu masih aja kamu ambil," gerutu Reni. Sementara itu, Rania hanya mencibir, "Makannya mau, tapi sama orangnya Ibu selalu memusuhi," sindir Rania membuat wajah Reni memerah karena malu."Aku sudah tidak pernah marah-marah kepadanya lagi," kata Reni sambil mencicipi kolak. Wajah Reni berbinar se
Reni menggebrak meja dengan kesal saat ia menerima pesan dari Rivan. Anaknya itu baru saja mengirimkan sejumlah uang yang dia minta. Padahal ia ingin sekali Rivan meminta padanya dan mengemis supaya ia bisa memisahkan Rivan dan Kartika. Entahlah, sejak pertama bertemu Kartika ia merasa seperti bertemu seseorang di masa lalunya. Orang yang pernah ia benci sekaligus ia cintai. Wajah Kartika sungguh mirip dengan orang itu."Bu , sudahlah jangan ganggu Mas Rivan terus. Toh dia tidak pernah merepotkan ibu," ujar Riana. Wanita cantik itu merasa heran dengan sikap ibunya yang ia rasa cukup kelewatan. Reni menoleh dan memicingkan mata kesal pada putrinya itu."Nggak! Ibu mau perempuan itu pergi dari Rivan!""Mereka ada anak, dan lagi perempuan itu tidak salah apa-apa. Aku sudah mendengar semuanya dari Mbak Aryani. Kalau ibu begini terus ,aku nggak mau lagi mengurus Sask
Kartika menjadi jauh lebih kuat dengan dukungan dari Widya dan Aryani. Ia dan Rivan benar-benar memulai kehidupan yang baru. Semua bisnis keluarga yang tadinya dijalankan oleh Rivan kini dijalankan oleh Agung, suami Riana adiknya. Semua itu karena Reni yang tidak ikhlas jika Kartika menikmati hasilnya. Hanya rumah makan yang masih Rivan jalankan. Karena modal rumah makan itu murni dari uang pribadi Rivan yang ia kumpulkan. Kartika tidak mengeluh dengan itu semua. Bahkan, terkadang ia datang ke rumah makan bersama Dania di jam makan siang sekadar untuk menemani suaminya makan siang. Jika dulu Rivan hanya datang sesekali untuk mengecek, maka sekarang Rivan lebih fokus menjalankan usaha itu sehingga rumah makan miliknya yang sudah hampir 15 tahun ia bangun menjadi lebih berkembang. Karyawan di sana beberapa sudah ganti. Hanya Ella
Kartika menunduk mendengar perkataan Widya."Kenapa,sayang?"Sontak, Kartika mengangkat wajahnya. Seumur hidup belum pernah ia dipanggil sayang oleh ibunya, Sulastri. Bahkan mertuanya pun mati-matian membencinya. Tetapi, wanita di hadapannya ini begitu lembut dan penuh kasih sayang. Air mata tak terbendung lagi jatuh membasahi pipinya yang putih mulus itu."Loh ,kenapa kok malah nangis? Ibu salah bicara?" tanya Widya kebingungan. Kartika menggelengkan kepalanya perlahan , "Bu, seumur hidup belum pernah saya dipanggil sayang oleh ibu kandung saya. Tapi, ibu barusan memanggil saya sayang? Saya nggak salah dengar, kan?""Ya Allah, Tika ...."Widya pun langsung membawa Kartika ke dalam pelukannya. Ia merasa iba dan terharu mendengar pengakuan Kartika. Bahkan mendengar kisah hidupnya pun ia merasa sangat terharu. &nb