Home / Romansa / BIANGLALA KEHIDUPAN / TAKDIR YANG TAK SEHARUSNYA

Share

TAKDIR YANG TAK SEHARUSNYA

Author: Aling Tan
last update Huling Na-update: 2021-01-14 23:16:03

    Hampir 3 bulan Kartika berada di rumah Sania. Entah sudah berapa banyak pria yang Kartika layani di kamar hotel. Hampir setiap malam dia dipaksa untuk melayani tamu- tamu. Tamu- tamu yang ia layani adalah tamu- tamu pilihan. Bukan orang sembaranga. Begitu juga dengan Wendah dan  Ayu , nasib mereka setali tiga uang dengan Kartika. Ketiganya saat ini hanya bisa pasrah dengan keadaan yang mereka jalani saat ini. 

    Kartika sudah tidak pernah menangis lagi sekarang. Ia hanya bisa pasrah dan menahan sakit hatinya. Dari uang tips yang ia kumpulkan, Kartika mulai belajar memakai make up dari Teti. Sania tidak pernah meminta uang tips yang diberikan oleh para tamu. Bagi Sania, ketiga gadis itu masih sangat menguntungkan. Hingga tiba di bulan ke 4 saat tamu mulai bosan dengan ketiga gadis itu. Sania pun memutuskan untuk memindahkan ketiga gadis itu ke Mess nya untuk bergabung bersama para gadis yang lain. 

    Seumur hidup, Kartika hanya pernah mendengar yang namanya diskotik dan tempat hiburan malam. Tapi, ia tidak pernah sekalipun bermimpi untuk menjadi bagian dari tempat itu. Mess milik Sania dikelola oleh Mami Sundari. Sundari adalah mantan wanita penghibur juga. Tapi, karena Sania pernah berhutang budi pada Sundari ia pun mempercayakan Mess dan gadis-gadis miliknya . Sesekali, Sania datang untuk mengecek keuangan. Dan juga mengecek gadis- gadis di sana. Mereka yang sudah tua dan dianggap tidak menghasilkan lagi, akan dibiarkan. Pergi dari sana pun tidak akan cari. Bahkan, ada beberapa yang diusir paksa. 

    Tidak sedikit mantan wanita malam yang sudah diusir pada akhirnya mangkal di pinggir jalan dekat stasiun kereta api Bandung untuk mencari pelanggan dengan tarif yang tidak seberapa. Mami Sundari seorang wanita yang berusia 40 tahun. Dia masih cantik di usianya yang tidak lagi muda itu. Saat Kartika, Wendah dan Ayu datang mereka langsung di tempatkan bersama gadis yang lain. Beberapa gadis yang sudah agak lama bekerja di sana melirik sinis kepada mereka bertiga. Bahkan salah satu di antara mereka tampak jelas memperlihatkan ketidaksukaannya pada mereka bertiga. 

    "Ini namanya Kartika, Wendah dan Ayu. Mereka pindahan dari rumah bos, akur-akur ya kalian. Nanti malam mereka sudah mulai bekerja sama seperti kalian. Nama mereka Kartika, Wendah dan Ayu. Kamu, Marini ajak mereka untuk ke kamarnya. Pakai kamar yang sebelah kamarmu saja, trus kamu ajarin ya gimana peraturan di sini," kata Mami Sundari. 

    Seorang gadis yang di panggil Marini langsung mendekat dan membawa mereka ke kamar mereka. 

"Kalian di sini kerja dari jam 10 malam ya. Kalau kalian mendapat tamu, jatah kalian 40 persen. Uang tips boleh kalian simpan sendiri untuk biaya hidup kalian. Ingat ya, kalian jangan macam- macam di sini. Ada tukang pukul Mami Sania. Beliau memang jarang kemari tapi, ya tukang pukulnya itu tetap menjaga di sini. Kalian juga jangan mencari keributan dengan yang lain. Mereka senior di sini. Kalau ada apa- apa kamarku di sebelah kamar kalian. Sekarang, kalian bisa istirahat. Mumpung masih siang kalian tidur, nanti sore baru bangun. Ya, kalian pasti di rumah Mami Sania begitu juga, kan?" 

"Iya, teh. Teteh sudah lama di sini?" tanya Kartika. Marini mengangguk, "Sekitar 3 tahun. Ya sudah, kalian istirahat saja. Aku mau tidur dulu ya, semalam aku baru bisa tidur pukul 3."

    Kartika, Neneng dan Euis pun segera masuk ke kamar dan membereskan barang mereka yang tidak seberapa. Hanya ada kasur yang cukup untuk mereka bertiga tidur. Sebuah lemari kecil, meja untuk menyimpan makanan dan meja rias. Kamar mandi ada di luar kamar mereka. Kamar mandi itu mungkin di pakai bernama- sama. 

