Pagi-pagi, Fahira langsung bergegas bangun. Pekerjaan semalam yang tertunda harus segera diselesaikan. Sementara Bayu pun sudah siap-siap untuk melaksanakan tugas sebagai loper koran di pagi hari. Sedikit receh lumayan membuatnya merasa sibuk dan berarti. Apalagi jika Fahira bersedia belanja menggunakan uangnya. Bayu sering teringat saldo tabungan Fahira yang ditransfernya sebagai uang bulanan selama dua tahun, hampir utuh selama hidup bersamanya. Kini Bayu tak ingin mengulangi kesalahan lama. Fahira dan Nayla harus makan dari hasil keringatnya. “Mas, kamu ngga ada rencana pulang?” tanya Fahira saat Bayu sudah datang. Dia merasa heran. Selama di Belanda, Fahira tak pernah melihat Bayu menghubungi keluarganya. Hanya sesekali menelpon mama dan Mbak Wulan. Nggak mungkin Bayu menelpon di luar rumah, karena selama ini Bayu hanya mengandalkan sambungan wifi apartemen. Fahira membuatkan teh panas untuk menghangatkan badan sembari memanggang roti dan mengolesinya dengan olesan keju dan
Fahira menggelengkan kepalanya. Tak percaya dengan pikirannya sendiri. Tak percaya dengan kenyataan yang dihadapi. Jadi, selama ini Bayu benar-benar tidak mencintainya. Jadi, Bayu datang kepadanya karena dia sudah kehilangan wanita yang dicintainya. Jadi, Bayu hanya menjadikannya pengganti wanitanya itu. Dada Fahira berdebar tak karuan. Dunia rasanya ingin runtuh. Kenapa saat dia merasa manis, kembali dia harus terhempas. Ini sama persis dengan peristiwa sebelum kepergiannya. Saat dia merasakan cinta dan jatuh cinta, di belakangnya, Bayu mencampakkannya. Kenapa harus seperti itu? “Ra—” “Cukup, Mas! Kamu memang dari dulu tak penah mencintaiku. Kamu tak pernah menghargaiku. Kamu tidak pernah menganggap aku ada!" Fahira berucap dengan suara bergetar. Nafasnya terengah-engah menahan sesak di dadanya. "Kamu hanya menganggapku sebagai pemberian orang tuamu semata. Saat orang tuamu memintamu kembali padaku, lantas kamu kembali. Coba kalau mereka tidak memintamu? Apa kamu akan mau k
“Mmm, kalau kamu bisa ujian bulan ini, di grupku sedang ada lowongan nyari PhD baru. Siapa tahu kamu minat. Biasanya, lulusan dari kampus kita, lebih diutamakan,” ujar Faisal. “He-emmm!” Belum sempat Faisal menjelaskan, Bayu sudah berdiri di belakang mereka. Lelaki itu berdeham untuk memberi isyarat bahwa dia mengetahui semuanya. Faisal menatap Bayu sekilas, mengisyaratkan kode yang pernah diucapkan dulu. Lalu dia memilih mengambil sepeda di parkiran, dan segera meninggalkan keduanya menuju kampus. Meskipun keduanya bersaudara, Faisal tak mau membuat masalah dengan Bayu. Bahkan, sejak Bayu datang ke Belanda pun, mereka memang seperti tak menunjukkan adanya ikatan darah. Bayu masih saja terlihat dihantui rasa curiga dan cemburu kepada Faisal, meskipun dibibirnya beberapa kali meminta maaf. Tapi tindakannya tetap tak berubah. Udara sudah mulai menghangat, tidak sedingin sebelumnya. Matahari juga mulai bersinar cerah. Namun begitu, Faisal masih setia dengan jaketnya sambil mengayuh
Bayu mengayuh sepedanya menuju warung Indonesia tempat dia bekerja. Dulu, Fahira lah yang hampir bekerja di tempat itu sebagai tenaga paruh waktu. Namun, karena hamil, akhirnya Fahira batal melanjutkan pekerjaannya. Dan kini, Bayu lah yang menggantikannya. Meskipun belum genap dua bulan di Belanda, tak jarang, Bayu merasa bosan dengan rutinitasnya. Di Jakarta dia bekerja secara professional di balik meja. Sementara, di sini, dia mendampingi Fahira belajar. Bukan liburan. Mengais rejeki dengan menjadi pekerja kelas bawah, dengan upah yang minim untuk standar Belanda. Sementara Fahira sangat sibuk dengan kuliah dan bayinya. Bahkan, hampir tak ada waktu untuk sekedar santai. Detik demi detik bagi Fahira sangat berharga. Hidupnya seperti hanya untuk sekolah dan Nayla. Bayu merasa jengah. Dulu, dia tak pernah membayangkan bahwa Fahira akan lari hingga ke negeri ini. Dulu, Bayu hanya bisa membayangkan bahwa hidup di negara empat musim itu indah. Tapi itu dulu. Saat dia belum mengalam