"Habis manis sepah di buang,"kata Ayu sambil membaringkan dirinya di atas kasur. 

"Sabar saja, Ay. Mungkin sudah takdirnya kita harus begini," kata Wendah berusaha menenangkan. 

    Kartika tidak tau harus berkata apa. Ia hanya bisa diam, ia sendiri tidak bisa berbuat sesuatu yang bisa mengeluarkannya dari tempat ini. 

"Kar, aku lihat kau tambah pendiam sekarang. Kau baik-baik saja, kan?" tanya Ayu. 

"Aku nggak tau, harus bagaimana selain pasrah menjalani semuanya. Aku sama sekali tidak pernah berpikir untuk berada dan tinggal di tempat ini." 

"Kata Mami Sania tadi sebelum dia pergi, di sini kita boleh kok pergi jalan- jalan keluar. Bisa ke BIP atau jalan- jalan dan belanja di kepatihan. Atau kita bisa ke Kosambi, kata Teti di sana banyak yang bagus. Ya, aku kan bukan asli Bandung. Dulu, aku dan Wendah sering bermimpi untuk jalan- jalan ke Bandung. Ke kebun binatang, ke BIP, ke gedung sate. Jalan- jalan ke taman lalu lintas. Ah, pokoknya banyak lah yang kami pengen datangi. Tapi, sekarang malah nyasar di tempat hiburan malam. Aku ingat sama Ibuku, apa sekarang Ibu masih ingat sama aku, sama Wendah juga." 

    "Emang kamu nggak pernah ke Bandung gitu sebelumnya?" tanya Kartika. Ayu menggeleng, "Kan,aku pernah bilang kami berdua paling jauh main ke Cirebon, Kar. Rumah nenek kami kan di Sindang laut. Jadi, kalau ke Cirebon ya kami paling ke sana. Kalau nggak ya main ke Grage. Mau kemana lagi? Bapak kami nggak pernah perhatian sama anak. Ya mau gimana, istrinya aja banyak. Anaknya juga bukan hanya kami. Jadi, ya kami terima nasib ajalah. Kamu masih lebih enak, Kar almarhum bapakmu sayang sama kamu, kan?" 

    Kartika menghela napas panjang. "Seandainya saja bapak masih ada, pasti aku tidak akan berada di sini. Apa salah dan dosaku kepada Ibu aku sama sekali tidak tau, teh. Padahal selama ini aku selalu menurut pada setiap perkataan beliau. Tidak sekalipun aku membantah ucapannya. Tapi, Ibu sejak dulu memang sepertinya selalu saja mencari- cari kesalahanku. Saat ini yang aku pikirkan hanya adikku, teh. Bagaimana dengan Agung? Siapa yang menemani nya jika aku tidak ada. Ibu bekerja dari pagi sampai sore. Pagi Ibu tidak sempat memasak, Agung biasanya aku yang mengurus. Aku ingin pulang..." Kartika mulai menangis setelah 2 bulan terakhir ini ia menahan diri untuk tidak menumpahkan air mata. 

    Kartika merasa begitu perih dan terluka. Ibu yang sangat ia cintai, yang seharusnya mencintai dan menyayangi malah menjerumuskan dirinya ke lembah hitam yang teramat dalam. 

   Melihat Kartika yang menangis tersedu,Ayu pun memeluk Kartika, Wendah pun ikut memeluk keduanya dan mereka pun saling bertangisan. 

"Heh...! Anak baru, kalian nggak bisa diem ya?! Berisik tau?!"

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • BIANGLALA KEHIDUPAN   PADA AKHIR KISAH

    Sulastri dimakamkan di hari berikutnya. Bu Aminah membantu segala proses pemakaman. Widya dan Aryani yang mendengar berita kematian ibu kandung Kartika juga datang melayat. Aryani dan Widya tampak bahagia melihat Reni yang kini sudah menerima Kartika dengan tangan terbuka. "Saya senang melihat Jeng Reni sekarang akur dengan Kartika. Dia itu anak yang baik, Jeng," kata Widya saat proses pemakaman Sulastri selesai. Reni mengangguk dan menepuk punggung tangan besannya itu sambil tersenyum."Iya, dia anak yang baik. Saya menyesal sekali waktu itu sudah bersikap kasar dan kurang baik kepadanya.""Yang penting sekarang kan kalian berdua sudah akur." Sampai Sulastri selesai dimakamkan, keluarga angkat Agung tidak ada datang, padahal Aminah sudah memberi kabar. Kartika hanya bisa mengelus dada ,padahal ia ingin sekali bertemu dengan ad

  • BIANGLALA KEHIDUPAN   BERTEMU IBU

    Kartika menundukkan kepalanya, ah, sudah berapa tahun ia tidak bertemu dengan wanita yang sudah melahirkannya? Rasanya lama sekali ia tidak bertemu. Rindu? Ya, ia merindukan ibunya bahkan sejak ia kecil. Kartika selalu merindukan sang ibu. Merindukan belai kasih sayangnya, rindu ungkapan cinta seperti yang selalu ia bisikkan di telinga Dania sebelum tidur. Kapan ia bisa merasakan hal itu juga? "Ib-ibu ... saya tidak tau apakah ibu masih hidup atau sudah ...."Melihat menantunya terisak, sebagai seorang ibu dari dua orang anak, Reni bisa merasakan apa yang Kartika rasakan."Dia bukan ibu yang baik untukmu, Tika," kata Reni dengan lirih. Perlahan, Kartika mengangkat wajahnya yang sudah berlinang air mata."Dia memang bukan ibu yang baik, bahkan sejak kecil ibu rasanya tidak pernah memanjakan saya, Bu. Beliau selalu berkata

  • BIANGLALA KEHIDUPAN   RENI DAN KARTIKA

    Sejak keributan di rumah makan yang ia buat, Reni tak lagi mengganggu Kartika dan juga Dania. Bahkan ia mulai mau memakan makanan yang dikirimkan oleh Kartika melalui Rania yang sering datang menemui Kartika dan Dania. "Ini makanan dari Kartika?" tanya Reni sore itu saat Rania datang sambil membawa kolak dan soto kesukaannya."Iya, Bu. Mbak Kartika yang membuat makanan ini. Kalau ibu nggak mau biar aku yang abisin," kata Rania."Eh, jangan dong. Kamu kan udah makan di sana. Ini jatah ibu, udah tau ini makanan favorit ibu masih aja kamu ambil," gerutu Reni. Sementara itu, Rania hanya mencibir, "Makannya mau, tapi sama orangnya Ibu selalu memusuhi," sindir Rania membuat wajah Reni memerah karena malu."Aku sudah tidak pernah marah-marah kepadanya lagi," kata Reni sambil mencicipi kolak. Wajah Reni berbinar se

  • BIANGLALA KEHIDUPAN   IKHLAS

    Reni menggebrak meja dengan kesal saat ia menerima pesan dari Rivan. Anaknya itu baru saja mengirimkan sejumlah uang yang dia minta. Padahal ia ingin sekali Rivan meminta padanya dan mengemis supaya ia bisa memisahkan Rivan dan Kartika. Entahlah, sejak pertama bertemu Kartika ia merasa seperti bertemu seseorang di masa lalunya. Orang yang pernah ia benci sekaligus ia cintai. Wajah Kartika sungguh mirip dengan orang itu."Bu , sudahlah jangan ganggu Mas Rivan terus. Toh dia tidak pernah merepotkan ibu," ujar Riana. Wanita cantik itu merasa heran dengan sikap ibunya yang ia rasa cukup kelewatan. Reni menoleh dan memicingkan mata kesal pada putrinya itu."Nggak! Ibu mau perempuan itu pergi dari Rivan!""Mereka ada anak, dan lagi perempuan itu tidak salah apa-apa. Aku sudah mendengar semuanya dari Mbak Aryani. Kalau ibu begini terus ,aku nggak mau lagi mengurus Sask

  • BIANGLALA KEHIDUPAN   MERTUA TIDAK ADA AKHLAK

    Kartika menjadi jauh lebih kuat dengan dukungan dari Widya dan Aryani. Ia dan Rivan benar-benar memulai kehidupan yang baru. Semua bisnis keluarga yang tadinya dijalankan oleh Rivan kini dijalankan oleh Agung, suami Riana adiknya. Semua itu karena Reni yang tidak ikhlas jika Kartika menikmati hasilnya. Hanya rumah makan yang masih Rivan jalankan. Karena modal rumah makan itu murni dari uang pribadi Rivan yang ia kumpulkan. Kartika tidak mengeluh dengan itu semua. Bahkan, terkadang ia datang ke rumah makan bersama Dania di jam makan siang sekadar untuk menemani suaminya makan siang. Jika dulu Rivan hanya datang sesekali untuk mengecek, maka sekarang Rivan lebih fokus menjalankan usaha itu sehingga rumah makan miliknya yang sudah hampir 15 tahun ia bangun menjadi lebih berkembang. Karyawan di sana beberapa sudah ganti. Hanya Ella