Fahira masih menekuri draft thesisnya saat Bayu pulang.Tak seperti biasanya, Bayu yang sering merayunya di malam hari jika menemuinya masih terjaga. Bayu yang kemudian akan memeluknya jika dia menemui dalam keadaan tertidur. Malam itu, Bayu hanya diam. Wajahnya dingin. Bahkan nggak berucap sepatah kata pun. “Mas, kamu marah?” Fahira mendekati Bayu yang duduk menyendiri di ruang tengah.Biasanya, dia langsung tidur usai mandi, karena pagi-pagi dia harus berangkat kerja lagi. Namun, malam ini Fahira memang masih ingin menyelesaikan beberapa revisian. Tak ingin menundanya, karena khawatir moodnya hilang. Kalau dia kehilangan mood, membangkitkannya akan lebih susah. “Ra, apa kamu menyukai Faisal?”Tiba-tiba Bayu bersuara setelah Fahira duduk di sebelahnya. Pria itu menatap manik mata Fahira yang juga tengah manatapnya. Entah kapan, kaca-kaca mulai tercipta di mata Bayu. “Mas, kamu ngomong apa?” Kening Fahira berkerut. Namun, dia berusaha tak menggubrisnya. Dia sudah paham dengan sikap
“Ra, Aku ingin kamu bahagia. Jika bersamaku menjadikan beban bagimu. Jika bersamaku kamu merasa tertekan, maka kamu boleh menentukan pilihan,” ucap Bayu. “Mas--” Mata Fahira berkaca-kaca. Netranya balik menatap manik mata Bayu. “Apa ini hanya gara-gara aku bertemu dengan Kak Faisal tadi siang?” tanya Fahira tak percaya.“Apakah aku pernah mengatakan padamu kalau aku tak bahagia bersamamu? Pernah, Mas?” sambung Fahira penuh penekanan.“Tiga tahun kita bersama. Aku selalu berusaha memberikan cinta terbaikku padamu. Walau hatiku merasa perih kamu lukai, Mas.” Mata Fahira menatap ke depan. Tangannya memegang dadanya yang bergemuruh. “Lalu, saat aku mencoba untuk bertahan, kamu mengatakan ini. Apa maksudmu, Mas? Apa kamu memang menyesal kembali denganku? Apa karena pertengkaran tadi pagi kamu tega mengatakan ini padaku? Menyangsikan ketulusanku?” ujar Fahira retoris. Dia menoleh ke arah Bayu. Tatapannya tajam menatap Bayu yang hanya terdiam menunduk.Dada Fahira naik turun. Ia menahan g
Fahira mengatur nafasnya. Wajahnya sudah basah dengan air mata. Tapi dia masih ingin menumpahkan sesak dalam dadanya yang selama ini hanya dipendamnya. Hampir setahun dia memilih untuk diam. Hampir setahun dia tak mau tahu alasan Bayu mengkhianati cintanya. Dan selama itu pula Bayu tak pernah membahas mengenai Nabila karena ia tahu itu hanya akan menyakiti Fahira. “Aku memilih pergi, karena aku malu, Mas. Aku istri yang gagal.” Fahira meraung. Ia tak dapat menahan emosinya. “Aku gagal, Mas...” ulang Fahira. Dia menepuk dadanya sendiri. Menegaskan bahwa kegagalan itu disebabkan oleh dirinya.“Aku sudah membuat malu Ayah dan Ibu…” Fahira melanjutkan kata-katanya. Fahira selalu teringat pesan Ayah dan ibunya agar selalu berkhidmat pada suami. Agar ia membuat suami merasa nyaman dan senang. Dia harus mencukupi semua kebutuhannya. Dia tak boleh mengecewakan suaminya. Dia harus menuruti semua perintahnya. Agar kelak, ia selalu mendapat ridhonya. Agar keluarganya menjadi keluarga Sakinah
Pov FahiraSejak pertengkaran semalam, aku dan Mas Bayu saling diam. Meskipun kami masih tidur seranjang, tapi aku memilih menjaga jarak. Diapun begitu. Hanya saja, kadang dia lupa tanpa sadar memelukku. Aku biarkan saja. Toh, sebenarnya aku memang mencintainya. Aku kadang tak peduli dengan perasaan Mas Bayu kepadaku. Orang bilang aku ini bucin. Ah, biarkan saja. Toh sama suami sendiri. Bukan sama suami orang. Cuma yang aku tidak mengerti, mengapa dia harus menanyakan tentang Kak Faisal? Apakah dia meragukanku? Itu yang aku tidak terima. Sungguh. Bagiku Kak Faisal dan Mas Bayu itu beda. Kak Faisal memang baik dan banyak menolongku. Dan aku pun memilih tidak memberikan harapan palsu kepadanya. Sejak awal, aku menghindar membicarakan masalah privasi dengan Kak Faisal. Aku sudah membatasi diri. Andai ada orang lain yang dapat membantuku selain Kak Faisal, tentu aku akan memilihnya. Masalahnya sekarang, pilihan itu tidak ada. Kak Faisal memang menang banyak. Dia mahasiswa PhD di faku