  • BIANGLALA KEHIDUPAN   DIA ISTRIKU JUGA

    Kartika menunduk mendengar perkataan Widya."Kenapa,sayang?"Sontak, Kartika mengangkat wajahnya. Seumur hidup belum pernah ia dipanggil sayang oleh ibunya, Sulastri. Bahkan mertuanya pun mati-matian membencinya. Tetapi, wanita di hadapannya ini begitu lembut dan penuh kasih sayang. Air mata tak terbendung lagi jatuh membasahi pipinya yang putih mulus itu."Loh ,kenapa kok malah nangis? Ibu salah bicara?" tanya Widya kebingungan. Kartika menggelengkan kepalanya perlahan , "Bu, seumur hidup belum pernah saya dipanggil sayang oleh ibu kandung saya. Tapi, ibu barusan memanggil saya sayang? Saya nggak salah dengar, kan?""Ya Allah, Tika ...."Widya pun langsung membawa Kartika ke dalam pelukannya. Ia merasa iba dan terharu mendengar pengakuan Kartika. Bahkan mendengar kisah hidupnya pun ia merasa sangat terharu. &nb

  • BIANGLALA KEHIDUPAN   RIVAN SADAR

    Saat pemakaman berlangsung, Aryani dan Kartika tidak hadir , barulah ketika Widya mengirimkan pesan bahwa Reni dalam perjalanan untuk menjemput Saskia, Aryani bergegas membawa Kartika pergi ke rumah sakit untuk menjenguk Rivan. Hal itu sengaja dilakukan supaya Reni dan Kartika tidak bertemu. Widya merasa tidak tega jika Reni terus menerus mengatakan bahwa Kartika pembawa sial. Ternyata Gazali yang mengurus kepindahan rumah sakit Rivan dan tentu Kartika pun tidak kesulitan untuk melihat kondisi suaminya itu. Dania yang melihat kondisi Rivan yang dipasang beberapa alat bantu langsung menangis sedih."Menurut dokter kondisinya kini belum stabil, Rivan sempat sadar sebentar, tapi kembali seperti ini," kata Gazali. Dania perlahan mendekati Rivan dan memegang tangan ayahnya itu. Kemudian gadis kecil itu mengecup dahi Rivan.&nbs

  • BIANGLALA KEHIDUPAN   CERITA TENTANG SALSA

    Bu Widya pulang ke rumah pukul tiga pagi, ia terkejut saat melihat Kartika baru saja keluar dari kamar mandi."Kamu tidak tidur, Nak?" tanyanya. Kartika tersenyum, "Saya mau tahajud, Bu," jawabnya."Ya Allah, Nak ... Kamu ternyata memang anak baik," ujar Widya sambil memeluk Kartika."Kita solat bersama, ya, tunggu ibu sebentar," ujarnya lagi lalu Widya pun bergegas mengambil air wudhu dan mereka pun melaksanakan solat sepertiga malam bersama. Setelah selesai solat, Widya mengajak Kartika duduk bersamanya di ruang keluarga."Aryani sudah bercerita kepada Ibu, Nak. Kartika, ibu mohon jangan pernah mengatakan bahwa dirimu ini pembawa sial. Tidak ada hal yang seperti itu, Nak.""Ibu belum tau siapa saya yang sebenarnya, jika ibu tau mungkin ibu akan mengusir saya dari rumah ini saat ini juga," kata Kartika. Widya menghela napas panjang, "

  • BIANGLALA KEHIDUPAN   BUKAN PEMBAWA SIAL

    Aryani menoleh ke pintu, dua orang gadis kecil tampak berdiri namun ragu untuk melangkah ke kamar karena melihat kehadiran Kartika dan Dania."Saskia, Yunita, ayo sini!" panggil Aryani pada kedua gadis kecil itu. Mendengar nama Saskia, Kartika tau bahwa salah satu dari kedua gadis itu adalah anak RIvan dan Salsa."Yang berambut panjang dan sedikit lebih tinggi itu adalah Yunita anakku, TIka. Hmm ... boleh aku panggil Tika?""Boleh, Mbak ....""Ya, itu Yunita anakku, dan yang satunya Saskia anaknya Salsa. Saskia, Yunita ini Dania, dia adalah sepupu kalian. Jadi, kalian harus akur, ya?""Iya, Ma. Oya , ini tante siapa?" tanya Yunita."Ini Tante Kartika, mamanya Dania." Yunita langsung tersenyum ramah pada Kartika lalu mendekat dan mencium punggung tangan Kartika."Tante, saya Yunita," ujar Yunita dengan ramah. Tampak bahwa sikap

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status